Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115753 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2008
923 AKU (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Sagung Seto, 2011
617.48 SIN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Padmosantjojo
Jakarta: Bagian Saraf FKUI, 2003
617.48 PAD k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Surabaya: 2018
617 MBS
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Pitan Daslani
Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010
925 PIT t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rezaalka Helto
"Latar Belakang: malformasi arteri-vena (MAV) adalah struktur abnormal yang menyebabkan fistula antara arteri dan vena tanpa perantara kapiler. MAV serebral memiliki risiko ruptur yang tinggi, dimana keadaan ruptur dapat menyebabkan kondisi katastrofik bagi pasien. Terdapat berbagai modalitas penatalaksanaan dalam manajemen MAV, seperti reseksi, embolisasi endovaskular, pembedahan stereotaktik, atau kombinasi tindakan-tindakan tersebut. Penelitian mengenai MAV sudah banyak dilakukan di luar negeri, namun masih sedikit dilakukan di Indonesia.
Tujuan: memperoleh data profil klinis, manajemen, luaran, dan gambaran pembiayaan pasien MAV serebral di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, serta memperoleh hubungan antara variabel tersebut.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan memperoleh data dari rekam medis pasien sejak tahun 2012 hingga 2021.
Hasil: sebanyak 128 tindakan dilakukan pada pasien MAV serebral di RSCM. Jenis tindakan terbanyak adalah DSA diagnostik, disusul dengan GKRS dan embolisasi. Pada tindakan embolisasi,  luaran klinis yang memiliki perbedaan signifikan atara pra dan pasca operasi adalah kejang, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran. Pada tindakan GKRS, luaran klinis yang memiliki perbedaan signifikan pra dan pasca operasi adalah kejang, nyeri kepala, mual muntah, penurunan kesadaran, hemiparesis, dan hemihipestesia. Median persentase obliterasi GKRS adalah 51,86%. Data tindakan reseksi tidak dianalisis karena jumlah sampel tidak mencukupi. Biaya tindakan paling tinggi adalah tindakan GKRS, dengan rerata pembiayaan tindakan sebesar Rp. 134.878.643,00.
Kesimpulan: dibandingkan dengan embolisasi dan reseksi, tindakan GKRS menunjukkan luaran klinis yang lebih baik dengan nilai median obliterasi 51,86%, namun merupakan tindakan dengan pembiayaan paling tinggi dan tidak ditanggung oleh asuransi negara.

Backgrounds: Arteriovenous malformation (AVM) is an abnormal structure that causes fistulas between arteries and veins without capillary intermediaries. Cerebral AVM has a high risk of rupture, where the state of rupture can cause catastrophic conditions for the patient. There are various treatment modalities in the management of AVM, such as resection, endovascular embolization, stereotactic surgery, or a combination of the treatments above. Many researches on AVM have been carried out abroad, but little has been done in Indonesia.
Objective: to obtain data on clinical profiles, management, outcomes, and costs of cerebral AVM patients at Dr. Cipto Mangunkusumo, and to obtain the relationship between the variables.
Method: this study is a descriptive observational study by extracting data from patient medical records from 2012 to 2021.
Results: a total of 128 procedures were performed on cerebral AVM patients at RSCM. The most common type of procedure was diagnostic DSA, followed by GKRS and embolization. In the embolization procedure, the clinical outcomes that had a significant difference between pre and post-procedure were seizures, headache, and decreased consciousness. In the GKRS procedure, the clinical outcomes that had significant differences before and after the procedure were seizures, headache, nausea and vomiting, decreased consciousness, hemiparesis, and hemihypesthesia. The median percentage of GKRS obliteration was 51.86%. Resection data were not analyzed because the number of samples was insufficient. The highest cost of procedure is GKRS, with an average cost of action of Rp. 134,878,643.00.
Conclusion: compared to embolization and resection, the GKRS procedure showed a better clinical outcome with a median obliteration value of 51.86%, but it was the procedure with the highest cost and was not covered by national health coverage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Zaldi Hidayat
"RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo merupakan rumah sakit rujukan yang berstandar nasional yang terdapat Departemen Bedah Saraf yang menyediakan fasilitas operasi elektif. Waktu tunggu menjadi salah satu aspek pelayanan yang dinilai oleh pasien. Oleh karena itu, untuk mengurangi waktu tunggu ini perlu diperhatikan beberapa kebijakan umum, yakni meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan, meningkatkan fasilitas rumah sakit, serta produktivitas penggunaan fasilitas tersebut. Pada saat tersedia 1 kamar operasi waktu tunggu pada operasi elektif ini masih tergolong tinggi dan belum mencapai target dari RSCM. Pada penelitian sebelumnya tahun 2016, ditemukan hasil bahwa rata-rata waktu tunggu operasi elektif ini adalah 35 hari. Pada tahun 2023, Departemen Bedah Saraf, menambahkan kamar operasi menjadi 2 kamar operasi untuk mengurangi waktu tunggu operasi elektif. Penulis melakukan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan jumlah kamar operasi pada operasi elektif di Departemen Bedah Saraf RSUPNCM pada bulan April-September tahun 2022 dan 2023. Penelitian ini dilakukan dengan metode jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan studi komparatif, yang difokuskan pada bulan April-September tahun 2022 dan 2023. Setelah dilakukan analisa mengenai pengaruh perubahan jumlah kamar operasi pada operasi elektif, menunjukkan dengan hasil jumlah operasi perbandingan pada tahun 2022 dan 2023 di bulan ((April 45,48), (Mei 32,84). (Juni 58,67), (Juli 57,74), (Agustus 50,81), (September 47,67). Pada hasil perbandingan rata-rata pada bulan April-September tahun 2022 dan 2023 menunjukkan adanya penurunan yang signifikan pada waktu tunggu operasi. Dengan penambahan kamar dapat menurunkan waktu tunggu operasi elektif serta meningkatkan jumlah operasi pada tahun 2023.

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo is a national standard referral hospital with a Neurosurgery Department which provides elective surgery facilities. Waiting time is one aspect of service assessed by patients. Therefore, to reduce waiting times it is necessary to pay attention to several general policies, namely increasing health energy capacity, improving hospital facilities, as well as productivity in the use of these facilities. When there is 1 operating room available, the waiting time for elective surgery is still relatively high and has not reached the RSCM target. In previous research in 2016, it was found that the average waiting time for elective surgery was 35 days. In 2023, the Department of Neurosurgery will add 2 operating rooms to reduce waiting times for elective operations. The author conducted this research with the aim of determining the effect of changes in the number of operating rooms on elective operations in the Neurosurgery Department of RSUPNCM in April-September 2022 and 2023. This research was carried out using a quantitative research method with a comparative study approach, which was specifically carried out in April-September 2022 and 2023. After analyzing the effect of changes in the number of operating rooms on elective surgery, the results showed the number of comparative operations in 2022 and 2023 in months ((45.48 April), (32.84 May), (June 58.67), (July 57.74), (August 50.81), (47.67 September). in April-September of the year 2022 and 2023 show a significant reduction in waiting times for operations. The addition of rooms can reduce waiting times for elective operations and increase the number of operations in 2023."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Raisa Zalfa Meutia Abubakar
"Pendahuluan: Lesi serebral intrakranial, khususnya tumor, awalnya dapat muncul sebagai gejala oftalmik akibat adanya massa dan/atau peningkatan tekanan intrakranial yang mengganggu jalur penglihatan, jaringan mata, dan saraf. Diagnosis dini tumor otak penting untuk mencegah gangguan penglihatan dan/atau kebutaan yang tidak dapat disembuhkan. Namun, rendahnya kesadaran pasien tentang pentingnya manajemen bedah saraf yang tepat waktu sering mengakibatkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional analitik untuk mengetahui kebutaan akibat tumor otak. Data dari 54 pasien pada tahun 2020, dikelompokkan berdasarkan karakteristik demografi, dianalisis untuk mengeksplorasi hubungan antara durasi dari timbulnya gejala hingga kunjungan medis pertama dan terjadinya kebutaan pada pasien tumor otak.
Hasil: 35 (64,81%) pasien tumor otak ditemukan mengalami kebutaan. Temuan penelitian ini mengungkapkan adanya hubungan antara kebutaan pada pasien tumor otak dan durasi dari timbulnya gejala hingga kunjungan medis pertama dan konsultasi bedah saraf. Pasien yang mengalami keterlambatan dalam berkonsultasi dengan dokter layanan primer dan/atau bedah saraf sejak gejala awal menunjukkan insiden kebutaan yang lebih tinggi, hal ini menunjukkan pentingnya mencari pertolongan medis segera.
Kesimpulan: Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya intervensi medis yang tepat waktu dan konsultasi bedah saraf khusus untuk mengurangi kejadian kebutaan di antara pasien tumor otak. Hal ini menekankan perlunya peningkatan kesadaran masyarakat, sistem rujukan yang efisien, dan pertolongan medis yang cepat untuk meringankan beban kebutaan pada populasi pasien tumor otak.

Introduction: Intracranial cerebral lesions, particularly tumours, can initially present as ophthalmic symptoms due to masses and/or elevated intracranial pressure disturbing the visual pathway, ocular tissues, and nerves. Early diagnosis of brain tumours is crucial to prevent irreversible visual impairment and/or blindness. However, low patient awareness about the importance of timely neurosurgical management often results in delayed diagnosis and treatment.
Methods: This study utilized an analytic cross-sectional design to investigate blindness related to brain tumours. Data from 54 patients in 2020, stratified by demographic characteristics, were analyzed to explore the association between the duration from symptom onset to the first medical visit and the occurrence of blindness in brain tumor patients.
Results: 35 (64.81%) brain tumour patients were found to be blind. The study findings revealed an association between blindness in brain tumour patients and the duration from symptom onset to both the first medical visit and neurosurgery consultation. Patients experiencing delays in consulting a primary care physician and/or a neurosurgeon from the initial onset of symptoms exhibited a higher incidence of blindness, highlighting the importance of seeking prompt medical attention.
Conclusion: This study underscored the critical need for timely medical intervention and specialized neurosurgical consultation to mitigate the incidence of blindness among brain tumour patients. It emphasized the necessity for increased public awareness, efficient referral systems, and prompt medical attention to alleviate the burden of blindness in patients with brain tumour.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sagung Seto, 2012
617.48 MEM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>