Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153384 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ati Nurbaiti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Calvin
"Puri merupakan sebuah identitas kelompok elite yang berasal dari keluarga kerajaan dalam masyarakat Bali. Puri terbentuk sejak masa penaklukan Kerajaan Bedahulu oleh Majapahit pada abad ke-14. Peran sosial yang dilakukan oleh puri masih tetap bertahan hingga masa kini, meskipun puri tidak lagi memiliki kekuasaan formal dalam pemerintahan. Secara umum, puri memiliki tiga peran sosial yang menjadi bagian utama, yaitu (1) peran kultural dalam preservasi seni, khususnya di tengah derasnya perkembangan pariwisata di Pulau Bali, (2) peran ekonomi terkait kesejahteraan masyarakat yang berada di bawah naungannya, dan (3) peran politik dalam mengarahkan figur tertentu dan/atau ikut serta dalam pemerintahan lokal melalui pemilihan umum. Meskipun demikian, perubahan pespektif dari masyarakat terhadap puri pada masa kini dan perbedaan kapabilitas puri yang besar menjadikan peran puri tidak lagi sama antara satu dengan lainnya.
Untuk memahami lebih lanjut mengenai peran puri dalam masyarakat Bali pada masa pasca-Orde Baru, penelitian ini dititikberatkan pada dua studi kasus di dua wilayah berbeda, yaitu Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar. Kabupaten Klungkung merupakan lokasi Puri Agung Klungkung yang merupakan puri tertua di Pulau Bali. Kabupaten Gianyar merupakan lokasi tiga puri yang menjadi obyek penelitian, yaitu Puri Agung Gianyar (Puri Gianyar) di Kecamatan Gianyar, serta Puri Saren Ubud dan Puri Agung Peliatan (Puri Ubud) di Kecamatan Ubud. Penelitian ini dirancang untuk menganalisis peran politik puri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar serta faktor yang mempengaruhi peran politik tersebut. Teori oligarki, pseudohistori, dan penjelasan mengenai relasi antarkasta dalam masyarakat Bali menjadi penting dalam menganalisis temuan-temuan yang ada dalam penelitian ini. Melalui metode kualitatif, sumber primer penelitian yang didasarkan pada wawancara mendalam dengan sejumlah tokoh puri dan nonpuri diletakkan sebagai kunci utama dalam penelitian ini, selain sumber-sumber sekunder yang juga menunjang kebutuhan informasi lanjutan dalam memahami peran puri secara lebih mendalam.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Puri Klungkung memiliki kapabilitas internal dan eksternal yang lebih lemah dalam memainkan tidak hanya peran politik, namun juga peran ekonomi dan kultural jika dibandingkan dengan peran sosial Puri Gianyar dan Puri Ubud. Kalangan elite Puri Gianyar dan Puri Ubud di Kabupaten Gianyar mampu menjalin relasi yang lebih intensif dengan masyarakat, sehingga partai politik tidak pernah merekomendasikan tokoh di luar puri untuk maju dalam pemilihan umum, setidaknya sampai tahun 2012. Penelitian ini juga tidak menemukan kepentingan bisnis yang bersifat oligarkis dalam jabatan politik tokoh puri di Kabupaten Gianyar, meskipun wilayah ini merupakan wilayah pariwisata terbesar ketiga di Bali, selain Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Kecenderungan bias status dari kalangan puri dan nonpuri juga menjadi temuan penting dalam penelitian ini yang menunjukkan perbedaan perspektif terjadi secara nyata dalam memandang puri dari kalangan nonpuri dan sebaliknya. Kasus pseudohistori yang ditujukan untuk memperbaiki citra puri dalam kasus Puri Agung Klungkung juga menambahkan temuan penting dalam penelitian terkait peran politik puri dan strategi untuk mendapatkan jabatan politik praktis.
Skripsi ini diharapkan mampu mengisi celah penelitian terkait politik lokal di Bali, khususnya dalam memahami peran politik puri di masa pasca-Orde Baru secara lebih kontemporer hingga mencakup tahun 2012. Berdasarkan temuan penelitian yang ada, secara keseluruhan puri masih menjadi entitas sosial penting yang memiliki kapabilitas khusus dalam memperoleh dukungan dan legitimasi dari masyarakat di kedua wilayah tersebut, meskipun berbeda secara karakter.

Puri is an elite group identity which originated from Balinese royal family. Puri was formed since the Majapahit conquest of Bedahulu Kingdom in the 14th century. The Puri‟s social role still hitherto persists, albeit puri is no longer holds formal authority in local goverment. Generally, puri has three social roles which are substantial, there are (1) cultural role in arts preservation, mainly through vigorous development of tourism in Bali Island, (2) economic role which is related to community welfare under its influence, and (3) political role in directing certain figures and/or participating in local government through elections. Nevertheless, changing perspectives on puri in Balinese community in recent days and huge capability divergences among puri themselves render puri‟s roles being different from each other.
To deepen comprehension on puri‟s roles in Balinese society in post-New Order era, this research is scrutinized in two case studies in two different locations, namely Klungkung Regency and Gianyar Regency. Klungkung Regency is home to the Puri Agung Klungkung which is the oldest puri on the island of Bali. Gianyar Regency is home to three puris which are being research objects, namely Puri Agung Gianyar (Puri Gianyar) in Gianyar subdistrict, along with Puri Saren Ubud and Puri Agung Peliatan (Puri Ubud) in Ubud subdistrict. This research is designed to analyze political role of puri in Klungkung Regency and Gianyar Regency along with some factors affecting the so-called political role. Oligarchic theory, pseudohistorical, and elucidation of caste social relations in Balinese society become necessary to analyze the findings on this research. Through qualitative method, primary sources of this research which are based on in-depth interview with several puri and nonpuri figures provide the setting on this research, aside from secondary sources which bolster additional informations to comprehensively deepen understanding of puri.
The results of this research show that Puri Klungkung has weaker internal and external capacities in playing not solely political role, but also economic and cultural roles if collated with social roles of Puri Gianyar and Puri Ubud. Elite cohort of Puri Gianyar and Puri Ubud in Gianyar Regency is still able to maintain intensive relations with its people, hence political parties never recommend figures outside puri to join local elections, leastwise up to 2012. This research also finds no business interests in Gianyar Regency through political offices held by puri elites which seems like oligarchic, whereas this regency is the third most favorite tourist destinantion in Bali, after Badung Regency dan Denpasar City. The propensity of status bias from both puri and nonpuri elites also becomes an important finding on this research which shows different perspectives that occur apparently regarding puri through nonpuri and vice versa. Pseudohistorical cases which addressed for beautification attempts of puri‟s image in case of Puri Agung Klungkung also add important findings on political role and strategies of puri to achieve political offices.
At last, this thesis is expected to fill the gap on study of local politics in Bali, particularly in comprehension of puri‟s political role in post-New Order era contemporarily up to 2012. Based on existing research findings, overally puri is still an important social entity which has special capabilities to obtain support and legimation from its people in both locations, despite different characteristically.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S46919
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The province of East Kalimantan has the largest tropical
forests in indonesia. Throughout the era of the New
Order government under President Soeharto the natural
resources especially tropical forests were .systematically
exploited without any serious effort on the part of the
government and private companies to take care of the
social and environmental aspect of such exploitation. As
a result, severe environmental degradation tool: place
and the local people in the country side lost their
sources of livelihood in the midst of the presence of
multinational corporations and private forest
concessionaires ironically there were enclaves of
poverty. in this era of regional autonomy there is much
doubt that the situation could get better as local
government authorities tend to repeat past mistakes and
they are unable to control the extensive practice of
illegal logging. This writing will propose some potty
suggestions that might be helpful for promoting the
principles of sustainable development and putting an end
to the phenomenon of "the tragedy of the commons"."
Jurnal Hukum Internasional: Indonesian Journal of International Law, Vol. 4 No. 4 Juli 2007 : 717-744, 2007
JHII-4-4-Jul2007-717
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Apu yang dapat kita saksikan sekarang Orde
Baru relah memanfaatkan produk-produk hukum yang dihasilkan dari keadaan darurat.
Mereka telah menempuh jalur hukum berda-
sarkan prinsip-prinsip yang masih disesuaikan
dengan keadaan darurat atau zaman kolonial.
Dengan begitulah Orde Baru mempertahankan
delik-delik politik di Indonesia. Selama ini tak
tak ada upaya mereka untuk menyempurnakan
atau mengubahnya. KUHP sepenuhnya masih
sebagai warisan kolonial. Artikel ini membahas
dan menyoroti berbagai segi dari kejahatan po-
lilik di Indonesia, baik segi yuridis maupun se-
gi-segi non yuridis.
"
Hukum dan Pembangunan Vol. 27 No. 1 Februari 1997 : 15-23, 1997
HUPE-27-1-Feb1997-15
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Deliar Noer
Bandung: Mizan, 1997
320.01 Noe p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Deliar Noer
Jakarta: Mizan, 1998
320.5 DEL p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
A. Rahman Zainuddin
"Terlebih dahulu saya memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala atas segala nikmat dan rahmatNya, termasuk kurnia yang memungkinkan kita berkumpul dalam ruangan ini pada pagi ini.
Dalam kesempatan ini, saya ingin membicarakan masalah aspek-aspek moral dalam pemikiran polilik. Saya memperhatikan bahwa dalam waktu-waktu terakhir telah menjadi semacam pendapat yang diterima masyarakat bahwa kata-kata politik itu seringkali diasosiasikan dengan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral. Karena itu, politik merupakan sebuah dunia tempat orang memberikan janji-janji yang tidak akan dipenuhi, serta mengucapkan kata-kata yang memang dari semula telah direncanakan untuk memberikan kesan yang tidak benar bagi para pendengar. Dalam politik seperti itu, orang mengadakan perjanjian-perjanjian rahasia yang sama sekali tidak akan dapat diterima masyarakat, apabila mereka mengetahuinya. Dalam politik, orang melakukan segala macam tindakan yang tidak sesuai dengan budi pekerti, moral dan akhlak yang mulia. Kenyataan seperti ini telah menjadikan kata-kata politik memiliki konotasi yang tidak terhormat.
Karena itu, dalam kesempatan ini, saya mengajak agar kita menelusuri kembali perkembangan pemikiran politik itu semenjak dari semula, mulai dari pemikiran yang terdapat di dunia Yunani Kuno. Dengan demikian diharapkan agar kita dapat menempatkan kata-kata politik itu pada tempatnya yang tepat, terutama dalam pemikiran politik kontemporer, termasuk masalah-masalah politik di tanah air kita tercinta ini.
Apabila kita telusuri pemikiran politik semenjak dari asal usulnya di dunia Yunani Kuno itu, kita dapati bahwa apa yang dipikirkan para pemikir seperti Socrates dan Plato adalah upaya untuk mendirikan sebuah negara, atau persemakmuran, atau polis, yang akan dapat memberikan kesempatan kepada manusia untuk berkembang sesuai dengan potensi yang terdapat di dalam dirinya. Mungkin karena di masa itu, dunia politik di bagian dunia itu telah ditandai oleh kekacauan dan peperangan yang berkepanjangan, maka tampak bahwa yang menjadi obsesi Plato dalam tulisan-tulisannya, yang dikemukakan dengan perantaraan mulut Socrates, adalah mendirikan sebuah negara yang stabil, aman dan makmur, dan setiap orang memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensinya demi untuk kebaikan bersama.
Namun karena demikian hanyutnya Plato dalam utopianya, maka apa yang terlampaui olehnya adalah memikirkan apakah masalah yang direnungkannya itu dapat ditegakkan di alam nyata atau tidak. Upaya pendidikan yang ingin ditegakkannya dalam persemakmuran atau negaranya itu adalah demikian sentralnya, sehingga tidak begitu jauh panggang dari api apabila kita katakan bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan itu pada pendapatnya menjadi syarat mutlak bagi kemajuan negara yang dicita-citakannya itu.
Pendapat para pakar tentang diri dan pemikiran Plato, serta motivasinya dalam menulis buku-bukunya, juga bermacam-macam. Bagi Popper (1980) jelas bahwa Plato merupakan musuh dari masyarakat yang terbuka. Baginya Plato adalah musuh demokrasi dan lambang dari kesewenang-wenangan penguasa. Ia mengatakan bahwa program politik Plato jangankan akan menjadi lebih unggul secara moral daripada totalitarianisme, ia malah pada dasarnya sama dengannya."
Jakarta: UI-Press, 1995
PGB 0479
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Tokan Pureklolon
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2021
320 THO k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"This paper argues that the rights of social -politics of non-muslim in islamic state are recognized as the fundamental rights which is guarenteed by state through giving access,opportunity and fredom in private and public affairs in accordance with human rights and dignity .In Islam ,the writer argues,the discrimination againts human wrights which is also in line with islamic values is extremely rejected. The rights of non - muslim is put within five principles: protection of life, reason, wealth, religion and dignity....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Hamad
"Dalam situasi transisi politik tahun 1999, munculnya kebebasan berpolitik yang ditandai dengan berdirinya banyak partai, di satu sisi, memicu munculnya kembali aliran-aliran ideologi partai seperti ketika Indonesia menganut sistem liberal 1955-1959. Kebebasan pers yang hampir tanpa batas pasca reformasi, di sisi lain, menghidupkan lagi "panggilan sejarah" media massa Indonesia yang telah memasuki era industri.
Pertautan antara keduanya --pers dan partai politik--dalam situasi transisional itu tentu menjadi sangat khas. Bagi pers, berbagai kemungkinan bisa terjadi dalam meliput partai partai politik : lebih berorientasi pada semangat ideologis, idealis, politik ataukah lebih mementingkan ekonomi ---hal-hal mana yang ingin ditemukan dalam penelitian ini.
Dengan menggunakan analisis wacana kritis sebagai metode pembacaan terhadap berita-berita sembilan parpol selama kampanye Pemilu 1999, ternyata 10 koran yang diteliti menunjukkan pencitraan dan orientasi pemberitaan yang berbedabeda di antara mereka. Mereka memanfaatkan tanda-tanda Bahasa (membangun wacana) dalam mengembangkan pencitraan tersebut tempat dimana motif yang mereka miliki bersembunyi : motif ideologis, idealis, politis dan ekonomi tadi.
Untuk pengembangan politik yang sehat (demokratis) pola pengkosntruksian parpol yang terlalu berorientasi pada kepentingan kelompok sealiran saja maupun yang sangat mengutamakan nilai jual berita, jelas bukan isyarat yang balk Hal ini seyogyanya menjadi bahan pertimbangan bagi pers Indonesia untuk peliputan-peliputan parpol di masa yang akan datang. Untuk para pengkritisi pers, penelitian seperti ini dapat diperkaya untuk memastikan dijalankannya tanggung-jawab sosial oleh pers atau pelaku komunikasi lainnya (pangiklan, humas, politisi, dan sebagainya).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D516
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>