Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171937 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"
"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S5840
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Institute for development of economics and finance (INDEF),
300 BEP
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Bustanul Arifin
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001
330.959 8 BUS e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Hatta, 1902-1980
Djakarta: Tintamas, 1967
330.1 MOH t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Hatta, 1902-1980
Djakarta: Tintamas, 1967
320 MOH t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Wahono
"ABSTRAK
Sejalan dengan judulnya, tesis ini dikembangkan terutama berdasarkan pada upaya untuk menjelaskan terjadinya proses perubahan tata niaga industri baja di Indonesia. Perubahan yang kemudian lajim dikenal dengan istilah deregulasi baja tersebut, merupakan salah satu bagian dari kebijakan pemerintah di bidang ekonomi secara keseluruhan. Tindakan itu dilakukan sebagai reaksi alas perubahan ekonomi politik internasional pada awal tahun 1980-an. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan ekonomi itu adalah untuk mendorong kinerja ekonomi nasional agar mencapai tingkat efisiensi yang tinggi. Namun demikian kebijakan tersebut juga dapat dilihat sebagai upaya reorientasi terhadap besarnya campur tangan pemerintah di bidang ekonomi. Untuk itu yang tidak dapat dihindarkan adalah terjadinya perubahan pelaku utama di bidang ekonomi, dari dominasi perusahan-perusahaan milik negara (BUMN) kepada ekonomi yang dijalankan oleh swasta. Akibatnya mekanisme ekonomi yang digunakan juga akan berubah, dari titik berat pada government control mechanism kepada market mechanism.
Sementara itu bagi Indonesia, industri baja merupakan salah satu industri hulu yang sejak awal pembangunannya telah memiliki kaitan erat dengan perkembangan masalah politik ketika itu. Secara ekonomi, arti penting industri baja dapat dilihat dari keterkaitannya dengan industri menengah dan hilir pengguna baja yang jumlahnya sangat luas, dan sangat dibutuhkan dalam rangka pembangunan nasional. Sedang secara politik, pembangunan industri baja itu sendiri tidak lepas dari latar belakang politik dan strategi keamanan nasional, terutama dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan barang vital yang menggunakan bahan baku baja, mulai dari industri ringan sampai ke industri berat serta industri peralatan militer. Sehingga pemilikan industri hulu baja dinilai akan menjamin adanya pasokan bahan baku yang aman dalam rangka pengembangan industri nasional.
Melihat arti penting dan tujuan kebijakan pemerintah tersebut, maka sebagai negara yang demokratis, peran serta masyarakat akan menjadi sangat penting pula artinya. Sebab kebijakan deregulasi akan mengarah kepada terjadinya democratic economic policy making, dimana masyarakat sebagai bagian terbesar dari partisipan di bidang ekonomi harus menjadi penentu dari kebijakan, terutama sekali yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Untuk itu penelitian ini berusaha untuk melihat kebijakan deregulasi industri dan perdagangan baja dari proses perumusannya. Bertolak dari permasalahan yang ingin diungkapkan tersebut, maka penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam penelitian kwalitalif dan metode analisanya bersifat diskriptif analitis. Artinya adalah, bahwa penelitian ini disamping menggambarkan fenomena yang ada juga menganalisis keterkaitan antara satu fenomena dengan fenomena lainnya. Adapun pendekatan yang digunakan adalah Ekonomi Politik (Political Economy), yaitu suatu pendekatan- yang berusaha mengkaitkan antara masalah-masalah ekonomi dengan politik. Pendekatan ini dianggap lebih cocok karena selain penelitian ini ingin menjawab pertanyaan bagaimana suatu kebijakan dirumuskan, juga karena studi ini ingin mengungkapkan jawaban politik dari pendekatan ini, yaitu siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan dan bagaimana prosesnya. Melihat pada kenyataan yang ada, maka sebagai unit analisisnya di sini adalah negara (state centred), karena walaupun mayarakat diyakini mulai besar peranannya namun dalam proses perumusan kebijakan keikutsertaan mereka masih banyak dipertanyakan.
Pembahasan tesis ini diawali dengan adanya perubahan di sektor penerimaan negara,
menyusul jatuhnya harga minyak di pasar internasional dan kecenderungan perubahan ekonomi politik secara global. Sejak awal Orde Baru, melalui dukungan devisa dari minyak, pemerintah melalui berbagai perusahaan negara (BUMN), secara aktiv menjadi pelaku utama di bidang ekonomi. Namun dengan jatuhnya harga minyak yang tajam dan terus menerus, pemerintah secara bertahap terpaksa hares menyerahkan sebagian besar pengelolaan ekonomi kepada swasta. Akan tetapi proses ini terjadi tidak dengan cara yang sederhana karena melibatkan berbagai kepentingan politik di tingkat pengambilan keputusan. Pertentangan terutama terjadi antara mereka yang mendukung ekonomi terbuka (pro-deregulasi), melawan mereka yang pro-nasionalisme ekonomi (status-quo). Oleh karena itu dilakukannya kebijakan deregulasi ini, bukan berarti hilangnya pengaruh kelompok pro-nasionalisme ekonomi, karena pertentangan pemikiran ekonomi yang terjadi tidak berlangsung secara zero-sume game, sehingga terjadi semacam tarik ulur (trade-off) dalam daregulasi yang dilakukan, terutama dalam masalah proteksi. Dua aliran utama (mainstream) ekonomi Indonesia ini, masing-masing memiliki pendukung dalam birokrasi maupun masyarakat pelaku bisnis, terutama mereka yang diuntungkan dari sistem yang bersangkutan. Mereka ini merupakan aktor-aktor yang mempunyai kepentingan melekat (vested interest), yang keberadaannya kerapkali menjadi pertimbangan utama dari deregulasi. Dalam penelitian ini juga dijelaskan perkembangan industri baja dalam negeri terutama PT Krakatau Steel sebagai pelaku utama, mulai dari awal pembangunannya sampai pada perkembangan terakhirnya, terutama berkenaan dengan kebijakan deregulasi baja yang telah memangkas segala fasilitas yang selama ini diberikan pemerintah.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa, faktor-faktor yang menjadi pendorong deregulasi baja dan ekonomi secara keseluruhan adalah jatuhnya harga minyak, tekanan dari dalam birokrasi pemerintah, tekanan dari kreditor internasional, tekanan dari kalangan swasta dan situasi serta kondisi ekonomi politik internasional dan nasional yang telah bertaut menjadi satu kekuatan pendorong yang tidak terabaikan. Sementara itu, sebagai negara yang mengandalkan pada single commodity migas sebagai sumber devisa negara, jatuhnya harga minyak sangat dirasakan akibatnya. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain bagi pemerintah untuk melakukan alih strategi, dari ekonomi yang berorientasi ke dalam (inward looking) ke ekonomi yang berorientasi ekspor (outward looking); dari kebijakan industri substitusi impor (ISI), yang lebih menekankan pada pemenuhan barang pengganti impor dan ekspor bahan mentah kepada industri yang berorientasi ekspor (export oriented) yang menekankan kepada produk barang olahan (industri manufaktur).
Dalam prosesnya, deregulasi lebih merupakan inisiatif dari pemerintah ketimbang swasta (masyarakat). Oleh karenanya keterlibatan masyarakat baik melalui Kadin, sebagai lembaga perwakilan para pelaku bisnis, DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, serta Parpol sebagai lembaga aspirasi secara umum, adalah tidal( kentara. Minimnya peran mereka ini sebagian diakibatkan adanya strategi korporatisme negara yang dikenakan pemerintah sejak Orde Baru dengan sokongan dari besarnya penerimaan negara dari minyak. Adapun sebab lain dari lemahnya keterlibatan perwakilan masyarakat tersebut menurut pemerintah adalah, dikarenakan terlalu luasnya cakupan organisasi-organisasi tersebut, sehingga dianggap tidak langsung berkaitan dengan industri terkait (baja). Sementara itu Asosiasi (baja) dan Pers diyakini oleh pemerintah memiliki keterkaitan yang kuat dalam kebijakan deregulasi yang dirumuskan. Peran mereka terutama dalam memberikan input yang berkaitan dengan struktur biaya (cost stucture) produksi maupun perkembangan harga dan bahan baku di pasar internasional maupun domestik. Dari penelitian ini juga ditemukanbahwa, mudahnya deregulasi dilakukan terhadap industri baja antara lain dikarenakan industri ini sepenuhnya milik negara. Sedang swasta yang bergerak di sektor hulu satu-satunya milik Liam Soe Liong CRMI (Cold Rolled Milling Steel Industry) sudah diambil alih oleh PT Krakatau Steel milik negara (BUMN) beberapa waktu sebelum deregulasi Oktober 1993 dikeluarkan.
Implikasi dari kebijakan deregulasi industri dan perdagangan baja ini sangat terkait dengan pertanyaan pendekatan ekonomi politk, terutama siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dari kebijakan tersebut. Mereka yang dirugikan dari kebijakan deregulasi industri dan perdagangan baja ini adalah PT Krakatau Steel, yang selama ini ditunjuk menjadi distributor utama kebutuhan baja nasional dan menikmati berbagai fasilitas proteksi dan subsidi akhirnya hams dilepaskan. Akibatnya adalah terjadinya penurunan keuntungan yang tajam menyusul dikeluarkannya Paket Deregulasi 23 Oktober 1993, yang secara telah menghapus sama sekali dan mengurangi proteksi bea masuk (BM) dan bea masuk tambahan (BMT) atas sebagian besar produk baja. Adapun mereka yang diuntungkan dari kebijakan ini adalah perusahaan-perusahaan yang banyak menggunakan baja sebagai bahan bakunya, seperti perusahaan konstruksi, industri alat-alat berat, otomotif, makanan kalengan dan seterusnya yang banyak bergerak di sektor menengah dan hilir dalam proses produksi. Sedangkan ancaman terhadap prospek deregulasi Baja ini, terutama berkenaan dengan adanya tuduhan dumping yang dialamatkan terhadap produsen baja asing yang selama ini menjual produk mereka ke Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan raregulasi barn (reregulasi), karena mereka mendapat dukungan dari Menteri Perindustrian (juga Komisaris utama PT Krakatau Steel), yang berjanji untuk segera menerapkan UU Anti Dumping.
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggalih Bayu Muh Kamim
"Penelitian ini bertujuan untuk mendalami pergeseran pengelolaan pariwisata berbasis warga, menjadi turisme massal yang didorong pemerintah di DIY. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi, dan penelusuran data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah pusat mulai mendorong turisme massal sejak 1980-an karena negara berkepentingan untuk menjadikan pariwisata sebagai salah satu sumber pendapatan utama setelah ledakan bisnis minyak bumi berakhir. Turisme massal berkembang sampai akhir tahun 1990-an. Namun, harus menghadapi guncangan akibat kebakaran hutan, krisis ekonomi, Bom Bali 1 dan 2, serta wabah SARS. Gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 sempat mengganggu proses pemulihan. Satu dekade setelah gempa, turisme massal mulai berkembang, ditandai dengan masifnya pembangunan hotel. Dampak negatif muncul, berupa masalah akses warga terhadap air, pemukulan gerakan buruh, dan kebijakan yang tak memperhatikan partisipasi publik. Pemerintah terus mengembangkan turisme massal melalui RPJMD DIY 2017-2022 sebagai wujud pertemuan kepentingan pusat dan daerah. Berbagai proyek yang ada dalam RPJMD DIY 2017-2022 ternyata dilakukan dengan mobilisasi kebudayaan dan kekerasan, sehingga berujung pada peminggiran masyarakat dan bertambah parahnya privatisasi tanah dan tenaga kerja. "
Sumedang: Puslatbang Pkasn Lan, 2023
JWK 26:1 (2023)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
R Kristiawan
"ABSTRAK
Penelitian ini mencoba untuk melihat situasi democratisasi media di Indonesia
dalam hubungannya dengan aspek industri dan ekonomi. Latar belakang politik
adalah situasi politik sebelum kejatuhan Orde Baru ketika masyarakat sipil, aktivis
media, dan jurnalis, mulai mengonsolidasikan kekuatan mereka untuk meraih
kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi. Pemicunya adalah peristiwa
pembredelan tiga media cetak: Tempo, Editor, dan Detik pada tahun 1994 akibat
pemberitaan tentang pembelian kapal perang eks Jerman Timur. Pembredelan ini
memicu perlawanan politik pada satu sisi, dan konsolidasi demokrasi di kalangan
jurnalis dan aktivis pada sisi yang lain. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
kemudian dideklarasikan oleh Goenawan Mohammad dan para wartawan lain di
tahun 1994 untuk mewadahi organisasi jurnalis alternatif di luar Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI).
Mereka kemudian mengonsolidasikan kekuatan mereka melalui gerakan bawah
tanah termasuk menerbitkan Independen, majalah bawah tanah, yang berbuntut
pada pemenjaraan tiga jurnalis. Sejak itu, didukung oleh donor asing, Goenawan
Mohammad menerbitkan Suara Independen untuk melanjutkan perjuangan
melawan Soeharto. Perjuangan itu berhasil. Sesudah krisis ekonomi, Soeharto
akhirnya jatuh, yang menjadi momentum dari proses legislasi yang banyak
didukung Presiden Habibie. UU Pers No. 40/1999 disahkan dan mengubah
kebijakan lama yang otoriter menjadi liberal. UU PErs menjamin ekspresi
demokratis dengan membatalkan mekanisme SIUPP. Dalam konteks kapitalisme
global, perubahan hukum ini merupakan perubahan struktural penting bagi
Indonesia untuk berintegrasi ke kapitalisme global.
Meski demikian, situasi demokratis itu merupakan kesempatan bagi kekuatan
pasar untuk memperluas pasar. Ketiadaan SIUPP memunculkan bonanza industry
pers yang tidak memliki preseden dalam sejarah pers Indonesia sebelumnya.
Industri media menjadi lebih kuat dan terkonsentrasi. Di ranah penyiaran, sejarah
kapitalisme semu menciptakan hubungan yang unik antara industry penyiaran dan
birokrasi. Dalam arah demokratis dan kapitalistik dinamika media di Indonesia
menjadi sangat menarik dalam hal bagaimana kekuatan demokratis dan
kapitalistik itu mengontestasi kepentingan mereka dan bagaimana kepentingan
publik dilanggar dalam arena itu. Sejarah menunjukkan bahwa kekuatan pasar
adalah pemanang, sementara yang lain berpendapat bahwa proses ini merupakan
demokratisasi. Data-data menunjukkan bahwa yang tumbuh hanyalah belanja
iklan, sementara data lain seperti indeks kebebasan pers, kesejahteraan jurnalis,
serikat pekerja pers, memburuk. Data lain menunjukkan konvergensi kepemilikan media yang mungkin membawa Indonesia ke konglomerasi media. Penelitian ini
akan menunjukkan data-data tersebut.
Riset ini mencoba melihat dinamika ekonomi politik dalam situasi media
Indonesia kontemporer. Riset ini menggunakan pendekatan ekonomi politik
dengan paradigma kritis sebagai basis teoritik. Concern riset ini adalah kualitas
ruang publik di Indonesia sesudah kekuatan pasar terbukti mendominasi dinamika
media di Indonesia.

Abstract
This research tries to assess the situation of media democratization in Indonesia in
relation to industrial and economic aspects. The political background is the years
prior to the fall of New Order when civil society, media activists, and journalists
started consolidating their power for freedom of the press and freedom of
expression. The political trigger is the banning of three printed media, Tempo,
Editor, and Detik in 1994 due to their publications of the buying of ex East
Germany battle wagons by Indonesia. This triggered political obedience on one
hand, but also democratic consolidation among journalists and activists on the
other hand. Alinasi Jurnalis Independen (AJI) was then declared by Goenawan
Mohammad and other journalists in 1994 to provide alternative political
organization for journalist out of Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
They then continued consolidating their power by underground movements
including publishing Independen, an underground magazine, followed by the
imprisonment of three journalists. Since then, supported by foreign donor,
Goenawan Mohammad published Suara Independen to continue the struggle
against Soeharto. The struggle was successful. Following economic crisis,
Soeharto fell down, which was the momentum of many strategic legislations
under which Habibie supported much. Press Law No. 40/1999 was passed and
changed old authoritarian policies to become more liberal. Press Law guarantees
democratic expression by allowing citizens to publish information without
government permit (SIUPP). In global capitalism, such legal change is a crucial
structural adjustment of a state to integrate in global capitalism.
However, such democratic situation was the chance for market force to expand
their business. The absence of SIUPP made the bonanza of press industry without
precedent in Indonesian press history before. Media industry became more
powerful and concentrated. In broadcasting area, the history of erzats capitalism
created a unique relationship between broadcasting industry and bureaucrats.
Under democratic and capitalistic trajectories at the same time, the media
dynamics in Indonesia has been very interesting in terms of how democratic and
capitalistic power contested their interest and how public interest is violated in
such arena. The history shows that market force is the champion after the process,
while others may say that it is the democratization. Data shows that the only thing
increasing is advertorial expenditure, while other performance, including media
freedom index, journalist welfare, violence to journalists, press trade union,
worsen. Other data shows the convergence of media ownership which may lead
Indonesia media industry to media conglomeration. The paper will expose those
paradoxical data.
This paper tries to assess the political economy dynamics in contemporary media
situation in Indonesia. The research uses political economy approach with critical
paradigm as the bases of argument. The concern of the paper will be the public
sphere quality of contemporary Indonesia, after market-force is proven to
dominate media dynamics in Indonesia."
2012
T30859
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Said Zainal Abidin
Jakarta: Suara Bebas, 2008
330 ABI s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Didik J. Rachbini
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002
338.959 8 DID e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>