Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136000 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Putu Swasti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1987
S5450
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Kund Bedraningrat
"Narapidana terdiri dari orang-orang dengan beragam suku bangsa, asal daerah, adat istiadat, kebiasaan dan cara pandang yang berbeda berbaur menjadi satu membentuk kehidupan yang terpisah dengan masyarakat luar dan mempunyai peraturan dan tata kehidupan sendiri, tiap-tiap suku bangsa ataupun asal daerah mempunyai seorang Ketua atau kokolot (dituakan) yang mempunyai peran dalam mengendalikan anggota kelompok. Permasalahan yang diangkat Bagaimana upaya dari "Ketua Suku" dalam menjaga ketertiban antar kelompok etnis narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin Bandung ?. Teori yang digunakan adalah Teori Smelser mengenai proses terbentuknya tingkah laku kolektif dan teori Sub kebudayaan. Metode penelitian adalah dengan pendekatan kualitatif, teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan pengamatan langsung. Data-data tersebut diperoleh melalui informan yang dipiih secara khusus berdasarkan tujuan penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian kelompok narapidana terbentuk dari gabungan beberapa daerah asal yang dipimpin dari salah seorang dari mereka yang disebut "Ketua Suku", Mereka bergabung dalam satu kelompok didasarkan atas kesamaan latar belakang. Dalam kelompok tersebut terdapat sistem nilai yang berbentuk aturan-aturan main yang digunakan sebagai acuan tingkah laku dan pelanggaran aturan-aturan tersebut berakibat pada sanksi, mulai dari tindakan pengucilan sampai dengan bentuk hukuman fisik.
Bekerjanya pengendalian sosial adalah suatu tahapan yang penting dapat dimanfaatkan untuk mencegah pecahnya suatu Konflik terbuka yang menjurus pada kerusuhan sosial, "Ketua-ketua Suku" telah bersepakat dengan petugas pengamanan dalam menangani perselisihan yang terjadi dengan penerapan sanksi sebagai acuan tingkah laku dan pelanggaran aturan-aturan tersebut. Didalam penjara subkebudayaan merupakan salah sate pilihan dalam menghadapi kehidupan di penjara. Dengan norma dan nilai yang berlawanan, subkebudayaan ini beraviliasi dengan "geng" didalam penjara yang memberikan dukungan dan perlindungan bagi anggotanya.

Correctional institution inmates consist of various ethnicities, regions, cultures, customs and worldviews, merging into a community separated from the society in general, and having their own rules and regulations. Each ethnic group of inmates in a correctional institution has an elder or "kokolot" in charge of group members. This study attempts to find out the role of such ethnic leaders in preserving peace among ethnic groups in Sukamiskin Class I Correctional Institution in Bandung. The theory used in Smelser's theory of collective behavior and the theory of subcultures. The study used the qualitative approach, using in-depth interview and direct observation methods. Data are obtained from informants purposively selected according to the goals of the study.
Based on the results of the study, groups of inmates are created from a combination of inmates coming from several regions, led by a leader called "ethnic elder". The group is based on similarities of background among the members. In such groups, there is a value system in the form of rules used as basis of behavior. Violation of such rules would result in sanctions, in various forms starting from ostracizing to physical sanctions.
Social control is important in preventing open conflict between groups, which might lead to social disturbances. "Ethnic elders" have tacit agreements with institutional staff to handle quarrels, giving sanctions to violators of rules and agreements. In the correctional institution, subcultures become an option in facing prison life. With a separate set of norms and values, the subcultures are affiliated with "prison gangs" supporting and protecting their members.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21504
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raul Yanvierino
"Tesis ini membahas pertikaian etnis Hispanik-Amerika dalam konteks kasus imigran gelap Elián González dengan memperlihatkan adanya berbagai kelompok yang turut memanfaatkan kasus tersebut dalam mencapai tujuan kelompok masing-masing. Adanya upaya-upaya melindungi Elián González dari kasus imigran gelap kategori "Wet-foot" membawa konflik etnis yang menjurus pada politisasi massa. Tesis ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode penelitian sejarah pendekatan politikologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa politik diskriminasi dalam kebijakan imigrasi Amerika Serikat berpotensi menimbulkan pertentangan etnis. Dalam arti lain yaitu suatu komunitas etnis yang terorganisir dengan baik dapat menjadi sebuah kekuatan politik yang dominan dalam sistem demokrasi di Amerika Serikat.

This thesis is mainly focused on the American-Hispanics ethnic disputes in the context of Elián González illegal immigrant case by showing the existence of various groups who make use of the case in achieving the goals of their respective groups. The attempts to protect the Elián González "Wet-foot" case brings ethnic conflict that leads to the mass-politization. This thesis is a qualitative research using historical methods with politics approach. The research indicates that any political discrimination in the U.S. immigration policy could potentially lead to ethnic conflict. Here the writer finds that an ethnic community that is well organized can become a dominant political force in the democratic system in the United States."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T29912
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Ladiawati
"Penelitian tentang pola komunikasi masyarakat Dayak dan pendatang ini berawal dari seringnya terjadi konflik antar masyarakat Dayak di Pontianak dan pendatang yang mengadu nasib di daerah tersebut. Konflik terbesar adalah antara masyarakat Dayak dan pendatang Madura tahun 1996, yang berhasil melumpuhkan roda perekonomian di beberapa tempat di Kalimantan Barat. Oleh sebab itu penelitian tentang komunikasi antara masyarakat Dayak dan pendatang menjadi menarik untuk dibahas.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang pola komunikasi antara masyarakat Dayak dan pendatang; serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terbukanya komunikasi di antara mereka.
Landasan teoritis yang digunakan untuk mengkaji pola komunikasi tersebut yaitu dengan menggunakan teori-teori yang berkaitan erat dengan komunikasi antar budaya seperti teori konvergensi dan teori interaksi simbolik. Di dalam komunikasi antar budaya, pembuat pesan adalah anggota dari suatu budaya tertentu dan penerima pesan adalah anggota dari budaya lainnya, dalam penelitian ini adalah masyarakat Dayak dan pendatang Cina, Bugis, Melayu, Jawa dan Madura. Di dalam komunikasi antar budaya , berusaha mengungkapkan apa yang terjadi ketika anggota dari dua budaya yang berlainan bertemu untuk melakukan interaksi komunikasi. Apakah komunikasi berjalan lancar atau mengalami hambatan. Adanya perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya , merupakan suatu ciri dari komunikasi antar budaya.
Teori lainnya yang digunakan adalah teori interaksi simbolik yang pada intinya membahas tentang suatu kemampuan manusia untuk menciptakan serta mempergunakan simbol-simbol sehingga manusia menjadi mahluk hidup yang unik, dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Selain itu penelitian ini juga dibahas dengan menggunakan teori konvergensi yang membahas adanya kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan dalam kelompok masyarakat. Adanya kesamaan dan perbedaan dalam kelompok masyarakat Dayak dan pendatang dalam hal keyakinan, nilai, perilaku dan sebagainya.
Penelitian ini bersifat kualitatif dan menggunakan analisis deskriptif. Unit analisis yang digunakan adalah kpri unites Oita penelitian diperoleh dari key information melalui wawancara di lokasi penelitian.
Temuan penelitian ini menegaskan bahwa terdapat komunikasi yang efektif antara masyarakat Dayak dan pendatang Cina, Melayu, Bugis, serta Jawa, tetapi komunikasi dengan pendatang Madura berjalan kurang efektif. Komunikasi di antara mereka cenderung diwarnai prasangka dan etnosentris. Adanya komunikasi efektif dan terhambat ini disebabkan karena beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan komunikasi antara masyarakat Dayak dan pendatang yaitu kedekatan jarak fisik dan faktor kesamaan dalam karakteristik-karakteristik sosial budaya yang lebih berperan. Ditemukan bahwa tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, agama dan persepsi, memiliki peran yang cukup berarti dalam terjadi atau tidaknya komunikasi efektif di antara mereka."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T3916
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Zen Allantany
"Prof Dr Mayling Oey pernah menegaskan bahwa Jakarta adalah kota yang dibangun oleh kaum pendatang. Orang Betawi pun yang biasanya dianggap sebagai penduduk asli Jakarta juga sebenarnya adalah keturunan dari percampuran para pendatang Bugis, migran Bali dengan orang Mardika yang berasal dari India Timur. Kekerasan antar etnis yang pemah terjadi di Jakarta biasanya melibatkan sesama pendatang suku-suku keras dan panas maupun antara kelompok pendatang tertentu dengan Kaum Betawi. Pertenlangan yang melibatkan orang Betawi biasanya disebabkan oleh pelanggaran hukum perjanjian jual beli tanah atau sewa-menyewa nimmah ataupun sikap-sikap dan tindakan kasar-agresif dari suku pendatang tertentu. Di lain pihak, setiap benturan antar-etnis pendatang kelas bawah hampir selalu disebabkan karena perebutan kapling pekerjaan. Dalam penelitian ini menggunakan penelitian Kualitatif - Diskriptif yang marimba menggambarkan sebuah kasus konflik yang melibatkan antar etnis yang terjadi di Ujung Menteng pada tanggal 26 Pebruari sampai 1 Maret 2002 dan di Pasar Kramat Jati pada tanggal 24 Pebruari 2002. Untuk pengumpulan data melalui Wawancara mendalam, Observasi, Dokumentasi, Studi Kepustakaan. Dalam kerangka teon menjelaskan konflik secara komperhensip. Bahwa konflik adalah sebuah keharusan dalam setiap ada pola hubungan antar manusia atau kelompok. Temuan yang dihasilkan adalah, bahwa konflik yang terjadi antara Madura dengan Banten di pasar Kramat Jati dan Madura dengan Betawi di Ujung Menteng bukanlah konflik yang didasarkan atas agama, maka konfliknya cepat bisa meredah. Lain dengan konflik yang ada unsur agama, maka bisa sangat lama dan susah untuk damai. Antara Banten dan Madura mempunyai sifat yang hampir sama sama keras, akan tetapi dalam konflik cepat bisa mereda karena didasarkan persamaan agama yang dianut. Temuan lain dalam penelitian ini adalah, bahwa ketimpangan sosial yang ada ditengah masyarakat dapat menimbulkan konflik. Secara garis besar, struktur anatomi sebab-musabab kekerasan etnis di Jakarta. terdiri dari empat kelompok faktor, yaitu: Pertama, kelompok faktor pendukung; Kedua, kelompok faktor penyebab utama; Ketiga, kelompok faktor sumbu; dan Keempat, kelompok. faktor pemicu. Bila suatu kekerasan etnis telah berkecamuk maka urutan langkah penyelesaiannya adalah baru dimulai dengan penangkapan dan penghukuman para provokator. Bila pihak kepolisian telah berhasil melakukan hal ini dan selanjutnya dapat mengendalikan keamanan di wilayah konflik, maka langkah selanjutnya adalah meredakan sentimen etnis. Upaya ini dapat diusahakan oleh pemimpin dari pihak-pihak yang bertikai, pertama secara formal prosedural yang diikuti dengan langkah konkret secara substansial."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14398
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
S5564
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liria Tjahaja
"Studi/pembahasan mengenai kasus perkawinan antar agama bukanlah merupakan hal yang baru karena sudah sering kita jumpai melalui beberapa artikel/tulisan maupun pertemuan/seminar-seminar yang pernah diadakan. Asmin (1986) membahas status perkawinan antar agama yang ditinjau dari UU Perkawinan no.1/1974. Menurut Asmin, Undang-Undang (UU Perkawinan Nasional tsb belum mengatur soal perkawinan antar agama sehingga untuk kasus tsb kepastian hukumnya belum jelas. Berkenaan dengan hal itu, Asmin mengusulkan agar UU Perkawinan no.1/1974 tsb disempurnakan (khususnya untuk rumusan ps.57). Berbeda dengan Asmin, studi yang kemudian dilakukan oleh Wiludjeng (1991) maupun Noryamin (1995), tidak semata-mata mempelajari kasus perkawinan antar agama dari sudut hokum/perundang-undangan.
Studi/penelitian yang dilakukan Wiludjeng maupun Noryamin dimulai dengan terlebih dulu menemukan dan mengungkapkan persoalan-persoalan yang bisa muncul sebagai akibat dari kasus perkawinan antar agama yang terjadi. Menurut Wiludjeng, untuk bisa memahami latar belakang terjadinya kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di Gereja Katolik, diperlukan pula pemahaman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan janji perkawinan campur yang terjadi di Keuskupan Agung Jakarta. Dengan memahami faktor-faktor tsb, diharapkan bahwa langkah-langkah penanganan terhadap kasus-kasus perkawinan antar agama di Gereja Katolik dapat dilaksanakan secara lebih tepat dan bijaksana. Sementara itu Noryamin dalam penelitiannya mencoba menganalisa kasus perkawinan antar agama yang terjadi di daerah Jogyakarta dari sudut pandangan sosiologis. Dalam studi yang dilakukannya, Noryamin mengungkapkan gejala-gejala sosial yang mewarnai kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di Jogyakarta. Ia melihat pentingnya memahami gejala-gejala tsb dalam keseluruhan konteks kehidupan sosial masyarakat di Jogyakarta, sehingga pada akhirnya penanganan terhadap kasus perkawinan antar agama dapat memperhitungkan segala kondisi masyarakat yang ada.
Fakta menunjukkan bahwa kasus perkawinan antar agama banyak dibahas setelah dikeluarkannya UU Perkawinan no.1/1974, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama/kepercayaannya (ps.2, ay. 1), dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (ps.2,ay.2). Rumusan dalam UU Perkawinan Nasional tsb telah memunculkan adanya tanggapan pro dan kontra yang terjadi di tengah masyarakat. Tanggapan-tanggapan tsb juga didukung oleh situasi masyarakat yang dalam kenyataannya memang tidak bisa menghindar dari terjadinya kasus-kasus perkawinan antar agama. Dalam prakteknya, pelaksanaan pasal 2 UU Perkawinan no.1/1974 tsb memang tidak sepenuhnya bisa terlaksana.
Setelah dikeluarkannya surat edaran Mendagri tg1.17 April 1989 yang menegaskan kembali mengenai pelaksanaan UU Perkawinan no.1/1974 tsb, kasus perkawinan antar agama kembali hangat dibahas, khususnya pada tahun 1992. Pendapat/tanggapan mengenai kasus tsb-pun banyak bermunculan di media-media cetak. Contohnya: pendapat dari Bismar Siregar (Kompas,18 Januari 1992) ; Sjechul Hadi Permono (Kompas, 15 Januari 1992) ; Zakiah Daradjat (Kompas, 16 Januari 1992) ; Ali Said (Kompas, 21 Januari 1992); V.Kartosiswoyo (Kompas, 20 Januari, 1992); Rudini (Kompas, 30 Januari 1992). Semua tanggapan yang diberikan umumnya didasarkan pada pemikiran hukum tertentu yang oleh para ahli dianggap sebagai hukum yang paling benar. Dalam hal ini, sebagian besar para ahli mencoba mempertanggungjawabkan pendapatnya lewat hukum yang tertulis seperti halnya aturan-aturan negara dan agama.
Kenyataan konkrit saat ini menunjukkan bahwa kasus perkawinan antar agama tsb tetap terjadi tanpa bisa dibendung. Bahkan di kelompok umat Cina Katolik paroki Mangga Besar Jakarta, kasus perkawinan antar agama tersebut memiliki jumlah yang cukup tinggi. Perkawinan antar agama yang banyak terjadi di Gereja Katolik Mangga Besar adalah perkawinan di kalangan sesama etnis Cina. Jadi, walaupun secara hukum hal tsb dipersoalkan, dalam kenyataannya kasus-kasus perkawinan antar agama di paroki Mangga Besar dapat tetap dilangsungkan lewat macam-macam jalur lain.
Fakta sehari-hari telah menunjukkan bahwa persoalan perkawinan antar agama tidak hanya diselesaikan lewat jalur hukum tertentu saja. Maka keberadaan pluralisme hukum dalam kasus-kasus perkawinan antar agama sangatlah relevan untuk dikaji. Pluralisme hukum adalah kenyataan dimana beberapa sistem hukum/sistem normatif berperanan dan berinteraksi dalam arena sosial, sehingga dalam tindakan sosial tertentu sistem-sistem tsb bisa saling mempengaruhi sesuai dengan kondisi sosial yang sedang berlangsung. Dalam konteks pluralisme hukum, konsep "hukum" tidak semata-mata dimengerti sebagai aturan yang bersifat yuridik saja. Benda-Beckmann (1990) melihat bahwa berbagai bentuk kekompleksan normatif yang ada dalam masyarakat juga bisa dilihat sebagai hukum yang berfungsi mengatur kehidupan masyarakat tsb. Sally F.Moore (1983) berpendapat bahwa yang disebut hukum adalah segala sistem normatif yang dihayati oleh seseorang/kelompok sebagai sesuatu yang mengikat serta memiliki kekuatan yang bisa memaksanya berperilaku tertentu. Jadi. berbicara tentang pluralisme hukum berarti mau terbuka terhadap segala sistem normatif yang dapat ditemukan dalam berbagai bentuk pranata hukum.
Kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di paroki Mangga Besar telah memperlihatkan bahwa dalam mengatasi kasus perkawinan antar agama yang dihadapinya, masing-masing pasangan perkawinan campuran ybs tidak semata-mata berperilaku atas dasar hukum tertentu saja (misalnya: hukum negara atau hukum agama). Hasil penelitian menunjukkan bahwa arena interaksi sosial yang paling banyak mempengaruhi kehidupan pasangan perkawinan antar agama di paroki Mangga Besar adalah lingkungan hidupnya sebagai orang-orang yang berkebudayaan Cina serta kondisi masyarakat sekitar yang mendesak pasangan yang bersangkutan untuk akhirnya memilih kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan dunia sosial sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan hidup pribadinya. Dalam hal ini jenis sistem normatif yang dipilih pasangan perkawinan campuran di paroki Mangga Besar memang banyak dipengaruhi oleh arena/lapangan interaksi sosial tsb di atas.
Akhirnya hasil penelitian juga menunjukkan bahwa banyaknya kasus perkawinan antar agama yang terjadi di paroki Mangga Besar terutama sangat didukung oleh pola perkawinan yang dianut oleh umat Cina di Mangga Besar, yaitu perkawinan dengan sesama etnis Cina sendiri. Dengan pola perkawinan seperti ini kasus perkawinan antar agama ternyata tidak banyak membawa konflik. Dalam hal ini pasangan-pasangan perkawinan campuran yang ada tampaknya menyadari betul bahwa walaupun berasal dari agama yang berbeda, mereka masih memiliki nilai-nilai kebudayaan yang sama sebagai orang Cina."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T1208
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andary Yusiana
"Tekanan kehidupan yang terjadi dalam kehidupan syarakat memberikan banyak permasalahan pada kalangan remaja. Untuk mendapatkan jalan keluar dari permasalahannya, cara yang termudah adalah melakukan pertukaran informasi atau berkomunikasi. Komunikasi terbuka dapat dilakukan dengan meningkatkan penilaian remaja terhadap dari sendiri. Pandangan seorang remaja terhadap dirinya ini baik pada remaja yang terlibat maupun yang tidak terlibat dalam perkelahian pelajar dapat dijadikan gambaran untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan dorpngan untuk berkelahi Sehingga dengan mengetahui faktor-faktor tersebut perkelahian pelajar dapat dihindari. Dalam memahami bagaimana seorang remaja mempersepsikan dirinya penelitian yang bersifat kualitatif ini menggunakan definisi konsep diri dari Adler clan Towne, terutama bagaimana seseorang melihat dirinya dalam tiga dimensi dari diri itu perceived self, desired self dan presenting self."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 1994
S4130
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>