Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157672 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
S5833
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Suhendar
Bandung: Akatiga, 1998
333.3 END p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Irhash A. Shamad
"Gejolak tuntutan otonomi daerah yang muncul di era Reformasi, mengindikasikan mandegnya pembangunan politik dan proses demokratisasi di Indonesia selama ini. Sejak lebih kurang empat dasawarsa yang lalu, rezim Orde Baru dalam menjalankan pemerintahannya, telah memperlihatkan hegemoni yang berlebihan bahkan cendrung mendominasi terhadap kehidupan berbangsa. Pluralisme kultural dalam negara bangsa semakin tidak dihargai, ketika sistem politik itu memaksakan homogenitas struktural dan kultural melalui jalur birokrasi yang sentralistis. Pembangunan ekonomi yang diwarnai intervensi politik dan eksploitasi sumber daya alam yang semakin menusuk ke unit sosial terbawah, telah menggerogoti kemandirian etnik di banyak daerah.
Pemberlakuan UUPD tahun 1979 sebagai upaya penyeragaman sistem pemerintahan, ditujukan untuk mengefektifkan pelaksanaan pembangunan di tingkat pedesaan. Pemberlakuan UU ini di Sumatera Barat telah mengakibatkan perubahan-perubahan struktural secara mendasar pada sistem sosial yang sudah mapan dan nyaris tidak pernah terusik semenjak masa kolonial. Pemecahan Nagari menjadi Desa telah menimbulkan berbagai akses negatif tidak hanya terhadap struktur kepemimpinan tradisional, juga berimplikasi pada perubahan-perubahan kultural dalam masyarakat Sumatera Barat. Berbagai anomi dan anomali dalam kehidupan masyarakat pedesaan terjadi akibat perubahan ini, pola kultur tradisional komunitas yang demokratik dan egaliter semakin terserabut di akarnya Namun demikian, ketika struktur baru "dipaksakan", ternyata tidak menimbulkan konflik eksternal yang berarti pada komunitas yang dulunya punya elit kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pusat ini. Signifkansi penulisan ini justru ditempatkan pada persoalan bagaimana komunitas Minangkabau beserta elitnya -pada waktu ini- menanggapi sebuah perubahan.
Bila ditelusuri secara teoritis, terdapat dua kelompok kepentingan, yaitu : di tingkat subordinasi adalah komunitas Minangkabau dan di tingkat superordinasi (kelompok dominan) adalah Pemerintah Pusat. Sementara Pemerintah Daerah sebagai kelompok menengah berada di antara keduanya, setidaknya begitu menurut konsepsi formalnya. Benturan kepentingan antara kelompok dominan dan kelompok subordinasi telah menempatkan kelompok menengah pada posisi "ketegangan". Dari sisi inilah peran elit kepemimpinan daerah telusuri. Metodologi strukturisme sejarah digunakan dalam melihat faktor-faktor penyebab (causal factors) dari perubahan struktural yang terjadi di daerah ini.
Tiga priode pemerintahan di Sumatera Barat selama Orde Baru yang dijadikan subyek penelitian untuk pembahasan ini adalah : Priode Kepemimpinan Harlin Zain (1966-1977), Anwar Anas (1977-1987), dan Hasan Basri Darin (1987-1997). Ketiga priode ini masing-masing memiliki karakteristik yang tidak lama dan dalam kondisi politik yang berbeda pula Harlin Zain yang tampil di awal pemerintahan Orde Baru adalah seorang ekonom sipil yang tidak memiliki basis sosial di daerah ini. Sementara kondisi daerah yang "terpuruk" akibat PRRI, sangat memerlukan penanganan yang tepat. Program-program yang dijalankan dalam rangka pemulihan kondisi sosial dan politik masyarakat di daerah ini, ternyata berhasil meletakkan fondasi-fondasi sebagai landasan yang diperlukan dalam pembangunan ekonomi selanjutnya. Faktor keberhasilan ini, selain ditentukan oleh strategi dan pendekatan yang baik terhadap masyarakat, juga sangat diuntungkan oleh adanya hubungun simbiosis antara daerah dan pemerintah pusat di awal pemerintahan rezim ini. Namun demikian prioritas yang diberikan terhadap aspek ekonomi telah gagal dalam mengembangkan kesadaran subyektif kelompok semu (elit tradisional) kepada kesadaran komunitas mereka, sehingga resistensi kultural komunitas ini tidak makin menguat dalam progam pemulihan yang dijalankannya.
Azwar Anas yang teknokrat dan militer kemudian melanjutkan kepemimpinan Harun Zain. Program pembangunan ekonomi yang dirintis sejak masa Harun Zain telah memapankan struktur perekonomian masyarakat. Akan tetapi ketergantungan pada pemerintahan pusat tidak makin menurun. Otoritas kekuasaan pusat mulai menggerogoti hak-hak sosial komunitas di daerah dengan diberlakukannya UU No.5 Tahun 1979. Pemerintahan Nagari yang telah dikukuhkan kembali di masa Harun Zain, dimentahkan lagi justru juga oleh pemerintah Daerah sendiri, yaitu dengan menetapkan Jorang -yang dulu merupakan bagian dari Nagari- menjadi Desa sebagai unit pemerintahan terbawah. Pertimbangan ekonomi serta peluang mobilitas lebih mempengaruhi elit daerah dalam mengambil keputusan ini. Di sini, terlihat kecenderungan kelompok menengah terseret ke kepentingan kelompok dominan. Kondisi teknis seperti ini tidak cukup untuk memunculkan pemimpin yang berorientasi pada pembentukan kesadaran ideologi kelompok subordinasi, apalagi sentralisme birokrasi pemerintah pusat makin mewarnai perkembangan politik saat itu, sehingga tidak terpenuhi prasyarat pembentukan kelompok kepentingan yang bersifat konflik.
Dalam priode kepemimpinan Hasan Basri Durin muncul kesadaran akan kepentingan kelompok komunitas. Kesadaran ini kelihatannya lebih dipengaruhi oleh terkendalanya berbagai program pembangunan ketimbang berkurangnya otoritas pusat di daerah. Sikap apatis masyarakat terhadap pelaksanaan dan pemeliharaan hasil pembangunan itu sendiri serta munculnya berbagai konflik internal telah mendorong pemerintah daerah mencari solusi-solusi baru dalam format lama. Manunggal Sakato don Musyawarah Pembangunan Nagari sebagai aplikasi prinsip kegotong royongan dan musyawarah (dalam nilai tradisional) yang diupayakan untuk menggalang partisipasi rakyat dalam pembangunan, telah "menjawab" tuntutan masyarakat untuk kembali ke format pemerintahan nagari. Meskipun dalam prakteknya masih dibungkus dengan budaya formalisme Orde Baru, namun apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah saat ini, setidaknya telah sedikit menggeser pola kebijakan pemerintah daerah dari kepentingan kelompok dominan ke kesadaran kepentingan kelompok semu (komunitas).

Hegemony of Central Politics and Local Ethnics Autonomy: Leadership of West Sumatera in New Order Indonesia The turbulence of regional autonomy demand that arise during Reformation era indicates slowing political and democratization development process in Indonesia so far. Since the past approximately four decades, the New Order regime in running its government has shown excessive hegemonic power - even trend to dominate-towards the nation life. Cultural pluralism in the nation state is no longer appreciated, when the political system forced structural and cultural homogeneity through centralized by political intervention and exploitation of natural resources that penetrated the lowest social unit, have undermined ethnic self-reliance in many region.
Enactment of WPD 1979 (Villages Government Laws 1979) as an act of homogenization of the government system, is intended to make more effective development implementation in village level. Enactment of this law in West Sumatera has caused fundamental structural changes in the established social system which is almost unchanged since the colonial period Splitting of Nagari into Desa have caused various negative excess, but also it has implication towards cultural changes in the people of West Sumatera . Various anomie(discrepancies) and anomalies in the life of village community occurred due to this changes, democratic and egalitarian as traditional cultural pattern of this community has become more uproot. However, when the new structure is "forced", it turned that it not caused significantly external conflict in this community which previously has aitical elites towards the policies of the central government one. The significance of this writing is the problem how the Minangkabau community and its elites -presently- respond a change.
If we trace it theoretically, there are two interest groups, namely: in subordination level is the Minangkabau community and in super ordination level (dominant group) is the central government. While the regional government as medium group that exists between them, at least according its formal conception. Clash of interest between the dominant group and subordinate group has placed the medium group in "strain" position. From there, the role of regional elite leadership will trace. The historical structures methodology is used in considering the causal factors of structural change in the established social system in this region.
The three government periods in the West Sumatera during the New Order that become the subject of this research to be discussed is : Harlan Zain leadership period (1966-1977), Azwar Anas (1977-19871 and Hasan Basri Durin (1987-1997). The three periods have dissimilar characteristics and it was also exist within different political condition. Harun Zain that emerged dining the beginning of New Order government is a civil economist that do not have social basis in this region. While the condition of the region that was in crisis due to PRRI badly, needed a proper handling. It turned out the programs that he made in order to recover the social and political of the community in this region have become foundation needed in the next economic development. This successful factor, only determined by proper strategy and approach towards the people, but also favored by existence of mutual Symbiosis relationship between the region and the central government at the beginning of this regime. However, the priority given to economic aspect has failed in developing subjective quasi group awareness (traditional elite) to their community awareness that this community cultural resistant was not growing within the recovery program that he performed.
Azwar Anas who was a technocrat and military then continued the leadership of Harlin Zain. The economic development that has been initiated since the period of Harlin Zain has made economic structure of this community established. However, the dependency on the central government was not decreased. The authority of the central government started to undermine the social rights of the community in the region with the enactment of UUPD 1979. The Nagari government that has been reestablished during Harun Zain period, failed even in the hands of the regional government itself, namely by deciding that Jorang -which was formerly part of the Nagari-become Desa as the lowest government unit. Economic consideration and opportunity for mobility affects the regional elite in making this decision. At this point, there is tendency that the medium group to be drifted to the interest of the dominant group.Such technical condition is not sufficed to bringing up a leader that oriented to formation of ideological awareness of the subordinate group, even more with centralism of central government bureaucracy that characterized the political development at that time, not sufficed the pre conditions for formation of conflict interest group
During the leadership of Hasan Basri Durin give a rise to awareness towards the community group interest It seems that this awareness is more affected by various imperfect development programs rather than the decreasing central government authority in this region. The apathy attitude of the people towards implementation and maintenance of the development result itself and the growing internal conflicts have encouraged the regional government to find out new solution in old format. Manunggal Sakato and Musyawarah Pembangunan Nagari as application of cooperation and consensus (in the traditional values) to mobilize people participation in the development, have "responded" the people demand to return to Nagari government format. Even though in its implementation it is still framed with formalism of New Order, however, the efforts done by the regional government at this time, at least have shifted the policy of the regional government from dominant group interest to quasi group interest (community).
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T7594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hill, David T.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011
070.4 HIL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Daulay, M. Zainuddin
"Pada tanggal 6 Oktober 1955 syekh Muhammad Makmun bin Yahya kembali ke Tanah Air dari Makkah, Saudi Arabia, setelah bermukim di sana selama kurang lebih 21 tahun menimba ilmu agama. Kepulangannya ke tanah air sekaligus mendirikan tarekat Mufarridiyah. Syekh Muhammad Makmun mendirikan tarekat ini, antara lain untuk meningkatkan ketaatan orang Islam kepada perintah-perintah agama. Menurut syekh Makmun, kehidupan masyarakat Islam di Indonesia saat itu sudah semakin jauh dari ukuran-ukuran keislaman sehingga masyarakat dipandang mengalami kekosongan agama dan kejiwaan. Itulah sebabnya ia mengajak masyarakat Islam berdzikir agar meningkat rasa takut kepada Allah. Dengan kata lain, ia ingin memperbaiki kondisi sosial masyarakat melalui jalur agama. Tarekat Mufarridiyah cepat berkembang dan memperoleh pengikut yang cukup banyak di berbagai wilayah Indonesia, bahkan sampai ke beberapa Negara, seperti Malaysia, Brunai Darusssalam, Singapura, Jepang, dan Australia. Daya tank tarekat ini selain amalan dzikir yang praktis, juga karena integritas sosok syekh Muhammad Makmun yang memiliki kharisma sangat tinggi dalam pandangan para pengikut dan pengagum. Syekh Makmun digambarkan sebagai wall dan ulama yang saat taat dan konsisten dengan ajaran agama, ia memiliki ilmu agama yang luas dan hafal al Quran. Selama 42 tahun sampai akhir khayatnya (1978) digambarkan setiap hari tanpa absen menghatamkan Al Quran. Dengan berbagi keutamaan yang dia miliki, dia diberi gelar al AlTamah (orang yang luas Ilmu), al hafidz (orang yang hafal Al Quran) dan Al kassyaaf ( orang yang diberi keistimewan oleh Allah dapat mengetahui berbagai hal di balik tabir yang ghaib). Bersamaan dengan pesatnya perkembangan tarekat Mufarridiyah pada tahun 70-an, sedang terjadi pula arus besar yang sulit dibendung melanda segenap penjuru tanah air, yaitu golkarisasi. Menghadapi arus golkarisasi pada saat itu, berbagai ormas keagamaan dan pemimpin kharismatik dihadapkan pada posisi dilemmatic. Jika bersedia mengikuti logika pemerintah masuk golkar, berarti slap dengan resiko terkoptasi serta kemungkinan kehilangan legitimasi umat. Bersikap kritis dan menolak bergabung, berarti siap dengan konsekwensi dan resiko politik tertentu. Syekh Muhammad Makmun adalah sosok yang memandang tidak perlu bergabung dengan Golkar sehingga mengalami berbagai tekanan dan hambatan dalam menjalankan aktivitas keagaman dan sosial. Bahkan tarekat Mufarridiyah dilarang di Sumatera Selatan dan Sumatera Barat dengan alasan sebagai aliran faham menyimpang. Ternyata dalam penelitian, aliran ini tidak mengajarkan sesuatu ajaran dan aktivitas yang menyimpang. Mufarridiyah juga tidak sama dengan gerakan sosial keagamaan yang lain seperti kasus Tanjung Priok, kasus kerusuhan Lampung, yang ingin menarapkan syariah Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka hanya ingin nilai-nilai Islam hidup dan menjadi landasan moral masyarakat. Namun mereka juga tidak setuju dengan berbagai ormas keagamaan yang dinilai akomodatif terhadap kepentingan pemerintah Orde Baru yang dipandang sekuler dan zalim. Penilaian dan sikap seperti inilah yang sering menjadi sumber ketegangan antara umat Islam dengan pemerintah pada masa Orde Baru. Dan ketegangan yang sama juga juga melanda Mufarridiyah, terutama setelah syekh Makmun wafat tahun 1978.

On October 6'h, 1955, Syekh Muhammad Makmun bin Yahya came back to the country from Makkah, Saudi Arabia, after he lived there for less than 21 years to study Islamic religion. His return to the country is olso to establish Tarekat Muffaridiyah. Syekh Muhammad Makmun established this tarekat (Moslem organization) to increase the Moslems obedience of the religion's commands. According to Syekh Makmun, the lives of the Moslem society in Indonesia during that time had become further away from the norms of Islam, that the society was considered in having an emptiness of religion and spirituality. This is the reason why he expects the society to do dzikir (repeatedly chant part of the confession of faith, as a form of worship) in order to increase fear towards Allah. On the other hand, he wishes to improve the society's social condition through religion. Tarekat Muffaridiyah has grown rapidly and has acquired well enough followers of some regions in Indonesia, even reaching other countries, such as Malaysia, Brunei Darussalam, Singapore, Japan, and Australia. The attraction of this tarekat, besides practical deeds of dzikir, it is also because of the integrity of the figure of Syekh Muhammad Makmun who, according to his followers and admirers is very charismatic. Syekh Makmun is described as a religious leader and an Islamic scholar and teacher who is truly obedient and consistent to the lessons of the religion. He has vase knowledge of of the Islamic religion and has memorized the Koran. For 42 years till his death (1978), he was described to not passing a day without completing reciting the whole Koran. With a multitude of excellence that he had, he was given a title Al Allamah (a person who has vase knowledge), Al Hgfidz (a person who memorizes the Koran) and Al Kassyaaf (a person who is given a specialty by Allah of identifying various things behind supernatural happenings). At the same time of the rapid development of Tarekat Muffaridiyah in the 70's, there was also an enormously strong movement, happening all across the country, which was known as Golkarization. To face the Golkarization during that time, several of the religious organizations and charismatic leaders were faced with a difficult situation. If they agreed to follow the government's logic to join Golkar, it meant they had to face the risk of being co-opted and the possibility of losing the legitimacy of their religious community. Being critical and refusing to join in, meant that they had to be prepared with the consequences and some certain political risks. Syekh Muhammad Makmun was a figure who had a certain view not to join in Golkar, resulting that he would experience all sorts of pressure and obstacles on doing religious and social activities. In fact, Tarekat Muffaridiyah was not allowed in South Sumatra and West Sumatra for the reason that it was a deviate religious sect. Apparently based on an observation, this religious sect does not teach deviate lessons and activities. Muffaridiyah is also not identical with other social religious movements such as the Tanjung Priok case, the Lampung riot case, which desires to apply Islamic Law in the life of the nation and country. They only wish the values of Islam in life and to become a moral base in the society. However they also do not agree with all sorts of other social religious organizations that are considered accommodative concerning the Orde Baru (New Order) that is described secular and tyrannical. The consideration and attitude like this is often being a source of strained situation between the Moslems and government in the Orde Baru periode. Muffaridiyah also felt the same stress, especially after Syekh Makmun passed away in 1978."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
T37524
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arndt, Heinz Wolfgang, 1915-2002
Jakarta : LP3ES , 1987
338.95 ARN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arndt, Heinz Wolfgang, 1915-2002
Jakarta: LP3ES, 1983
338.09 ARN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Rahmat
"Tesis ini membahas gerakan sosial baru yang terjadi di Papua. Bagaimana sikap penolakan masyarakat Papua terhadap integerasi dengan Indonesia sejak tahun 1969 lewat Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dengan bergerilya bersenjata kemudian berubah menjadi cara-cara damai dengan berpolitik dan membangun basis kekuatan massa bukan saja di hutan tetapi sampai didalam kota (konsep masyarakat modern).
Dengan menghadirkan organisasi perjuangan yang bernama Presidium Dewan Papua (PDP) sikap menolak integrasi. Sehingga yang menjadi rumusan masalah yaitu bagaimana bentuk organisasi PDP dan perannya dalam melahirkan gerakan sosial baru di Papua ?. Eksplorasi metode pada penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, karena peristiwa ini relatif masih baru maka sumber paling baik adalah pengumpulan dokumen dari hasil Musyawarah Besar (MUBES), Kongres Rakyat Papua Ke II dan dokumen penting PDP dan yang terpenting mewawancarai tokoh-tokoh gerakan sosial baru ini. Untuk memperkuat penelitian ini maka penulis menggunakan teori-teori gerakan sosial baru yang paling relevan dan tepat . Dengan melihat kunci kekuatan teori tersebut dimana lahirnya organisasi perlawanan rakyat, tokoh / pimpinan, adanya kesempatan politik, partisipasi masyarakat akar rumput dan tanggapan pihak yang berkuasa (pemerintah), sehingga lahir mobilisasi massa dan mobilisasi politik, karena adanya suatu kepercayaan (belief) sebagai sumber penyatu.
Temuan penelitian ini benar-benar menunjukkan realitas di Papua sebagai fenomena gerakan sosial baru yaitu, organisasi PDP yang laior berhasil merubah pola gerakan yang sebelumnya dengan cara gerilya bersenjata menjadi cara damai dan pola itu menjadi tema pokok perjuangan rakyat, selain ini representatif rakyat dengan melibatkan komponen perjuangan masa lalu seperti TPN / OPM, Tapoll Napol , perempuan, intelektual, dan lain-lain menunjukkan proses demokrasi yang jalan pada tingkat bawah. Cara-cara ini mendapat perhatian yang luar biasa bukan saja dari pemerintah Indonesia bahkan dunia luar.
Sekali lagi fenomena ini menjadi sangat menarik dan dapat di tarik bebarapa kesimpulan penting seperti ; ada satu perubahan dimana rakyat dapat memposisikan dirinya dalam konstalasi politik dan bernegara menjadi objek yang sangat berperan, kemudian rakyat tidak lagi semata-mata dijadikan objek keputusan pemerintah. Terjadi interplay of power antara institusi resmi dan kekuatan non formal massa. Akhirnya peran-peran oposisi sangat efektif dalam menciptakan perubahan yang cukup signifikan dalam bentuk kebijakan untuk menampung aspirasi rakyat yang timbul.

New Social Movement The Papuan Presidium Council And The New Social Movement In Papua After The Fall Of The New Order Regime In 1998This thesis discusses a developing New Social Movement In Papua. The nature of rejection of the Papuan community against integration with Indonesia, initially resulted from the so called Act Of Free Choice in 1969 was shown at the very beginning in guerrilla warfare. Recently, in spite of ongoing counter-tenor and intimidating human right violations the struggle has totally changed its course by the adoption of more peaceful and humane means for the restoration of Papuan sovereignty through the establishment of mass political power at the grass-root level, which exists not only in jungles but has widely spread into urban areas (a civic/modem society concept).
The presence of The Papuan Presidium Council (locally known as Presidium Dewan Papua or the PDP), play an important role in voicing people's rejection on integration with Indonesia. The new struggle concept has put a challenging strain on PDP, namely, how to organizationally activate this new form of Social Movement in Papua to keep up the struggle ? The exploration of this research fully adopt qualitative research method. As the case is a new, most of the resources are tapped from direct outcome of Deliberation Meetings (Mubes), the Second Papuan People Congress, PDP's initial documentation, and most importantly direct interview with those who - are responsible and involved in maintaining the New Social Movement. In order to strengthen the results of this research the writer has adopted the most recent, most relevant and most popular new social movement theories. Through these theories we can simply see in this case that the unity and oneness established among emerging people resistance organizations, community figures and leader, grass-root communities participation, situational political moments, and mass political mobilization against the government's authoritarian response, are tied as one based on one single belief
Achievements of the research indicated the emergence of current socio-political phenomenon in Papua as a New Social Movement. PDP has succeeded in converting a violence-based struggle into a `peaceful struggle'. Mass consolidation which involve a great deal of community representatives as well as past resistance organizations such as TPNIOPM (Papua Liberation Army), Tapol/Napol (Ex-political prisoners), as well as other civic components including women, intellectuals et cetera, is a good sign of a smooth running democratization at the grass-root level. Such situation has drawn serious foreign as well as domestic government attentions.
The phenomenon has served us some very interesting conclusions : the people has succeeded in the repositioning process to proactively participate in the overall state political constellation, and that the people are not longer object to government decisions. There is an interplay of power between existing formal institution and the non-formal people (mass) power. Finally, the current opposition has played an effective role in creating significant changes through the adoption of new policies in order to enhance accommodation of all emerging people aspirations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Wahidin
"Studi tentang omop dan gerakan sosiai dalam dinamika relasi masyarakat, negara dan pasar di era neoliberalisme ini panting dilakukan dengan alasan yaitu : a) dapat memperkaya studi tentang ornop dan gerakan sosial, b) memberikan sumbangan bagi pengembangan teori gerakan sosial di Indonesia, dan c) mengembangkan perspektif tentang gerakan sosial, khususnya gerakan petani dalam dinamika hubungan antara negara dan pasar atau dalam era neo-liberaiisme.
Penelitian peran jaringan ornop (Jarnop) dalam gerakan petani di Jawa ini memusatkan perhatian tiga permasalahan pokok sebagai berikut : 1) Bagaimana sejarah dan proses-proses sosial yang terjadi pada masa awal terbentuknya Jarnop? apa faktor-faktor utarna yang mendorong terbentuknya Jarnop?, 2) Bagaimanakah dinamika internal Jarnop dilihat dari kaitan antara perubahan struktur organisasi, visi dan misi, pertumbuhan anggota dan kepemimpinan dengan efektilitas Jarnop dalam memperkuat organisasi petanl dl Jawa ?, dan 3) Bagaimana Jarnop merespon dinamika Iingkungan strategis seperti kebijakan pemerintah, berkembangnya Iiberalisasi di sektor pertanian dan pergerakan sosiai yang dilakukan oleh ornop auau jaringan ornop yang Iain ?.
Kajian dinamika internal Jarnop dilakukan dengan mengkaji teori dari Mayer N. Zald (1977) tentang efektifitas organisasi gerakan sosial dan Charles Tilly (1975) tentang perkembangan organisasi gerakan sosial. Sedang kajian tentang Jarnop dalam era neo-Iiberalisme dilakukan dengan mengkaji teori dari Ailain Touraine (1988) tentang detemwinasi kebudayaan urnum atas gerakan sosiai dan James Petras (1997) tentang NGO dalam perangkap neo-Iiberalisme. Gerakan sosial pada dasarnya mencakup prinsip-brinsip sebagai berikut : a) Memiliki serangkaian tata aturan dan mekanisme yang mengatur tentang kewenangan, hak dan kewajiban seita pola komunikasi antar aktor yang terlibat dan dalam gerakan yang dirumuskan daiam bentuk organisasi gerakan, b) Memiliki cita-cita, tujuan serta strategi untuk mewujudkan tujuan , c) Memiliki program kerja, aktifitas dan taktik-taktik untuk memobilisasi sumberdaya, termasuk mendorong aksi kolektif clan melembagakan identitas dari para aktornya, d) Aksi gerakan sosial ditujukan untuk merespon struktur-struktur sosial yang membatasi dan tidak adil, dan e) Bekerjasama, berkoalisi dan bersaing dengan organisasi gerakan lainnya atau badan-badan pemerintah untuk mewujudkan tujuannya.
Organisasi Non Pemerintah (Omop) memenuhi ciri-ciri sebagai gerakan sosial dalam bentukkekuatan sosial yang,tumbuh»sebagai respon darisituasi Iingkungan yang represif, tidak demokratis dan tidak adll. Ornop merupakan sebuan bentuk gerakan terorganisasi yang merupakan kelanjutan dari bentuk-bentuk aksi kolektif terdahulu yang terus menerus mengontrol sumberdaya. Sebagai gerakan sosial, omop dihadapkan pada lingkungan hldup di mana paham dan praktek neo-Iiberalisme meluas dan menyerobot pada seluruh aspek kehidupan manusia. Gerakan sosial muncul dalam bentuknya sebagai gerakan anti-neoliberalisme yang didorong oleh kelompok-kelornpok bebas dimasyarakat yang disebut sebagai gerakan soSia\ baru. Jaringan Ornop Pendamping Petani Se-Jawa (Jarnop) merupakan sebuah jaringan kerja yang memiliki visi dan misi serta kegiatan yang ditujukan untuk mendorong terbangunnya gerakan petani di Jawa. Mandat utama Jamop adalah memperkuat organisasi petani di jawa supaya para petani dapat memperjuangkan permasalahan yang dihadapi secara mandiri.
Penelitian ini dllakukan dengan metode kualitatif menghasilkan anaiisis : a) adanya dialektika dalam perkembangan internal organisasi jarnop, strategi yang dikembangkan dalam memperkuat organisasi petani serta gerakan menentang Iiberaiisasi di sektor pertanian, dan dinamika internal organisasi petani itu sendiri.
Dialektika ini dimungkinkan karena melembaganya pola pikir dan pola kegiatan dengan model 'aksi - refieksi - alsi Ianjut? dalam organisasi jarnop maupun organisasi petani, b) ada kesesuaian antara dinamika internal organisasi jarnop, strategi gerakan yang dikembangkan dan dinamika intemal organisasi petani dengan dinamika perkembangan Iiberalisasi di sektor petanian, dan c) ada interaksi dinamis antara jarnop dan organisasi petani yang merepresentasikan diri sebagai socieiy dengan negara yang dibeiakangnya terdapat kepentingan pasar yang ditunjukkan dengan dinamika kegiatan Jarnop.
Kritik hasil penelitian ini atas teori Mayer N. Zald adalah pada strategi-strategi rasional yang dirurnuskan organisasi gerakan daiarn mencapai tujuannya. Strategi yang dikembangkan organisasi gerakan tidak selalu 'rasional-manajerialj penelitian ini menemukan bahwa rasionalitas strategi gerakan seialu bersifat 'kontekstual' dalam arti dipengaruhi oleh dinamika internal organisasi gerakan dan dinamika konstituennya.
Beberapa temuan pendukung dari kritik atas teori Zald tersebut antara Iain : a) tentang pola kepemimpinan yang efektif pada jaringan ornop bukanlah kepemipinan manajerial yang rasional, namun justru kepemimpinan jawa yang patron-client, b) Pola hubungan antara Jarnop dan FKIP seharusnya jelas dan rasional, namun walaupun kebutuhan mernperjelas hubungan sudah muncul namun pengurus FKIP tidak dapat menyatakan secara gamblang, narnun mereka mengambil jalan Zig-Zag agar Iangkahnya tidak menyinggung 'patron' nya, clan c) aksi-aksi yang dikembangkan Jarnop masih prototipe budaya jawa dengan taktik menghidari konflik langsung.
Aksi-aksi politik dalam bentuk rnobilisasi massa atau pengikut dalam jumiah besar tidak menjadi orientasi tunggal dalam gerakan jarnop, namun kebutuhan dan masalah yang dihadapi konstituen (petani) menjadi orientasi dasar bagi perumusan strategi gerakan. Strategi Jarnop memilih upaya-upaya yang lebih mengandalkan proses dialog, beltemu clan musyawarah. Aksi massa merupakan Iangkah akhir atau di tengah apabila upaya-upaya dialog terhambat untuk dilakukan. Keberhasilan Jarnop dalam mempengaruhi kbijakan tentang coorporate farming melalui serangkaian dialog, pertemuan dan kampanye merupakan peneguhan tentang masih pentingnya peran ornop dalam mengimbangi kekuatan negara dan pasar."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21993
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sjafri Sairin, 1945-
"On Javanese plantation workers in North Sumatera, Indonesia."
Bulaksumur, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2014
331.11 SJA d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>