Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 87714 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dieki Rian Mustapa
"ABSTRAK
Asam mefenamat merupakan obat yang termasuk ke dalam Biopharmaceutical
Classification System kelas dua dengan kelarutan rendah dan daya tembus
membran yang tinggi, sehingga laju pelarutan menjadi tahap yang membatasi laju
absorpsi obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu
pembentukan kristal terhadap karakteristik kokristal asam mefenamat-asam
tartrat. Kokristalisasi dibuat menggunakan metode pelarutan dengan proses
pembentukan kristal dalam suhu kamar dan suhu dingin. Formulasi asam
mefenamat dan asam tartrat dibuat dengan perbandingan 2:0,5, 1:1, dan 2:1.
Berdasarkan uji morfologi dan difraksi sinar-x, terjadi perubahan bentuk dan
ukuran kristal pada formulasi 2:1. Formulasi 2:1 pada kristalisasi dalam suhu
dingin dengan DE(5) sebesar 25,42% memiliki laju pelarutan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan asam mefenamat standar dan kristalisasi pada suhu kamar.
Hasil uji termal dan spektroskopi inframerah menunjukan tidak adanya interaksi
berupa ikatan hidrogen antara asam mefenamat dengan asam tartrat. Peningkatan
laju pelarutan yang di sebabkan oleh perubahan bentuk dan ukuran kristal
menghasilkan penurunan energi peleburan dari 164,7653 J/g menjadi 154,1789
J/g dan 135,2607 J/g.

ABSTRACT
Mefenamic acid is a drug that belongs to the Biopharmaceutical Classification
System class two with low solubility and high permeability membrane so that the
rate of dissolution becomes rate limiting step of drug absorption. The purpose of
this study is to determine the effect of crystal formation temperatures on the
characteristics of co-crystal mefenamic acid-tartaric acid. Co-crystallization was
made using a dilution methods with the process of crystal formation using cooling
at room temperatures and cold temperatures. Formulations of mefenamic acid and
tartaric acid is made with a ratio of 2:0,5, 1:1, and 2:1. Based on morphological
tests and x-ray diffraction, the changes in shape and size of the crystals was on the
formulation of 2:1. Crystallization in the 2:1 formulation at cold temperatures
with DE(5) of 25.42% have higher dissolution rate than mefenamic acid and
crystallization at room temperature. The test results of thermal and infrared
spectroscopy showed no presence of hydrogen bonding interaction between
mefenamic acid with tartaric acid. Increasing the rate of dissolution is caused by
changes in shape and size of the crystals resulting a decrease in fusion energy
from 164.7653 J / g to 154.1789 J / g and 135.2607 J / g.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S1820
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizkianna
"ASBTRAK
Karbamazepin merupakan obat yang termasuk ke dalam Biopharmaceutical
Classification System kelas dua dengan kelarutan yang rendah dan permeabilitas
yang tinggi, sehingga laju pelarutan menjadi tahap yang membatasi laju absorpsi
obat. Penelitian ini dimaksudkan untuk meningkatkan laju pelarutan
karbamazepin dengan pembentukan kokristal menggunakan asam tartrat sebagai
koformer. Pembuatan kokristal dilakukan dengan metode penguapan pelarut dan
solvent drop grinding. Formulasi karbamazepin dan asam tartrat dibuat dengan
perbandingan 1:0, 1:1, dan 2:1. Kokristal dikarakterisasi dengan FTIR, XRD, dan
DSC kemudian dibandingkan dengan karbamazepin. Berdasarkan uji difraksi
sinar-x, terjadi perubahan bentuk dan ukuran kristal pada kokristal. Hasil
spektrum inframerah menunjukan adanya interaksi berupa ikatan hidrogen antara
karbamazepin dan asam tartrat. Laju pelarutan paling tinggi diperoleh dari metode
penguapan pelarut dengan perbandingan 1:1. Peningkatan laju pelarutan mencapai
2,55 kali dari karbamazepin standar dengan DE180 sebesar 9,60%.

ABSTRACT
Carbamazepine is a drug that belongs to the Biopharmaceutical Classification
System class II with low solubility and high permeability, so that the dissolution
rate becomes rate limiting step of drug absorption. This study is intended to
enhance the dissolution rate of carbamazepine by forming cocrystal with tartaric
acid as coformer. Cocrystal were made by solvent evaporation and solvent drop
grinding method. Formulations of carbamazepine and tartaric acid were made
with a ratio of 1:0, 1:1, and 2:1. Cocrystal was characterized by FTIR, XRD, and
DSC compared with carbamazepine. Based on the x-ray diffraction test, the
changes in shapes and sizes of the crystals was shown. Moreover, the infrared
spectrum showed hydrogen bonding interaction between carbamazepine and
tartaric acid. The highest dissolution rate was obtained from solvent evaporation
method with ratio of 1:1. Enhancement of dissolution rate reached 2.55 times
from standard with DE180 9.60%."
Universitas Indonesia, 2012
S42277
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Muhamad Kadri
"Ibuprofen merupakan obat yang termasuk ke dalam Biopharmaceutical Classification System kelas dua dengan kelarutan yang rendah dan permeabilitas yang tinggi, sehingga laju pelarutan menjadi tahap yang membatasi laju absorpsi obat. Penelitian ini dimaksudkan untuk meningkatkan laju pelarutan ibuprofen dengan pembentukan kokristal menggunakan asam tartrat sebagai koformer. Pembuatan kokristal dilakukan dengan metode dry grinding dan solvent drop grinding. Formulasi ibuprofen dan asam tartrat dibuat dengan perbandingan 1:0, 1:1, dan 2:1. Kokristal dikarakterisasi dengan FTIR, XRD, dan DSC kemudian dibandingkan dengan ibuprofen. Berdasarkan uji difraksi sinar-x, terjadi perubahan bentuk dan ukuran kristal pada kokristal. Hasil spektrum inframerah menunjukan adanya interaksi berupa ikatan hidrogen antara ibuprofen dan asam tartrat. Laju pelarutan paling tinggi diperoleh dari metode solvent drop grinding dengan perbandingan 2:1. Peningkatan laju pelarutan mencapai 4,06 kali dari ibuprofen standar dengan DE8 sebesar 17,24%.

Ibuprofen is a drug that belongs to the Biopharmaceutical Classification System class II with low solubility and high permeability, so that the dissolution rate becomes rate limiting step of drug absorption. This study is intended to enhance the dissolution rate of ibuprofen by forming cocrystal with tartaric acid as coformer. Cocrystal were made by dry grinding and solvent drop grinding method. Formulations of ibuprofen and tartaric acid were made with a ratio of 1:0, 1:1, and 2:1. Cocrystal was characterized by FTIR, XRD, and DSC compared with ibuprofen. Based on the x-ray diffraction test, the changes in shapes and sizes of the crystals was shown. Moreover, the infrared spectrum showed hydrogen bonding interaction between ibuprofen and tartaric acid. The highest dissolution rate was obtained from solvent drop grinding method with ratio of 2:1. Enhancement of dissolution rate reached 4.06 times from standard with DE8 17.24%."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S45259
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fienda Triani
"ABSTRAK
Karbamazepin merupakan obat yang termasuk ke dalam Biopharmaceutical
Classification System kelas dua dengan kelarutan rendah dan daya tembus
membran yang tinggi. Sehingga laju pelarutan menjadi tahap penentu kecepatan
bioavailabilitas obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
perbedaan metode pembentukan kokristal terhadap laju pelarutan karbamazepin
dengan metode penguapan pelarut dan solvent drop grinding. Kokristalisasi
dengan kedua metode tersebut dibuat dalam perbandingan formula yaitu 1:1, 2:1,
dan 1:0. Berdasarkan uji morfologi dan difraksi sinar-x, menunjukan terjadinya
perubahan bentuk dan ukuran kristal pada semua perbandingan. Formulasi 1:1
pada metode penguapan pelarut dengan DE(180) sebesar 7,38% memiliki laju
pelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Karbamazepin standar dan
kokristalisasi dengan metode solvent drop grinding. Hasil uji termal
memperlihatkan adanya penurunan titik lebur pada hasil kokristalisasi dan
spektroskopi inframerah menunjukan adanya interaksi berupa ikatan hidrogen
antara Karbamazepin dengan asam suksinat.

Abstract
Carbamazepine is a drug that belongs to the Biopharmaceutical
Classification System class with low solubility and high permeability membrane.
So that the rate of dissolution into the pacesetter stage drug bioavailability. The
purpose of this study was to determine the effect of different methods of
formation of the rate of dissolution of carbamazepine cocrystal by solvent
evaporation method and the solvent drop grinding. Cocrystalisation by both
methods were made in comparison formula is 1:1, 2:1, and 1:0. Based on
morphological tests and x-ray diffraction, showing the changes in shape and size
of the crystals in all comparisons. Formulation at 1:1 evaporation method with
DE(180) of 7.38% has a higher dissolution rate compared with standard
carbamazepine than cocrystalisation with solvent drop grinding method. Thermal
test results showed a decrease in melting point and infrared spectroscopy
cocrystalisation results indicate the existence of hydrogen bonding interactions
between carbamazepine with succinic acid."
Universitas Indonesia, 2012
S43314
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Susanto
"Arthritis merupakan penyakit pada daerah persendian yang dapat diobati dengan pemberian obat anti inflamasi non steroid (OAINS) misalnya asam mefenamat. Asam mefenamat merupakan OAINS yang sudah umum dikonsumsi secara oral, tetapi menimbulkan iritas pada sistem gastrointestinal sehingga dibutuhkan cara penghantaran obat yang lain misalnya melalui kulit. Asam mefenamat merupakan senyawa hidrofobik, dibutuhkan suatu yang bersifat aman dan mampu melarutkan asam mefenamat. Deep Eutectic Solvent (DES) merupakan pelarut tidak beracun yang mampu melarutkan senyawa hidrofobik. DES tersusun atas senyawa pemberi ikatan hidrogen (HBD) dan penerima ikatan hidrogen (HBA). Mentol merupakan senyawa yang memiliki kemampuan anti inflamasi dan sudah umum dijadikan sebagai pemberi ikatan hidrogen. Asam laurat merupakan senyawa hidrofobik yang umum digunakan untuk melarutkan senyawa hidrofobik. Mentol dan asam laurat dipilih sebagai senyawa penyusun DES dengan rasio molar tertentu. Asam mefenamat akan dilarutkan dalam DES kemudian akan dibentuk menjadi nanoemulgel dengan bantuan karbomer 940. Nanoemulgel akan dibuat dari DES dengan rasio molar HBA:HBD sebesar 2:1 dan 4:1. Jumlah asam mefenamat juga divariasikan untuk melihat pengaruhnya pada nanoemulgel. Hasil pengujian nanoemulgel memperlihatkan kestabilan selama satu tahun, memiliki ukuran partikel berkisar 467,93-711,1 nm dengan Polydispersity index 0,77-2,04. Loading dari nanoemulgel berada pada rentang 0,17-0,74 % dengan efisiensi enkapsulasi sebesar 9,61-108,4 %. Sampel E21 dan E23 diujikan lebih lanjut untuk kemampuan permeasi transdermal dan menunjukan sampel E21 mampu untuk melepaskan 21,33% obat sedangkan sampel E23 mampu melepaskan 7,72% obat setelah pengujian 6 jam.

Arthritis is a disease affecting the joints that can be treated with non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), such as mefenamic acid. Mefenamic acid is a commonly used oral NSAID but can cause irritation to the gastrointestinal system, so an alternative drug delivery method is needed, such as through the skin. Mefenamic acid is a hydrophobic compound, and a safe solvent capable of dissolving mefenamic acid is required. Deep Eutectic Solvent (DES) is a non-toxic solvent that can dissolve hydrophobic compounds. DES is composed of a hydrogen bond donor (HBD) and a hydrogen bond acceptor (HBA) compound. Menthol is a compound with anti-inflammatory properties and is commonly used as a hydrogen bond donor. Lauric acid is a hydrophobic compound commonly used to dissolve hydrophobic compounds. Menthol and lauric acid are chosen as the constituents of DES with a specific molar ratio. Mefenamic acid will be dissolved in DES and then formed into a nanoemulgel with the help of carbomer 940. Nanoemulgel will be made from DES with HBA:HBD molar ratios of 2:1 and 4:1. The amount of mefenamic acid is also varied to observe its effect on the nanoemulgel. The testing results of the nanoemulgel show stability for one year, with particle sizes ranging from 467,93 to 3711,1 nm and a polydispersity index of 0,77 to 2,04. The loading of the nanoemulgel ranges from 0,17% to 0,74% with encapsulation efficiency ranging from 9,61% to 108,4%. Samples E21 and E23 were further tested for transdermal permeation capability, with sample E21 able to release 21,33% of the drug, while sample E23 released 7,72% of the drug after 6 hours of testing."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Saputro
"Aluminium merupakan salah satu logam yang banyak digunakan serta dikembangkan untuk berbagai aplikasi. Pada penelitian kali ini dilakukan modifikasi terhadap permukaan almunium meggunakan metode two step anodization sehingga pada permukaan almunium terbentuk almuniun oksida.Pembentukan anodic alumunium oxide AAO digunakan elektrolit asam oksalat 0.3 M dan elektrolit campuran asam oksalat dengan asam sulfat. Dilakukan variasi konsentrasi asam sulfat 0.1 M, 0.3 M dan 0.5 M yang ditambahkan kedalam asam oksalat untuk mendapatkan kondisi optimum. Kondisi optimum dalam pembentukan AAO dengan menggunakan elektrolit campuran asam oksalat 0.3 M dengan asam sulfat 0.1 M dengan diameter pori 76.32 nm dan jarak antar pori 33.56 nm. Variasi voltase dilakukan untuk mengetahui pengaruh voltase dalam pembentukan pori. Penggunaan voltase 45 V pada asam oksalat memperoleh diameter pori 97.37 nm dan jarak antar pori 30.97 nm, sedangkan pada elektrolit campuran asam oksalat 0,3 M dengan asam sulfat 0,1 M di peroleh diameter pori 76.32 nm dan jarak antar pori 33,55 nm hanya menggunakan voltase 25 V. Hal ini menunjukkan penambahan asam sulfat pada asam oksalat memberikan pengaruh terhadap voltase yang digunakan memberikan pengaruh dalam pembentukan templat anodic almunium oxide.

Aluminum is one of the most widely used metals and developed for various applications. In this research, modification of aluminum surface using two step anodization method and aluminum oxide has formed on aluminum surface. The forming of anodic aluminum oxide AAO is used electrolyte oxalic acid 0.3 M and electrolyte mixture of oxalic acid and sulfuric acid. A variation of 0.1 M, 0.3 M and 0.5 M sulfuric acid concentrations was added to the oxalic acid to obtain the optimum condition. The optimum conditions in the forming of AAO by using 0.3 M electrolyte oxalic acid and 0.1 M sulfuric acid with pore diameter 76.32 nm and pore distance 33.56 nm. Variations of voltage are performed to determine the effect of voltage in the pore forming. Using 45 V voltage on oxalic acid obtained pore diameter 97.37 nm and pore distance 30.97 nm, whereas in the mixing of electrolyte oxalic acid 0,3 M and sulfuric acid 0,1 M obtained pore diameter 76.32 nm and pore distance 33.55 nm. This shows that the addition of sulfuric acid to oxalic acid has a significant effect on the voltage used."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S69646
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rafie Alifasyah
"Penelitian mengenai pengaruh konsentrasi asam klorida dan suhu kalsinasi terhadap pembentukan metakaolin sebagai bahan baku zeolit telah dilaksanakan dengan baik. Kaolin memiliki kandungan utama alumina dan silika. Aktivasi kaolin dilakukan secara kimia dan termal untuk mendapatkan metakaolin yang lebih reaktif. Pada penelitian ini aktivasi kimia kaolin dilakukan dengan mencampur media aktivasi berupa asam klorida dengan konsentrasi 3M dan 4M. Pencampuran dilakukan dengan magnetic stirrer selama 24 jam pada suhu 50oC. Kalsinasi dilakukan dengan furnace pada temperatur 500oC dan 600oC. Data pengujian inframerah (FTIR) menunjukkan peningkatan transmitansi peak gugus hirdoksil pada kaolin pada konsentrasi 4M lebih besar dibandingkan dengan 3M sebesar 2% pada peak 3692 cm-1, 1,95% pada peak 3653 cm-1, dan 1,91% pada peak pada 3620 cm-1 pada suhu kalsinasi 600°C yang menandakan penetrasi dari ion H+ ke struktur kaolin dan berikatan dengan gugus hidroksil, serta terdapat perubahan bentuk dan posisi dari gugus Si-O yang menunjukkan distorsi saat kalsinasi. Karakterisasi dengan menggunakan metode mikroskop elektron yang dilengkapi dispersi energi sinar-X (SEM-EDX) dilakukan untuk mengetahui morfologi dan komposisi secara semi kuantitatif dari kaolin setelah dilakukan aktivasi. Pada sampel kaolin dengan temperatur kalsinasi 500°C dan 600°C memiliki morfologi yang tidak teratur yang menandakan terbentuknya metakaolin. Hasil dari pengujian difraksi sinar-X (XRD) menunjukkan penurunan secara signifikan peak kaolinit setelah kalsinasi temperatur 500°C dan 600°C yang menandakan perubahan kaolin menjadi metakaolin Berdasarkan pengujian EDX terjadi penurunan pengotor pada sampel kaolin teraktivasi asam klorida 3M terhadap raw kaolin sebesar 63,89% elemen Zn, 35% elemen Fe, dan 36,17% elemen K pada suhu kalsinasi 600°C. secara signifikan setelah dilakukan aktivasi asam. Karakterisasi Brunauer-Emmett-Teller (BET) dilakukan untuk mengetahui pengaruh temperatur kalsinasi terhadap luas permukaan dari kaolin yang telah dilakukan aktivasi dan kalsinasi. Luas permukaan kaolin meningkat sebesar 344% terhadap raw kaolin setelah dilakukan kalsinasi pada temperatur kalsinasi 500°C dan meningkat sebesar 389% terhadap raw kaolin pada temperatur kalsinasi 600°C.

Research on the effect of hydrochloric acid concentration and calcination temperature on metakaolin ordering as a zeolite raw material has been carried out well. Kaolin contains mainly alumina and silica. Activation of kaolin is carried out chemically and thermally to obtain metakaolin which is more reactive. In this research, kaolin chemical activation was carried out by mixing with ion exchange medium in the form of hydrochloric acid with a concentration of 3M and 4M in a magnetic stirrer for 24 hours at a temperature of 50°C. Calcination is carried out in a furnace at temperatures of 500°C and 600°C. Infrared (FTIR) test data showed that the increase in transmittance of the hydoxyl group peaks on kaolin at a concentration of 4M was greater than that of 3M by 2% at the peak of 3692 cm-1, 1.95% at the peak of 3653 cm-1, and 1.91% at the peak at 3620 cm- 1 at a calcination temperature of 600°C which indicates the penetration of the H + ion into the kaolin structure and binds to the hydroxyl group, and there is a change in the shape and position of the Si-O group which shows distortion during calcination. Characterization using the electron microscope equipped with X-ray dispersion (SEM-EDX) method was carried out to see the calculated data and composition of kaolin after activation. Kaolin sample with a calcination temperature of 500°C and 600°C shows an irregular morphology which indicate transformation from kaolin to metakaolin. Results of the X-ray diffraction (XRD) test showed a significant decrease in the peak kaolinite after calcination at a temperature of 500°C and 600°C, which indicates a change in kaolin to metakaolin. Based on the EDX testing, there was a significant decrease in impurities in the kaolin sample activated by 3M hydrochloric acid against raw kaolin by 63.89% Zn elements, 35% Fe elements, and 36.17% K elements at a calcination temperature of 600°C. after acid activation was performed. Brunauer-Emmett-Teller (BET) characterization was carried out to see the effect of calcination temperature on the surface area of activated and calcined kaolin. The surface area of kaolin increased by 344% against raw kaolin after calcination at a calcination temperature of 500°C and increased by 389% for crude kaolin at a calcination temperature of 600°C."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fara Dewi Syamdri
"Fabrikasi templet Anodic aluminium Oxide AAO sebagai nanoporous dilakukan dengan proses anodisasi dengan metode two-step anodization menggunakan alumunium dengan kemurnian 99,98 dengan variasi larutan elektrolit yaitu, larutan asam oksalat dan asam sulfat dengan variasi konsentrasi 0,3 M untuk asam oksalat dan 0,1 M, 0,3 M dan 0,5 M untuk asam sulfat, serta waktu anodisasi kedua sebesar 360 menit. Waktu anodisasi, larutan dan konsentrasi elektrolit, serta arus yang digunakan menjadi faktor utama dalam pembentukan ketebalan lapisan oksida dan diameter pori yang dihasilkan. Selain itu, voltase sangat berpengaruh dalam pembentukan jumlah pori pada templet AAO. Untuk melihat stuktur pori yang terbentuk, templet AAO dikarakterisasi dengan Scanning Electron Microscopy SEM . Diperoleh kondisi optimum dari penggunaan asam sulfat konsentrasi 0,3 M pada voltase 25 V menghasilkan diameter pori sebesar 57,72 nm serta jarak antar pori 30,52 nm. Untuk penggunaan asam oksalat 0,3 M pada voltase 45 V menghasilkan pori 97,37 nm dan jarak antar pori 31,97 nm.

Fabrication of Anodic Aluminium Oxide AAO template as nanoporous were studied by a two step anodization process using aluminum with 99.98 purity in 0,3 M oxalic acid and a variation of 0,1 M, 0,3 M and 0,5 M sulfuric acid solution with 360 minutes of second anodization time. Time for anodizing process, electrolyte solution and concentration, and current become the main factors in the formation of the oxide layer thickness and the pore diameter. Then, the effect of a voltage affects the number of pores on the AAO template. The structural features of nanoporous were examined by Scanning Electron Microscopy SEM The optimum condition was obtained from the use of 0.3 M sulfuric acid at 25 V with pore diameter 57,72 nm and pore distance 30,52 nm. For the use of 0.3 M oxalic acid at 45 V with pore diameter 97,37 nm and pore distance 31,97 nm."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S69435
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristanto
"PCC (Precipitated Calcium Carbonate) merupakan bahan baku industri yang berasal dari batuan dolomit. Jumlah dolomit yang terdapat di Indonesia sebanyak 600 jt ton dan pemanfaatannya masih belum menguntungkan karena hanya masih digunakan sebagai bahan dasar pupuk. Dalam upaya meningkatkan nilai tambah mineral dolomit, penelitian sebelumnya menggunakan leaching untuk memisahkan kandungan CaCO3 dalam dolomit sehingga menghasilkan CaCO3 murni untuk digunakan industri.
Pada penelitian ini dilakukan modifikasi pada metode leaching yaitu penambahan cosolvent HCl pada asam asetat untuk meningkatkan kemampuan leaching. Penambahan cosolvent ini diberikan dengan variasi volume agar diketahui berapa volume cosolvent (2, 3, 4, 5 %) optimum. Tujuan dari penambahan cosolvent adalah untuk meningkatkan kemurnian CaCO3 yang dihasilkan dengan menggunakan beberapa kondisi pada penelitian ini seperti (0,1 M, rasio massa/volume solven 10/100, waktu reaksi 50 menit dan ukura partikel <=100 Mesh) dan menghasilkan kemurnian CaCO3 95,74%.

PCC (Precipitated Calcium Carbonate) are materials from dolomite that used for several industries. The amount of dolomite found in Indonesia are around 600 billions tons and the usage of it still not profitable since it was only used as materials for fertilizers. Today,in the attempt of dolomite?s enhancement, there are some research about leaching technology to separate CaCO3 from dolomite to make high purity CaCO3 that could be use in industry.
In this research, we add cosolvent into the leaching method to enhance the leaching. The amount of HCl as cosolvent that would be added was given variation (2, 3, 4, 5 %) to find the optimum volume of cosolvent. The objective of adding cosolvent is to enhance the purity of CaCO3 with the optimum condition without cosolvent are 0.1 M of acetic acid concetration and ratio dolomite?s mass/volume and the output of the test of cosolvent is at 95,74% of purity."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S64688
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanita Firda Adelia
"Paduan aluminium 2024-T3 biasa digunakan dalam industri penerbangan seperti komponen pada pesawat terbang. Material ini digunakan karena sifatnya yang ringan dan cenderung tahan korosi jika dibandingkan dengan material selain aluminium, namun jika dibandingkan dengan paduan aluminium seri lainnya, paduan aluminium 2xxx cenderung memiliki ketahanan korosi yang rendah. Untuk memperbaiki sifat ini, maka dilakukan proses anodisasi dengan larutan elektrolit asam oksalat 0,5 M selama 30 menit. Proses anodisasi dilakukan pada temperatur 0, 10, dan 20°C serta rapat arus 15, 20, dan 25 mA/cm2.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari kedua variabel tersebut terhadap kekerasan mikro dan laju korosi tiap sampel. Didapat hasil bahwa nilai kekerasan mikro paling tinggi pada permukaan sampel didapat pada sampel 0°C - 20 mA/cm2 dengan nilai kekerasan sebesar 543 HV. Sedangkan ketahanan korosi paling baik diperoleh pada sampel 20°C - 20 mA/cm2 dengan laju korosi sebesar 0,00004 mm/year.

Aluminum alloy 2024-T3 is commonly used in the aviation industry as components of aircrafts. This material is used because of its light weight and good corrosion resistant when compared to material other than aluminum, but when compared to other series of aluminum alloy, aluminum alloy 2xxx tend to have low corrosion resistance. To improve this property, then carried out the anodizing process with 0,5 M oxalic acid for 30 minutes. Anodizing was carried out at temperatures of 0, 10, and 20°C also at current densities of 15, 20, and 25 mA/cm2.
The research aim is to know the influence of both these variables against the corrosion rate and micro-hardness of each samples. The result shows that the highest micro-hardness on the surface of samples is obtained at 0°C and 20 mA/cm2 with a value of 543 HV. While the most excellent corrosion resistance is obtained at 20°C and 20 mA/cm2 with the rate of corrosion of 0,00004 mm/year.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S56339
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>