Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160632 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irvan Syah
"Idea sebagai satuan niscaya dalam tata nalar manusia, absurd dan superior kepada semula-jadinya yaitu Impresi yang inferior; padahal sebelum semua ini impresilah yang superior dan sebaliknya idea yang inferior. Paradoks inferioritas dan superioritas ini secara langsung merupakan apa yang bermula pada komprehen yang berfungsi sebagai pengantar dari dua komponen ini, dan dialah imajinasi. Kemudian, forma dan secara khusus tingkatan kualitas dari suatu idea itu terlacak jika dan hanya jika idea berelasi dalam mind, karena jika tidak inferior seperti halnya impresi yang menjadi inferior karena -di dalam wacana filsafat substansi- tidak berelasi dalam mind, karena kesadaranlah yang bekerja dalam dan untuk impresi. Lebih lanjut, relasi idea pasti berkontradiksi kepada serangkaian fakta materia. Tetapi yang terjadi di dalam sejarah risalah filsafat formal mengenai substansi adalah bahwa relasi idea yang dipersatukan oleh imajinasi, dibawa dalam bentuk sebagai refleksi dalam mind dan kemudian jiwa dipaksakan untuk parallel ke dalam materia fakta. Padahal refleksi hanyalah sebentuk penerima dan sekaligus pengumpan balik dalam mind, dan karena hanya pengumpan balik sebatas abstrak mind, maka refleksi mind dalam relasi idea tidak akan bisa berkonyungsi dengan materia fakta.
Kemudian di dalam term mind ada sebuah objektif bahwa mind itu merupakan tumpukan dari kertas-kertas kerja akun - yang dianggap olehnya- inferior yang berumahkan dalam pengalaman; dunia yang langsung sangat sederhana, akan tetapi lengkap dan eksplisit. Bahkan sebenar-benarnya pengalamanlah yang superior kepada kesadaran. Tetapi bagaimana kemudian bisa akun-akun yang niscaya terutarakan secara gamblang malahan pada kenyataannya menjadi inferior sekali dalam mind? Ada yang mengatakan mind itu mempunyai mata setelah segala persepsi ada, dan karenanya ia - yang semula hanya dipimpin oleh identitas rasio- kemudian bisa menjadi dipimpin oleh hasrat, nafsu, emosi dan cinta. Oleh karenanya ia buta akan cermin realita dimana cermin itu tidak akan pernah bisa ditemukannya. Bilaman mustahil mencarinya, ini bukan upaya mencari cermin. Bilamana dimungkinkan membayangkannya ini upaya bercermin dari dalam. Semuanya seabstrak cerminan jiwa yang terkondisikan sebagai upaya membanding-bandingkan minat atau bukan minat, suka atau tidak suka, dan sebagainya. Dimana semua bentukan yang berbau subjektif ini berangkat melalui perlawanan internal superior-inferior idea dan impresi. Karena semua hal hanyalah segumpalan persepsi yang terejawantahkan dalam impresi, dan lalu idea.
Idea which are as a necessary unity in the order of human understanding, it was originally such an absurd and inferior below it?s preceding state (namely) Impression. There?s an event or fact that lately in the course of the history of western philosophy, idea then overwhelm it?s preceding impression. Thence immediately the contradictory paradox implied by somewhat (which are) known as the intermediary of these two components, viz. Imagination. Furthermore, to trace up the form and principally of the degrees of quality of one idea, it was a requisite of such relations of ideas in mind. Indeed on the contrary, idea will gone dull and inferior in mind as opposed to those preceding stronger impression (which one) merely became inferior by means of the philosophy of substance that provided in those abstruse metaphysical discourses.
Idea is such a dullest impression because our consciousness works is only in the term of our impressions. Moreover, relation of ideas is something certainly contradicted to series of matter of fact. The truth that happened in the history of formal philosophical discourses concerning substances was that relation of ideas all of which conjoined by imagination, had taken as a reflection form in the mind And by that means then, soul is something that forced to be parallelized into matter of fact. Whereas reflection justly a kind of receiver and stimultaneously feed back in the mind abstract, henceforth, the reflection of mind through the relation of ideas will not be able to conjunct with matter of fact. And after that manner, consequently, in the term of mind there is an objective that the mind is such a pile of paperwork of perceptions.
Perceptions; by the term of mind works; considered and forced to be stayed in an inferior account hosted in experience (which are) in reality; to be explicitly explained; that it was so-called world of immediateness and liveliness. Experience is the most truthfully and even superior to consciousness. But how then can the accounts of which would clearly and distinctly uttered even in fact, be inferior once in the mind? Some philosopher claim that mind will have the eyes after all perceptions exist. Hence by the term it?s reflection toward perceptions, mind are leaded by desire, passion, emotion, and love. Hence, mind then came blind; blind to the mirror of reality in which the mirror will never be found. When it is impossible to find, this is then no effort to find those mirror. Whenever it is impossible to imagine, it?s then an effort to reflect from within. Realm is such as abstract as profound soul reflection conditioned as an encouragement in comparing rather our interest or repulsion, our passion or apathy, and another of natural and humanly disposition. Factually, of those called subjective experience all at once emerge from such internally contradiction by means of ideas and impression. Every things regarded to be invigorated in this final thesis, simply in terms of our human understanding as a bundle of perceptions, materialized in just case of our impressions, and also ideas.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S1276
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Baillie, James
London: Routledge, 2000
170.92 BAI h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hendel, Charles W.
New York: The Bobbs-Merrill, 1963
100 HEN s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Locke, John
London ; New York: Routledge, 2000
R 121 JOH
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Naupal
"ABSTRAK
Konsep mengenai Tuhan bersifat fluktuasi atau mengalir. Makna kata "Tuhan" terus menerus mengalami pengayaan semantis dan sosio-pragmatis. Perjalanan konsep Tuhan berkembang sesuai dengan perkembangan alam pikiran manusia. Sejarah perkembangan manusia memperlihatkan adanya aliran-aliran dalam konsep ketuhanan, misalnya dikenal konsep teisme, deisme, panteisme dan lain sebagainya. Aliran-aliran itu muncul sebagai keragaman cara pandang terhadap realitas yang tertinggi dari fenomena. di balik dunia yang tampak.
Kekayaan makna konseptual Tuhan menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelisahkan penulis. Apa yang menyebabkan keragaman tersebut muncul dan apakah ada suatu landasan dasariah atas keragaman tersebut. Pertanyaan tersebut muncul sebagai akibat dari realistis empiris yang memperlihatkan bahwa konsep tentang Tuhan semakin terpragmentasi dan multiperspektif, bahkan dalam suatu agama pun orang mungkin memiliki pandangan berbeda mengenai Tuhannya. Hal ini dapat terjadi karena konsep Tuhan tidak lahir dari ruang hampa budaya, melainkan dari interpretasi dan penalaran manusia yang terbungkus dalam konteks.
Cara pandang manusia tentang Tuhan dalam perjalanan selanjutnya dilandasi oleh dua sumber:
1. Akal budi (rasio), yang menghasilkan argumen filosofis mengenai keberadaan Tuhan.
2. Pengungkapan (revelation) yang tertuang dalam teks-teks suci (wahyu) dengan argumen teologisnya.
Kedua sumber itu yang kemudian sering kali menjadi dua klub yang saling bertubrukan dan bergesekan, yaitu kebenaran wahyu dan kebenaran akal budi. Kedua legitimasi kebenaran tersebut bagaikan pendulum selalu berayun dari suatu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain. Sehingga, ada kelompok yang menafikan kebenaran akal budi dan hanya man menerima kebenaran wahyu, seperti kelompok aliran kebatinan dalam Islam akan hanya mau menerima kebenaran wahyu, seperti kelompok aliran kebatinan dalam Islam atau yang terlihat pada masa dark ages sebagai umat Kristiani di Eropa pada abad pertengahan. Sedang sisi ekstrim kebenaran akal terlihat pada para filsuf positivistic yang menafikan segala yang berbau metafisik Tuhan.
Sikap berlebih-lebihan dari dua kelompok tersebut mendapat perhatian yang cukup mendalam dari para filsuf ketuhanan. Tesis ini akan menunjukan bagaimana Al-Ghazali dan Thomas Aquinas sebagai tokoh filsuf ketuhanan dalam Islam dan Kristen berusaha mendamaikan kedua paham ekstrim tersebut dengan argumen-argumen yang kokoh

Baik A1-Ghazali maupun Thomas Aquinas berusaha menempatkan kedudukan akal dan wahyu secara proporsional sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pandangan kedua filsuf tentang kedudukan akal dan wahyu sangat panting untuk dipahami, karena akan mengantarkan kita kepada pemalraman akan pemikiran filsafat ketuhanan mereka, seperti tentang konsep keesaan, transendensi dan imanensi, nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Walaupun ada beberapa hal yang berada tentang konsep ketuhanan dari kedua tokoh tersebut, karena perbedaan agama, budaya, dan latar belakang kehidupan dan gagasan dasar ide ketuhanan, tapi keduanya telah berusaha memurnikan ajaran agama masing-masing dari segala bidaah, baik dari kaum filosofis bagi eksistensi Allah dengan tetap menaruh perhatian yang besar terhadap kebenaran wahyu sebagai argumen tekstual yang bersifat adi kodrati.
Pemikiran-pemikiran filosofis tentang konsep ketuhanan dari A1-Ghazali dan Thomas Aquinas masih perlu untuk diteliti, bahkan tetap relevan hingga kini, walaupun keduanya hidup pada abad pertengahan, sebab ajaran-ajaran mereka hingga kini masih tetap dilestarikan dan terus dikaji. Di hampir seluruh Pondok Pesantren di Indonesia, karya-karya Al-Ghazali masih menjadi bacaan wajib, demikian juga ajaran Thomas Aquinas masih terns dipelajari, bahkan Para mahasiswa di Sekolah Tinggi Driyarkara begitu akrab dengan Thomisme. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Louis Taolin
"Skripsi ini bertujuan untuk membahas pemikiran Husserl tentang fenomenologi sebagai suatu metode dalam filsafat. Dalam tahun 1900 Husserl telah memperkenalkan kepada dunia suatu metode filsafat baru yang disebutnya fenomenologi. Di dalam metode filsafat Husserl, terdapat tahapan-tahapan perkembangan yang terdiri dari berbagai reduksi atau epoche', yang dapat dianggap sebagai percobaan yang semakin radikal untuk mencapai suatu evidensi. Husserl telah mengemukakan tiga macam reduksi penting untuk mencari kebenaran yakni reduksi fenomenologik, eidetik dan reduksi transendental-fenomenologik. Ketiga macam reduksi inilah yang menjadi tema pokok skripsi..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1985
S16096
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leenhouwers, P.
Jakarta: Gramedia, 1988
128 LEE mt 1988
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Putri Athira
"ABSTRAK
Permasalahan mengenai kedudukan hukum nota kesepahaman kerap kali muncul
mengingat sering digunakannya nota kesepahaman dalam berbagai kegiatan
terutama kegiatan bisnis. Nota kesepahaman digunakan sebagai dokumen
pendahuluan atau pra-kontrak yang berfungsi sebagai pengikat komitmen pada
masa negosiasi, sebelum dibentuknya kontrak kerja sama yang sebenarnya. Oleh
karena fungsinya yang hanya digunakan sebagai pendahuluan, seringkali
kedudukan hukumnya dan kekuatan mengikatnya menjadi permasalahan yang
akhirnya menyebabkan perlindungan hukum terhadap pihak yang dirugikan
menjadi terabaikan. Terkait kedudukan hukum nota kesepahaman ini masih perlu
ditinjau lebih lanjut berdasarkan hukum perikatan yang terdapat dalam Buku III
KUHPerdata. Untuk dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan perlu dilakukan
perbandingan dengan suatu doktrin, yakni doktrin promissory estoppel yang pada
dasarnya melindungi kepentingan hukum pihak yang sudah terlibat janji terutama
janji-janji pra-kontrak. Setelah dilakukan penelitian maka diketahui bahwa di
Indonesia menurut KUHPerdata, kedudukan hukum nota kesepahaman
disetarakan dengan perjanjian sesuai dengan substansinya, sedangkan berdasarkan
promissory estoppel nota kesepahaman merupakan suatu dokumen pra kontrak
yang mengikat.
ABSTRACT
Issues regarding the legal standing of a memorandum of understanding (MoU)
often arise given the frequent use of a memorandum of understanding in various
activities, especially business activities. The MoU is used as a preliminary
document or pre-contract which serves as a binding commitment on the
negotiation period, prior to the establishment of real cooperation contract.
Therefore its function is only used as an introduction, often legal position and
strength of tying a problem that ultimately led to legal protection for the injured
party to be neglected. MoU’s legal standing still needs to be reviewed further by
the law of obligation contained in Book III of the Civil Code. To be able to know
advantages and disadvantages of the implementation in Indonesia, need to be
done a comparison with a doctrine, ie the doctrine of promissory estoppel which
is used basically to protect the legal interests of the parties that have been
involved promise especially promises a pre-contract. In conclusion, it is known
that in Indonesia, according to the Civil Code, the legal standing of memorandum
of understanding is comparable to the agreement in accordance with the
substance, while memorandum of understanding based on promissory estoppel is
a binding pre-contract documents."
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S59940
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Louis Leahy SJ
Yogyakarta; Jakarta: Kanisius; Gunung Mulia , 1994
113 LOU f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>