Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156812 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Novelia
"Di Indonesia pada saat ini sedang terjadi krisis ekonomi dimana harga semua barang menjadi naik, tak terkecuali harga kendaraanpun ikut naik dua kali lipat disbanding harga sebelumnya. Semakin tinggi harga barang ternyata tidak diikuti oleh daya beli yang tinggi pada masyarakat. Untuk mengantisipasi masalah diatas maka para pemilik kendaraan berusaha merawat dan memperbaiki kendaraannya ke bengkel agar umur kendaraan Iebih panjang. Keterampilan merawat dan memperbaiki kendaraan di bengkel diberikan pada Mekanik.
Menurut Levisque (1992) perusahaan menuntut para karyawannya agar bekerja secara produktif, begitupun Mekanik dituntut juga agar dapat bekerja secara produktif dengan alasan supaya penyerahan kendaraan tepat waktu, adanya persaingan antar bengkel yang ketat dan untuk mendapatkan kepuasan dan kepercayaan konsumen.
Ada beberapa macam hal yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja, salah satunya adalah stres (dalam Organizational Behavior, 1993). Datangnya stres dalam kerja dipicu oleh penyebab stres dalam kerja juga yang terdiri dari lima aspek (Hurrel Dkk, 1988). Kemudian ada penelitian dari Cooper & Straw (1995) menyebutkan bahwa bidang teknik merupakan salah satu bidang pekerjaan yang dapat menyebabkan stres.
Oleh karena itu peneliti hendak mengetahui bagaimana mekanik yang bekerja di bidang teknik mempersepsi aspek-aspek penyebab stres dalam kerja. Daiam penelitian ini juga akan dilihat perbedaan yang muncul antara empat bagian unit kerja di bengkel dalam mempersepsi aspek intrinsik dalam kerja.
Penelitian ini dilakukan pada 65 Mekanik di beberapa bengkel kendaraan di Bogor, yang diambil dengan menggunakan teknik incidental-purposive sampling. Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner yang terdiri dari tiga kuesioner yang disusun sendiri oleh peneliti dengan cara menyebarkan kuesioner.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari kelima aspek penyebab stres dalam kerja, ada tiga aspek yaitu 2 aspek intrinsik dalam kerja, aspek hubungan daiam kerja dan aspek struktur dan iklim organisasi yang dipersepsikan agak menyebabkan stres oleh Mekanik. Sedangkan dua aspek lainnya yaitu aspek peran individu dalam organisasi dan aspek pengembangan karir dipersepsikan tidak menyebabkan stres oleh Mekanik. Kemudian berdasarkan pembagian unit kerja di bengkel dibagi menjadi empat kelompok yaitu : pengecatan, pengelasan, perawatan dan perbaikan mesin dan finishing. Ke empat unit kerja ini mempersepsi aspek-aspek penyebab stres dalam kerja, dan hasilnya unit kerja bagian pengelasan lebih merasa stres dibandingkan ketiga unit kerja lainnya.
Hasii penelitian ini diharapkan memberi masukkan pada bengkel mengenai hal-hal penyebab stres kerja pada Mekanik khususnya di Bogor. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2980
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zani Afrinita
"Kerja merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan dewasa muda. Seorang dewasa yang normal adalah orang yang mampu untuk mencintai dan bekerja (Freud dalam Craig, 1986). Yang dimaksud dengan kerja adalah pekerjaan dimana individu mendapatkan bayaran sebagai imbalan. Dalam bekerja, individu pada umumnya mempunyai tujuan-tujuan tertentu namun kadangkala tujuan ini tidak selalu dapat dipenuhi. Tidak terpenuhinya tujuan ini dapat menimbulkan stres bagi individu (Quick & Quick, 1983). Stres yang dialami individu dalam dunia kerja ini disebut sebagai stres kerja (Soewondo, 1991). Stres kerja dapat dibedakan menjadi stres yang bersumber dari pekerjaan dan kehidupan sehari-hari (Greenberg 8. Baron, 1993).
Salah satu hal yang dapat digunakan untuk mengatasi stres kerja adalah dukungan sosial (Quick & Quick, 1983). Lobel (1994) mengemukakan dukungan sosial ini dapat diberikan dalam 4 bentuk, yaitu dukungan emosional, instrumental, informasional dan penilaian. Adanya dukungan sosial dapat menurunkan stres pada individu karena dengan mempersepsi adanya orang lain yang dapat dan akan membantunya maka individu akan menilai bahwa ancaman yang tadinya berada di luar kemampuannya dapat diatasi sehingga individu tidak lagi memandang hal tersebut sebagai ancaman.
Di tempat kerja dukungan sosial ini dapat diperoleh individu dari sahabat. Yang dimaksud dengan sahabat di sini adalah sahabat ditempat kerja. Mengingat pentingya fungsi dukungan sosial dalam mengatasi stres dan salah satu sumber dukungan sosial di tempat kerja adalah sahabat, maka penalitian ini bertujuan untuk melihat persepsi dewasa muda mengenai fungsi sahabat sebagai sumber dukungan sosial dalam menghadapi stres kerja.
Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data melalui skala yang mengukur persepsi dewasa muda mengenai fungsi sahabat sebagai sumber dukungan sosial dalam menghadapi stres kerja. Subyek penelitian adalah dewasa muda dengan pendidikan minimal SLTA dan bekerja purna waktu sekurang-kurangnya selama 6 bulan pada perusahaan swasta. Jumlah keseluruhan subyek adalah 119 orang yang terdiri dari 55 subyek pria dan 64 subyek wanita.
Hasil pengolahan data dengan menggunakan metode statistik deskriptif menunjukkan bahwa dewasa muda mempersepsi sahabat sebagai sumber dukungan sosial dalam menghadapi stres kerja. Dukungan sosial ini dipersepsi diberikan dalam bentuk dukungan emosional, informasional dan penilaian dalam menghadapi stres kerja yang bersumber dari pekerjaan. Sedangkan pada stres kerja yang bersumber dari kehidupan sehari-hari, subyek mempersepsi sahabat memberikan dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional, informasional, penilaian dan instrumental.
Di samping itu uji perbedaan dengan menggunakan teknik t-test diperoleh hasil bahwa pada persahabatan lawan jenis subyek pria dan wanita tidak mempersepsi adanya perbedaan dukungan sosial yang diberikan oleh sahabatnya, namun pada persahabatan sesama jenis subyek wanita mempersepsi sahabatnya lebih tinggi memberikan dukungan emosional dibandingkan dengan persepsi subyek pria terhadap dukungan emosional yang diberikan oleh sahabatnya. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh pola persahabatan yang berbeda antara pria dan wanita dimana persahabatam wanita lebih menekankan pada aspek emosional. Namun pada pesahabatan lawan jenis, perbedaan ini tidak muncul karena baik subyek pria maupun subyek wanita mempersepsi adanya dukungan sosial yang sama diberikan oleh sahabat pria maupun wanita."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2760
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ratulangie, Bunga
"Perubahan banyak memakan biaya dan tenaga, namun harus dilakukan apabila perusahaan tidak ingin tertinggal dari perusahaan lain. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensinya perusahaan harus mengubah cara-cara lama yang digunakan untuk menjalankan perusahaan. Salah satu bentuk perubahannya adalah restrukturisasi perusahaan. Dalam melakukan perubahan, unsur terpentingnya adalah manusia yang bekeija di perusahaan karena merekalah yang menjalankan perubahan. Untuk itu perlu diperhatikan bagaimana sikap individu terhadap perubahan. Sikap individu terhadap perubahan tidak terlepas dari pengaruh berbagai hal, salah satunya adalah stressor dalam lingkungan kerjanya. Bagaimana individu mempersepsikan stressor dapat mempengaruhi sikap terhadap perubahan organisasi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran hubungan antara stressor dalam lingkungan kerja dengan sikap terhadap perubahan organisasi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel dengan menggunakan tehnik non probability sampling tipe Occidental sampling. Subyek Penelitian ini adalah pegawai di perusahaan BUMN X dan BUMN Y sebanyak 135 orang, dengan pendidikan terakhir SLTA/ sederajat, dan telah bekerja minimal 2 tahun.
Metode pengambilan data dengan menggunakan kuesioner dengan skala 1-6. Penelitian ini menggunakan 2 kuesioner, yaitu kuesioners stressor dalam lingkungan kerja yang dibuat berdasarkan teori Ivancevich & Matteson (1982) dan kuesioner sikap terhadap perubahan organisasi yang dibuat berdasarkan teori dari beberapa tokoh. Stressor dalam lingkungan kerja yang ingin dilihat hubungannya dengan sikap terhadap perubahan organisasi adalah dimensi stressor organisasi, stressor kelompok, stressor pekerjaan, stressor karir.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara stressor dalam lingkungan keija dengan sikap tehadap perubahan. Untuk dimensi stressor kelompok, stressor pekerjaan, stressor karir juga tidak terdapat hubungan yang signifikan. Untuk dimensi stressor organisasi, terdapat hubungan negatif signifikan pada sikap terhadap perubahan organisasi. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi stressor dalam organisasi maka semakin rendah penerimaannya terhadap perubahan.
Penelitian ini masih memerlukan penelitian lanjutan dengan menambah jumlah item kuesioner sehingga jumlah item setiap dimensi seimbang. Selain itu masih diperlukan perbaikan-perbaikan pada alat ukur, metode pengumbulan data juga perlu dilakukan wawancara dengan pegawai yang perusahaannya mengalami perubahan. Hal ini diharapkan dapat memberikan data kualitatif yang cukup mendalam dan menunjang hasil penelitian yang lebih baik. Selain itu juga perlu dilihat pengaruh/ peran faktor-faktor lain pada sikap terhadap perubahan organisasi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3127
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kumala Dewi
"Berbicara mengenai pergaulan remaja biasanya tidak lepas dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama teman sebaya, misalnya pesta-pesta, sekedar berkumpul bersama teman, bermain musik, berolahraga dan lain-lain. Pergaulan remaja juga sering dikaitkan dengan dimulainya hubungan pertemanan dengan lawan jenis dan meningkat pada hubungan pacaran atau kencan. Hampir semua remaja, dari keluarga kaya maupun miskin, mengalami hal serupa ini.
Kini muncul dan berkembang suatu istilah yang disebut dengan begaul. Istilah tersebut memberikan pengertian bahwa dalam pergaulan di lingkungan remaja terdapat remaja yang tergolong anak gaul' dan bukan anak gaul. Begaul kini menjadi sebuah fenomena khas remaja Jakarta di era tahun '90-an, yang artinya tidak hanya mempunyai banyak teman dan melakukan kegiatan bersama tetapi juga menyangkut gaya hidup yang cenderung konsumtif dan materialistis. Mereka yang tergolong sebagai anak gaul biasanya memang berasal dari keluarga golongan ekonomi menengah atas dan sering menjadi sorotan negatif masyarakat.
Menurut Andersson (1969) para tokoh pendidikan sejak lama telah mengemukakan bahwa seluruh proses sosialisasi merupakan proses pendidikan: Havighurst dan Neugarten (1957) menyebut keluarga dan peer group sebagai suatu lingkungan belajar, dan Sjostrand (1967) berpendapat bahwa sekolah hanya mencakup sebagian kecil dari proses pendidikan yang terjadi dalam masyarakat.
Menurut Lewin, perilaku remaja yang begitu mementingkan peer group disebabkan oleh keadaan remaja yang berada pada periode transisi di mana mereka mengubah group membership (Lewin dalam Rice, 1990).
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep begaul menurut remaja dan bagaimana gambaran budaya remaja Jakarta. Konsep adalah ciri-ciri penting dari suatu obyek atau peristiwa tertentu dan aturan-aturan yang menghubungkan ciri-ciri im (Solso, 1979). Konsep begaul mencakup pemahaman seseorang tentang apa yang menjadi ciri-ciri atau unsur begaul tersebut, termasuk definisi, tujuan, manfaat dan kerugiannya.
Subyek penelitian adalah remaja berusia 15-18 tahun yang tinggal di Jakarta minimal selama 1 tahun, dengan jumlah 102 orang. Pelaksanaannya dengan membagikan kuesioner secara insidental dengan porsi yang seimbang antara remaja Iaki-laki dan perempuan. Berdasarkan data yang diperoleh, penulis mengolahnya dengan teknik analisis kuantitatif berupa persentase dan teknik analisis kualitatif yaitu dengan melakukan teknik content analysis, dengan cara menganalisis dan menggolong-golongkan isi hasil jawaban subyek.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep begaul meliputi unsur-unsur seperti sosialisasi, informasi, hura-hura, dan friendship. Gambaran budaya remaja yang terdiri dari unsur material dan non material menunjukkan adanya ciri khas pada remaja Jakarta yang dapat membedakannya dengan remaja yang tinggal di kota-kota lain di Indonesia.
Dalam diskusi, hasil penelitian ini dikaitkan dengan tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja (Havighurst, 1972 dalam Rice, 1990) dan penelitian-penelitian mengenai konformitas pada remaja.
Saran yang dapat dilakukan untuk penelitian berikutnya adalah menggunakan alat pengumpul data berupa wawancara terstruktur dan observasi agar dapat lebih mudah melakukan probing mengenai hal-hal yang masih belum jelas dan masih ingin ditanyakan lebih lanjut. Penulis juga menyarankan untuk melakukan penyebaran yang merata dari setiap wilayah Jakarta supaya dapat sekaligus memperoleh data perbandingannya. Teori mengenai popularitas pada masa remaja ternyata juga dibutuhkan untuk membahasnya lebih dalam."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagalung, Johanna
"Sebagai mahluk sosial, manusia memiliki kebutuhan untuk membentuk dan mengembangkan hubungan interpersonal yang memuaskan. Kebutuhan ini disebut sebagai kebutuhan afiliasi (need for affiliation) [Nlaslow, 1986]. Salah satu bentuk hubungan yang dapat memenuhi kebutuhan afiliasi adalah hubungan persahabatan. Melalui persahabatan, seseorang mendapatkan perhatian, tempat untuk berbagi, keterikatan dengan orang lain, kebebasan untuk berkembang, penghargaan, kepercayan dan kesetaraan.
Hubungan persahabatan dianggap penting oleh seseorang, karena persahabatan adalah suatu hubungan psikologis yang mencakup hubungan pertemanan, saling berbagi (sharing), saling mengerti pikiran dan perasaan, dan saling menyayangi serta memberikan kenyamanan satu sama Iain serta tidak lekang oleh waktu (Berk, 1994).
Kebutuhan akan hubungan persahabatan ini telah berlangsung dari awal masa kecil dan menjadi semakin penting ketika memasuki masa remaja. Pada masa ini, remaja dihadapkan pada suatu proses pembentukan identitas diri dan diharapkan dapat menentukan siapa dirinya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang Iain. Oleh sebab itu remaja membutuhkan orang Iain yang dapat memberikan pengertian dan simpati, dan orang yang paling tepat adalah remaja lain karena mereka berada dalam posisi yang sama (Conger & Peterson, 1995).
Dalam sebuah persahabatan, penting adanya faktor sukarela, unik, kedekalan dan keintiman, persahabatan harus dipelihara agar dapat bertahan (Suzanne Kurth, 1970) dan rasa saling percaya (mutual trust) (Douvan dan Adelson, 1973).
Selain meneliti kelima unsur yang ada dalam suatu persahabatan, peneliti juga ingin meneliti bentuk hubungan persahabatan antara dua orang, yaitu remaja dan sahabatnya (dyad). Hubungan 'dyad' itu sendiri adalah bentuk terkecil dan suatu kelompok yang terdiri dari dua orang. Pada bentuk hubungan ?dyad', hanya ada satu hubungan interpersonal yang terjadi, yaitu antara subyek dan sahabatnya (Farley, 1992).
Dalam suatu hubungan interpersonal yang sifatnya 'dyadic', factor kecocokan sering dianggap sebagai faktor penentu keberhasilan hubungan. William C. Schutz mengemukakan teorinya mengenai faktor kecocokan ini melalui teori hubungan interpersonal. Teori ini menjelaskan hubungan interpersonal yang didasarkan pada keyakinan akan pemuasan kebutuhan interpersonal dalam kelompok. Kebutuhan interpersonal yang dimaksud meliputi kebutuhan akan inklusi, kontrol, dan afeksi.
Penelitian ini dltujukan untuk melihat dimensi-dimensi persahabatan yang dlkemukakan oleh Suzanne Kurth serta Douvan dan Adelson pada remaja ditinjau melalui analisis kecocokan psikologis yang dikemukakan oleh William C. Schutz. Subyek pada penelitian ini adalah remaja menengah (Konopka Pikunas, 1976) dengan rentang usia antara 15-18 tahun. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode incidental sampling dan berhasil didapatkan 32 pasang subyek (64 orang remaja). Alat pengumpul data yang digunakan adalah kuesioner persahabatan, hasil elisitasi terhadap sejumlah subyek remaja, dengan didasarkan pada teori dari Suzanne Kurth serta Douvan dan Adelson, dan kuesioner Fundamental Interpersonal Relations Orientation-Behavior atau FIRO-B dan William C. Schutz (1960). Pengolahan data dilakukan dengan melakukan analisa deskriptif dan korelasi. Keseluruhan pengolahan data dilakukan dengan bantuan program SPSS.
Hasil dan penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara faktor kebutuhan interpersonal akan kontrol yang diekspresikan dan diinginkan dengan faktor kedekatan dan keintiman dalam persahabatan. Selain itu, hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara factor kebutuhan interpersonal akan afeksi yang diekspresikan dan diinginkan dengan faktor unik dalam persahabatan. Selain hubungan antara faktor-faktor persahabatan dengan faktor kebutuhan interpersonal, tergambar pula perbedaan faktor-faklor persahabatan dan kebutuhan interpersonal antara remaja laki-laki dan perempuan, dimana hasil yang didapat menunjukkan hanya dua (2) factor saja yang memiliki perbedaan yang signifikan, yaltu faktor kebutuhan interpersonal akan wanted inclusion dan expressed affection.
Uniuk penelitian lebih lanjut, peneliti menyarankan untuk menggunakan cara lain, seperti metode wawancara, sehingga didapatkan hasil yang lebih mendalam, menyeluruh, dan mungkin saja ditemukan faktor lain yang mempengaruhi persahabatan selain faktor kecocokan psikologis dan faktor-faktor persahabatan yang ada dalam penelitian ini. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2966
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
C. Hirania Wiryasti
"Stroke adalah penyakit kronis yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan penderitanya. Sebagai akibatnya penderita stroke akan mengalami sties. Untuk dapat menangani stresnya, penderita stroke membutuhkan dukungan sosial. Efektifitas dukungan sosial dalam membantu penanganan stres penderita stroke dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu persepsi terhadap tipe dukungan sosial dan kepuasan terhadap sumber dukungan sosial.
Penelitian dilakukan untuk menemukan hubungan antara persepsi terhadap tipe dukungan sosial dan kepuasan terhadap sumber dukungan sosial dengan stres pada penderita stroke (N=39). Ada tujuh tipe dukungan, yaitu: Keterikatan. Integrasi Sosial, Penghargaan. Hubungan yang Dapat Diandalkan, Bimbingan, Kesempatan Untuk Mengasuh, dan Instrumental. Selanjutnya, ada tiga kategori sumber dukungan: Pasangan Hidup, Keluarga, dan Non-Keluarga. Untuk mendapat gambaran yang lebih mendalam, maka hendak diketahui pula hubungan antara persepsi terhadap tiap tipe dukungan dan kepuasan terhadap tiap kategori sumber dukungan dengan stres pada penderita stroke.
Pengambilan data dilakukan dengan Kuesioner Stres Pada Penderita Stroke* Modifikasi Social Provisions Scale, dan Kuesioner Kepuasan Terhadap Sumber Dukungan Sosial. Proses face validity dilakukan terhadap ketiga alat tersebut dengan menggunakan experl judgment. Selanjutnya, terhadap dua alat pertama juga telah dilakukan uji reliabilitas dengan metode koefisien alpha Cronbach pada program SPSS 10.01.
Uji signifikansi dilakukan dengan metode korelasi producl-inomenl Pearson pada program SPSS 10.01. Hasil perhitungan menunjukkan, hipotesa adanya hubungan antara persepsi terhadap tipe dukungan sosial dengan stres pada penderita stroke diterima, dan hipotesa adanya hubungan antara kepuasan terhadap sumber dukungan sosial dengan stres pada penderita stroke tidak diterima. Selanjutnya, persepsi terhadap tipe dukungan yang berhubungan dengan stres pada penderita stroke adalah Integrasi Sosial, Kesempatan Untuk Mengasuh, dan Bimbingan. Sedangkan, kepuasan terhadap tiap kategori sumber dukungan tidak ada yang berhubungan dengan stres pada penderita stroke.
Kesimpulannya, tidak semua tipe dukungan dapat membantu penanganan stres penderita stroke. Hal ini tergantung pada kebutuhan masing-masing penderita. Selanjutnya, merasa puas terhadap sumber dukungan ternyata tidak mempengaruhi tingkat stres yang dirasakan oleh penderita stroke. Peneliti menyarankan, agar lingkungan sosial memahami dengan baik kebutuhan dari penderita stroke yang menerima dukungan darinya. Terakhir, untuk penelitian selanjutnya disarankan agar dilakukan perbaikan alat dan metodologi penelitian."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3143
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Epidemi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) ---suatu penyakit
yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia--- memang tidak dapat
disangkal Iagi keberadaannya di Indonesia. Kasus HIV positif dan AIDS
di negara kita sudah menjangkau seluruh golongan usia dan semua kelas
sosial ekonomi. Data terakhir menunjukkan Iebih 50% dari pengidap
HIV/AIDS merupakan generasi muda yang berusia antara 15-29 tahun.
Kenyataan ini menandakan angka kematian kasar pada kelompok usia
produktif akan meningkat. Dampaknya akan terasa pada masalah
produktivitas kerja. SaIah satu cara yang ampuh untuk menangkal
penyebaran HIV/AIDS adalah dengan menghindari tindakan yang dapat
menularkan HIV, seperti berhubungan seks tanpa pengaman baik sejenis
maupun dengan Iawan jenis, transfusi darah yang tercemar HIV,
penggunaan alat suntik bekas dipakai penderita HIV dan pemindahan HIV
dari ibu hamil kepada janin yang dikandungnya. Tindakan berhubungan
seks sebagai faktor risiko utama dalam penyebaran AIDS, selama ini
paling gencar disebarluaskan kepada masyarakat, terutama kepada
remaja. Kaum remaja menjadi target penting daIam upaya pencegahan
AIDS, karena secara teoritis aktivitas seksuaInya muIai meningkat.
DiIaporkan remaja sering terlibat aktivitas seksuaI yang berisiko
seperti berhubungan keIamin tanpa kondom atau berhubungan keIamin
dengan pasangan tidak tetap. Data yang ada Juga menunjukkan rendahnya
intensi remaja untuk menggunakan kondom dalam berhubungan seks
pranikah, tingginya angka pengidap penyakit menular seksuaI di
kalangan remaja. dan cukup seringnya remaja usia sekoIah menggunakan
jasa pekerja seks. SeIuruh kasus yang dihimpun ini jelas
memperlihatkan besarnya kemungkinan remaja untuk tertuIar AIDS.
Mengapa remaja akhirnya berani terlibat da1am perilaku yang berisiko
menuIarkan AIDS? Ha] inilah yang mendorong peneIiti untuk mencari
penjeiasannya. Berbagai upaya untuk menjelaskan keterIibatan seseorang
dalam tindakan yang mengandung risiko telah dilakukan. Salah satunya
dengan menganalisis persepsi risiko. Konsep persepsi risiko yang
pernah dikaji meliputi dua variabel yakni Optimisme Yang Tidak
Realistis dan Persepsi Bahaya. Optimisme Yang Tidak ReaIistis adaIah
konsep tentang ketidakpekaan seseorang bahwa sebenarnya dirinya rentan
terhadap kejadian buruk di masa depan, sementara Persepsi Bahaya
mengacu pada peniIaian tentang seberapa besar potensi bahaya dari
keterlibatan dalam perilaku berisiko. Dari beberapa penelitian yang
pernah diIakukan terbukti remaja cenderung merasa optimis tidak akan
mengalami kejadian buruk di masa depan. Remaja juga cenderung menilai
rendah potensi bahaya dari tindakan yang mengandung risiko. PeneIiti
melihat kedua variabel ini dapat diterapkan untuk menjelaskan permasalahan yang ada. Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti
berusaha mendeskripsikan terlebih dahulu kedua variabel tersebut pada
populasi pelajar dan mahasiswa sekolah swasta di Jakarta. Kemudian
untuk melihat apakah konsep ini memang terkait dengan keterlibatan
dalam tindakan yang berisiko, maka peneliti membandingkan gambaran
kedua variabel) ini pada kelompok subjek berisiko tinggi (yang
berperilaku seks tidak aman) dan pada kelompok subjek berisiko rendah
(yang berperiiaku seks aman). Penelitian ini dilakukan pada 118 subjek
pelajar dan mahasiswa di beberapa sekolah swasta di Jakarta dengan
menggunakan teknik accidental non probability sampling. Kriteria
populasi ini dipilih karena dinilai memenuhi persyaratan sebagai
populasi yang cukup heterogen. Dari seluruh subjek yang ada peneliti
membaginya menjadi 61 subjek berisiko rendah dan 57 subjek berisiko
tinggi. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang menggali Optimisme
Yang Tidak Reaiistis dan Persepsi Bahaya. Kedua alat ukur ini
diadaptasi dari penelitian Cohn et al (1995) dan Weinstein (1980).
Subjek diminta untuk menilai seberapa besar kemungkinan mereka
mengalami kejadian buruk di masa depan dibanding teman sebaya. Mereka
juga diminta untuk menilai risiko ari keterlibatan sekali dua kali.
kadang-kadang dan sering daiam sejumlah tindakan yang mengandung
bahaya. Hasil utama penelitian menunjukkan seluruh subjek merasa
optimis tidak akan mengalami kejadian buruk di masa depan dibanding
orang Iain. Subjek cenderung kurang peka akan kerentanan dirinya
mengalami kejadian buruk. Sementara pada aspek Persepsi Bahaya, subjek
cenderung meningkatkan kadar bahaya dari keterlibatan daiam perilaku
berisiko sejalan dengan meningkatnya intensitas keterlibatannya.
Penilaian tersebut meningkat mulai dari sekali dua kali -- kadang-
kadang -- sering. Perbandingan aspek Optimisme Yang Tidak Realistis
pada kedua kelompok subjek memperlihatkan perbedaan optimisme yang
signifikan. Remaja Berisiko Tinggi cenderung kurang optimis dirinya
bisa menghindari kejadian buruk di masa depan dibandingkan remaja
berisiko rendah. Hal ini menunjukkan arti subjek berisiko tinggi lebih
peka terhadap kemungkinan mengalami kejadian buruk dibanding subjek
berisiko rendah. Sementara pada aspek Persepsi Bahaya. perbandingan
antara kedua kelompok juga memperlihatkan adanya perbedaan yang
signifikan pada ketiga macam tingkat keterlibatan. Secara umum subjek
berisiko tinggi cenderung menilai rendah (underestimate) potensi
bahaya dari keterlibatan mereka daiam perilaku berisiko dibandingkan
subjek berisiko rendah. Hasil akhir pada aspek Persepsi Bahaya ini
mengarah pada satu hipotesis yakni remaja yang terlibat perilaku seks
berisiko tinggi cenderung kurang memperhitungkan potensi bahaya dari
keterlibatan mereka dalam tindakan-tindakan yang mengandung risiko.
Dugaan yang muncul ini perlu dibuktikan daiam penelitian selanjutnya."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Fausiah
2000
S2982
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Perbatasari
"Bekerja merupakan aktifitas yang penting dalam kehidupan manusia, karena merupakan sumber identifikasi dirinya untuk mengekspresikan dan mengembangkan Dengan bekerja, manusia akan menemukan esensi individualitasnya. Namun tidak selalu manusia memperoleh apa yang diinginkannya melalui bekerja, karena banyak faktor di luar dirinya yang ikut mempengaruhi tercapainya keinginan tersebut. Faktor di luar diri yang berperan besar dalam menimbulkan pengaruh pada individu antara lain sistem yang berlaku di perusahaan tempatnya bekerja. Adanya perubahan sistem dengan rnenerapkan proses mekanisasi dan otomatisasi dalam dunia kerja membawa dampak pula pada kehidupan individu. Tugas-tugas yang terlalu terspesialisasi menimbulkan perasaan kurang bebas dalam bekerja dan merasa kurang diberi pengendalian yang cukup dalam bekerja. Dengan perkataan lain individu teralienasi (Blazmer, 1964). Individu yang teralienasi merasa 'asing' dengan dirinya sendiri, karena dirinya seolah-olah ?dirampas? oleh kekuatan dari luar. Adanya pemisahan antara aktifitas kerjanya dengan keinginan diri ini menimbulkan perasaan tidak berdaya dan terasing dari pekerjaannya (Marlin Robertson, 1972).
Sedangkan dalam bekerja, individu akan selalu berinteraksi dengan lingkungan kerjanya. Dalam arti bahwa ia akan melakukan penyesuaian diri dengan berusaha memperlajari aturan-aturan dan norma-norma yang diterapkan perusahaan tersebut. Dengan interaksi ini individu akan melakukan peni1aian-penilaian yang akan membentuk persepsi dirinya mengenai iklim organisasi yang ada. Jika individu mempersepsikan bahwa lingkungan kerjanya tidak memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai yang ada pada dirinya, maka akan timbul persepsi negatif terhadap iklim organisasi, yang dapat menimbulkan alienasi pada individu. Kondisi ini muncul karena iklim organisasi ikut mempengaruhi munculnya perilaku tertentu pada individu (Tagiuri dan Litwin, 1968).
Skripsi ini ingin melihat hubungan antara persepsi terhadap ikim organisasi dengan tingkat alienasi kerja pada level manajer dan non-manajer, Untuk meneliti masalah tersebut, dipilih subyek penelitian yang bekerja pada perusahaan bidang produksi barang, dengan pendidikan minimal SLTA dan telah mempunyai masa kerja minimal 1 tahun. Tingkat jabatan dibedakan karena ada pendapat dari Blauner (1964) yang mengatakan bahwa tingkat alienasi tinggi biasanya terjadi pada pekerja dengan keahlian sedikit.
Alat yang digunakan adalah skala alienasi hasil modifikasi dari Blauner (1964) dan Robinson dan Shaver (1980), dan alat iklim organisasi dari Litwin dan Stringer (1968). Untuk melihat adanya hubungan tersebut, digunakan teknik korelasi Pearson Product Moment. Sedangkan untuk melihat perbedaannya, digunakan t-test.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara persepsi karyawan terhadap iklim organisasi dengan tingkat alienasi kerjanya. Namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara level manajer dan non-manajer, pada persepsinya terhadap iklim orgranisasi maupun pada tingkat alienasi kerjanya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1994
S2313
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>