Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89436 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Devi Darmawan
"Penegakan hukum Pemilihan Umum didasarkan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008, dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yang merupakan lex specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Akan tetapi, dalam peraturan tersebut terdapat ketentuan batas waktu pelaporan Tindak Pidana Pemilihan Umum yang sangat singkat. Hal tersebut mengakibatkan banyak Tindak Pidana Pemilihan Umum yang tidak diperiksa dan diadili karena dilaporkan lebih dari batas waktu pelaporan yang ditentukan. Keadaan itu menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat karena memungkinkan Pelaku Tindak Pidana Pemilihan Umum dapat bebas dari pertanggungjawaban pidana. Berkaitan dengan hal tersebut.
Penelitian ini ditujukan untuk meninjau penerapan Prinsip Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilihan Umum. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Data primer yang digunakan meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan putusan hakim serta didukung oleh berbagai literatur seperti buku, jurnal akademik, laporan penelitian, dan artikel ilmiah lainnya, termasuk pula wawancara dengan narasumber yang ahli dalam Pemilihan Umum. Data tersebut dianalisis dengan pendekatan kualitatif dan diuraikan secara deskriptif.
Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa batas waktu pelaporan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Undang- Undang Nomor 42 tahun 2008, dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, merupakan ketentuan daluwarsa penuntutan karena dengan terlampaunya batas waktu tersebut kewenangan penuntut umum untuk menuntut Pelaku Tindak Pidana Pemilihan Umum menjadi hapus. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Penerapan prinsip Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam penegakan hukum pada Tindak Pidana Pemilihan Umum harus disampingkan untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat dengan mengimplementasikan rule breaking yang digagas oleh Teori Hukum Progresif.

Election's Law enforcement is based on Act Number 10 Year 2008, Act Number 42 Year 2008, and Government Regulation Number 6 of 2005 which are the lex specialis of the Book of Penal Code (KUHP). However, in that regulation, there is a provision about very short time bar in statute of limitation. This resulted lots of Electoral Crimes that are not investigated and prosecuted because its offences reported over the time bar. This circumstances lead the injustice in society because it allows the Electoral offences Perpetrators can be free from criminal liability.
In this regard, this study aimed to review the application of Lex Specialis derogat Legi Generali principle's in Law Enforcement of Election Offences. This research is a normative juridical research. Primary data used include the Act, Regulation, and the judge's decision and supported by a variety of literature such as books, academic journals, research reports, and other scientific articles, including the interviews with sources who are experts in the General Election. Data were analyzed with a qualitative approach and described descriptively.
The conclusion of this study stated that the time bar for reporting election offences in Law Number 10 Year 2008, Law Number 42 of 2008, and Government Regulation Number 6 of 2005 are a statute of limitation because when time bar's over, the crime will not allowed to prosecute. To resolve this problem, application of the Lex Specialis derogat Legi Generali principles in law enforcement of election offences must be review and set aside to bring justice by implementing rule breaking that was initiated by the Progressive Legal Theory.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1317
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Silitonga, Seyla Missy Togito
"Skripsi ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis yang diatur dalam Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih belum diterapkan secara baik dan efektif dalam praktiknya, terutama dalam Tindak Pidana Penggelapan di bidang Asuransi. Hal ini dapat terlihat dari beberapa kasus penggelapan premi asuransi di Indonesia yang hanya menerapkan ketentuan hukum pidana yang umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan belum menerapkan ketentuan hukum pidana yang khusus diatur di lingkup bidang usaha perasuransian. Pokok permasalahan yang akan dibahas adalah mengenai bagaimana pengaturan tindak pidana penggelapan di bidang Asuransi, baik secara umum maupun khusus dan bagaimana penerapan asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis dalam tindak pidana penggelapan di bidang asuransi dalam praktiknya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis penerapan asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis dalam Tindak Pidana Penggelapan di Bidang Asuransi. Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, serta dapat menjadi referensi bagi pemerintah dan para penegak hukum di Indonesia. Istilah yang berkaitan dengan penelitian ini adalah Lex Specialis Derogat Legi Generalis yaitu aturan khusus menyampingkan aturan umum. Metode Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan penelitian deskriptif dan eksplanatoris menggunakan data primer dan data sekunder, serta dengan analisis secara kualitatif. Simpulan dari Penelitian ini adalah tindak pidana penggelapan premi asuransi masuk dalam ketentuan hukum pidana yang umum dan khusus dan asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis belum diterapkan dengan baik dan efektif dalam praktiknya, terutama dalam beberapa kasus penggelapan premi asuransi di Indonesia. Saran ditujukan bagi penegak hukum, pemerintah, masyarakat, dan perusahaan asuransi.

This Thesis was made by the fact that the principle of Lex Specialis Derogat Legi Generalis, which is regulated in Article 63 paragraph 2 of the Criminal Code, has not been implemented properly and effectively in the criminal law, especially on the criminal offense of embezzlement in the insurance sector. This is related to the several cases of embezzlement of insurance premiums in Indonesia, which only applied the criminal law from the general Criminal Code (KUHP), and hasnt applied the provisions of criminal law that specifically regulated in the insurance sector. The main problems are about how the criminal offense of the insurance premiums embezzlement regulated, both in the general criminal code (KUHP) and in the provisions of criminal law that specifically regulated in the insurance regulations, also about how the application of the Lex Specialis Derogat Legi Generalis principle on the criminal offense of embezzlement in the Insurance sector. The purposes of this thesis is to analyze the implementation of Lex Specialis Derogat Legi Generalis principle on the criminal offense of embezzlement in the Insurance sector. Hopefully this thesis will be useful for knowledge development, and also can be a reference for the government and criminal law enforcement in Indonesia. The term related to this thesis is Lex Specialis Derogat Legi Generalis, which is the special rules will exclude the general rule. The research method is jurisdical normative with descriptive and explanatory research by using primary and secondary data, also qualitative analysis. The conclusion of this thesis are the criminal offense of the insurance premiums embezzlement regulated both in the general criminal code and in the spesific regulation related to the insurance sector, and the principle of Lex Specialis Derogat Legi Generalis has not been implemented properly and effectively in the criminal law, especially on the criminal offense of embezzlement in the insurance sector. Suggestion are intended to the government, law enforcers, jurist, society, and insurance companies.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"lex specialis derogat legi generalis merupakan satu dari berbagai asas hukum yang memiliki manfaat dalam memberlakukan undang-undang yang paling tepat untuk diteteapkan dalam sebuah kasus yang dihadapi..."
JHB 23:1 (2004)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Efrizal
"Setelah dibentuknya UU. No. 40 Tabun 1999 tentang Pers, pemberlakuan delik pers menurut KUHP terhadap pers ternyata tidak lagi disepakati oleh sebagian kalangan terutama pers, karena dianggap bertentangan dengan asas lex specialis derogar lex generalis. Untuk menelusuri persepsi lex specialis terhadap UU Pers tersebut, permasalahan yang penulis ajukan tertuju pada tiga hal, yaitu berkaitan dengan pengkonstruksian delik-delik terhadap pers menurut UU Pers yang dihubungkan dengan asas legalitas dan asas lex specialis derogal lex generalis, kemudian sistim pertanggung jawaban pidana pers yang hams dibangun, dan terakhir mengenai pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim dalam menentukan hokum terhadap pers.
Untuk rnenjawab ketiga permasalahan tersebut, penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan metode penelitian normatif yuridis. Sedangkan mengenai bahan ataupun data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, berupa bahan hokum primer (peraturan perundang-undangan dan sebuah kasus pidana pers pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), bahan hukum sekunder (literatur mengenai hukum pidana materiil dan hukum pers) dan bahan hukum tarsier (bibiliografi dan kamus). Untuk memperoleb data sekunder tersebut, alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan studi dokumen (kasus). Dalam penyajian dan analisa data, hal itu dilakukan secara deskriptif kualitatif, artinya materi pembahasan yang dituangkan dalam penulisan ini akan dikonstruksikan kedalam suatu uraian analisa hukum.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kesimpulan yang penulis peroleh terdiri atas tiga bagian. Pertama, konstruksi delik pets yang tercanturn dalam UU Pers ternyata tidak dimaksudkan untuk menghapuskan ataupun untuk menarik delik pers menurut KUHP kedalam UU Pers. Tetapi delik pers menurut UU Pers merupakan delik yang ditujukan pada perusahaan pets dan terbatas pada lima jenis delik pers. Sehingga delik pers menurut KUHP tetap berlaku bagi pers. Delik yang memang dapat dikatakan sebagai lex specialis terletak dalam gabungan pelanggaran norma, atau suatu pemberitaan pers itu baru dapat dituntut jika isinya secara keseluruhan melanggar norma agama, rasa kesusilaan dan asas praduga tidak bersalah.
Kedua, sistim pertanggung jawaban pers merupakan bentuk pertanggung jawaban korporasi. Dalam pertanggung jawaban pidananya, korporasi akan diwakili oleh penanggung jawab bidang redaksi dan bidang usaha. Sedangkan untuk pertanggung jawaban personal, konstruksinya ditempuh berdasarkan asas penyertaan dalam KUHP. Ketiga, dalam menentukan hukum terhadap pers, ternyata UU Pers memang turut dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam menentukan hukum terhadap pers. Khususnya dalam hal norma delik dan pertanggung jawaban pers. Dalam putusannya, ternyata haldm tetap menerapkan delik pers menurut KUHP, karena unsur deliknya telah terpenuhi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T19191
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mafili Pramudita
"Terbitnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada tahun 2021 kembali merevisi Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), salah satunya adalah mengenai perlakuan PPh atas biaya imbalan natura dan/atau kenikmatan. Penelitian ini membahas mengenai adanya perbedaan klausul dalam UU PPh hasil revisi UU HPP dengan peraturan turunannya mengenai pengaturan perlakuan PPh atas biaya natura dan/atau kenikmatan, dengan tujuan menganalisis keselarasan kebijakan pengaturan PPh atas biaya imbalan dan/atau kenikmatan dalam UU PPh hasil revisi UU HPP dengan peraturan turunannya ditinjau melalui asas preferensi berupa lex superior derogat legi inferiori. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan teknik pengumpulan data berupa studi literatur dan wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa asas preferensi lex superior derogat legi inferiori belum dapat diimplementasikan secara pasti, karena masih terdapatnya perbedaan interpretasi baik dari otoritas pajak, maupun dari akademisi dan praktisi, dengan akademisi dan salah satu praktisi yang berpendapat bahwa peraturan tersebut bersifat tidak selaras, namun DJP dan salah satu praktisi berpendapat bahwa peraturan tersebut sudah bersifat selaras. Oleh karena itu, disarankan agar otoritas pajak memberikan sosialisasi secara lebih konkret mengenai perlakuan PPh atas biaya natura dan/atau kenikmatan, dengan memberikan contoh kasus dalam sosialisasinya, sedangkan untuk wajib pajak disarankan agar dapat menyertakan dokumentasi dan pembuktian yang menyatakan bahwa biaya natura dan atau kenikmatan memang berhubungan dengan komponen 3M, sehingga potensi sengketa dapat diminimalisir.

The enactment of the Harmonization of Tax Regulations Act in 2021 revised the Income Tax Law, including the treatment of income tax on the expenses of fringe benefits and/or benefits in a form of pleasure. This study discusses the differences in clauses between the revised Income Tax Law on the Harmonization of Tax Regulation and its derivative regulations regarding the treatment of income tax on the expenses of fringe benefits and/or benefits in a form of pleasure, aiming to analyze the alignment of income tax policy on both of the regulations from the preference principle of
lex superior derogat legi inferiori. The research used a qualitative method, with data collection techniques including literature studies and in-depth interviews. The result of this study reveal that the preference principle of lex superior derogat legi inferiori cannot yet be definitively implemented, as there are still differences in interpretation persist between tax authorities, academics, and practitioners. The tax academics and one of the practitioners stated that the regulations did not align, while the tax authorities and one of the other practitioners stated that the regulations did align. Therefore, it is recommended for tax authorities to provide more concrete socialization regarding the treatment of income tax on the expenses of fringe benefits and/or benefits in a form of pleasure, including giving some case as some examples, while the taxpayers are recommended to include the documentation and proof stating that the cost are indeed related to the 3M components, so that the potential disputes can be minimized. "
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Ridwan Halim, 1954-
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986
345.07 RID t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Gumilar
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai implementasi asas kekhususan sistematis dalam hal terjadi benturan penyidikan antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana perpajakan. Ruang lingkup pembahasannya adalah bagaimana hubungan antara Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tolok ukur penyidikan tindak pidana korupsi dan tindak pidana perpajakan, dan kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi di bidang perpajakan dalam kasus Mobile-8. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analitis, dan pendekatan kasus. Data-data yang diperoleh diolah secara kualitatif dan diuraikan secara sistematis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi bersifat khusus dalam hal terjadi tindak pidana korupsi, sedangkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bersifat khusus dalam hal terjadi tindak pidana perpajakan. Selain itu, ada beberapa tolok ukur yang dapat dijadikan dasar bagi penyidik untuk menentukan tindak pidana korupsi atau tindak pidana perpajakan, yakni subjek hukum, sifat perbuatan, alat bukti yang diperoleh, lingkungan dan area delicti berada, Ada tidaknya unsur ldquo;kerugian keuangan negara atau perekonomian negara rdquo; sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi, dan ada tidaknya penundukan terhadap Pasal 14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, dalam kasus Mobile-8, oleh karena merupakan tindak pidana perpajakan, maka kewenangan penyidikan ada pada Penyidik PPNS Dirjen Pajak, bukan pada Kejaksaan.
ABSTRACT
This thesis discusses the implementation of the principle of systematic specificity Lex Systematiche Specialiteit in the event of a clash of investigations between the criminal act of corruption and the criminal act of taxation. The scope of this Thesis is how the relationship between the Corruption Act and the Law of General Provisions and Procedures of Taxation, the benchmark of corruption criminal investigation and the criminal act of taxation, and the authority of the investigation of corruption in the field of taxation in Mobile 8 case. The research method used is normative juridical, using legislation approach, analytical approach, and case approach. The data obtained are processed qualitatively and described systematically. The result of the research concludes that the Corruption Act is special in the case of corruption, whereas the Law on General Provisions and Tax Procedures is special in the case of tax crime. In addition, there are several benchmarks that can be used as a basis for investigators to determine the criminal acts of corruption or criminal acts of taxation, namely the subject of law, the nature of deeds criminal acts , evidence obtained, the environment and delicti areas are located, whether or not there is an elements of state financial loss or national economic loss as element of the criminal act of corruption, and whether or not there is any submission to Article 14 of the Corruption Act. In addition, in Mobile 8 case, since it is a criminal act of taxation, the authority of investigation is on the PPNS Investigator of the Director General of Taxes, not the Attorney General 39 s Office."
2017
T47911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nethania Vanida
"Pasal 55 Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi mengenai tindak pidana penyalahgunaan BBM Subsidi memiliki unsur-unsur yang cukup mirip dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Dalam hal ini, terdapat beberapa kasus dimana terjadi dilema penentuan undang-undang khusus yang berlaku, apakah termasuk ke dalam lingkup undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi atau undang-undang minyak dan gas bumi. Adapun hal tersebut dapat dimengerti mengingat bahwa dalam BBM Bersubsidi, terdapat keuangan negara yang teralokasikan di dalamnya sehingga banyak pihak yang menafsirkan penyalahgunaanya akan berdampak pada adanya kerugian negara. Selain itu, umumnya pihak yang melakukan penyalahgunaan BBM Bersubsidi juga memiliki motif untuk mencari keuntungan dimana hal tersebut juga merupakan salah satu unsur Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Untuk mengatasi persoalan dilema penentuan undang-undang khusus tersebut, diperlukan sebuah pedoman penerapan asas lex systematische specialiteit.

Article 55 of the Oil and Gas Law regarding the Subsidized Fossil Fuel misused crime have quite similar elements with Article 2 and Article 3 of the Anticorruption Law. In some cases, there is a dilemma on determining the special regulation that should be applied whether it should fall under the category of the anticorruption law or the oil and gas law. Such thing can be understood considering there were State’s Budget allocation within Subsidized Fossil Fuel, hence some parties conclude that the misused of Subsidized Fossil Fuel could have also resulted into a State Loss. Other than that, most people who committed the misused of Subsidized Fossil Fuel crime were also planning to gain personal advantages in which ‘gaining personal advantages’ is also one of the elements of the corruption clauses as regulated in Article 2 and Article 3 of the Anticorruption Law. To solve those kinds of dilemmas, a special guideline for the lex systematische specialiteit principle implementation will be necessary. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>