Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77166 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Melisa Ratna Anggraini
"Penelitian ini adalah penelitian eksploratif pada perilaku selingkuh pada dewasa muda yang berpacaran. Penelitian ini dilakukan karena tingkah laku pada saat berpacaran akan dapat mempengaruhi tingkah laku pada masa pernikahan dan tingkah laku sendiri dapat dipengaruhi oleh salah satunya atribusi kausal. Atribusi kausal dalam penelitian ini adalah atribusi kausal dari Weiner, yang terdiri atas (1) locus of causality, (2) extemal control, (3) stability, (4) personal control. Melalui peninjauan atribusi kausal ini dapat diketahui gambaran dari apa yang dipersepsikan seseorang sebagai penyebab dari terjadinya perselingkuhan. Dengan diketahuinya gambaran tersebut maka seseorang akan dapat lebih memahami perilaku dirinya maupun orang lain, memprediksi perilaku dimasa mendatang, serta memungkinkan dirinya mengontrol lingkungannya.
Dengan melihat permasalahan tersebut serta berbagai faktor yang terkait dengannya, dirumuskan masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini. Masalah yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah pola atribusi kausal perselingkuhan dewasa muda berpacaran pada kelompok dewasa muda? Permasalahan tersebut terbagi atas beberapa masalah khusus, yaitu : Bagaimana pola atribusi dewasa muda berpacaran pada kelompok dewasa muda yang berselingkuh? Bagaimana pola atribusi dewasa muda berpacaran pada kelompok dewasa muda yang diselingkuhi? Adakah perbedaan pola atribusi perselingkuhan dewasa muda antara kelompok dewasa muda yang berselingkuh dan yang diselingkuhi? Adakah perbedaan pola atribusi perselingkuhan dewasa muda antara kelompok pria dan wanita?
Penelitian ini dilakukan di Jakarta dengan menggunakan metode kuesioner. Sampel penelitian ini adalah 63 orang dewasa muda yang terdiri dari 31 pria dan 32 wanita. Kriteria subyek adalah, berusia 22 sampai 28 tahun, belum menikah dan pemah selingkuh dan atau diselingkuhi. Pendekatan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa hal, secara umum subyek mengatribusikan perselingkuhan kepada faktor internal, tidak stabil, terdapat kontrol personal dan tidak terdapat kontrol eksternal.
Tidak ada perbedaan atribusi kausal yang signifikan antara kelompok subyek yang berselingkuh dan yang diselingkuhi, maupun antara kelompok pria dan wanita. Seluruh kelompok menunjukkan kecenderungan pola atribusi kepada satu sisi, kecuali kelompok pria yang diselingkuhi pada dimensi stabilitas. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai penerapan teori atribusi kausal dalam interpersonal relationship, khususnya dalam perselingkuhan di masa berpacaran. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berguna bagi perkembangan terapi atribusi. Dengan diketahui pola atribusi kausal perselingkuhan baik dari kelompok yang berselingkuh dan diselingkuhi, dapat dikethui atribusi yang disfungsional, yang kemudian dapat diganti dengan atribusi yang lebih adaptif."
2003
S3287
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Puspita Wardani
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S2020
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Naelufara
"ABSTRAK
Pada setiap tapan perkembangan selalu ada tugas-tugas atau sejumlah
perilaku yang harus dipenuhi, yang merupakan harapan atau tuntutan dari
masyarakat. Salah satu tugas perkembangan remaja adalah adanya
perubahan dari homosocial interest menjadi heterosocial concern, dimana
remaja mulai tertarik dan menaruh perhatian pada lawan jenis (Rice,1990).
Pada masa remaja akhir menjelang dewasa, umumnya remaja telah memiliki
pacar. Bila keadaan dirinya tidak sesuai dengan peran untuk usianya maka
hal ini diartikan sebagai suatu kegagalan baginya yang akhirnyaberpengaruh
terhadap pandangan orang tersebut mengenai dirinya.
Penelitian ini ingin menguji apakah benar bahwa ada perbedaan yang
bermakna pada konsep diri remaja yang sudah berpacaran dengan yang
belum berpacaran.
Subyek penelitian ini adalah remaja akhir usia 18-22 tahun baik yang sudah
berpacaran ataupun belum berpacaran. Subyek dipilih pada usia 18-22 tahun
karena pada umumnya remaja dengan usia tersebut sudah pernah
berpacaran.
Penilaian konsep diri ini diukur dengan menggunakan Tennessee Self-
Concept Scale (TSCS) yang terdiri atas tiga dimensi eksternal yaitu dimensi
diri identitas, kepuasan diri, dan diri tingkah laku serta lima dimensi internal
yaitu, dimensi diri fisik, diri moral-etik, diri personal, diri keluarga dan diri
sosial, penelitian ini dilakukan pada 66 remaja yang sudah berpacaran dan
65 remaja yang belum berpacaran. Setelah data terkumpul dan dilakukan analisa diperoleh hasil yang
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara konsep diri remaja
yang sudah berpacaran dengan remaja yang belum berpacaran. Remaja
yang sudah berpacaran memiliki konsep diri yang lebih tinggi atau positif
dibandingkan remaja yang belum berpacaran.
Kami berharap penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat
dan dapat memberi masukan bagi orang tua yang memiliki anak usia remaja,
sehingga mereka dapat lebih memahami tahap perkembangan remaja
beserta kebutuhan-kebutuhannya."
2004
S3463
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Cahyani Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran komponen cinta dan kualitas hubungan romantis pada pasangan berpacaran dewasa muda yang menggunakan layanan online dating. Partisipan dalam penelitian ini adalah 97 dewasa muda (20-40 tahun), sedang menjalani hubungan berpacaran minimal tiga bulan, dan bertemu dengan pasangannya melalui layanan online dating. Alat ukur yang digunakan untuk penelitian ini adalah Sternberg?s Theory of Love Scale (TLS) untuk melihat tingkat komponen cinta, dan Partners Behaviors as Social Context (PBSC) dan Self Behavior as Social Context (SBSC) untuk melihat gambaran kualitas hubungan romantis. Hasil dari penelitian adalah ketiga komponen cinta Sternberg pada pengguna layanan online dating tetap tinggi dan jumlah responden yang mempunyai kualitas hubungan romantis yang tinggi tidak banyak berbeda dengan jumlah responden dengan kualitas hubungan romantis yang rendah. Analisis tambahan menemukan bahwa umur dan lama hubungan mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat komponen cinta Sternberg dan kualitas hubungan romantis.

The purpose of this study is to form a description on love component using the theory Triangular Theory of Love from Robert J. Sternberg and the romantic relationship quality in dating young adulthood couple who uses online dating services. Participants within this research consisted of 97 young adulthood with the age criteria around 20-40 years old, currently within a relationship for minimum three months, and met their partners through the online dating services. According to data, participants of this research are within the age of 20 to 26 years old, and around 79,4% of them are females. This research is a descriptive research and use th Sternberg's Triangular Theory of Love Scale questionaire (TLS) (α = 0,985) to measure the component of love, and also Partners Behaviors as Social Context (PBSC) (α = 0.906) and Self Behavior as Social Context (SBSC) (α = 0.838) to measure the quality of the romantic relationship. Results of this research indicates that most of the respondents has high scores in three components, and most of the respondents has lower quality in their romantic relationship."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S66342
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widyastuti Wartono
"Menurut Erikson (1950 dalam Papalia, 1998), tahap yang perlu dilalui oleh seorang individu usia dewasa muda (20-40 tahun) adalah intimacy versus isolation. Individu tersebut memiliki tugas-tugas perkembangannya, salah satunya adalah membentuk hubungan intim. Pada kenyataannya terdapat individu-individu yang tidak pernah berpacaran hingga usia dewasa muda.
Menurut Bird dan Melville (1994), pada umumnya hubungan intim diawali dengan saling ketertarikan fisik antar individu, lalu dilanjutkan dengan proses eksplorasi terhadap hal-hal lain. Dalam menilai kesesuaian karakteristik-karakteristik dirinya dengan orang lain, individu membandingkan penilaian terhadap dirinya sendiri serta penilaian terhadap orang lain. Hasil penilaian individu tentang dirinya sendiri yang mencakup kesadaran tentang siapa dan apa dia dalam berbagai karakteristik merupakan self-concept atau konsep diri (Wayment & Zetlin, 1989 dalam Rice 1999). Selanjutnya keberhasilan individu membina hubungan intim ditentukan pula oleh sejauh mana individu menghargai dirinya sendiri (self-esleem). Kemudian menurut Duffy dan Atwater (2002), dua hal yang menjadi faktor yang berperan dalam pembentukan hubungan intim adalah attachment style dengan orang tua dan self-esteem.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memahami mengapa wanita dewasa muda belum pernah berpacaran, dengan penelaahan lebih dalam mengenai attachment style dengan orang tua dan self-esteem. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data wawancara mendalam. Karena hubungan intim menjadi lebih penting bagi para wanita dibandingkan bagi para pria (Brehm, 1992), maka partisipan dalam penelitian ini adalah tiga orang wanita dewasa muda yang belum pernah berpacaran dan berada dalam rentang usia 20-25 tahun.
Hasil penelitian ini adalah bahwa individu dengan model anxious-ambivalent attachment dan avoidant attachment, disertai dengan self-esteem yang rendah dan konsep diri yang negatif akan menghasilkan kegagalan dalam membentuk hubungan intim. Kekurangan social skills menyulitkan individu dalam berinisiatif untuk membentuk suatu hubungan intim serta mempertahankan hubungan dengan sesama. Namun ternyata individu dengan model secure attachment disertai dengan self-esteem yang tinggi dan konsep diri positif tidak juga berhasil dalam membentuk hubungan intim. Adapun faktor-faktor lain yang turut berkontribusi terhadap keadaan belum pernah berpacaran yang dialami oleh individu ini, seperti terlalu seleksi, terlalu jauh dalam berpikir, dan perfeksionisme."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3256
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Iqbal
"Komunikasi antar pribadi pada dua individu pada dasarnya melewati proses yang unik dan spesifik pada masing-masing pihak. Apalagi jika mereka menyadari bahwa komunikasi yang dibangun memiliki satu titik tujuan yang jelas. Salah satu dari titik tujuan itu adalah adanya ikatan pernikahan yang bersifat legal formal.
Pernikahan pada dasarnya tidaklah menjamin bahwa komunikasi antar pribadi yang terjadi sudah sampai pada tingkatannya yang klimaks. Menurut Altman dan Taylor (1973) suatu hubungan antar pribadi terjadi melalui proses tahap orientasi (orientation), tahap eksplorasi pertukaran pengaruh (explorative affective exchange), tahap pertukaran pengaruh (affective exchange), dan tahap pertukaran yang stabil (stable exchange). Hal ini disebutnya sebagai social penetration. Hipotesis pertamanya adalah pertukaran informasi di tingkat antar pribadi mengalami kemajuan secara bertahap mulai dari tingkat permukaan yang dangkal, dari area yang kurang akrab ke area yang lebih akrab dari para pelaku. Adapun hipotesis yang kedua menyatakan bahwa dalam pertukaran informasi, orang menentukan nilai atau besarnya imbalan/biaya, kepuasan dan kekecewaan diperoleh dari interaksi dengan orang lain.
Meningkatnya kualitas hubungan antar pribadi tersebut hanya akan berjalan jika terjadi uncertainty reduction (Berger.1975). Pengurangan ketidakpastian didorong oleh kondisi untuk mengantisipasi interaksi di masa yang akan datang, adanya nilai tambah yang diinginkan ketika terjadi pertukaran informasi atau karena adanya kemungkinan penyimpangan yang bersifat mencelakai.
Penelitian pengurangan ketidakpastian pada pasangan menikah berbeda budaya dengan studi kasus pada pasangan menikah dengan latar belakang budaya individualistic-kolektifistik ini merupakan bagian dan kajian komunikasi antar pribadi di atas. Penelitian ini meneliti enam pasangan suami-istri dimana pihak istri berasal dari Indonesia (kolektifistik), sedangkan pihak suami berasal dari Amerika, Inggris, New Zealand, Iriandia, dan Perancis (individualistic).
Tujuan dari penelitian ini adalah bagaimana pengurangan ketidakpastian terjadi pada pasangan seperti ini, bagaimana strategi mereka untuk mencari informasi dan bagaimana kualitas hubungan pada pasangan ini mengalami peningkatan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengurangan ketidakpastian dapat dijelaskan dan digambarkan kembali dengan menggunakan uncertainty reduction theory yang secara khas terjadi pada setiap pasangan secara bervariasi, baik kedalaman maupun keluasannya. Adapun strategi pencarian informasi yang dilakukan lebih banyak dilakukan dengan strategi interaktif yang dipadukan dengan strategi aktif. Kedua strategi ini dipergunakan masing-masing pasangan secara komplementer untuk memperoleh pemahaman dan pengetahuan yang lebih baik tentang pasangannya.
Berkurangnya ketidakpastian membantu meningkatnya kualitas hubungan. Meskipun tidak semua pasangan telah mencapai tahapan stable exchange akan tetapi proses yang dilalui dapat dijelaskan oleh social penetration theory. Berbagai hambatan dalam peningkatan kualitas hubungan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor bahasa dan budaya. Perbedaan bahasa, termasuk dialek Bahasa Inggris yang dipakai, seringkali menyebabkan timbulnya salah penafsiran. Perbedaan budaya membuat pasangan ini harus lebih siap melakukan adjustment
Meskipun latar belakang budaya berpengaruh dalam pola hubungan antar pribadi pada pasangan ini, akan tetapi perbedaan atau konflik lebih didasarkan oleh perbedaan karakter kepribadian setiap individu pasangan. Untuk mengatasi perbedaan dan konflik yang terjadi, komunikasi interaktif lebih banyak dipilih dan dimanfaatkan. Selain daripada itu, sikap menerima dan sabar juga ikut membantu mengatasi perbedaan dan konflik yang terjadi pada pasangan ini.
Penetitian ini menguatkan bahwa peningkatan kualitas hubungan antar pribadi terjadi metalui penetrasi sosial dan untuk itu pengurangan ketidakpastian menjadi bagian yang tidak terpisahkan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14308
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Bobby Kemuliaen
"ABSTRAK
Tesis ini membahas analisis hubungan antara personal value dengan shopping orientation pada konsumen di Jakarta dalam pembelian produk fashion pakaian. Penelitian ini bersifat conclusive research design dengan menggunakan metode survey personal interviewing di Mall Taman Anggrek, Mall Kelapa Gading, dan Pondok Indah Mall 2.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak seluruhnya variabel pada personal value konsumen Jakarta di tiga mall tersebut berkorelasi secara positif dan signifikan dengan orientasi mereka untuk berbelanja pakaian baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun, tidak ada perbedaan ciri konsumen secara signifikan di antara tiga mall besar tersebut.

ABSTRACT
The focus of this study is to analize the relationship of personal value and shopping orientation of consumers in Jakarta to buy apparel fashion product. This research is conclusive research design with using personal interviewing survey model in Taman Anggrek Shopping Centre, Kelapa Gading Shopping Centre, and Pondok Indah 2 Shopping Centre.
The researcher shows that not all variables of personal value positively correlate and significant with their orientation to buy apparel neither direct effect or indirect effect. However, the researcher shows that characteristic of consumers in three shopping centres is not difference significantly.
"
2010
T28239
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Toni M. Arman
"Interaksi sosial merupakan sarana pembelajaran sosial bagi remaja dimana diperlukan upaya untuk menyesuaikan diri antara tuntutan sosial dengan kebutuhan dalam diri sendiri. Keberhasilan remaja dalam relasi antarpribadi memperlihatkan tingkat kompetensi yang dimiliki remaja untuk menjalin dan mengembangkan interaksi antarpribadi tersebut. Hambatan dalam menguasai kompetensi relasi antarpribadi menjadikan remaja mengalami kesulitan untuk bertindak secara efektif daiam bermasyarakat dan dapat berkembang menjadi hambatan psikologis di masa mendatang.
Ford (1992) mengungkapkan bahwa interaksi sosial dan relasi antarpribadi merupakan domain untuk menguasai kompetensi sosial. Penguasaan, kompetensi relasi antarpribadi pada remaja diperoleh melalui proses sosialisasi di antara teman dan kelompok sebaya, institusi sekolah serta media massa. Dalam penguasaan kompetensi relasi antarpribadi ini melibatkan pula upaya-upaya menampilkan diri di hadapan oranglain (Argyle, 1980). Upaya untuk menampilkan diri ini merupakan sarana untuk meningkatkan gambaran diri dan penerimaan sosial. Bagi remaja, penerimaan sosial di kalangan sesama teman dan kelompok sebaya pada lingkungannya merupakan tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi remaja dalam masa perkembangannya.
Menurut Snyder (dalam Briggs, Cheek & Buss, 1980), upaya menampilkan diri di hadapan orang Iain dipengaruhi oleh pemantauan diri (self-monitoring) yang terbagi atas pemantauan diri yang tinggi dan pemantauan diri yang rendah. Pemantauan diri yang tinggi berdasarkan situasi eksternal dan perilaku orang lain. Sedangkan pemantauan diri yang rendah berdasarkan disposisi internal yang terdapat dalam diri seorang - seperti belief, sikap, dan norma - dan kurang memperhatikan kesesuaian dengan lingkungan disekitamya. Oieh karena itu, pemantauan diri yang tinggi diharapkan tingkat kompetensi relasi antarpribadi akan tinggi mengingat bahwa perilaku yang ditampilkan di hadapan orang lain sesuai dengan konteks sosial yang menyertainya. Sedangkan pemantauan diri yang rendah diharapkan akan lebih rendah kemampuan menjalin relasi antarpribadi karena cenderung lebih memperhatikan disposisi pribadi dan kurang memperhatikan kesesuaian dengan konteks sosial yang ada.
Pendekatan yang dikembangkan untuk menilai tingkat penguasaan kompentensi relasi antarpribadi mencakup pendekatan interpersonal task. Menurut Buhrmester, dkk., (1988), konteks sosial yang ada membutuhkan beragam kompetensi sosial, dan setiap individu memiliki kompetensi yang beragam. Seseorang rnungkin berhasil dalam satu konteks sosial namun kurang berhasil dalarn konteks sosial yang lain. Lebih Ianjut, Buhrmester, dkk., (1988) mengajukan 5 ranah komponen kompetensi relasi antarpribadi yaitu initiation competence, negative assertion, self-disclosure, emotional support dan conflict management. Pemahaman terhadap masing-masing ranah membantu untuk menentukan perilaku yang paling sesuai dengan konteks sosial yang dihadapi. Melalui pendekatan ini, disusunlah alat ukur yang bernama "Interpersonal Competence Questionnaire" (ICQ) untuk mengetahui gambaran menyeluruh mengenai penguasaan kompetensi relasi antarpribadi pada remaja.
Adapun untuk mengukur pemantauan diri, dikembangkan alat ukur yang bernama Self-Monitoring Scale? (SMS) dari Snyder versi tahun 1974 (dalam Briggs, Vheek, & Buss, 1980). Pengukuran didasarkan atas kesesuaian dengan situasi eksternal dan disposisi internal, sehingga hasil yang diperoleh menunjukkan pemantauan diri yang tinggi atau pemantauan diri yang rendah. Alat ini diperlukan untuk mengetahui gambaran menyeluruh mengenai kemampuan remaja dalam menampilkan diri di hadapan orang Iain berdasarkan kategori pemantauan diri yang tinggi aiau pemantauan diri yang rendah.
Penelitian ini merupakan upaya untuk menambah pengetahuan teoritis mengenai kaitan antara pemantauan diri dengan kompetensi relasi antarpribadi pada remaja. Di samping itu, manfaat praktis yang diharapkan adalah untuk memperoleh langkah-Iangkah yang sesuai dalam tindakan preventif dan kuratif terhadap gejala yang menyimpang dari perilaku sosial remaja.
Subjek penelitian ini adalah siswa SMU kelas III, dimana mereka diharapkan telah mengalami relasi antarpribadi dengan teman dalam Iingkungan sekoIah dan cukup mampu untuk memberikan penilaian terhadap pemantauan diri dan penguasaan kompetensi relasi antarpribadi. Pengambilan sampel penélitian ditempuh dengan cara accidental sampling.
Melalui pengolahan data dan analisis diperoieh hasil bahwa tingkat kompetensi relasi antarpribadi di kalangan remaja menunjukkan taraf yang tinggi. Demikian pula degan kelima komponen kompetensi relasi antarpribadi yang mernperlihatkan tingkat kompetensi yang tinggi. Sedangkan pemantauan diri pada remaja cenderung agak rendah dan tergolong dalam pemantauan diri yang rendah. Kaitan yang terjadi antara pemantauan diri dengan kompetensi relasi antarpribadi pada remaja menunjukkan hasil yang signifikan sehingga peningkatan dalam pemantauan diri remaia akan meningkatkan pula kompetensi relasi antapribadi remaja. Penelitian ini memperlihatkan kesesuaian dengan pandangan yang dikemukakan oleh Argyle (1980) bahwa upaya menampilkan diri di hadapan orang Iain akan mempengaruhi pula kompetensi relasi antarpribadi.
Hasil penelitian ini akan semakin baik apabila memperhatikan faktor-faktor di luar kondisi yang dipakai dalam penelitian ini, seperti penilaian dilakukan pula oleh guru, teman atau orang tua. Generalisasi akan semakin akurat jika subjek penelitian diperoleh dan strata pendidikan yang berbeda atau usia yang beragam. Upaya untuk memperluas daerah penelitian yang meliputi perkotaan dan pedesaan, atau lingkungan sekolah yang beragam seperti STM dan madrasah, akan menambah pula nilai keakuratannya.
Penelitian lanjutan mengenai kompetensi relasi antarpribadi dan pemantauan diri dalam kaitannya dengan persoalan sehari-hari atau dalam kasus-kasus klinis semakin dirasakan keperluannya dalam memahami kompetensi relasi antarpribadi dan dalam kaitannya dengan pemantauan diri seseorang."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S2610
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukma Melani
"Keberagaman di Indonesia dapat menjadi potensi konflik atau kekerasan. Oleh sebab itu, sikap terhadap perdamaian dan keterbukaan terhadap keberagaman penting khususnya bagi emerging adults yang sering terpapar keberagaman namun juga berada dalam fase membagun hubungan. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara keterbukaan terhadap keberagaman dan sikap terhadap perdamaian pada emerging adults. Sampel penelitian korelasional ini sejumlah 198 partisipan, dengan rata-rata usia 22 tahun. Kriteria partisipan penelitian adalah individu emerging adult (18-25 tahun), Warga Negara Indonesia (WNI), dan berdomisili di Indonesia. MGUDS-S (Miville-Guzman Universal-Diverse Scale-Short Form) merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur keterbukaan terhadap keberagaman, sedangkan untuk sikap perdamaian digunakan alat ukur Peace Attitude Scale (PAS). Berdasarkan analisis menggunakan Pearson Correlation, penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara keterbukaan terhadap keberagaman dan sikap terhadap perdamaian pada emerging adults. Hasil penelitian ini dapat berimplikasi sosial dimana pendidikan mengenai keberagaman itu penting untuk ada, dan individu harus terbiasa untuk terpapar keberagaman disekitarnya sejak dini.

Diversity in Indonesia could be a potential conflict or violence. Therefore, peace attitudes and openness to diversity were important, especially for emerging adults who are often exposed to diversity but are also in the phase of building relationships. This study aimed to determine the relationship between openness to diversity and peace attitudes among emerging adults. The sample of this correlational study consisted of 198 participants with an average age of 22 years old. Criteria of this study being emerging adult (18-25 years old), Indonesian citizens (WNI), and domiciled in Indonesia. MGUDS-S (Miville-Guzman Universal-Diverse Scale-Short Form) is an instrument used to measure openness to diversity, meanwhile Peace Attitude Scale (PAS) were used to measure peace attitudes. The results found that there is a significant positive relationship between openness to diversity and peace attitudes among emerging adults. The results of this study could have social implications that education about diversity is important to be conducted and individuals must be accustomed to being exposed to diversity around them from an early age."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muliyati
"Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dengan batasan usia 10-19 tahun. Pengaruh globalisasi menyebabkan terjadinya perubahan perilaku termasuk perilaku pacaran.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran perilaku pacaran dan faktor-faktor yang berhubungan pada siswa SMU X dan MAN Y Kabupaten Sidrap. Desain penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan Cross Sectional dan dilengkapi kualitatif dengan pengumpulan data dengan wawancara mendalam. Analisis yang digunakan adalah Univariat dan bivariat dan untuk kualitatif menggunakan analisis tematik.
Hasil penelitian menunjukkan 16,67 % siswa berperilaku pacaran berisiko, sikap permisif 50%, terpapar pornografi 33,33%, sebanyak 57,4% siswa memiliki orang tua yang pasif dan 37,30 % mendapat pengaruh negatif dari teman sebaya. Variabel yang terbukti berhubungan dengan perilaku pacaran adalah keterpaparan media pornografi dan pengaruh teman sebaya. Berdasarkan hasil penelitian maka penulis menyarankan kepada Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan agar membina kelompok sebaya dan melatih peer konselor, dan bagi orang tua agar meningkatkan bimbingan terhadap putra-putrinya.

Teenager is transition period from child to adult period in the range of age 10-19 years. The impact of globalization result in the change of attitude including dating attitude.
The objectif of this research was to know description of dating attitude and related factors of student in Senior High School ?X? and Islamic Senior High School ?Y? students in Sidrap District. The design of research was quantitative with Cross sectional approach and also qualitative. Data collected by Questionnai and indefth interview. It was analysed Univariate, Bivariate and thematic analysis.(Qualitative)
The result showed that 16,67% students have risk of dating attitude, 50% student have permissive attitude, 33,33 % student were pornography exposed, 57,4% students had parents that less in role and 37,30 % student get negative impact from peer group. The variable that had correlation were dating attitude are exposed to media pornography and impact of peer group. According to result, it is suggested that district health office and District education office to build peer group and to train peer counselor. For parents to improve the guide to their children.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>