Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167382 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yetty Hermawan
"Apabila dalam suatu keluarga, salah satu anggota keluarganya menderita penyakit kronik, misalnya penyakit tersebut adalah gagal ginjal dan penderita adalah kepala keluarga, maka orang terdekat yang terkena dampaknya adalah isteri dan keluarganya. Gagal ginjal kronik dapat terjadi karena rusaknya ginjal secara permanen sehingga fungsi ginjal terganggu dan penderita harus menjalani terapi cuci darah sepanjang hidupnya. Menurut Sutarjo (1997), gagal ginjal kronik merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada aspek sosioekonomi dan psikologi penderita beserta keluarganya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti gambaran stres yang dialami oleh para isteri dari penderita gagal ginjal kronik dan perilaku coping yang ditampilkan ketika menghadapi keadaan suaminya, serta dukungan sosial yang dibutuhkan oleh yang bersangkutan.
Permasalahan tersebut akan dijawab dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan ini akan dapat diteliti suatu kasus yang spesifik, orang tertentu atau situasi yang unik secara mendalam (Patton, dalam Poerwandari, 1998). Penelitian dilaksanakan dengan melakukan wawancara mendalam mempergunakan pertanyaanpertanyaan terstruktur dan observasi terhadap tiga orang isteri yang selalu mendampingi suami mereka sebagai penderita gagal ginjal kronik dan harus menjalani terapi cuci darah.
Dengan cara analisis berdasarkan Marshall dan Rossman (1989) penelitian ini akan menghasilkan analisis setiap isteri dan analisis antar isteri dari penderita gagal ginjal kronik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran, sumber, dan proses stres, serta strategi coping yang dipergunakan untuk mengatasi masalah, dan gambaran dukungan sosial yang teijadi pada para isteri sebagai pendamping penderita gagal ginjal kronik.
Dari hasil penelitian, ternyata ditemukan bahwa ketiga isteri mengalami beberapa situasi stres yang sama yaitu tingginya biaya cuci darah, sehingga mereka juga melakukan langkahlangkah positif untuk menghadapinya (planning coping), dan menurunnya kondisi kesehatan suami mereka. Pada awalnya, ketiga isteri menolak hasil diagnosis dokter (denial), akan tetapi akhirnya mereka dapat menerima (acceptance). Ketiga isteri juga mempunyai kebutuhan yang sama yaitu kebutuhan akan dukungan dari lingkungan sekitarnya (seeking social support foremotbnal neasons).
Untuk penelitian selanjutnya dengan topik yang sama, penjaringan subyek supaya lebih ketat dengan memperhatikan kriteria tertentu, dan mencoba menggunakan metode penelitian kuantitatif. Selain itu, dapat diteliti interaksi komunikasi antara subyek dengan tenaga-tenaga medis sehingga kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit dapat ditingkatkan. Saran selanjutnya adalah melakukan penelitian terhadap para isteri yang mengalami depresi karena tidak mampu menghadapi situasi yang penuh stres disebabkan suami mereka menderita gagal ginjal kronik dan harus menjalani terapi cuci darah seumur hidup."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3368
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariati Kusmiasih
"ABSTRAK
Saat ini jumlah penderita gagal ginjal di seluruh dunia semakin meningkat. Dari
gagal ginjal dini yang membutuhkan pengobatan untuk waktu sementara sampai
gagal ginjal kronis tahap akhir (terminal) yang memerlukan terapi pengganti
ginjal seumur hidupnya, yaitu hemodialisis atau transplantasi ginjal. Pada
penderita gagal ginjal terminal yang melakukan transplantasi ginjal, penulis
menemukan adanya tahapan penderitaan yang menimbulkan stres, yaitu: tahap
gejala awal, tahap diagnosis, tahap dialisis, tahap pencarian donor ginjal, tahap
transplantasi ginjal, tahap adaptasi, dan tahap pemulihan. Pada setiap tahap ada
stres yang terjadi dan coping yang dilakukan oleh penderita gagal ginjal terminal
yang melakukan transplantasi ginjal. Untuk mengatasi stres yang terjadi sejak
tahap gejala awal hingga tahap pemulihan, diperlukan keterampilan coping untuk
mengatasi stres tersebut. Penelitian ini, bertujuan untuk mengungkap stres dan
perilaku coping yang dilakukan oleh penderita gagal ginjal terminal sejak tahap
gejala awal hingga tahap pemulihan. Metode penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan mengajukan kasus sebanyak 3 orang. Alat ukur yang
dipakai pada penelitian ini adalah wawancara mendalam dan observasi sebagai
pendukung data. Dari penelitian yang dilakukan, penulis menemukan berbagai
stres dan coping yang dialami oleh penderita gagal ginjal terminal yang
melakukan transplantasi ginjal. Stres yang terjadi pada umumnya berasal dari pai n
& discomfort, frustration, atvciety, dan conflict. Sedangkan coping yang dilakukan
oleh penderita gagal ginjal terminal yang melakukan transplantasi ginjal untuk
mengatasi stres yang terjadi adalah Problem-Focnsed Coping dan Appraisal-
Focused Coping, dan Emotion-Focused Coping. Namun, jenis coping yang sering
dipergunakan oleh penderita gagal ginjal yang melakukan transplantasi ginjal
adalah Problem-Focnsed Coping. Hal ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan
pada penderita gagal ginjal terminal yang melakukan transplantasi ginjal menjadi
lebih rasional dalam menghadapi penderitaannya dan dapat melakukan peredaman
emosi. Sehubungan dengan adanya keterbatasan dalam penelitian ini, disarankan
untuk dilakukan penelitian lanjutan guna melengkapi keperluan studi ilmiah."
2004
S3345
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kaihatu, V.A.M.
"Dietary diseases adalah penyakit yang merupakan hasil dari malnutrisi yang diderita individu, sedangkan infectious diseases adalah penyakit akibat masuknya benda berbahaya atau mikroorganisme asing di dalam tubuh individu (Sarafino, 1990). Hipertensi termasuk dalam dietary diseases dan kini makin banyak dialami oleh individu dalam masyarakat. Prevalensi hipertensi berkisar antara 10 sampai dengan 20 persen penduduk dewasa Indonesia. (Kumala, 2000). Ada 2 jenis hipertensi, yaitu hipertensi sekunder (secondary hypertension) dan hipertensi esensial (essential hypertension). Essential hypertension adalah jenis hipertensi yang penyebab utamanya tidak dapat diketahui secara pasti, namun faktor-faktor yang mungkin menjadi pemicunya adalah obesitas, elemen-elemen pola makan (diet), konsumsi alkohol yang berlebihan, ketidakaktifan fisik, sejarah hipertensi dalam keluarga dan juga faktor-faktor psikososial, misalnya: stres dan perilaku emosional (Sarafino, 1990).
Tiap individu memiliki respon yang berbeda-beda terhadap stres. Variasi ini sering kali muncul sebagai hasil dari faktor psikologis dan faktor sosial yang memodifikasi pengaruh stresor terhadap individu. Salah satu cara individu untuk berespon terhadap stresor adalah dengan melakukan coping. Coping merupakan cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi stres (Sarafino, 1990). Coping yang dilakukan individu untuk mengatasi situasi stres mungkin bervariasi dan tidak selalu memberikan penyelesaian. Namun selain untuk memperbaiki atau mengatasi masalah, coping juga dapat menolong seseorang untuk mengubah pemahaman akan suatu masalah, melakukan toleransi atau menerima akibat yang ditimbulkan oleh masalah, bahkan untuk menghindari situasi tersebut (Lazarus &Folkman, 1984b; Moos & Schaefer, 1986, dalam Sarafino, 1998).
Coping memiliki dua dimensi luas (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 1990), yaitu problem-focused coping dan emotional-focused coping. Cara lain untuk memodifikasi stres sehingga mengurangi pengaruhnya terhadap kesehatan adalah dengan memunculkan dukungan sosial (social supporf) kepada individu. Dukungan sosial menurut Cobb, Gentry & Kobasa, Walston, Alagna, DeVellis & DeVellis, Wills (dalam Sarafino, 1990) merujuk pada adanya perasaan nyaman, perhatian, kepercayaan, dukungan moral dan bantuan yang diperoleh individu dari orang atau kelompok lain.
Dukungan-dukungan ini dapat berasal dari berbagai pihak seperti significant others yang dimiliki individu atau rekan kerja, dokter maupun komunitas organisasi yang diikuti oleh individu. Lima klasifikasi dasar dari dukungan sosial (social supporf) yang dikemukakan oleh Cohen & McKay, Cutrona & Russel, House, Schaefer, Coyne & Lazarus (dalam Sarafino, 1990) adalah emotional supporf, esteem supporf, tangible atau instmmental supporf, informational supporf dan network supporf. Penekanan dalam penelitian ini adalah pada dukungan sosial berupa emotional supporf. Dukungan ini diberikan dalam bentuk ekspresi empati, caring dan kepedulian terhadap individu yang bersangkutan. Berdasarkan latar budaya yang ada di Indonesia, tugas dan kewajiban perempuan masih sangat erat dikaitkan dengan pengelolaan, pemeliharaan dan perawatan keluarga. Sehubungan dengan hal ini, fungsi perempuan dalam rumah tangga masih mendominasi bagian pengaturan pemenuhan kebutuhan keluarga.
Dengan demikian, pemilihan gaya hidup dan pola nutrisi keluarga juga diserahkan pada perempuan, khususnya pada ibu rumah tangga. Pengaturan mengenai makanan dan minuman menjadi tanggung jawab mereka sehingga pada akhirnya mempengaruhi kondisi kesehatan keluarganya. Bila seorang ibu rumah tangga menderita hipertensi, maka ia harus mengubah pola makannya dan mengikuti diet tertentu untuk mempertahankan tekanan darahnya di posisi normal. Hal ini berarti pola makannya berbeda dengan pola makan keluarganya. Peneliti kemudian tertarik untuk melakukan penelitian terhadap ibu rumah tangga yang menderita hipertensi sehingga harus mengubah pola makannya, namun harus tetap mengatur pola makan keluarganya.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran stres, coping dan dukungan sosial yang diterima oleh ibu rumah tangga penderita hipertensi. Penelitian ini menggunkan metode kualitatif dengan dua cara pengumpulan data yaitu wawancara dan observasi. Subyek penelitian terdiri dari empat orang ibu rumah tangga yang tinggal dengan minimal seorang anak yang mengikuti pola makan ibunya.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masing-masing subyek umumnya memiliki pola stres dan coping yang sama. Mereka mengalami tahapan yang sama dalam mempersepsikan kondisi sakitnya, menilai sumber-sumber daya coping yang dimiliki dan pada akhirnya menggunakan strategi-strategi coping sesuai sumber daya yang mereka miliki. Keempat subyek memiliki dukungan sosial yang lengkap, mencakup lima klasifikasi dasar dari dukungan sosial yang dikemukakan oleh Cohen & McKay, Cutrona & Russel, House, Schaefer, Coyne & Lazarus (dalam Sarafino, 1990). Namun demikian, dukungan emosional yang diberikan oleh anak subyek dalam bentuk mengikuti pola makan yang sama ternyata tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap keadaan stres dan coping subyek dalam menghadapi penyakit hipertensi yang dideritanya.
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah mengenai kelengkapan data tentang faktor penyebab penyakit hipertensi yang diderita oleh masing-masing subyek. Untuk itu perlu diadakan penelitian dengan pendekatan yang lebih menyeluruh terhadap subyek penelitian sehingga faktor-faktor yang berpengaruh dapat diteliti lebih lanjut. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif sehingga data yang diperoleh dapat saling melengkapi. Selain itu, penelitian juga dapat dikembangkan untuk meneliti stres dan coping yang dialami oleh individu yang anggota keluarganya menderita hipertensi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3209
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Rakhmawati
"ABSTRAK
Darah adalah jaringan tubuh yang sangat vital bagi kehidupan. Hampir seluruh tubuh manusia dialiri oleh darah melalui pembuluh darah. Kehilangan darah dalam jumlah yang cukup banyak dapat membahayakan jiwa seseorang. Kehilangan darah dapat dipicu bila terjadi luka pada tubuh seseorang. Untuk mencegah kehilangan darah dalam jumlah banyak, tubuh memiliki faktor pembeku darah yang membantu dalam proses pembekuan darah. Kekurangan faktor pembeku darah dalam tubuh dapat mengakibatkan penderitanya mengalami perdarahan terus menerus. Kelainan darah seperti ini dikenal dengan hemofilia. Hemofilia adalah salah satu penyakit genetik yang sering di temui di Indonesia, selain thalassemia dan sindroma down (Femina, No.35/XXX, 2002). Satu-satunya pengobatan yang dapat dijalani penderita hemofilia adalah dengan melakukan transfusi plasma (darah) seumur hidup.
Penderita hemofilia sebagian besar adalah laki-laki. Berbagai aktivitas fisik yang berat dan memicu terjadinya perdarahan sebaiknya dihindari oleh penderita hemofilia. Penyakit hemofilia ini membuat penderitanya merasa dibatasi aktivitas fisiknya. Keterbatasan fisik ini dapat menimbulkan stres pada penderitanya. Selain itu menurut Kelley (1999) di masyarakat terdapat anggapan bahwa penderita adalah seseorang yang rapuh. Sedangkan menurut Parsons (dalam Sarwono, 1997) pada umumnya kepribadian yang diharapkan dari laki-laki berdasarkan norma baku yang berlaku dimana pun adalah dominan, mandiri, kompetitif, dan asertif. Didukung oleh penelitian Lerner, Orlos, dan Knapp (dalam Atwater, 1983) yang menyebutkan bahwa pria lebih cenderung menekankan kompetensi fisik atau apa yang dapat mereka lakukan dengan tubuh mereka agar dapat memberikan dampak yang bermakna bagi lingkungan. Anggapan masyarakat dan keterbatasan fisik yang dimiliki ini tentunya dapat mengganggu perasaan penderita hemofilia.
Selain masalah keterbatasan fisik, masalah lain yang mungkin mengganggu penderita hemofilia adalah pengobatan yang harus dijalaninya seumur hidup. Selain itu berbagai masalah juga akan muncul seperti memenuhi tuntutan tugas perkembangan dewasa muda, seperti mandiri, mencari keija, dan menikah serta membentuk keluarga. Berbagai masalah yang dihadapi penderita hemofllia, terutama penderita hemofilia usia dewasa dapat menimbulkan tekanan bagi mereka. Bila tekanan tersebut melebihi kemampuan yang dimiliki individu, maka menurut Lazarus (1976) individu tersebut dapat mengalami stres. Salah satu usaha coping stres yang dapat dilakukan adalah mencari dukungan sosial.
Dukungan sosial dapat berbentuk dukungan emosional, harga diri, instrumental, informasi, dan dukungan jaringan. Dukungan sosial dapat diterima seseorang dari keluarga, teman dekat, tenaga profesional, maupun dari organisasi dimana individu itu tergabung. Penelitian ini ingin melihat bagaimana gambaran stres, coping, dan dukungan sosial pada penderita hemofilia dalam menghadapi penyakit hemofilia yang diderita seumur hidup ini.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi.
Hasil dari penelitian yang diperoleh adalah reaksi awal ketika ketiga penderita didiagnosis memiliki penyakit hemofilia adalah menerima. Masalahmasalah yang dihadapi ketiga penderita adalah masalah biaya, pekerjaan, dan berkeluarga. Ketika responden mengatasi masalah-masalah tersebut secara berbeda-beda, tergantung pada sumber daya yang dimilikinya. Ada responden yang mengatasinya dengan strategi problem-focused coping atau dengan emotion focused coping. Ketiga responden mengatasi masalah biaya dengan strategi problem focused coping. Masalah pekeijaan oleh responden NO dan AF diatasi dengan strategi problem focused coping. Sedangkan responden AG mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Untuk masalah berkeluarga ketiga responden mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Bentuk dukungan yang diharapkan oleh penderita hemofilia adalah dukungan instrumental, harga diri, dukungan informasi dan emosional. Dukungan tersebut diharapkan diterima dari keluarga, teman, tenaga medis dan pemerintah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3204
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bianca Rosa Tanihatu
"Penyakit ginjal merupakan masalah yang besar di seluruh dunia. Permasalahan yang timbul di negara maju berbeda dengan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Jumlah penderita gagal ginjal kronik (GGK) di Indonesia khususnya Jakarta,
cukup banyak dan mempunyai banyak faktor penyebab. Tindakan hemodialisis (HD) merupakan Salah satu pengobatan untuk penderita GGK disamping transplantasi ginjal. Tetapi tindakan ini dapat menimbulkan beberapa komplikasi antara lain penurunan kadar asam folat dengan segala akibatnya.
Tujuan penelitian ini untuk menentukan prevalensi defisiensi Serta perubahan kadar asam folat dan vitamin B12 pada kelompok GGK dan GGK pasca HD dengan pemberian asam folat 20 mg/bari. Selain itu juga menentukan klasifikasi anemia pada GGK
berdasarkan morfologi eritrosit dan melihat efektivitas pemberian aaam folat sebanyak 20 mg/hari pada penderita GGK pasca HD.
Penelitian ini dilakukan terhadap 50 penderita GGK tanpa tindakan HD, 20 penderita GGK pasoa HD dengan suplementasi asam folat sebanyak 20 mg/hari dan vitamin B12 2 ug dalam tablet Unioap-M selama 24 - 36 minggu. Sebagai kelompok kontrol dipakai 20 penderita penyakit ginjal tampa gagal ginjal. Terhadap ketiga kelompok ini dilakukan pemeriksaan kadar asam folat eritrosit dan serum Serta vitamin B12 dengan cara CPB menggunakan kit Vitamin B12/falaf dual count Amersham CT_301_ Pemeriksaan parameter Hb, Ht, hitung eritrosit, VER, HER dan KHER dilakukan
dengan penghitung sel darah otomatis. Hitung Rt dilakukan dengan pulasan vital Brilliant cresyl blue, sedangkan sediaan hapus darah tepi dipulas dengan pewarnaan Wright.
Pada penelitian ini belum dapat dipastikan adanya defisiensi asam folat pada kedua kelompok GGK (dibandingkan kontrol). Kadar asam folat eritrosit kelompok GGK (nt= 208 ng/mL) lebib rendah dari pada kontrol (nt= 504 ng/mL)(p <0,05). Hal yang sama dijumpai pada kelompok GGK pasca HD (nt= 407 ng/mL). Kadar aaam folat serum kelompok GGK (nt = 4,2 ng/mL) sama dengan kadar asam folat serum GSK pasca HD. Kadar asam folat serum pada kelompok GGK tampa HD maupun GGK pasca HD,
lebih tinggi dari kelompok kontrol (nt = 2,9 ng/mL)(p > 0,05).
Kadar vitamin B12 serum pada kelompok GGK (865 pg/mL) dan GGK pasea HD (1043 pg/mL} lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (351 pg/mL).
Enam puluh persen penderita GGK, 65% GGK pasca HD- dengan suplementasi asam folat dan 90% kelompok kontrol memberikan gambaran anemia normositik normokrom. Pemeriksaan hematologi seperti Hb, Ht dan hitung eritrosit pada kedua kelompok yang
diteliti memberikan basil lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Hipersegmentasi pada kedua kelompok GGK tidak disebabkan defisiensi asam folat dan /vitamin B12, tetapi mungkin disebabkan proses degenerasi leukosit.
Kadar Hb, Ht dan hitung eritrosit pada kedua kelompok GGK lebih rendah dibandingkan kontrol (p < 0,05). Tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna pada pemeriksaan nilai eritrosit rata-rata, dan indeks produksi Rt antara kedua kelompok GGK
dibandingkan kontrol.
Hitung leukosit kelompok GGK tanpa HD lebih tinggi dibandingkan kontrol (p >0,05) dan GGK pasea HD (p <0,05). Hitung trombosit kelompok GGK tampa HD lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (p > 0,05}, tetapi lebih tinggi dibandingkan kelompok GGK pasca HD (p <0,05).
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan nilai rujukan asam folat eritrosit dan serum, Serta vitamin B12 serum untuk orang Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeni Kuswarini
"Setiap pasangan suami isteri yang telah menikah tentunya rnengharapkan memiliki anak yang sehat, namun apabila ternyata anak yang mereka menderita suatu penyakit kronis tertentu, seperti leukemia, hal ini merupakan suatu situasi yang tidak dapat mereka hindari. Memiliki anak yang cacat atau menderita penyakit yang kronis, telah diketahui sejak lama dapat menjadi sumber stres dalam keluarga (Kazak, 1989). Banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa pengaruh yang negatif ini terutama dirasakan oleh ibu. Kondisi anak menciptakan perasaan-perasaan negatif pada ibu, seperti perasaan tidak berdaya, ketakutan, terlalu melindungi anak, dan perasaan yang berlebihan akan tanggung jawab (Silver, bauman, & Ireys, 1995). Dari keadaan ini terlihat bahwa ibu dari anak yang menderita penyakit kronis, merupakan individu yang berhadapan dengan situasi yang dievaluasi sebagai penuh ancaman dan tuntutan. Keadaan seperti ini oleh Lazarus (1976) dinamakan stres.
Individu yang menghadapi situasi yang dinilai mengandung stres, kemudian mengevaluasi sumber-sumber daya yang dimilikinya baik dari dalam diri dan diluar diri individu. Sumber-sumber daya ini kemudian membantu individu menampilkan perilaku yang ditujukan untuk menghadapi situasi stres. Perilaku ini dinamakan coping. Coping tampil baik berupa tingkah laku nyata ataupun berupa kegiatan kognitif (Lazarus & Folkman, dalam Kaplan dkk, 1993). Secara umum coping terbagi dalam dua jenis. Yang pertama, coping terpusat masalah (problem-focused coping),yaitu suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah atau dengan mengubah situasi. Yang kedua, coping terpusat emosi (emotion-focused coping), yaitu coping yang ditujukan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi stres. Oleh Caver & Scheier (1989), masing-masing jenis coping dibedakan dalam lima variasi.
Individu yang melakukan coping tidak terlepas dari pengaruh orang-orang dan lingkungan dimana ia berada. Orang-orang ini dapat memberikan dukungan bagi individu yang berfungsi sebagi penahan (buffer) yang mereduksi akibat dari stres. Dukungan-dukungan seperti ini dinamakan dukungan sosial (Smet, 1994). Bentuk dukungan sosial ada lima, yaitu dukungan informasi, dukungan instrumentalmateri, dulcungan emosi, dukungan penghargaan, dan dukungan persahabatan (Oxford, 1992). Sedangkan sumber dukungan sosial dapat dibagi dari kalangan profesional, non profesional (significant others), dan kelompok dukungan social (social support group). Persepsi dari individu terhadap tersedianya dukungan sosial di lingkungan disekitarnya merupakan salah satu sumber daya yang dapat digunakan dalam menghadapi situasi stres.
Dengan demikian terlihat bahwa dukungan sosial dapat mempengaruhi perilaku coping yang ditampilkan. Dukungan sosial dapat menjadi sumber daya bagi ibu untuk menampilkan perilaku coping. Maka penting untuk mengetahui gambaran dukungan sosial yang didapat ibu dan gambaran perilaku coping yang ditampilkan ibu dalam menghadapi anak yang menderita leukemia, serta gambaran pengaruh dukungan sosial yang didapat terhadap tampilnya perilaku coping ibu. Sebelumnya juga perlu dillhat bagaimana gambaran stres yang dialami ibu.
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif Keabsahan penelitian dijaga dengan menggunakan triangulasi analis, yaitu menggunakan analis lain selain peneliti untuk menganalisis hasil penelitian, dan triangulasi data, yaitu menggunakan observasi selain wawancara dalam mengumpulkan data. Sedangkan keajegannya dijaga dengan dibuatnya pedoman wawancara. Subyek yang digunakan sebanyak 5 orang, yaitu para ibu yang memiliki anak penderita leukemia yang dirawat di RSCM Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak yang menderita leukemia, menghadapi beberapa kondisi dan situasi yang dinilai sebagai sumber stres. Ibu menampilkan kedua jenis perilaku coping. Coping terpusat masalah dilakukan bila menghadapi situasi yang dapat dicari pemecahannya atau dapat diubah, sedangkan perilaku coping terpusat emosi ditampilkan dalam menghadapi emosi negatif. Semua bentuk dukungan sosial pemah didapatkan ibu. Hanya kelompok dukungan sosial sebagai sumber dukungan yang tidak didapat para ibu. Selain itu juga didapat hasil bahwa dukungan sosial memiliki peran yang cukup penting terhadap munculnya perilaku coping pada ibu.
Berdasarkan hasil penelitian ini juga diketahui bahwa para ibu memiliki harapan yang besar untuk mendapatkan infomaasi yang lengkap dan jelas dari dokter. Mempertimbangkan hal ini maka disarankan dari kalangan profesional, seperti dokter dan paramedis agar dapat meluangkan waklunya untuk memberikan masukan yang jelas dan lengkap sesuai tingkat pemahaman para ibu. Juga disarankan untuk membentuk kelompok dukungan yang dipandu oleh kalangan profesional. Melalui kelompok ini para ibu dapat saling bertukar pengalaman dan berbagi perasaan, sehingga akhirnya diantara mereka dapat saling memberikan dukungan sosial. Peran ayah dalam menghadapi anak yang menderita leukemia juga nampaknya cukup berat. Selain ikut membantu ibu merawat anak, para ayah juga memiliki tanggung jawab dalam mencari nafkah untuk membiayai pengobatan anak. Dengan memperhatikan hal ini, menjadi sangat menarik bagi yang hendak mengembangkan penelitian sejenis, untuk melakukan studi perhandingan dengan subyek para ayah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Luckyta Yustianawati
"Kehidupan manusia selalu akan mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi adalah wajar, namun perubahan tersebut tentunya tidak akan sama antara wanita dan pria. Bagi wanita perubahan yang mengarah kemunduran disebut dengan masa menopause. Menopause merupakan proses alamiah dimana seorang wanita tidak lagi mengalami menstruasi, artinya kemampuan reproduksinya tidak berfungsi lagi. Pada masa ini akan terjadi perubahan secara fisik, psikologis, dan gangguan seksual. Gejala fisik yang sering dialami isteri adalah tidak teraturnya siklus menstruasi, jantung berdebar-debar, sering pusing, dan lain-lainnya. Sedangkan gejala psikologis yang dirasakan adalah perubahan suasana hati (mood swing) seperti mudah marah, mudah tersinggung dan mengalami gangguan/sulit tidur. Selain itu gangguan yang dialami isteri selama masa menopause aadalah menurunnya gairah seksual yang dipengaruhi oleh faktor fisik dan psikologis.
Studi mengenai menopause telah banyak dilakukan, akan tetapi belum ada yang melakukan penelitian mengenai menopause diamana subyeknya selain wanita yang mengalami menopause, misalnya suami; padahal dukungan sosial khususnya dari suami dapat membantu wanita dalam mengatasi gejala menopause yang dialami. Seringkali karena ketidaktahuan suami mengenai perubahan yang terjadi pada masa menopause dapat menyebabkan perselisihan dan akan membawa konsekuensi dimana isteri bertambah depresi, mudah tersinggung dan timbul pikiran yang bukan-bukan (cemburu berlebihan). Peranan suami amat penting dalam membantu mengatasi dampak menopause, selain rehabilitasi fisik dan stabilisasi emosional. Pengertian, toleransi dan kasih sayang (tender; loving and care) merupakan dorongan moril yang paling efektif bagi pemulihan kondisi psikologisnya Dukungan suami merupakan salah satu bentuk dukungan sosial yang menguntungkan bagi penerima dukungan tersebut, seperti memberi rasa aman, kedekatan emosional, meningkatkan kualitas diri dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Bentuk dukungan yang diberikan dapat dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu bentu dukungan emosi, bentuk dukungan penghargaan (esteem), bentuk dukungan instrumental, dan bentuk dukungan informasi.
Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana dukungan suami terhadap keadaan isteri yang sedang berada pada masa menopause. Sebelumnya hanya dikatakan bahwa dukungan suami dalam keadaan menopause adalah penting, tetapi bagaimana cara dan bentuk dukungan suami yang diberikan pada isterinya belum ada dilakukan penelitiannya. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode kuesioner. Awalnya peneliti melakukan elisitasi yang bertujuan untk memperoleh gambaran konkrit tentang bentuk dukungan yang diberikan suami terhadap isteri yang berada pada masa menopause.
Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa ternyata secara umum suami cenderung memberikan keempat bentuk dukungan dengan nilai rata-rata (mean) sebagi berikut; bentuk dukungan emosi (mean = 4.012), dukungan penghargaan lesteem (mean = 4.03), bentuk dukungan instrumental (mean =4.02) dan bentuk dukungan informasi (mean = 3.223). Selain itu diperoleh hasil bahwa hampir semua gejala/perubahan yang dialami isteri selama masa menopause meliputi tiga aspek yaitu gejala/perubahan secara fisik, psikologis dan gangguan seksual yang dipengaruhi oleh faktor fisik dan pikologis isteri. gejala yang sering dialami isteri selama masa menopause adalah mudah lelah/pegal (56.25%; gejala fisik), mudah marah (53.13%;gejala psikologis) dan menurunnya gairah seksual (31.25%; gangguan seksual). Sedangkan gejala yang jarang dialami adalah rasa panas yang secara tiba-tiba pada bagian atas seperti dada, leher dan wajah (hot flashes) (12.5%).
Dengan keterbatasan dari pendekatan kuantitatif dengan kuesioner antara lain pilihan jawaban yang dapat membatasi jawaban dari subyek sehingga hasil yang diperoleh kurang mendalam. Oleh karena itu disarankan bahwa hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal untuk dapat lebih memahami bentuk dukungan yang diberikan suami terhadap isteri yang berada pada masa menopause. Dengan demikain diharapkan untuk melakukan penelitian lanjutan agar dapat diperoleh data-data yang lebih akurat perihal topik ini. Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan gambaran bentuk dukungan yang lebih mendalam mengenai variabel-variabel bentuk dukungan yang diberikan suami terhadap isteri yang berada pada masa menopause (+ usia 45-55 tahun)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3383
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Astuti
"Keluarga sudah sejak lama diketahui sebagai penyedia pendampingan atau bantuan terbesar bagi para lansia dengan gangguan fisik dan kognitif (Brody, dalarn Gatt, Bengtson, & Blum, 1990). Alasan mengapa para lansia ini membutuhkan bantuan, berkaitan erat dengan konteks epidemiologis akibat munculnya penyakit-penyakit Icronis yang mengarah pada gangguan fisik dan kerusakan kognitif Gangguan serta kerusakan tersebut menempatkan sebagian besar lansia pada posisi membutuhkan pendampingan atau bantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Keadaan ini mengakibatkan timbulnya tuntutan akan peran caregiving atau pemberian pengasuhan yang lebih aktif dari anak-anak yang telah mencapai usia dewasa (adult children). Dalarn banyak situasi caregiving, anggota keluarga yang berperan sebagai primary. caregiver mengemban tanggung jawab yang lebih besar dalam memberikan pengasuhan. Hal ini sesuai dengan definisi dari caregiving itu sendiri yaitu intera1csi dimana salah satu anggota keluarga membantu pihak lain dalam mengeIjakan tugas atau aktivitas sehari-hari yang pada umwnnya bisa dilakukan secara mandiri. Salah satu jenis penyakit kronis yang kemunculannya meningkat sering dengan pertambahan usia adalah demensia Demensia merupakan gangguan fungsi kognitif yang berdampak pada timbulnya gangguan emosi dan tingkah laku pada diri penderitanya Memberikan pengasuhan serta perawatan kepada penderita demensia atau jenis gangguan mental lainnya, secara umum lebih sulit dibandingkan dengan merawat lansia yang mengalami gangguan fisik tapi sedikit atau sarna sekali tidak memperlihatkan adanya gangguan emosional dan tingkah laku (Birkel, Pearson et. aI., dalam Zarit & Edwards, 1999). Menurut sebagian besar caregiver, gangguan emosional dan tingkah laku ini selain sangat menyuJitkan juga mampu membuat mereka merasa sangat tertekan (Teri et.aI., Levine, et.aI., dalam Zarit & Edwards, 1999). "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3508
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Suryadinata
"Gagal ginjal terminal tergolong penyakit kronik yang mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan dan memerlukan pengobatan dan rawat jalan dalam jangka waktu lama. Umumnya penderita tidak lagi dapat mengatur dirinya sendiri dan biasanya bergantung kepada para professional kesehatan. Kondisi ini menimbulkan perubahan atau ketidakseimbangan biopsikososial penderita Hal ini ditandai oleh gejala-gejala emosi yang ditampilkan seperti kuatir, takut dan cemas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami gambaran stres dan perilaku coping pada penderita gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dan memakai teknik wawancara sebagai metode pengumpulan data utama serta observasi sebagai metode penunjang. Subyek penelitian adalah penderita gagal ginjal terminal yang sudah menjalani hemodialisis lebih dari setahun, masih bekerja, dan pendidikan minimal SLTA. Subyek penelitian terdiri dari dua orang subyek yang menderita gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis. Untuk penelitian ini dipergunakan teori stres dan strategi coping dari Sarafino (1998).
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan analisis yang dilakukan penulis, dapat disirnpulkan bahwa stresor yang dihadapi kedua subyek berasal Bari penyakit gagal ginjal terminal itu sendiri dan upaya coping yang dilakukan adalah gabungan antara emotion focused coping dan problem focused coping. Proses hemodialisis menuntut coping emotion yang efektif dalam bentuk positive reappraisal, dimana kedua subyek berusaha menciptakan dan mencari makna yang positif dengan mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga mampu mengatasi masalah dan situasi yang dihadapi. Proses coping efektif karena adanya dukungan sosial, berupa dukungan emosional (keluarga, teman-teman) dan dukungan instrumental (dana dan jaminan kesehatan).
Gagal ginjal terminal bukan hanya membawa dampak fisiologik pada penderita, tetapi juga menghadapkan masalah psikologis dan psikososial, oleh karena itu peneliti ingin memberikan saran praktis. Kepada penderita agar mereka saling berbagi perasaan, mendengar pengalaman penderita GGT lainnya, mencari informasi dan belajar ketrampilan bare dalam mengatasi masalah, menciptakan rasa positif, dan mempertebal iman. Bagi praktisi kesehatan agar memberikan edukasi dan dukungan psikologis, menyiapkan waku cukup untuk konsultasi, dan menjalin kerjasama dengan sejawat lain. Bagi rumah sakit agar membentuk tim khusus dalam mengelola penderita GGT, menyusun program pembelajaran tentang pengetahuan dasar psikologi bagi para medis, membuat rancangan pertemuan bagi keluarga dan penderita GGTuntuk saling berinteraksi. Bagi lembaga sosial agar berkoordinasi dengan berbagai institusi dalam pengumpulan dana untuk menangani penderitapenderita GGT.
Saran bagi penelitian lanjutan adalah meneliti tentang dukungan sosial pada penderita GGT, karena berperan penting dalam penyesuaian diri penderita GGT dan meneliti kehidupan spiritual pada penderita penyakit kronis lainya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>