Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142615 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Akhmad Yani
"ABSTRAK
Untuk mempertahankan manfaat ekosistem hutan dengan berbagai fungsinya, diperlukan suatu valuasi yang bersifat komprehensif dan terintegratif. Disamping itu, valuasi terhadap manfaat dari fungsi ekosistem hutan harus menganut prinsip nilai asuransi (insurance value).
Tujuan penelitian ini (1) Menghitung total nilai Manfaat bersih sekarang (NPV) kelayakan kegiatan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten. (2) Menghitung total nilai manfaat ekosistem hutan di Kabupaten Melawi (3) Menemukan model penentuan luas optimum areal perkebunan kelapa sawit pada suatu kawasan ekosistem hutan Hasil penelitian mendapatkan bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit tidak feasible untuk dilakukan dengan cara melakukan konversi terhadap ekosistem hutan. Jika hal ini dilakukan maka akan menimbulkan dampak kerugian lingkungan yang sangat signifikan dengan nilai NPV negatif sebesar Rp (248.349.067.033.000,-). Sementara itu analisis manfaat biaya mempertahankan ekosistem hutan adalah positif yaitu sebesar Rp 38.563.349.907.000,-.
Berdasarkan analisis suitabilitas menunjukkan bahwa dari total pencadangan areal perkebunan pada kawasan hutan seluas 234.348 ha, maka yang dapat dikonversikan untuk lahan perkebunan kelapa sawit hanya seluas 31.498 ha dan yang tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan seluas 202.850 ha.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Konversi ekosistem hutan untuk dijadikan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit dalam batas-batas tertentu di Kabupaten Melawi masih dapat dilakukan dengan syarat bahwa penentuan kelayakan luas areal perkebunan kelapa sawit harus menggunakan Indeks Ky. Indeks Ky adalah merupakan suatu indeks kompromi yang mengakomodasi 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu keberlanjutan lingkungan (ekologi), keberlanjutan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Selain itu, indeks ini juga mendasari pada konsep pengelolaan sumbedaya hutan yaitu prinsip kehati-hatian (prudential principle) dan prinsip standar minimum yang aman ( safe minimum standar). Sehingga Indeks Ky ini dinamakan juga dengan Social, Economy and Environment Compromise Indeks (SEECI).
Hasil perhitungan dengan menggunakan pendekatan HHCA yang dilakukan di wilayah studi (Kabupaten Melawi) telah mendapatkan Indeks Ky sebesar 6,4401. Dengan menerapkan angka Indeks Ky ini, analisis suitabilitas terhadap total pencadangan areal perkebunan pada kawasan hutan di Kabupaten Melawi seluas 234.348 ha menemukan bahwa hanya 31.498 ha yang dapat dikonversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, dan 202.850 ha tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan. Dengan komposisi ini, nilai kerusakan akibat konversi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dapat diimbangi manfaat mempertahankan kawasan ekosistem hutan. Sehingga konsep pembangunan berkelanjutan dengan menciptakan keseimbangan lingkungan, ekonomi dan sosial dapat dicapai.

ABSTRACT
To maintain the benefits of forest ecosystems with a variety of functions, we need a valuation that is comprehensive and terintegratif. In addition, the valuation of the benefits of forest ecosystem function must adhere to the principle of insurance (insurance value).
The purpose of this study (1) Calculate the total net present value of benefits (NPV) Feasibility of oil palm plantations in the district. (2) Calculating the total value of the benefits of forest ecosystems in the District Melawi (3) Finding the optimum model for determining the area of oil palm plantations in an area of forest ecosystem.
The results find that the activities of oil palm plantations is not feasible to be done by way of conversion of forest ecosystems. If this is done it will cause environmental impacts are very significant losses with a negative NPV of USD (248.349.067.033.000, -). Meanwhile, the cost benefit analysis is positive to maintain the forest ecosystem that is Rp 38,563,349,907,000, -. Based suitabilitas analysis showed that of the total provisioning plantations on 234,348 ha of forest area, then that can be converted to oil palm plantations covering an area of only 31 498 ha and will be retained as an area of 202,850 ha of forest area.
The conclusion of this research is the Conversion of forest ecosystems to serve as oil palm plantations within certain limits in the District Melawi still can be done on condition that the determination of the feasibility of oil palm plantation area must use the Index Ky. Ky Index is an index of compromise that accommodates 3 (three) pillars of sustainable development is environmental sustainability (ecological), social sustainability and economic sustainability. In addition, this index also underlies the concept of management of forest resources towards the fulfillment of the principle of prudence (prudential principle) and the principle of minimum standards of safe (safe minimum standards). So the index is called Ky also with Social, Economy and Environment compromise Index (SEECI).
The result using the approach HHCA conducted in the study area (District Melawi) has gained Ky. index of 6.4401. By applying this Ky index numbers, analysis suitabilitas of the total plantation area in the reserve forest area in the district covering an area of 234,348 ha Melawi found that only 31 498 ha which can be converted into oil palm plantations, and 202,850 ha will be retained as forest area. With this composition, the value of damage caused by conversion of forests into oil palm plantations can offset the benefits of maintaining forest ecosystem area. Thus the concept of sustainable development by creating a balance environmental, economic and social development can be achieved."
Depok: 2011
D-Pdf
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Yani
"ABSTRAK
Untuk mempertahankan manfaat ekosistem hutan dengan berbagai fungsinya, diperlukan suatu valuasi yang bersifat komprehensif dan terintegratif. Disamping itu, valuasi terhadap manfaat dari fungsi ekosistem hutan harus menganut prinsip nilai asuransi (insurance value).
Tujuan penelitian ini (1) Menghitung total nilai Manfaat bersih sekarang (NPV) kelayakan kegiatan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten. (2) Menghitung total nilai manfaat ekosistem hutan di Kabupaten Melawi (3) Menemukan model penentuan luas optimum areal perkebunan kelapa sawit pada suatu kawasan ekosistem hutan Hasil penelitian mendapatkan bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit tidak feasible untuk dilakukan dengan cara melakukan konversi terhadap ekosistem hutan. Jika hal ini dilakukan maka akan menimbulkan dampak kerugian lingkungan yang sangat signifikan dengan nilai NPV negatif sebesar Rp (248.349.067.033.000,-). Sementara itu analisis manfaat biaya mempertahankan ekosistem hutan adalah positif yaitu sebesar Rp 38.563.349.907.000,-.
Berdasarkan analisis suitabilitas menunjukkan bahwa dari total pencadangan areal perkebunan pada kawasan hutan seluas 234.348 ha, maka yang dapat dikonversikan untuk lahan perkebunan kelapa sawit hanya seluas 31.498 ha dan yang tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan seluas 202.850 ha.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Konversi ekosistem hutan untuk dijadikan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit dalam batas-batas tertentu di Kabupaten Melawi masih dapat dilakukan dengan syarat bahwa penentuan kelayakan luas areal perkebunan kelapa sawit harus menggunakan Indeks Ky. Indeks Ky adalah merupakan suatu indeks kompromi yang mengakomodasi 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu keberlanjutan lingkungan (ekologi), keberlanjutan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Selain itu, indeks ini juga mendasari pada konsep pengelolaan sumbedaya hutan yaitu prinsip kehati-hatian (prudential principle) dan prinsip standar minimum yang aman ( safe minimum standar). Sehingga Indeks Ky ini dinamakan juga dengan Social, Economy and Environment Compromise Indeks (SEECI).
Hasil perhitungan dengan menggunakan pendekatan HHCA yang dilakukan di wilayah studi (Kabupaten Melawi) telah mendapatkan Indeks Ky sebesar 6,4401. Dengan menerapkan angka Indeks Ky ini, analisis suitabilitas terhadap total pencadangan areal perkebunan pada kawasan hutan di Kabupaten Melawi seluas 234.348 ha menemukan bahwa hanya 31.498 ha yang dapat dikonversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, dan 202.850 ha tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan. Dengan komposisi ini, nilai kerusakan akibat konversi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dapat diimbangi manfaat mempertahankan kawasan ekosistem hutan. Sehingga konsep pembangunan berkelanjutan dengan menciptakan keseimbangan lingkungan, ekonomi dan sosial dapat dicapai.

ABSTRACT
To maintain the benefits of forest ecosystems with a variety of functions, we need a valuation that is comprehensive and terintegratif. In addition, the valuation of the benefits of forest ecosystem function must adhere to the principle of insurance (insurance value).
The purpose of this study (1) Calculate the total net present value of benefits (NPV) Feasibility of oil palm plantations in the district. (2) Calculating the total value of the benefits of forest ecosystems in the District Melawi (3) Finding the optimum model for determining the area of oil palm plantations in an area of forest ecosystem.
The results find that the activities of oil palm plantations is not feasible to be done by way of conversion of forest ecosystems. If this is done it will cause environmental impacts are very significant losses with a negative NPV of USD (248.349.067.033.000, -). Meanwhile, the cost benefit analysis is positive to maintain the forest ecosystem that is Rp 38,563,349,907,000, -. Based suitabilitas analysis showed that of the total provisioning plantations on 234,348 ha of forest area, then that can be converted to oil palm plantations covering an area of only 31 498 ha and will be retained as an area of 202,850 ha of forest area.
The conclusion of this research is the Conversion of forest ecosystems to serve as oil palm plantations within certain limits in the District Melawi still can be done on condition that the determination of the feasibility of oil palm plantation area must use the Index Ky. Ky Index is an index of compromise that accommodates 3 (three) pillars of sustainable development is environmental sustainability (ecological), social sustainability and economic sustainability. In addition, this index also underlies the concept of management of forest resources towards the fulfillment of the principle of prudence (prudential principle) and the principle of minimum standards of safe (safe minimum standards). So the index is called Ky also with Social, Economy and Environment compromise Index (SEECI).
The result using the approach HHCA conducted in the study area (District Melawi) has gained Ky. index of 6.4401. By applying this Ky index numbers, analysis suitabilitas of the total plantation area in the reserve forest area in the district covering an area of 234,348 ha Melawi found that only 31 498 ha which can be converted into oil palm plantations, and 202,850 ha will be retained as forest area. With this composition, the value of damage caused by conversion of forests into oil palm plantations can offset the benefits of maintaining forest ecosystem area. Thus the concept of sustainable development by creating a balance environmental, economic and social development can be achieved."
Depok: 2011
D1293
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mangunsong, Farma
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
S19311
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Analisis kesesuaian wilayah menggunakan metode evaluasi berbagai kriteria seperti kondisi fisik tanah, sosial-ekonomi, pasar dan infrastruktur, belum lama ini telah banyak dilakukan. Banyaknya faktor yang digunakan dalam evaluasi menyebabkan metode ini dikenal dengan teknik evaluasi pengambilan keputusan multi-kriteria (Multi-criteria decision-making techniques). Dalam metode ini integrasi berbagai macam disiplin diperlukan agar hasil yang diperoleh menjadi optimal. Penelitian ini bertujuan menganalisa kesesuaian wilayah optimal untuk areal perkebunan kelapa sawit dan lokasi industri hilirnya, yaitu pabrik pengolahan minyak sawit mentah (CPO). Model pendekatan yang digunakan adalah Multi-criteria Evaluation (MCE) dan Fuzzy set membership Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil luaran model MCE dan Fuzzy AHP menunjukkan bahwa wilayah kesesuaian yang paling optimal untuk areal kelapa sawit berada lebih dari 20 km dari build-up area. Sedangkan untuk lokasi industri pengolahan minyak sawit mentah (CPO) wilayah yang paling optimal berada di dekat jaringan jalan utama, karena aksesabilitas transportasi dan konektivitas yang baik dengan pasar serta kedekatan dengan urban settlement sebagai daerah pusat kegiatan perekonomian. Kata kunci : Multi-criteria evaluation, fuzzy set membership, analytical hierarchy process, kesesuaian wilayah optimal. xii +86 Hlm; 23 Tbl; 2 Gfk; 2 Lamp; 10 Peta; 2 Gbr Bibliografi : 20 (1995 ? 2007)"
Universitas Indonesia, 2007
S33884
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Machroes Effendy
"Isi Ringkasan :
Dalam rangka peningkatan dan pemerataan pendapatan, Pemerintah melaksanakan Pembangunan di daerah-daerah, termasuk daerah Kalimantan Barat. Pembangunan Dilakukan sesuai dengan kondisi,masing-masing daerah.
Pembangunan daerah Kalimantan Barat dititikberatkan pada pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi tersebut selain bertumpu pada pengelolaan hasil hutan beserta industri pengolahannya, juga pada perkebunan, termasuk di dalamnya adalah perkebunan kelapa sawit yang rerata pertumbuhannya tertinggi di antara jenis perkebunan lainnya.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat dilaksanakan mulai tahun 1980 oleh PN Perkebunan VII (Sekarang PT Perkebunan Nusantara XIIIKalimantan). Perkebunan ini berkembang pesat dan diprediksikan mencapai setengah juta hektar pada tahun 2000. Dengan luas tersebut diharapkan pada masa datang sektor industri kelapa sawit akan merupakan unsur pokok penggerak pembangunan di Kalimantan Barat.
Di sisi lain, pembangunan perkebunan kelapa sawit, seperti halnya pembangunan proyek-proyek pada umumnya, akan berdampak positif dan negatif terhadap komponen-komponen lingkungan hidup, termasuk komponen sosial ekonomi dan budaya. Dampak tersebut harus diwaspadai, dampak negatif harus ditekan menjadi sekecil-kecilnya.
Cara yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah dengan mengadakan evaluasi terhadap dampak yang ditimbulkan. Dengan evaluasi akan diketahui apakah tindakan dan dampak tersebut sesuai dengan yang diharapkan, selanjutnya dapat dilakukan tindakan-tindakan yang tepat untuk menghindarkan dampak negatif.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui dampak yang timbul dengan adanya PIR V Ngabang yang meliputi aspek demografi, sosial ekonomi dan sosial budaya, mengkaji sebab dan akibat dampak, serta persepsi masyarakat terhadap keberadaan PIR V Ngabang. Untuk mendukung penelitian tersebut, dipergunakan hipotesis, jika keberadaan PIR V Ngabang memberikan dampak sosial ekonomi dan budaya, maka adanya PIR V Ngabang dapat menimbulkan dampak terhadap tingkat pendidikan, kegiatan bersama dan pertemuan warga, mata pencaharian, dan penghasilan masyarakat. Untuk menganalisis dan membuktikan hipotesis di atas, maka dalam penelitian ini akan diukur dan dianalisis beberapa variabel, yaitu:
- Tenaga kerja yang terserap oleh PIR V
- Tingkat pendidikan masyarakat sebelum dan sesudah adanya PIR
- Kegiatan masyarakat dan pertemuan warga sebelum dan sesudah adanya perkebunan
- Mata pencaharian utama dan sampingan sebelum dan sesudah adanya PIR V
- Tingkat penghasilan masyarakat sebelum dan sesudah ada perkebunan
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan kriteria desa yang dipilih adalah desa yang berdekatan dengan PIR, dan mata pencaharian masyarakatnya beragam. Untuk itu lokasi penelitian ditentukan di desa Hilir Kantor, sebuah desa terletak disebelah timur PIR dan berhimpitan dengan FIR. Dari desa Hilir Kantor diteliti keadaan sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya.
Untuk mendapatkan gambaran keadaan desa sebelum ada PIR, ditentukan desa dengan kriteria terletak di Kecamatan Ngabang, diperkirakan tidak terkena dampak PIR, dan mempunyai kemiripan dalam hal akses keluar masuk desa . desa tersebut kemudian-dijadikan desa pembanding-. Desa .yang ditetapkan sebagai desa pembanding adalah desa Jelimpo, sebuah desa diperbatasan Kecamatan Ngabang dengan Sosok, dan terletak kira-kira 30 km dari desa Hilir Kantor. Dari desa Jelimpo diteliti keadaan sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya.
Dengan membandingkan keadaan kedua desa tersebut dapat diperoleh gambaran dampak sosial ekonomi dan budaya PIR V Ngabang terhadap masyarakat sekitarnya.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Populasi yang dimaksud dalam hal ini adalah kepala keluarga (KK) yang sudah bermukim di lokasi penelitian lebih dari 15 tahun. Sampel ditentukan secara acak sebesar 10% dari populasi.
Berdasarkan data, jumlah Kepala Keluarga (KK) yang telah lebih dari 15 tahun bermukim di desa Hilir Kantor adalah 671 KK dan di desa Jelimpo adalah 336 KK. Sesuai dengan ketentuan tersebut, responden di desa Hilir Kantor berjumlah 67 orang (KR) dan responden di desa Jelimpo berjumlah 33 orang (KK).
Data primer diperoleh dengan mempergunakan kuesioner yang disebarkan kepada responden, selain itu dilakukan wawancara yang mendalam untuk mengetahui hal-hal yang tidak terungkap dari kuesioner. Data yang diperoleh dari penelitian selanjutnya di analisis dengan program SPSS PC Plus; distribusi frekuensi untuk mengidentifikasi kondisi sosial ekonomi dan budaya meliputi demografi, sosial ekonomi dan sosial budaya, uji-t dan uji proporsi untuk mengetahui dampak sosial ekonomi dan budaya PIR V Ngabang terhadap desa Hilir Kantor, dan tabulasi silang untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap keberadaan PIR V Ngabang.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan, kecuali meningkatnya pendidikan dan penghasilan penduduk, secara umum dapat dikatakan keberadaan PIR V Ngabang memberikan dampak positif yang kecil dan bahkan Menimbulkan dampak negative terhadap budaya masyarakat.
Meningkatnya tingkat pendidikan pada tingkat kepercayaan 0,95 atau alpha 0,05, karena PIR V Ngabang membangun sarana pendidikan SD dan SMP untuk keluarga karyawan, yang dapat pula dipergunakan oleh masyarakat sekitar.
Tingkat penghasilan rata-rata setelah ada PIR adalah sebesar Rp 255.731,00 lebih tinggi dibandingkan sebelum ada PIR dimana rata-rata penghasilan penduduk Rp 357.424,00 , pada tingkat kepercayaan 0,99 atau alpa 0,01. Meningkatnya penghasilan masyarakat karena dengan adanya PIR V telah mendorong berkembangnya non basic ekonomi, sektor informal, warung-warung, perdagangan jasa dan lain-lain di desa sekitarnya. Beberapa hal lain' yang ditemukan sebagai berikut :
PIR V Ngabang sangat rendah merespon tenaga kerja lokal. Dari penelitian diperoleh gambaran bahwa tenaga kerja lokal yang diserap hanya sebanyak 7,5% dari angkatan kerja yang ada, dan ini hanya mengisi 1,8% lowongan yang ada di perkebunan.
Hasil penelitian juga menyiratkan adanya perubahan mata pencaharian utama dan sampingan penduduk yang bergeser dari petani menjadi beragam usaha, pada tingkat kepercayaan 0,95 atau alpa 0,05, yang disebabkan bertambah luasnya kesempatan berusaha di sektor perdagangan di sekitar perkebunan. Keberadaan PIR V telah memberikan dampak negative dengan "melemahnya keterlibatan sosial (social involvement) anggota masyarakat, pada tingkat kepercayaan 0,95 atau alpa 0,05, sebagai akibat lebih banyaknya ourahan waktu dan perhatian mereka tujukan pada pekerjaan mereka.

Social, Economic And Cultural Impact Of Oil Palm Plantation (A Case Study of PIR V Ngabang P.T Perkebunan Nusantara KIII in West Kalimantan)Summary :
In the frame of increasing and implementing earning even distribution, the government carries out the development in all regions, including West Kalimantan. This development is carried out in accordance with the capability and potential which are available in each region.
The development in West Kalimantan is focused on economical sector. That economical sector's development encompasses the management of forest product, processing industry and plantation, including oil palm plantation that has the highest grade among other plantations.
The development of oilpalm plantation in West Kalimantan was first carried out in 1980 by PN Perkebunan VII (recent name P.T Perkebunan Nusantara KIII Kalimantan).The oilpalm plantation is grown up rapidly and it is estimated will reach 500.000 acres by the year 2000. By having that 500.000 acres, it is hoped that oilpalm industry sector can be the main key of development in West Kalimantan in the future.
Besides, the development of oilpalm plantation, like other developments, will bring about positive and negative impacts to the living environmental components, including social component, economical component and cultural component. Those impacts should be alert, and negative impact should be minimized. The way that can be done to overcome those emerging impacts is by initiating evaluation, for by having evaluation it can be known whether the measures as well as the impacts conform to the setting desire. So, the appropriate measures can be carried out in order to be able to avoid the negative impact.
The purpose of this research is to find out what types of impact that are going to emerge after PIR V Ngabang is established and it encompasses some aspects, such as demography, socioeconomic and sociocultural, examine the impact of cause - impact, as well as society's perception to the existence of PIR V Ngabang. Hypotesis is used to support the research, and the existence of PIR V brings about some impacts to socioeconomic and sociocultural at PIR surrounding area. By using hypothesis, education level after having PIR is higher than before having PIR and also together activities after having FIR is fewer than before having PIR, social meeting after having PIR is fewer than before having PIR, the main earnliving after having PIR is getting more and more various than before having PIR, secondary earnliving after having PIR is also geting more and more various than before having PIR and the income after having PIR is higher than before having PIR. To analyze and prove the above hypothesis, so this research is going to measure and analyze some variables, they are:
- Employees that are employed by PIR V
- Society's education grade before and after having PIR
- Society's activities and meeting of members of society before and after having plantation.
- The main and the second earnliving before and after having PIR Y
- Society's income level before and after having plantation
The determination of location of research is initiated purposively and the criteria of the chosen village is a village that is close to PIR and the members of the society have various earnlivings. That-is why, research location is determined at the village of Hilir Kantor, a village that is located on southern PIR and is close to PIR. There, the research is done on the situation of socioeconomic and cultural society. To get the illustration of the village situation before having PIR, it is determined with criteria of having similarity topography with the village of Hilir Kantor, located at Ngabang subdistrict and it is assumed that the impact of PIR will not effect it. That village, furthermore, is to be' a standard village. The Jelimpo village is determined as a standard village, it is in the border of Ngabang subdistrict and Sosok and is located around 30 km away from Hilir Kantor village. In Jelimpo village, the research is done on socioeconomic and cultural society. By comparing the situation of those two villages, so it can get an illustration of socioeconomic impact and culture of PIR V Ngabang to the surrounding society.
This research constitutes a descriptive research. Population which is related to this subject means the family heads (KK) who have been living at the research location for more than 15 years. Samples are based on data, the number of family heads (KK) who have been living at Hilir Kantor village for more than 15 years is 671 family heads (KR) and those who have been living at Jelimpo village is 336 family heads (KK). In conformity with those stipulations, respondents at Hilir Kantor village are 67 people and at Jelimpo village are 33 people. Data which are obtained from further research are analyzed with SPSS PC Plus programme. The frequency of distribution to 'identify the condition of socioeconomic and cultural encompasses demography, ocioeconomic and sociocultural, the initiating of t-test is to find out the impact of socioeconomic and cultural PIR V Ngabang to Hilir Kantor village and crossed tabulation in order to find out the society's perception to the existence of PIR V Ngabang.
First data is obtained by using questionnaires. Besides, an intense interview is used in order to obtain a further information.
Based on the outcome of the research, generally the existence of PIR V Ngabang brings about a minor positive impact and even it can arouse negative impact to the cultural society, except the increasing of the education level and society's income. The increasing of education level at the degree of 0,95 trusting or alpha 0,05 is caused PIR V have built means of education from elementary school (SD) to junior high school (SHP) level and those schools are to be used by the family of employees as well as by the surrounding society. The average of salary degree after having PIR is Rp. 265.731,00 and it is higher than before having FIR, viz Rp. 157.424,00, at 0,99 of trusting degree or alpha 0.01. The increasing of society's income is caused PIR V have contributed the motivation to develop non-basic economic, informal sectors, stalls, service of trade and so forth at surrounding villages. Some other things that were found are:
PIR V Ngabang is lack of responding local employees. The research shows that local employees which are employed are just 7.5 percent of the available work force or it just fills 1.8 percent of the available vacancies at plantation field.
The outcome of the research also shows that there is a change of main earnliving of the society, it is from cultivators into merchants profession, at 0,95 of trusting degree or alpha 0,05 because the expansion of oppurtunities of having a job at trade sector around the plantation.
The existence of PIR V arouse negative impact together with the lack of social involvement of members of society because they completely spend their time on their jobs.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T1716
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Hakim
"Hutan di Indonesia memiliki nilai ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya bagi negara dan khususnya bagi masyarakat setempat. Jika berbagai peranan itu tidak seimbang, yang satu lebih ditekankan daripada yang lainnya, maka keberlanjutan hutan akan semakin terancam. Hal ini terlihat selama 25 tahun terakhir ini, eksploitasi sumberdaya dan tekanan pembangunan mempunyai pengaruh pada hutan. Dalam buku Agenda 21 Indonesia disebutkan bahwa faktor-faktor yang menekan kerusakan hutan Indonesia, adalah: a) pertumbuhan penduduk dan penyebarannya yang tidak merata, b) konversi hutan untuk pengembangan perkebunan dan pertambangan, c) pengabaian atau ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam pemanfaatan sumberdaya alam, d) program transmigrasi, e) pencemaran industri dan pertanian pada hutan lahan basah, f) degradasi hutan bakau yang disebabkan oleh konversi menjadi tambak, g) pemungutan spesies hutan secara berlebihan dan h) introduksi spesies eksotik (UNDP & KMNLH, 1997).
World Resources Institute (WRI) menempatkan masalah kerusakan hutan tropis akibat penggundulan hutan sebagai masalah lingkungan utama Indonesia (Yakin, 1997). Eksploitasi hutan yang selama ini dilakukan secara berlebihan melalui sistem hak pengusahaan hutan (HPH) dan konversi hutan untuk pengembangan pertanian, khususnya perkebunan telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah. Kerusakan hutan juga terjadi di hutan konservasi dan hutan lindung. Data yang ada memperlihatkan bahwa hutan yang mengalami rusak berat akibat sistem HPH sampai Juni 1998 seluas 16,57 juta ha (Kartodihardjo & Supriono, 1999). Luas hutan konservasi dan bekas tebangannya yang rusak serta perlu direhabilitasi sekitar 13,7 juta ha, sedangkan lahan kritis mencapai 22 juta hektar (KMM Kehutanan, 2000). Djajadiningrat (dalam UNDP & KMNLH, 1997) menyatakan bahwa 12 juta ha hutan konversi telah diubah menjadi lahan pertanian, dan 4,8 juta ha untuk kegiatan pertambangan, sedangkan hutan konversi yang tersisa hanya 13,2 juta ha.
Tingkat kerusakan hutan yang tinggi mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga dapat menimbulkan dampak pada lingkungan yang serius seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, ketersediaan sumberdaya air dan erosi tanah. Faktor-faktor yang menekan proses kerusakan hutan Indonesia, diantaranya konversi hutan untuk pengembangan perkebunan. Cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha untuk memenuhi kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk mendapatkannya relatif mudah dan memperoleh keuntungan dari kayu hasil tebangan. Hampir semua pertanaman kelapa sawit yang ada sekarang adalah areal pertanaman baru berasal dari areal hutan produksi yang dikonversi (Kartodihardjo, 1999).
Namun dalam pelaksanaan kebijakan pelepasan kawasan hutan, temyata para pengusaha perkebunan besar yang mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan untuk penyediaan perkebunan besar kelapa sawit banyak yang tidak memanfaatkan lahan secara optimal dan bahkan lahan tersebut ditelantarkan. Data dari Dephutbun (1999) memperlihatkan banyaknya permohonan yang telah mendapatkan SIC pelepasan kawasan hutan dan izin prinsip pelepasan kawasan hutan, ternyata tidak/belum dimanfaatkan/tidak ditindaklanjuti dengan baik. Sampai Maret 1998 disebutkan SK pelepasan kawasan hutan seluas 4.012.946 ha (454 perusahaan), izin prinsip pelepasan kawasan hutan seluas 3.999.654 ha (245 perusahaan) dan realisasi penanaman temyata hanya seluas 1.751.319 ha. Banyak pengusaha yang telah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan namun tidak memiliki HGU. Terdapat 91 perusahaan perkebunan besar swasta nasional (PBSN) di wilayah 14 propinsi yang tidak memiliki HGU padahal pengurusannya sudah melewati batas waktu. Lahan yang tidak memiliki HGU namun telah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan luasnya mencapai 661.345,5 ha. Bahkan terdapat perusahaan yang telah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan sejak tahun 1987, atau telah 12 tahun tidak memiliki HGU.
Penelitian ini didasarkan atas pertanyaan penelitian, a) mengapa dalam penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perluasan perkebunan besar kelapa sawit terjadi praktek penyimpangan?, b) mengapa penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan perkebunan besar kelapa sawit berdampak pada peningkatan penggundulan hutan di Indonesia? dan c) bagaimana seharusnya arah perbaikan penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan perkebunan besar kelapa sawit agar tidak terjadi praktek penyimpangan dan peningkatan penggundulan hutan di Indonesia?
Dengan penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh informasi jawaban tentang berbagai hal yang telah diungkapkan dalam pertanyaan penelitian. Hipotesis penelitian adalah "praktek penyimpangan dalam penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan yang berdampak pada meningkatnya kerusakan lingkungan di Indonesia".
Penelitian ini termasuk penelitian terapan, karena mengkaji penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Teknik pengumpulan data dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui proses : a) studi kepustakaan dengan cara penelusuran atau eksplorasi data-data baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif dan b) wawancara dan diskusi mendalam melalui serangkaian wawancara dan diskusi dengan berbagai narasumber yang memahami isi masalah penelitian yang dianalisis, baik narasumber dari kalangan perguruan tinggi, birokrasi maupun LSM yang memiliki perhatian pada masalah lingkungan.
Pembahasan hasil penelitian dilaksanakan melalui beberapa tahap sebagai berikut :a) pemaparan data hasil penelitian. b) data hasil penelitian selanjutnya dianalisis dan dilakukan penarikan kesimpulan. dengan menekankan pada pendekatan empiris yang menjelaskan sebab dan akibat dari kebijakan, dan pendekatan evaluatif yang menekankan konsistensi antara nilai-nilai kebijakan dan penerapannya dan c) pembahasan hasil penarikan kesimpulan agar dapat diketahui secara jelas akar masalah kebijakan dan melalui pendekatan normatif diusulkan arah perbaikan kebijakan untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan telah dapat mendorong para pengusaha untuk melakukan pengembangan perkebunan besar kelapa sawit. Namun dalam penerapan kebijakan tersebut terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan pengusaha. Kawasan hutan yang telah mendapatkan izin pelepasan ternyata tidak direalisasikan dengan persiapan usaha dan penanaman kelapa sawit sehingga lahan tersebut terlantar.
Praktek penyimpangan penerapan kebijakan tersebut memperlihatkan adanya ketimpangan atau distorsi antara nilai-nilai yang ada dalam rumusan kebijakan dengan penerapan kebijakan tersebut. Nilai-nilai kebijakan menyebutkan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan besar tidak diperbolehkan merusak dan menganggu lingkungan hidup, dan kelestarian hutan, memperhatikan usaha konservasi tanah dan air, memperhatikan asas konservasi lahan dan lingkungan hidup, dan ketentuan-ketentuan lainnya yang mengatur pelaksanaan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan besar, khususnya kelapa sawit. Praktek penyimpangan penerapan kebijakan tersebut, berdampak pada peningkatan kerusakan hutan dan kerusakan lingkungan.
Faktor yang menyebabkan kesulitan dalam penerapan kebijakan secara baik, disebabkan oleh sulitnya mendapatkan informasi yang cukup terutama penerapan kebijakan di lapangan, terdapat berbagai kepentingan yang berbeda atas konversi hutan untuk perkebunan besar khususnya antara kepentingan pemerintah, pengusaha dan rakyat, dan birokrasi publik yang memiliki otoritas dalam pengambilan keputusan masih terlalu kuat sedangkan posisi tawar masyarakat masih lemah. Selain hal tersebut, kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan harus memiliki daya penegakan agar dapat diterapkan secara tegas dan dipersempit ruang bagi terjadinya perilaku penyimpangan kebijakan.
Akibat terjadinya banyak praktek penyimpangan dalam penerapan kebijakan, maka Manteri Kehutanan dan Perkebunan melalui Surat Edaran Nomor 603 /Menhutbun-VIII/2000 tanggal 22 Mei 2000 yang ditujukan kepada gubernur dan bupati di seluruh Indonesia mengintruksikan agar untuk sementara para kepala daerah tidak menerbitkan rekomendasi pencadangan pelepasan kawasan hutan untuk tujuan usaha perkebunan. Dengan surat edaran itu, maka tidak ada lagi permohonan baru konversi hutan alam untuk perkebunan yang dikabulkan atau direkomendasi.
Kebutuhan lahan hutan untuk pengembangan perkebunan mengakibatkan konversi hutan menjadi lahan non hutan berjalan cepat. Namun proses konversi hutan yang dilakukan tidak didasarkan akan kaidah ekologi, ekonomi dan sosial secara seimbang, sehingga dapat menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi dan sosial.
Pengelolaan sumberdaya hutan menyangkut kehidupan rakyat Indonesia dan mengingat nilai penting dari sumberdaya hutan dari segi ekonomi, sosial dan ekologi maka saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini adalah kebijakan yang mengatur sektor ini harus memperhatikan aspek transparansi, pendekatan bawah-atas, dan partisipasi politik semua pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, kebijakan yang akan diambil dapat memenuhi nilai bagi kebaikan publik, nilai bagi kelestarian lingkungan dan menghargai hak setiap orang untuk mendapatkan manfaat atas sumberdaya hutan.
Saran lain dari hasil penelitian ini, jika pelaksanaan konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit justru memperluas kerusakan hutan alam akibat praktek penyimpangan kebijakan oleh pengusaha, maka pemerintah perlu melakukan perubahan status tata guna hutan. Hutan yang berada dalam kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dirubah menjadi hutan tetap yang tidak dapat dikonversi untuk keperluan lain.

The Impact Of Forest Conversion Policy Implementation On Environmental Degradation (Case Study in Forest Conversion for Oil Palm Plantation)Forest in Indonesia has a number of functions: economic, social, environmental and cultural, particularly for the local community. Without balance and equilibrium between the functions, sustainability of the forest will be in danger. It can be shown that in the last 25 years pressure of resources exploitation and development pressure are having influences to the forest. Some factors influencing forest destruction in Indonesia are: a) population growth and the distribution is scatter, b) forest conversion for plantation and mining, c) ignorance or no found out about traditionally land ownership and traditional right to use natural resources, d) transmigration program, e) industrial and agricultural pollution in wetland forest, f) mangrove forest degradation caused by conversion to fishponds, g) species harvested excessively, h) introduction of exotic species.
The World Resources Institute (WRI) has placed tropical forest destruction by deforestation as one of Indonesian main environmental problems (Yakin, 1997). Excessive forest exploitation made possible by the right to a forest concession (HPH) and forest conversion for agriculture especially plantation, have resulted in severe forest destruction. Moreover, the destruction happened to conservation and preservation forest. Data shows, wide of forest area severely damaged by HPH until June 1998 was 16, 57 million ha. (Kartodihardjo & Supriono, 1999). Conservation forest and its destroyed deforested land that need rehabilitation reached 13,7 million ha and critical lands amounts to 22 million (KMM Kehutanan, 2000). Djajadiningrat (in UNDP and KMNLH, 1997) said that 12 million ha of conversion forest were turned into agriculture areas and 4,8 million ha into mining and leaving only over 13, 2 million ha.
High rate of forest destruction decrease forest ability to play its ecological function causing serious impact, to the environment such as climate change, decreasing biodiversity, water supply and soil erosion.
Much factors intensity Indonesia's forest destruction, such as forest conversion to develop plantation. Methods mostly practiced to get the area for oil palm plantation was changing forest area, since its easy mechanism and the profit from the log. Almost all of oil palm plantations found at present were new plantation by changing allocated production forest (Kartodihardjo, 1992).
In realization, many plantation estates who applied for forest area clearing did not use the area optimally and even just left the area. Data from Department of Forestry and Plantation (1999) showed that many applicants, who have obtained license for forest clearing and permission for opening the forest area, did not use the area rightly. Until March 1998 there were license for opening the forest for 4.012.946 ha (454 companies). Permission for clearing of forest area covered 3.999.654 ha (245 companies) and realization of plantation only 1.751.319 ha. There are many entrepreneurs who have already had the license didn't have HGU . There are 91 national private plantation companies (PBSN) in 14 provinces don't have HGU. Areas that did not have HGU but have already had the license for plantation are 661.345,5 ha. There are also companies that have had the license since 1987 but they do not have HGU.
This research is based on three questions: a) why there were many deviations in implementing the conversion of forest areas for oil palm plantations? , b) why implementation of the policy have impacts to deforestation?, c) how to improve implementation of the policy ?
Result obtained from this research to is expected to answer mentioned questions. The hypothesis is "deviation in implementation policy of clearing forest areas has impacts on the increase of environmental degradation".
Data were collected directly and indirectly through: a) literature study to obtain qualitative and quantitative data, b) interview and discussion with many resource persons from universities, government, and non-government organizations (NGO) interested in environmental issues.
The discussions were conducted in steps such as: a) data expose, b) data analyses and draw conclusion through empiric approach to explain relations between cause and effect of the rule and evaluative approach stressing consistency value of the rule and the implementation, c) conclusion discussion to get the root of problem and through the normative approach to give the way to solve the policy problem.
Based on results obtained, it can be concluded that policy of conversion forest areas for plantation have motivated entrepreneurs to develop oil palm plantations. However, a number of deviations were practiced by the entrepreneurs. Forest areas that have already had the licenses did not make work preparations and oil palm planted and at the end, the area is neglected.
Divert implementation showed there were unbalance or distortion between the exist value in the policy with implementation of the policy it self The values of the policy said that releasing forest area for big plantation not allowed damaging or disturb the environment and forest continuing, pay attention on land and water conservation, pay attention to the Principe of land conservation and the environment and other rules that manage the releasing implementation for big plantation especially oil palm.
Factors that made difficulties to policy enforcement are difficult to enforce in the field. There are different interests on forest conversion for big plantation, government, entrepreneurs and community interests and public bureaucracy. Bureaucracy who has authority in decision making is too strong and the other hand, community bargaining is very weak. Beside that, the policy to open the forest area for plantation has to have enforcement to apply firmly and. make small changes for policy deviates.
Because of many deviations on policy implementation, The ministry of Forestry and Plantation through Surat Edaran Nomor 603IMenhutbun-VIIT12000, May 22, 2000, that purposed to governor and head of regency, instruct them not to make new recommendation for forest opening for plantation. With that letter, no more application can get recommendation.
The requirement of forest areas for plantation development caused alteration forest areas became no forest areas run faster. Unfortunately, the conversion wasn't implemented as balance based on ecology, economic and social principles, so after that gave impacts like environmental degradation, and financial and social loss.
Management of forest resources is related to Indonesian society livelihood. Upon thinking of the important value of forest resources, economic, social, and ecology, and based on this research, it's suggested that policy which is managing this sector has to make considering transparantion and bottom-up approach aspects, also political participation whole stakeholders involved. Thus, the policy can meet values for goodness of society, environmental conservation, and gives respect for everyone rights to get benefit of forest resources.
Other suggestion is, if the implementations of forest conversion for oil palm plantation extend the natural forest degradation, government should change the management of forest utilization. Forest which is in forest production area can be converting but cannot be other use.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T2813
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oetami Dewi
"Resistensi petani pada umumnya dipahami sebagai bentuk reaksi terhadap ancaman keamanan atau hilangnya mekanisme sosial yang menjamin terpenuhinya kebutuhan subsistensi rumah tangga petani. Ancaman terhadap subsistensi patani itu dapat muncul dari banyak kasus seperti komersialisasi dan kapitalisasi sistem pertanian di pedesaan, intervensi teknologi baru dalam bidang pertanian yang lebih bersifat padat modal daripada padat karya, tekanan demografis, revolusi hijau dan lain sebagainya.
Resistensi petani plasma perkebunan kelapa sawit mulai berkembang setelah produktivitas kebun menurun dan kesejahteraan hidup mereka semakin merosot bersamaan dengan pertambahan populasi penduduk. Petani plasma yang terikat oleh sistem contract farming dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit ini dalam posisi yang sangat tergantung pada perusahaan dan hampir tidak memiliki bargaining position.
Pada sisi lain pihak manejemen PTPN XIII PIR V Ngabang telah berhasil membangun kerjasama yang kuat dengan pemerintah daerah, aparat keamanan dan tokoh-tokoh politik serta tokoh-tokoh masyarakat setempat guna menahan segala bentuk resistensi dari petani plasma dan warga masyarakat di sekitar tapak perusahaan perkebunan tersebut berada. Dengan demikian tidak cukup memadai peluang politik bagi para petani plasma untuk memperjuangkan permasalahan mereka. Dalam kondisi seperti ini maka dapat dipahami apabila petani plasma cenderung memilih bentuk resistensi yang bersifat tertutup atau terselubung seperti pencurian buah kelapa sawit, pembakaran pohon sawit, penanaman pohon karat di areal kebun inti, dan penanaman benih tidak bersertifikat.
Implikasi teoritis yang dapat dipetik dari studi ini antara lain dalam komunitas petani plasma di Ngabang tidak berkembang kesadaran kelas. Kondisi demikian berkaitan terjadi karena belum berkembangnya institusi kepemilikan atau penguasaan tanah pertanian secara individual. Sebelmn PTPN XIII beroperasi di Ngabang, terdapat institusi penguasaan tanah pertanian secara kolektif atau komunal. Kesadaran kolektif yang berkembang pada komunitas petani plasma Ngabang adalah kasadaran akan identitas kultural mereka sebagai masyarakat Dayak yang tidak dapat dilepaskan dari adat dan hukum adat Petani plasma dan orang Dayak pada umumnya memlliki rasa inferioritas yang sensitif apabila identitas kultural terasa dilecehkan maka akan muncul tindakan impulsif untuk membuktikan diri mereka sebagai putra daerah "yang berkuasa" di wilayah tersebut.
Karakteristik tradisional dalam diri petani plasma di Ngabang bukan sekedar bersifat given, inheren dan melekat dalam pola perilaku petani plasma. Namun karakteristik ini berkaitan dengan serangkaian kebijakan pemerintah, tanggapan pihak perusahaan, dan konstruksi identitas yang telah lama dibangun oleh para aktivis LSM yang menegaskan bahwa identitas petani dan masyarakat Dayak pada umumnya adalah sebagai masyarakat adat. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendapat para ahli bahwa petani memiliki kebudayaan asli yang tradisional. Temuan dalam studi ini menyatakan bahwa karakteristik tradisional dalam diri petani juga merupakan dampak dari proses konstruksi sosial yang dilakukan oleh negara dan Iembaga kapital yang bertujuan menundukkan komunitas petani dan mengambilalih kontrol penguasaan sumber daya alam dari tangan petani. Guna mencapai maksud tersebut, negara melakukan pendekatan teritorialisasi sehingga wilayah "pedalaman" tempat tinggal petani dan tempat keberadaan sumber daya alam berada di bawah kontrol kekuasaan birokrasi negara.
Akibat lebih jauh dari konstruksi idenitas tersebut petani plasma menjadi terjebak dalam konstruksi identitas dan solidalitas yang bersifat sempit dan lokal. Dalam keadaan dernikian perusahaan perkebunan merespon semua bentuk resistensi petani seperti permasalahan konflik adat bukan konflik ekonomi. Dengan konstruksi sosial seperti ini segala bentuk resistensi petani plasma menjadi lebih mudah ditundukkan dan dilokalisir dalam ranah kultural adat dan tidak akan berkembang menjadi perlawanan kolektif skala besar. Temuan ini menunjukan bahwa ?adat? menjadi instrument yang dipergunakan perusahaan untuk melokalisasi resistensi petani plasma Resistensi petani plasma Ngabang tidak cukup dijelaskan dari sisi internal petani seperti mari-teori klasik tentang perlawanan petani yakni ada atau tidak adanya ideologi dan pemimpin namun harus mempertimbangkan faktor kontekstual yakni konstelasi relasi pasar, negara dan komunitas serta motivasi petani untuk memanfaatkan peluang yang ada.
Resistensi terselubung yang dilakukan petani plasma terhadap PTPN XIII di Ngabang bukan bertujuan untuk mengembalikan sistem perekonomian subsisten namun justru didorong oleh motivasi untuk memperbesar akses keterlibatan petani plasma dalam sistem perkebunan kelapa sawit seperti memperoleh penghasilan lebih besar dan manduduki posisi terhormat dalam birokrasi perkebunan. Temuan ini jauh berbeda dengan pernyataan Scott bahwa petani akan selalu mempertahankan sistem perekonomian subsisten karena sistem ini dianggap memberi jaminan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga petani. Petani plasma dalam bertindak lebih mengutamakan kepentingan individual dan tidak mempertimbangkan kepentingan kolektif seperti yang dikatakan oleh para pendukung perspektif teori moral ekonomi. Konsepsi teoritis tentang bentuk-bentuk resistensi petani yang dikembangkan oleh para pendukung paradigma moral ekonomi hanya mampu menjelaskan bentuk resistensi terselubung yang dilakukan oleh petani plasma di Ngabang namun gagal untuk menjelaskan dorongan atau motivasi yang melandasi resistensi petani plasma terhadap PTPN XIII PIR V Ngabang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D789
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leviria Madina
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
S31489
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Cahyanto
"Tesis ini membahas pengelolaan hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani Jawa Tengah. Pengelolaan didasarkan pada pengelolaan tahun 2007 dan 2009. Pengelolaan difokuskan pada alokasi luas areal tebangan dan volume tebangan yang berimplikasi pada penyerapan tenaga bagi masyarakat sekitar hutan serta dampak penerimaan hasil penjualan kayu bagi operator yang memberikan keuntungan maksimal.
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan aplikasi Linear Programming. Lokasi yang dipakai sebagai tempat pengukuran 17 lokasi, 3 jenis tebangan, 2 kelas perusahaan. Fungsi tujuan memaksimalkan keuntungan.Variabel keputusan alokasi luas tebangandan volume tebangan. Fungsi kendala luas areal, tenaga kerja dan modal.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengelolaan hutan, volume dan luas areal belum optimal. Dibuktikan pada luas areal sebelum optimalisasi lebih luas 24.318,11 ha dari areal model 1 model 2. Areal yang dieksploitasi pada model 1 adalah 18.307,89 ha dan model 2 seluas 16.190,97 ha. Jatah Produksi Tebangan sebelum optimalisasi, volume jati lebih besar 51.599,17 m3 dari model 1 dan model 2. Volume rimba sebelum optimalisasi berlebih 5.260,06 m3 dari model 1 dan 5.006,11 m3 dari model 2. Volume tebangan sebelum optimalisasi lebih difokuskan pada tebangan B-D dan E jenis jati dan jenis rimba. Volume pada model 1 dan 2 fokus pada tebangan A dan B-D jati dan rimba. Tebangan E sebagai pilihan (tebangan pemeliharaan). Biaya eksploitasi lebih kecil pada model 1, sedangkan keuntungan lebih besar model 2, pada analisis sensitivitas skenario 2 model 2.a.. Namun model yang direkomendasikan adalah model 1 dengan tingkat jenis tebangan yang heterogen sesuai dengan potensi yang ada dan pemanfaatan masyarakat sekitar hutan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T28791
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>