Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199470 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Achmad Junaidi
"ABSTRAK
Awal kemerdekaan Republik Indonesia, ABRI merupakan satu kekuatan
yang memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
Dalam situasi tidak menentu, ABRI tampil dengan dwi fungsinya, yaitu fungsi
sosial politik (sospol) dan pertahanan keamanan negara (hankamneg) yang
bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara mumi dan konsekuen.
Tekad tersebut tidak sepenuhnya terwujud, karena Orde Baru telah mengubah
ABRI sebagai alat kekuasaan yang identik dengan gaya militer kaku dengan
bentuk-bentuk kekerasan dalam penyelesaian masalah. Teijadinya reformasi telah
mengubah segalanya termasuk dalam tubuh ABRI. Tanggal 1 April 1999 menjadi
momen yang penting bagi Polri untuk memulai peijalanan baru sebagai institusi
yang mandiri terpisah dari ABRI. Dalam rangka memperbaiki citra, Polri
berusaha untuk meningkatkan profesionalisme anggotanya dalam pelaksanaan
tugasnya. Salah satunya adalah peningkatan pemahaman anggota Polri terhadap
hak asasi manusia (HAM).
Pengiriman aparat keamanan (Brimob) ke Aceh dalam rangka menumpas
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) seiring diberlakukannya Darurat Militer, telah
menimbulkan permasalahan yang berkenaan dengan masalah HAM. Hal ini tak
lain karena masing-masing pihak (Komnas HAM dan aparat) mempunyai persepsi
yang berbeda dalam melihat suatu peristiwa.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut diatas, penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk melihat persepsi anggota anggota Brimob yang pemah
bertugas ke Aceh tentang pelanggaran HAM di Aceh, dibandingkan dengan
anggota Brimob yang belum pemah bertugas ke Aceh. Sampel diambil
menggunakan metode Occidental sampling dengan jumlah 60 orang yang terdiri
dari 30 anggota Brimob yang pemah bertugas ke Aceh dan 30 anggota Brimob
yang belum pemah bertugas ke Aceh, yang berasal dari Kesatuan Brimob Kelapa
Dua. Untuk melihat perbedaan persepsi tersebut dilakukan perhitungan t-test for
independent sample pada mean masing-masing kelompok.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara persepsi anggota Brimob yang pemah dan yang belum pemah
bertugas ke Aceh tentang pelanggaran HAM di Aceh. Perbedaan persepsi
disebabkan karena banyak faktor yang mempengaruhi, yaitu individu yang mempersepsi, obyek persepsi, dan situasi pada saat persepsi berlangsung. Sedang
faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan persepsi anggota Brimob terhadap
pelanggaran HAM di Aceh adalah: pendidikan pertama kepolisian, penugasan ke
daerah operasi lain, dan masa dinas."
2004
S3403
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"This article discuss the concepts of gross human rights violation, individual resposibility in international crime, element of crime of human rights violation, the concept of command responsibility and the settlement mechanism of human rights violation. The writer ask us to take lesson learn form the experiences of Timor Timur and Tanjung Priok trial and "the stuck" in the investigataion process in Trisakti, semanggi I dan II and Mei cases in the hand of Attorney General. The realities show that so many weaknesses are needed to be handled immediately. For that reason, it is important to make amendement of UU No. 26/200 of Human Rights Court. The writer also discuses the hybrid tribunal in Cambodia, Timor Leste and Sierra Leone as an effort to give peference to the state to conduct its obligation and in other side also to guarantee that the court is conducted in mutual accord with international standard"
HAM 2:2 (2004)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Marina Mary
"Aceh, yang terletak di ujung utara Sumatera, dulunya dikenal sebagai Serambi Mekkah dan merupakan provinsi yang sangat unik dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Saat ini, Aceh masih merupakan salah satu provinsi yang paling konservatif dan religius di Indonesia. Peraturan perundang-undangan nasional, melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, memungkinkan Aceh, sebagai daerah otonom khusus, untuk menegakkan hukum syariah, yang berasal dari ajaran agama Islam, khususnya Al-Quran dan Hadis. Pasal 125 Undang-Undang Pemerintahan Aceh menetapkan bahwa  pelaksanaan hukum syariah di Aceh harus dilakukan melalui pemberlakuan Qanun. Qanun adalah peraturan Islam, setara dengan Peraturan Daerah (Perda) namun isi Qanun harus didasarkan pada Islam dan tidak bertentangan dengan hukum syariah. Qanun terakhir, yang merupakan konsolidasi dari Qanun-qanun sebelumnya adalah Hukum Pidana Islam, yang diperkenalkan melalui Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Qanun Jinayat). Peraturan tersebut secara resmi disahkan pada bulan Oktober dan mulai berlaku pada 23 Oktober 2015 dan sejak diperkenalkan di Aceh, implementasinya telah melahirkan kontroversi di masyarakat, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional, terutama karena adanya legitimasi hukuman badan yaitu hukuman cambuk. Di sisi lain, sebagai anggota PBB, Indonesia  telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi Hak Sipil dan Politik, dan Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan, serta Konvensi Hak-hak Anak. Lebih lanjut lagi, dalam sistem hukum positif di Indonesia, KUHP tidak mengenal jenis hukuman cambuk.

Aceh distincts itself as a very unique province compared to other provinces in Indonesia. Today, Aceh is still among Indonesia’s most religiously conservative and observant provinces.  The national legislation, through Law Number 11 of 2006 concerning The Government of Aceh, allows Aceh, as a special autonomous region to enforce the syariah (Islamic) law, which derives from the religious precept of Islam, particularly the Quran and the Hadith.  Article 125 of the Law of the Government of Aceh stipulates that the implementation of the syariah law in Aceh must be done through the enactment of a Qanun. Qanun is an Islamic bylaw, equivalent to the  Regional Regulation (Perda) however the content of the Qanun must be based on Islam and shall not contradict with the syariah law. The latest Qanun, which is the consolidation of the three previous Qanun was the Islamic Criminal Law, introduced through Qanun Number 6 of 2014 concerning The Jinayat Law (Qanun Jinayat). The bylaw was formally enacted in October and entered into effect in 23 October 2015 and since its introduction in Aceh, its implementation has spawned controversy in the community, both at the local (Aceh) and national level including capturing global attention, particularly due to the legitimation of corporal punishment in Indonesia, namely caning. In addition to such, as a UN Member, Indonesia has ratified the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman and Degrading Treatment or Punishment, the Covenant on Civil and Political Rights, the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women and the Convention on the Rights of the Child. On the other hand, Indonesia's criminal system (KUHP) does not recognize corporal punishment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T55002
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3277
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"The Human Rights Court established in Indonesia is the first in its kind. Various opinion emerge regarding the exixtence of court. In one hand, Indonesia is considered against the international desire to bring the perpetrator to eliminate the assumption that Indonesia is unable and unwilling to bring the perpetrator who convicted breach gross violation on human rights. This article based on the writer personal explain the legal and non-legal difficult in the Indonesia HUman Rights Court."
HAM 2:2 (2004)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hadaris Samulia Has
"Tak ada hal yang lebih memilukan barangkali dari kekerasan dan permusuhan antara kelompok yang terjadi di Ambon atau Maluku pada umumnya.Tak ada kata yang menggambarkan secara tepat apa yang sesungguhnya terjadi di kawasan yang penduduknya plural ini.
Tesis yang berjudul Pelanggaran Hak Asasi Manusia ()lab Aparat Keamanan (TNI dan POLRI) Dalam Penanganan Konflik Di Ambon, mencoba untuk melihat faktor-faktor penyebab pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang justru terjadi pada saat proses penanganan konflik yang dilakukan, oleh aparat keamanan, mengakibatkan pelanggaran yang bersifat vertikal dan melihat bagaimana bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh TNI dan POLRI dalam penanganan konflik tersebut.
Masuknya unsur-unsur Negara dan kekuatan militer dalam konflik yang terjadi bukanya tanpa resiko, kemungkinan terbesar dari faktor resiko itu adalah penggunaan alat-alat kekerasan yang paling dikuasai militer, maka muncul penyelesaian konflik kekerasan dengan cara-cara yang tidak beda dengan kekerasan itu sendiri.
Dalam menganalisa persoalan tersebut digunakan beberapa tinjauan pustaka seperti definisi dari konflik, konflik sosial, sifat koflik, jenis-jenis konflik, sifat dari masyarakat majemuk, Tahapan dari penyelesaian konflik (conflict resolution), konsepsi pelanggaran Hak Asasi Manusia dan instrument pokok perlindungan Hak Asasi Manusia baik yang bersifat nasional dan internasional.
Selain untuk lebih mendekatkan pada permasalahan penulis juga menggunakan beberapa tinjauan pustaka dari konsepsi militer profesioanal dan peran militer dalam sosial politik khususnya Dwifungsi ABRI, sosialisasi Hak Asasi manusia bagi kalangan aparat keamanan merupakan salah satu pokok bahasan pula.
Metode Penelitian tesis ini berssifat library research dimana digunakan data sekunder, inventarisasi peraturan perundang-undangan atau lainya serta dokumentasi peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di daerah konflik, disamping itu penulis juga mengunakan data yang bersifat penelitian yang sudah dilakukan oleh beberapa institusi yang dapat dipertanggung jawabkan ke absahanya.

It seems that human rights violation and mass conflict happening in Ambon and Moluccas are more sorrowful than other things ever. One finds no precise word to describe what is going on in such a plural region.
This Thesis entitled "Human Rights Violation by the Military and Police Officers in the Conflict Resolution Process in Ambon", tries to reveal some reasons of the Human Rights violation that simply happened as the conflict resolution process was undertaken by military and police officers resulting in vertical violation, and observes how Human Rights violation by TNI and POLRI emerges in the conflict resolution.
Involved elements of the state and military forces in the ongoing conflict are not without risks; the major risk factor is using mostly military-controlled violation instruments and that mass conflict and human rights violation are settled in the same process as the violation itself.
Analyzing the case, one uses library research such as definitions of conflict, social conflict, types of conflict, characteristics of plural community, phases of conflict resolution, conception of Human Rights violation and principal instruments of securing both national and international Human Rights.
Besides approaching to the problem statement, the author also applies library researches of professional military conception and military roles in social and political situation especially "Dwifungsi ABRI" (Indonesian Armed Forces' Dual Functions)?nd socialization of Human Rights to the security agents as a problem, as well.
Research methodology employed in this thesis is Library Research where the author uses secondary data, inventory of legislation and others, and documentation of the ongoing events in the conflict area. Moreover, the author applies data of researches carried out by several institutions for which one is liable for their validity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T19394
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Hakim Garuda Nusantara
"Since the end of World War II. international tow of human rights have a rapid and significant improvement so that Us become the primary source of law wte» state, international organization, and individual faces the human rights problems in all over the world. Efforts from the world community to improve the system of human rights protection achieve its culmination point when the UN diplomatic conference agreed the Rome Statute about International Criminal Court. Indonesia does not ratify that convention because Indonesia already has the law of human rights that is in the Law Number 26 Year 2000, This regulation applied to several cases of human rights violation in Indonesia such as Abilio Jose Osorio Soares case. Soedjarwo case, and G. M. Timbul Sitaen, In those cases, the definition of "a systematic and widespread attack" becomes the main discussion. The Rome Statute applies the principle of "non-retroactive" while the Indonesian human rights law applies the principle of "retroactive "."
2004
JHII-1-4-Juli2004-755
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>