Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28829 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
S5821
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Suryana
"With reference to the establishing authority charismatic and the routinizing charisma process, this paper aims to analyze the authority not as a static concept, but rather as a dynamic concept. Both process has been involving several aspects of the actor and social cultural system which is conducive to it. On the routinizing charisma process in this Pesantren, the behaviours must be set as an example for values that externalize by charismatic figure. This become normative guidance and legitimized resources to next generation. In this context, it is occurred the differences between normative guidance (das sollen) with the practice of next generation (das sein) that wilt be emerged legitimation erotion."
[place of publication not identified]: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
MJSO-7-2000-51
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Djumali Alam
1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Susilo
"Tesis ini mengkaji tentang Jaringan Sosial yang diaktifkan khususnya oleh pimpinan pondok pesantren, baik di lingkungan intern maupun di lingkungan ekstern. Pondok pesantren yang dimaksud adalah PP. Tebuireng, Jombang Jawa Timur yang termasuk salah satu Pondok pesantren tertua, terbesar dan terkenal di Indonesia. Pondok pesantren tersebut telah mengalami perubahan-perubahan fisik dan non fisik, sehingga bisa tetap eksis atau bertahan sampai sekarang dan telah berumur 100 tahun.
Perubahan fisik intern PP. Tebuireng bisa dilihat dari luas tanah dan bangunan-bangunan di dalamnya yang permanen, perubahan luas tanah yang pada awal berdirinya hanya 200 m2, sekarang telah menjadi 25 ha, dan dari sebuah bangunan teratak sederhana sekali menjadi 25 buah bangunan permanen.
Perubahan non fisik intern PP. Tebuireng bisa dilihat dari dua macam, yaitu: (1) perubahan sistem pengajaran dan kurikulum dari sistem Sandongan, Sorogan dan Tahassus (diskusi) yang tidak mengeluarkan ijazah; (2) Sistem kepemimpinan Tunggal tanpa akte notaris menjadi sistem kepemimpinan Kolektif berakte notaris dibawah naungan sebuah yayasan yang bernama Yayasan KH.A Hasyim Asy'ari; (3) bertambahnya hak pemilikan pribadi menjadi hak pemilikan pribadi dan wakaf khususnya dibidang tanah.
Perubahan fisik ekstern disekitar PP. Tebuireng dapat dilihat dari beberapa macam jumlah bangungan yang berfungsi sesuai dengan fisik bangunannya, seperti rumah makan, tempat binatu, wartel, penyewaan komputer, toko kelontong, baik tempat mangkal penjaga keliling makanan kecil (baso, nasi goreng, lontong tahu, kacang hijau, es sirup dan sebagainya) dan pakaian serta alat-alat sholat dan perlengkapan lainnya berupa sandang.
Perubahan non fisik ekstern dapat dilihat dari berapa sendi kehidupan sehari-hari, seperti perubahan pandangan hidup, nilai-nilai dan norma-norma pergaulan sehari-hari serta kebiasaan prilaku seseorang yang hidup di masyarakat sesuai dengan keberadaan PP. Tebuireng yang bernafaskan ajaran agama Islam."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
A. Sadili Somaatmadja
"Kualitas lingkungan hidup saat ini cenderung semakin menurun dan mengkhawatirkan. Penyebab utamanya adalah pemanfaatan sumberdaya alam yang sangat berlebihan dan terlalu berorientasi kepada kepentingan manusia itu sendiri (antroposentris). Sikap hidup seperti itu cenderung eksploitatif dan tidak memikirkan nasib generasi yang akan datang, sehingga sumberdaya alam yang sangat terbatas itu akan semakin habis dan akhirnya alam akan menjadi ancaman bagi manusia.
Mengingat sumberdaya alam yang semakin berkurang, maka pembangunan sekarang harus lebih berorientasi ke alam (ekosentris), sebagaimana masyarakat tradisional melakukannya sampai sekarang. Masyarakat tradisional harus mempertahankan keadaan ekosistemnya dengan susah payah karena dampak arus globalisasi yang melanda dunia, dan kondisi ekonomi, sosial, dan politik nasional yang tidak menguntungkan.
Kampung Naga di Tasikmalaya Jawa Barat adalah salah satu lingkungan permukiman tradisional yang mengalami benturan antara nilai-nilai baru yang modem dengan nilainilai lama warisan para leluhur mereka yang tradisional. Untuk mengatasi permasaiahan tersebut, perlu dilakukan kebijakan pembangunan lingkungan yang arif, komprehensif; dan kondusif agar lingkungan permukiman tradisional tersebut dapat dilestarikan.
Permukiman yang dihuni oleh 325 penduduk atau 104 KK ini, dan menempati luas lahan yang relatif kecil, yaitu sekitar 11,5 hektar, terbagi atas 1,5 hektar untuk lahan perumahan, sedangkan sisanya digunakan untuk lahan persawahan, kolam ikan, kebun atau hutan (diluar hutan lindung milik pemerintah yang berada dibawah pengawasan masyarakat tradisional Kampung Naga, dan dijadikan sebagai hutan larangan). Disamping itu, mereka juga memiliki sawah dan kebun lain yang ada di luar lingkungan Kampung Naga yang secara ekonomis menunjang kehidupan sehari-hari masyarakatnya,
Perkembangan penduduk, kehidupan sosial-ekonomi, pariwisata, dan teknologi yang terjadi di sekitar lingkungan Kampung Naga menimbulkan gesekan antara nilai-nilai baru yang modern dengan nilai-nilai lama yang tradisional, baik dalam cara berpikir, bersikap, maupun bertindak masyarakatnya. Perkembangan ini mungkin akan menimbulkan perubahan dalam bentuk penyesuaian (adaptasi) terhadap perubahan tersebut. Kami meperkirakan (hipotesis) bahwa nilai-nilai baru tersebut tidak akan menimbulkan perubahan yang berarti (signifikan) di dalam kehidupan Mau kebudayaan masyarakat tradisional Kampung Naga, karena masih kuatnya memegang adat.
Tesis ini mencoba meneliti apa yang terjadi di dalam masyarakat, khususnya terhadap lingkungan permukiman Kampung Naga yang merupakan wujud kebudayaan fisik. Tujuannya adalah: (1) untuk mengetahui perubahan yang terjadi serta faktor-faktor penting apa saja yang mempengaruhi perubahan tersebut, dan (2) untuk mendapatkan sebuah model atau konsep perencanaan pelestarian lingkungan permukiman Kampung Naga yang adaptif terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi. Metoda penelitian yang kami gunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif, Data diperoleh berdasarkan survai lapangan dan pengamatan melalui wawancara secara mendalam (in-depth interview), pengukuran, dan perekaman. Data dianalisis dengan melihat kecenderungannya serta penifsiran terhadap aspek budaya dan lingkungan dalam persoalan pelestarian.
Dari hasil wawancara, pengamatan, perekaman, serta pengukuran langsung di lapangan, dapat di-identifikasi beberapa gambaran/permasalahan lingkungan permukiman sebagai berikut:
1. Berkurangnya hutan dan kebun yang menghasilkan bahan-bahan dasar untuk pembuatan rumah.
2. Meningkatnya daya dukung lingkungan pertanian akibat penggunaan pupuk buatan.
3. Meningkatnya kegiatan pembuatan barang-barang kerajinan yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi.
4. Meningkatnya wisatawan mancanegara (Wisman) dari wisatawan nusantara (Wisnu) yang dapat memicu perkembangan sosial-ekonomi dan budaya penduduknya.
5. Penggunaan alat komunikasi (hiburan) radio dan televisi yang dapat membuka kesempatan lebih besar masuknya pengaruh luar.
6. Perkembangan penduduk yang terus meningkat dikaitkan dengan daya tampung lingkungan perumahannya.
Atas pertimbangan tersebut diatas, maka model atau konsep perencanaan pelestarian lingkungan permukiman tradisional Kampung Naga harus mencakup pelestarian lingkungan alam, sosial, dan, binaan, yang meliputi aspek-aspek: (1) pelestarian lahan untuk perkebunan dan hutan, (2) sistem pertanian, (3) adat-istiadat, (4) pendidikan, (5) Hasil kerajinan, (6) perumahan, (7) kolam ikan.

Study on Traditional Community Adaptation to the Environment (Factors that Affect the Environmental Conservation Planning Pattern of a Traditional Settlement at Kampung Naga in Tasikmalaya, West Java)Nowadays, the quality of the livelihood in living environment tend to be decrease and very anxious. It's caused by human activities using natural resources that are more strengthen on the human being orientation (anthropocentric). This attitude to life brings them to have an exploitative thinking, and didn't think the generation afterwards; so the limitation of natural resources will end and finally it will threaten human being.
The orientation of the environmental development should be change from anthropocentric to eco-centric views like the Kampung Naga traditional community do. But, they are having difficulties to preserve the living environment because of the globalization and unprofitable conditions of economy, social, and politic in Indonesia today.
Kampung Naga is one of the traditional living environments that had been influenced by external factors like technology, social, and economy. To solve these problems, it should be doing by making development policy which is having wisely, comprehensiveness, and conduciveness.
Kampung Naga which is inhabited about 325 people or 104 families approximately occupied 11,5 hectares, divided to 1,5 hectares for housing area, and the rest are utilizing for another functions such as rise-fields, fish ponds, plantations or forestry (excluding the government forest which is under Kampung Naga community supervision, and it has to become prohibited forest or "hutan larangan"). Besides these properties, they also have the rise-field and plantation area outside the Kampung Naga environment which economically supporting their livelihood.
The development of inhabitant, social economy, recreation activities, and technology can touch each other between present or modern values and traditional values in all of the Kampung Naga community cultural activities. The adaptation of them maybe happened for this condition. The hypothesis of this research is that the present values significantly couldn't change in this livelihood or their cultural traditional communities.
This research tries to identify the Kampung Naga traditional living environmental problems. The objectives of this research are: (1) to know all the changes and what significant factors are affecting those changes, (2) to get the model or the concept of the Kampung Naga conservation planning pattern that is adapted to the changes. This research using the "description method" of qualitative approach. The data are obtained by field survey and supervision through in-depth interview, measuring, and photo taking. The data are analyzed by using the "trend analyses" and by interpreting the cultural aspect and environmental conservation.
From the result of these surveying activities, it can be identified some environmental community problems, such as:
1. The decreasing of forest and plantation that produced the basic materials for building the traditional house.
2. The increasing of agricultural carrying capacity because of using artificial tenure.
3. The increasing of making bamboo handicraft which economically has high value.
4. The increasing of tourism that stimulate the development of social, economy, and cultural aspects.
5. Utilization of radio and television set has broaden the walk view of the community.
6. The population increases which affect to the living facilities.
Base on all the problems above, therefore the model or concept of Kampung Naga conservation planning pattern covered the natural, social, and built environment aspects, such as: (1) conservation for the plantation and forest, (2) agricultural system, (3) custom and tradition, (4) education, (5) home industry, (6) housing, (7) fish-pond.
Number of References: 60 (1961 -- 2001)
"
2003
T11502
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amich Alhumami
"Tesis ini bermaksud membahas mengenai bagaimana kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam dan di luar lingkungan Pesantren Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat, terlibat konflik. Secara khusus dalam konteks eksternal, penulis ingin melihat dinamika konflik ideologis antara Jemaat Ahmadiyah, yang mewakili faham keagamaan Ahmadiyah dan Pesantren Cipasung, yang mewakili faham keagamaan ahlussunnah wal jam?ah atau Nahdlatul Ulama. Sedangkan dalam konteks internal, penulis ingin melihat dinamika konflik organisatoris antara pimpinan pesantren (dalam hal ini keluarga kiai) dengan pengurus BP2M.
Struktur sosial Desa Cipakat, tempat Pesantren Cipasung, menggambarkan sebuah masyarakat yang majemuk dari segi faham keagamaan, sehingga bisa membuka peluang terjadinya konflik. Sedangkan struktur organisasi di Pesantren Cipasung sendiri juga memperlihatkan keragaman unit program dengan melibatkan peran dari berbagai unsur. Kompleksitas peran dalam pesantren itu akan bersinggungan dengan kepentingan-kepentingan tertentu dari para pelaku organisasi, sehingga kemungkinan terjadi konflik pun menjadi terbuka."
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Ayunda
"ABSTRAK
Penelitian mengenai Tarekat Idrisiyah telah dilaksanakan di Pesantren Fathiyyah al Idrisiyah Pagendingan dan Majelis Taklim Al Idrisiyah jakarta pada bulan Juli 1989, Januari 1990 dan Mei 1990. Tujuannya adalah untuk mengetahui tentang ajaran tarekat Idrisiyah dan pelaksanannya serta tanggapan masyarakat terhadap ajaran-ajaran tersebut.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, disertai penelitian lapangan berupa observasi dan wawancara dengan tokoh-tokoh tareat Idrisiyah, yaitu diantaranya K.H. Muhammad Dahlan, K. Daud Burhanuddin, Hasbullah Bc.Hk., Ali Yusuf BA, Drs, Salim Bella Pili, Ibu Rohana serta wawancara kepada tokoh-tokoh masyarakat desa Jarihurip, Kecamatan Cisayong, Tasikmalaya.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa tarekat Idrisiyah mempunyai ajaran-ajaran yang cukup berat untuk diamalkan, sehingga tarekat ini hanya mempunyai sedikit pengikut yang aktif. Yang sedikit dari yang aktif itu, sangat taat menjalankan ajaran tarekatnya. Tanggapan masyarakat sekitar umumnya jurang menyetujui ajaran tarekat Idrisiyah.

"
1990
S13325
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudy Hertanto
"Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, kedudukan DKI Jakarta secara khusus diatur dalam pasal 227 yang terdiri atas 3 ayat, ayat (1) menyatakan bahwa khusus Untuk provinsi DKI Jakarta karena kedudukannya Sebagai Ibukota Negara RI diatur dengan UU tersendiri.Berkaitan dengan titik berat otonomi pasal (2) menyebut Secara tegas bahwa DKI Jakarta sebagai daerah Otonom, dan dalam wilayah administrasi tersebut tidak dibentuk daerah yang berstatus otonom, amanat Pasal 227 tersebut di implementasikan dengan di bentuknya UU Nomor 29 Tahun 2007. Dari persfektif yuridis sejak awal kemerdekaan sampai sekarang pengkhususan DKI Jakarta yang dicirikan dengan ditiadakannya wilayah administrasi adalah karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara RI. Secara demikian kehendak pasal 18 UUD 1945 yang menghendaki otonomi sampai pada tingkat Kabupaten/Kota tidak pernah dilaksanakan oleh seluruh UU yang mengatur tentang Pemerintahan DKI Jakarta, tetapi ketiadaan wiiayah administrasi yang bersifat otonom lebih didasarkan pada pertimbangan sosiologis dan politis Sebagai Ibukota Negara peran dan kedudukan Jakarta berbeda dengan Provinsi lain di Indonesia, dimana Jakarta harus dapat mengakomodasi peran lokal, nasional dan Internasional. Diantara sekian banyak perbedaan salah satu diantaranya status otonomi DKI Jakarta berada pada lingkup provinsi sebagaimana yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam perkembangannya Jakarta tumbuh menjadi pusat kegiatan yang sering menjadi tolak ukur pembangunan dan stabilitas keamanan nasional atau juga disebut barometer Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris sekaligus. Akan tetapi penelitian akan lebih menitik beratkan pada penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian hukum empiris berfungsi sebagai pendukung. Melihat sempitnya ruang sosial masyarakat Betawi yang mendiami Jakarta dibanding dengan luasnya wilayah Kota Jakarta, maka pemberian status otonomi kepada wilayah-wilayah kota tidak akan menimbulkan terbentuknya suatu identitas sosial karena hampir tidak terdapat sekat-sekat dan budaya diantara penduduk kota Jakarta yang tinggal di wilayah kota yang berbeda. Pembentukan wilayah-wilayah kota menjadi kota Otonom juga tidak secara signifikan mempererat kesatuan antara komunitas di wilayah-wilayah kota Jakarta.

In bill 32/2004, the position of Jakarta specifically slated in article 227 with three sub article where sub article (1) said that especially for the Jakarta as a capitol state must be arrange by its own bill. Relevantly with the autonomy as a heavy issue, sub article (2) explicitly stated that Jakarta also as a autonomous region, that is why to implementing the article 227 bill 29/2007 is created. From the legal perspective since the independence until recent era the exclusivity of Jakarta has own characteristic. Jakarta does not have the administrative region because its status as capitol state of Indonesia. Therefore as implied at article 18 of UUD 1945 that the autonomy status has to implement until the city/county has never been applied to all the bills concerning about Jakarta governance, though the absence of autonomous administrative region purely based on sociology and political aspects. As a capitol state of Indonesia the position and role of Jakarta different with other province in Indonesia, where Jakarta must accommodate many aspect, such as local, national, and also international aspect. Among many differences, Jakarta as an autonomic region, also framing in province characteristic as stated in many statute. In recent growth, Jakarta has grown into center of activities which often becoming as a parameter o f development and national security in Indonesia. This research used the normative legal method and also empirical legal method. Nevertheless this research heavily going to the aspect of normative legal research, while the empirical research mainly functions only as a back up opinion. Talking about the special status of Jakarta if we related to the Betawi people as indigenous people who lived in Jakarta compare with the widespread of Jakarta region, the given o f autonomous status to the area in the city doesn’t creatc a social identity because there are no fragmentation in cultural aspcct among the Jakarta’s people which live in different region of Jakarta. At last, the shaping of Jakarta as an autonomous region does not significantly binding the community between the regions of Jakarta."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37120
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>