Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54733 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Clarina A.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S5956
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sagala, Hasan Basri
"Walaupun hingga hari ini bukti bahwa tuduhan Pemerintahan Amerika Serikat dibawah Presiden Geroge Walker Bush yang menuduhkan negara Irak memiliki dan mengembangkan persenjataan pemusnah massal belum terbukti, namun isu inilah yang dijadikan pemerintahan Amerika Serikat dan sekutunya untuk tetap melakukan invasi terhadap Irak sekaligus mengganti pemerintahan otoriter Saddam Husein dan membentuk pemerintahan "demokratis" AS. Berbagai kecaman dan dukungan pada awalnya mengalir dari berbagai negara ketika invasi akan digelar tidak terlepas pada rakyat AS sendiri. Inggris yang merupakan negara sekutu AS berada paling depan untuk mendukung aksi ini, sementara Perancis, Jarman dan Rusia juga sebagian besar negara Uni Eropa menginginkan diutusnya kembali tim inpeksi untuk menyelidiki tuduhan tersebut. Beberapa Tim Inpeksi telah diturunkan baik yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pihak AS sendiri. Hasilnya Irak tidak terbukti sedang memiliki dan mengembangkan persenjataan pemusnah massal seperti yang dituduhkan pemerintahan AS.
Berdasarkan pada teori kebijakan luar negeri yang mengatakan bahwa faktor pemimpin sangat berperan dalam pembuat kebijakan luar negeri (foreign policy decision making), maka permasalahan utama yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah faktor-faktor internal dan eksternal apa saya yang mendukung Pemerintahan AS terutama bagi George W Bush sehingga tetap memilih langkah penyelesaian dengan cara perang untuk memusnahkan persenjataan pemusnah massal Irak. Padahal hat itu jelas belum terbukti. Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian kualitatif (Qualitative Research) dengan jenis case studies. Paradigma penelitian yang digunakan adalah kontruktivisme, sementara data-data yang ambit adalah data-data primer dan sekunder yang diperoleh dari domukentasi. Penelitian ini dianalisa dengan menggunakan metode hermeneutic interpretative. Sementara tingkat analisa yang dilakukan yaitu analisa reduksionis dan korela sionis.
Dari berbagai data yang dimunculkan, terdapat beberapa faktor yang mendorong pemerintahan AS dibawah George W Bush dalam menginvasi Irak. Diantaranya, perrama, sejarah masa lalu pemerintah AS pada masa George Bush (Bush Senior) belum berhasil menjatuhkan pemerintahan Saddam Husein sehingga George W Bush (Bush Junior) berupaya mewujudkan impian ayahnya itu. Kedua, secara geopolitik Presiden Saddam Husein diyakini masih menjadi ancaman serius bagi hegemoni AS di Timur Tengah khususnya bagi Negara Israel. Pengalaman Perang Teluk memberikan pelajaran berharga bagi mereka. Ketiga, Secara ekonomi, Irak diyakini memiliki cadangan minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi, hat ini menjadi daya tarik tersendiri untuk menguasai Irak. Keempat, Kampanye perang melawan jaringan terorisme internasional masih menjadi isu aktual tintuk memelihara posisi AS sebagai polisi dunia atau setidaknya menjadikan negaranya masih dianggap perlu dalam menjaga perdamaian dunia.

Up till now, even though the evidence of accusations of US government under it's president George Walker Bush that accuse Iraq owns and develops weapons of mass destruction hasn't been proved,However because of this issue, U.S and it's allied not only keep doing the invasion to Iraq but also alter the authoritarian government of Saddam Hussein and fond U.S democratic government. Many criticism and endorsements come from many countries when this invasion will be done,even U.S societies them selves. England is as U.S allied country stays in the front side to back up this action, while France, German and Russia also most Europe of Union Countries are eager to be redelegated the inspection team to investigate the accusation. Some inspections team have been dropped both formed bay united nation organization (UNO) and U.S it self As the result Iraq wasn't proved that it owns and develops weaponry of muss distruction as accused by U.S government.
Based on the foreign policy theory said that leader factor has a role in foreign policy decision making, so the main problem that writer discusses in this research is what the internal and external factors thack back up us government mainly for George W. Buch, so that he keeps choosing the problem solving by war to annihilate Iraq weaponry of muss distruction, whereas the case hasn't been proved. The research of this thesis is qualitative research by using case study. Contructivism is used by research paradigm. While the data are primer and seconder data that gained from documentation. This research is analyzed by using hermeneutic interpretative method while the grade that done is reductions and correlation analysis."'
From the data that gained, some factors support us Government under it's George Walker Bush in Invasion to Iraq. First, the past history U.S Government under it's George Bush (senior Bush) hadn't succeeded to over throw the Saddam Hussein Government. so that George W Bush (Junior Bush) gets effort to realize his father's dream. Second, Geopolitically President Saddam Hussein is still assumed as serious threat for U.S hegemony in Middle East Especially for Israel. The experience of Gulf War gives them the valuable lesson. Third, Economically, Iraq is assumed owns the biggest oil reserve after Saudi Arabia, this becomes the power anntraction to colonialist Iraq. Fourth, the war campaign against international terrorism network still to be actual issue to keep U.S position as world policy, at least makes the country still considered to be able to keep world peace.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15095
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Dewi Kuntarti
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25462
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Dewi Kuntarti
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25623
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Polimpung, Hizkia Yosias
"Kedaulatan adalah sebuah paradoks: di satu sisi nampak tak mungkin untuk menjadi benar-benar berdaulat, tetapi di sisi lain ada kerinduan untuk senantiasa menjadi berdaulat. Kedaulatan adalah ironis: demi mencapai perasaan kedaulatan, negara rela menyakiti diri sendiri maupun negara lain. Kedaulatan senantiasa memiliki dua wajah: wajah muram dan wajah beringas. Studi ini memulai diskusinya dengan mempertanyakan mengapa negara bersikeras mencapai suatu kedaulatan sekalipun hal tersebut mensyaratkan kekerasan, baik pada diri sendiri maupun pada negara lain. Strategi yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan studi ini adalah dengan melacak asal usul kedaulatan negara modern pada Perjanjian Westphalia 1648. Hasil pelacakan tersebut adalah berupa jawaban mengapa kedaulatan akan selalu paradoksal.
Dengan menggabungkan pendekatan Psikoanalisis Jacques Lacan dan Genealogi Michel Foucault, penulis pertama-tama mendesain suatu kerangka analisis yang sesuai bagi pelacakan asal-usul kedaulatan ini, yaitu yang penulis sebut Psikogenealogi. Melalui psikogenealogi, dapat dianalisis bagaimana suatu rezim kebenaran tidak dapat dilepaskan dari hasrat-hasrat tak sadar para pihak/partisipannya dan juga bagaimana rezim itu berhasil menyingkirkan rezim-rezim kebenaran lain pada masanya. Hal berikut yang dilakukan adalah dengan mengeksplorasi tesis makrosubyektivitas yang marak menjadi asumsi dasar terorisasi negara berdaulat. Hasil eksplorasi tersebut nantinya akan mampu melampaui tesis makrosubyektivitas dengan menekankan bahwa negara pada dasarnya memang merupakan manusia-makro, dan bukan analogi. Hal ini hanya akan dapat dilakukan dengan melinguistisasi ?manusia? dan ?negara?, yaitu bahwa keduanya hanyalah efek bahasa.
Berikutnya, dengan dibantu gagasan fasisme dari Gilles Deleuze dan Félix Guattari, subyeksi Judith Butler, dan abyeksi Julia kristeva, penulis menggariskan beberapa konsep yang akan berpengaruh bagi pemahaman tentang kedaulatan itu sendiri, yaitu di antaranya: kedaulatan itu sendiri, paradoks kedaulatan, komodifikasi kedaulatan, logika kedaulatan.
Melalui studi ini, penulis menyimpulkan bahwa sifat paradoksal dari kedaulatan adalah merupakan bawaan semenjak gagasan kedaulatan tersebut muncul pada sekitar abad-12. Kedaulatan muncul dari kegelisahan raja akan ke-diri-an yang utuh dan otonom. Kegelisahan inilah yang nantinya mengkonstrusikan suatu fantasi tentang kedaulatan, yang berikutnya akan diperjuangkan mati-matian. Negara-modern merupakan hasil perjuangan mati-matian tersebut. Jadi, studi ini menekankan bahwa sedari awalnya, kedaulatan adalah selalu untuk memenuhi fantasi ideal tentang kepenuhan diri. Dan sejarah membuktikan bahwa fantasi tersebut adalah selalu merupakan fantasi raja. Sehingga pada dasarnya, negara didirikan adalah untuk merealisasikan hasrat fantastis dari raja. Natur fasis dalam diri raja akan membuatnya mempertahankan mati-matian kedaulatannya. Upaya raja adalah menggunakan universalitas sebagai landasan kedaulatannya. Universalitas ini akhirnya berfungsi sebagai komoditas kedaulatan. Inilah logika kedaulatan, yaitu bahwa sang berdaulat akan selalu mengkomodifikasi universalitas demi membenarkan dan melanggengkan eksistensi berdaulatnya.
Pemikiran ini penulis teruskan dengan memahami praktik kedaulatan AS di era Perang Global Melawan Teror. Melalui kasus AS ini penulis menunjukkan bahwa inti dari konsep kedaulatan, yaitu fantasi ke-diri-an ideal, belumlah berubah dari versi Westphalianya. Hal ini akhirnya menjadi tidak relevan berbicara tentang kedaulatan kontemporer. Oleh karena itu kedaulatan kontemporer adalah selalu kedaulatan kontemporer.

Sovereignty is a paradox: on the one hand it seems impossible to be truly sovereign, but on the other hand there is a desire to be always sovereign. Sovereignty is an irony: for the sake of achieving the sensation of sovereignty, states are willing to do violence upon itself and others. Sovereignty has always had two faces: gloomy face and furious face. The present study begins its discussion by questioning the reason why states perseveringly insist on attaining sovereignty even it requires violence, both upon its own self and towards other states. The strategy undertaken to address this question is by tracking back the genesis of modern state sovereignty on the Westphalia Peace Treaty 1648. The findings will be the answer of why sovereignty will always be paradoxical.
By Combining Jacques Lacan?s Psychoanalysis and Michel Foucault?s Genealogy, the author first designs an analytical framework that fits this tracking of sovereignty genesis, which is what to be called Psychogenealogy. Psychogenealogy could understand how a regime of truth is inseparable from the unconscious desires of its parties/participants and also how that regime could manage to shove aside other regimes of truth on its time. The next thing being done is exploring he macro-subjectivity thesis that is often to be the basic assumption for modern state theorizing. The result of this exploration will be able to go beyond this thesis of macro-subjectivity by arguing that the state in its essence truly is a macro-human, and not a mere analogy. This could only be done by what the author called ?lingusticizing? the ?human? and ?state?, which is by construing that the two is just an effect of language.
Next, with help of the concept of fascism from Gilles Deleuze dan Félix Guattari, subjection of Judith Butler and abjection of Julia Kristeva, the author outlines some concepts that will be a significant influence on the understanding of the sovereignty itself: the sovereignty itself, sovereignty paradox, sovereign commodification, commodity of sovereignty and sovereignty logic. By this present study, the author concludes that the paradoxical nature of sovereignty is hereditary since the idea of sovereignty emerges circa 12th Century. Sovereignty, as a concept, arisen out of kings? anxiety at that moment toward a sense of integrated and autonomous self. It was this anxiety that provoke fantasy construction of sovereignty, which in its turn would be hard-fought. Modern state is the result of that hard-fought. So, this study stresses from the very outset that sovereignty is always functions to fulfill an ideal fantasy toward an integrated and autonomous self. And as history testifies, the fantasy is always the kings? fantasy, and not the people?s. That one can say that in its very basic, state is founded only to realize and manifest the kings? fantastic desire toward sovereign self. Fascistic nature embedded in those kings has always made them pereseveringly hard-fought their sovereignty. It is done by invoking universalities as its basis of sovereignty practices. These universalities eventually functions as commodity of sovereignty. This is the very logic of sovereignty?that is that the sovereign will always commodifies universalities to justify and perpetuate its sovereign existence.
By this understanding of the nature of sovereignty, the author carries on to take account toward the practice of sovereignty of the United States in this present era of Global War on Terror. By the US case the author shows that the core of the conception of sovereignty, that is the ideal fantasy of self-hood, has not changed yet from its Westphalian version. This, in the end, renders irrelevant any conversation about contemporary sovereignty. Thus, contemporary sovereignty is always contemporary sovereignty."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27924
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Latuconsina, Muahammad Zein
"Tesis ini menganalisa tentang ?Permasalahan Arus Migrasi Ilegal sebagai Ancaman Keamanan Amerika Serikat pada masa Pemerintahan George Walker Bush jr? Runtuhnya tembok Berlin menandai sebuah perubahan besar-besaran dalam studi keamanan yang selama perang dingin didominasi oleh studi keamanan konvensional yang melihat ancaman hanya datang dari sektor militer dan politik. Berakhirnya perang dingin menandai kemunculan isu-isu baru seperti migrasi illegal dan terorisme yang akhirnya bagi beberapa negara menjadi permasalahan kemanan baru. Tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain deskriptif analitis dengan menggunakan teori sekuritisasi yang dikembangkan oleh Barry Buzan, Ole Waever dan Jaap De Wilde dari Copenhagen School.

This thesis analyzes the "problem of illegal migration flows as a Security Threat to the reign of George Walker Bush Jr in the United States? The fall of the Berlin Wall marked a massive change in security studies during the Cold War that was dominated by conventional security studies which looked at threats only come from the military and political sector. The end of Cold War marked the emergence of new issues such as illegal migration and terrorism which become new security problems for some countries. This thesis uses qualitative research methods with analytical descriptive design. This thesis uses the theory of securitization which is developed by Barry Buzan, Ole Waever and Jaap De Wilde from the Copenhagen School."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27983
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shelfie Prihatini
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S5796
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridho Rahmadi
"Skripsi ini membahas sekuritisasi isu terorisme oleh National Security Council (NSC) Amerika Serikat pasca peristiwa 9/11 dalam periode Pemerintahan George W. Bush dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan teori sekuritisasi. Situasi yang terjadi pada masa itu adalah Amerika Serikat yang dikejutkan dengan terjadinya peristiwa 9/11. Peristiwa tersebut mendorong extraordinary measures dari pemerintah Amerika Serikat untuk mencegah peristiwa terorisme seperti 9/11 kembali terulang. Sekuritisasi yang dilakukan oleh Pemerintahan Bush terdiri dari speech act, pencanangan undang–undang, Global War on Terrorism hingga Perang Irak. Dalam proses speech act, terdapat pengaruh dari tokoh-tokoh dalam lingkaran NSC selain Presiden George W. Bush yang ikut berperan mensekuritisasi peristiwa 9/11 dan Global War on Terrorism. Dalam proses sekuritisasi yang terjadi, media memainkan peran yang besar sebagai alat yang berfungsi mengamplifikasi langkah–langkah sekuritisasi terorisme yang diambil oleh Pemerintahan George W. Bush. Media juga berperan dalam menjadikan respon publik terhadap tindakan–tindakan sekuritisasi yang diambil oleh pemerintah menjadi positif. Akhirnya, tulisan ini menyimpulkan bahwa langkah–langkah sekuritisasi yang diambil oleh Pemerintahan Amerika Serikat bersifat politis dan melibatkan aktor lain dalam lingkaran NSC Presiden Bush yang kemudian menggunakan isu terorisme untuk mendorong sekuritisasi terorisme yang bereskalasi menjadi Perang Irak

This undergraduate thesis discusses the securitization of terrorism carried out by the United States NSC after the events of 9/11 in the period of George W. Bush's administration by using qualitative research methods and securitization theory. The situation which occurred at that time portray how the United States was truly shocked by the events of 9/11. The event prompted extraordinary measures from the United States government to prevent terrorism events such as 9/11 to happen again. The securitization carried out by the Bush Administration consisted of a speech act, declaration of laws, Global War on Terrorism and the Iraq War. In the process of expressing speech acts, there were influences from figures within the NSC circle other than President George W. Bush who took part in securitizing the events of 9/11 and the Global War on Terrorism. In the process of securitization that occurred, the media played a large role as a tool that served to amplify the securitization steps of terrorism taken by the George W. Bush Administration. Finally, this paper conclude that the steps of securitization taken by the United States Government are essentially political and involve other actors in the NSC circle of President Bush who then use the issue of terrorism to encourage the securitization of terrorism which further essentially escalates into the Iraq War."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairil Patria
"Hubungan yang strategis antara Turki dan Amerika Serikat telah terjalin sejak Perang Dunia II. Akan tetapi pada waktu tertentu, kebijakan Turki mengalami perubahan atau pasang surut di dalam merespons kebijakan Amerika Serikat. Seperti misalnya dalam Perang Teluk I tahun 1991, Turki sangat mendukung kebijakan Amerika Serikat dalam serangan ke Irak, akan tetapi pada Perang Teluk tahun 2003, Turki tidak mendukung bahkan menentang kebijakan Amerika Serikat untuk menyerang Irak. Meskipun dijanjikan hal yang sama seperti dalam Perang Teluk 1 yaitu paket bantuan ekonomi yang besar dari Amerika Serikat ke Turki, sikap Turki pada Perang Teluk tahun 2003 sangat berbeda dengan sikap Turki pada tahun 1991. Tesis ini disusun untuk meneliti permasalahan bagaimana kebijakan Turki merespons Perang Teluk yang terjadi baik pada tahun 1991 maupun 2003 dimana terdapat perbedaan yang besar di antara kedua peristiwa tersebut baik dilihat dan segi penyebab maupun cara serangan yang dilakukan terhadap Irak.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini disusun dari segi pengumpulan data dan analisanya. Dari segi pengumpulan data, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, sedangkan dari segi analisa data, metode yang digunakan adalah analisa eksplanatif. Sedangkan konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah kebijakan luar negeri yang menggunakan teori K.J. Holsti sebagai rujukan ulama seperti yang ditulis dalam bukunya Inlernalional Polities : A Framework for Analysis. Lebih lanjut menurut K.J. Holsti, dari sebuah kebijakan luar negeri, terdapat dua faktor yang mempengaruhi yaitu faktor eksternal/sistemik dan faktor internal/domestik. Selain teori Holsti, penulis juga memaparkan teori-teori lain mengenai kebijakan luar negeri sebagai pendukung.
Penulis menemukan banyak hal penting dalam melakukan studi ini dimana kebijakan Turki terhadap serangan Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 adalah sebuah dilema. Hal ini disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri Turki berubah. Serangan yang dilakukan Amerika Serikat ke Irak antara tanggal 20 Maret sampai dengan 1 Mei 2003 itu dinilai seharusnya mendapat dukungan Turki sebagai salah satu sekutu dekatnya di kawasan tersebut namun di lain pihak, karena adanya penolakan dari negara-negara Uni Eropa seperti Jarman dan Perancis terhadap rencana serangan tersebut, menjadi mempengaruhi pemikiran elite Turki terutama jika dikaitkan dengan pengalaman buruk Turki dengan Amerika Serikat pasca Perang Teluk tahun 1991. Selain itu, keinginan kuat Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa menambah kebingungan Turki dalam mengambil sikap ke arah mana kebijakan luar negeri Turki : pro Amerika Serikat atau pro Eropa ? Berdasarkan hasil analisa penulis, sikap ketidakikutsertaan Turki dengan menolak wilayahnya dijadikan basis pangkalan militer Amerika Serikat untuk menyerang Irak pada tahun 2003 merupakan sebuah pengecualian dari hubungan persekutuan yang strategis antara Amerika Serikat dan Turki selama ini. Dan beberapa faktor yang ada, faktor internal/domestiklah yang merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kebijakan Turki terhadap serangan Amerika Serikat ke Irak khususnya karena kondisi perekonomian Turki yang dilanda krisis parah sejak tahun 2001.
Sebagai penutup, setelah serangan ke Irak terjadi dan rezim Saddam Hussein jatuh pada bulan Mei 2003, sikap Turki menjadi inkonsisten karena kemudian Turki membantu Amerika Serikat mengerahkan pasukannya ke Irak pada bulan Oktober 2003 dengan tujuan untuk stabilisasi di Irak. Kenyataan bahwa meskipun Amerika Serikat banyak dikecam oleh rakyat Turki atas langkah-langkah yang dilakukannya terhadap Irak, Turki tetap masih bergantung kepada Amerika Serikat dengan alasan Amerika Serikat adalah sekutu dekatnya dan sebagai negara super power di dunia baik di bidang ekonomi maupun di bidang militer. Kembalinya dilihan Turki kepada Arnerika Serikat -setelah penolakan Parlemen Turki kepada rencana serangan Amerika Serikat tidak lain adalah karena ketergantungan Turki yang besar secara ekonomi dan keamanan kepada Amerika Serikat. Pengiriman pasukan Turki ke Irak tersebut kembali dilakukan setelah adanya Perjanjian Keuangan antara Turki dan Amerika Serikat tanggal 22 September 2003 dimana Amerika Serikat menyediakan pinjaman uang kepada Turki sebesar 8,5 milyar dollar AS untuk membantu reformasi ekonomi di Turki. Di lain pihak, terdapat keinginan Turki yang kuat untuk menjadi anggota Uni Eropa seperti yang ditegaskan dalam tujuan utama kebijakan Turki. Hal ini juga dimaksudkan Turki untuk segera menuntaskan krisis ekonominya sehingga timbul kesan Turki ingin meraih kedua tujuan tersebut padahal sikap Eropa dan Amerika Serikat pada saat serangan Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 sangat bertolak belakang dimana Eropa menentang penanganan masalah Irak secara sepihak oleh Amerika Serikat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlia Anggraini
"Penemuan teknologi pemisahan atom menjadi nuklir tetap menjadi sumber inspirasi dan juga kekhawatiran, karena penemuan teknologi nuklir ini di satu sisi dapat memberikan solusi ke banyak negara untuk dijadikan sumber energi, namun disisi lain teknologi nuklir ini dapat dijadikan senjata nuklir yang sangat mematikan. Di bulan Juli 2005, Presiden George W. Bush Jr. dan Perdana Menteri Manmohan Singh melakukan pertemuan bilateral yang mencapai kesepakatan bahwa kedua negara menyetujui untuk bekerjasama dalam mengembangkan program teknologi energi nuklir. Kesepakatan antara Amerika dan India tersebut menunjukkan adanya perubahan kebijakan di bawah pemerintahan Presiden Bush, dimana sebelumnya pada masa pemerintahan Presiden Bill Clinton, pemerintah Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi ekonomi kepada India ketika negara tersebut melakukan uji coba senjata nuklir di tahun 1998. Sanksi ekonomi tersebut sendiri telah dicabut setelah serangan 911 karena India mendukung kebijakan luar negeri Presiden Bush, namun demikian pemerintah Amerika tetap tidak bisa memberikan bantuan dalam hal teknologi nuklir yang bertujuan damai karena terbentur oleh undang-undang Amerika yang tidak membolehkan memberi bantuan program nuklir kepada negara yang tidak menandatangani Perjanjian Non Proliferasi Nuklir. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini bersifat deskriptif yang menggambarkan bagaimana perubahan politik luar negeri Amerika Serikat. terhadap program nuklir yang dimiliki oleh India.

The discovery of atom fission technology into nuclear has become an inspiration yet at the same time the source of worry, since nuclear could be a source of energy and a lethal weapon. On July 2005, President George W. Bush Jr. met Prime Minister Manmohan Singh on a bilateral meeting and they agreed to a cooperation between two countries which include nuclear cooperation. These cooperation showed a change on American foreign policy under the presidency of George Bush, Jr, where previously under the Clinton administration, American government dropped sanctions to India when they did nuclear tests in 1998. These sanctions had been lifted after the 911 event, since India has been fully supported on President Bush Jr?s foreign policy. Even so American government still could not give aid to India regarding nuclear program because of the American law that prohibit aid to countries who are not a signatory parties to the Non Proliferation Treaty. This is a descriptive research that try to describe how the change of united states? foreign policy under the presidency of George W. Bush Jr. toward Indian nuclear program."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19226
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>