Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198911 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Donny Ardyanto
"Tembak di tempat terhadap tersangka pelaku kejahatan sudah menjadi fenomena yang biasa bagi masyarakat. Masyarakat mendukung praktek tembak tersebut sebagai instrumen pencegahan kejahatan. Namun pengetahuan masyarakat mengenai tembak di tempat hanya diperoleh dari media massa. Penerimaan masyarakat terhadap praktek tembak di tempat yang jelas melanggar hukum dan hak asasi manusia tersebut, dibangun oleh media. Media massa dalam pemberitaannya mengenai tembak di tempat ternyata sepenuhnya membawa wacana negara. Dalam pemberitaannya, polisi diposisikan sebagai aparat yang sah melakukan penghukuman dan bahkan pembunuhan/sementara penjahat sebagai korban penembakan semakin dipinggirkan dan dianggap layak untuk dihukum dengan hukuman mati tanpa pengadilan sekalipun, Dengan menggunakan metode framing analysis, pemberitaan mengenai kasus tembak di tempat di dua media massa, yaitu Kompas dan Pos Kota, dibongkar dalam tulisan ini. Terlihat bagaimana media massa mengusung kepentingan negara dalam tulisan-tulisannya mengenai tembak di tempat dan membangun konstruksi sosial yang menyesatkan mengenai penjahat dan praktek tembak di tempat. Hal tersebut tidak lepas dari posisi subordinat media massa terhadap negara dan juga dominasi negara terhadap masyarakat sipil."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
S6276
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wagimin Wirawijaya
"Penelitian mengenai Perlakuan Terhadap Tersangka Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Selama Proses Pemeriksaan di Pokes Metro Jakarta Selatan, bertujuan menunjukkan tentang perlakuan para penyidik terhadap para tersangka khususnya pelaku pencurian dengan kekerasan selama dalam proses pemeriksaan. Adapun perrnasalahan yang diteliti adalah (1) apakah selama tersangka menjalani proses pemeriksaan terjadi pelanggaran hak tersangka, berupa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penyidik/penyidik pembantu terhadap tersangka, (2) apabila terjadi pelanggaran hak tersangka, yang berupa kekerasan, (3) apa bentuk atau pola-pola kekerasan yang dilakukan dan (4) mengapa tindakan kekerasan tersebut dilakukan, serta (5) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya tindakan kekerasan tersebut.
Untuk membuktikan ada atau tidaknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penyidik/penyidik pembantu dalam proses perneriksaan tersangka pelaku curas, maka saya telah melakukan penelitian di Polres Metro Jakarta Selatan, pada Unit Kejahatan Kekerasan, selama tiga bulan, dengan obyek penelitian para penyidik/penyidik pembantu yang menangani empat kasus pencurian dengan kekerasan, dengan menggunakan metode kualitatif.
Pemeriksaan tersangka merupakan bagian dari penyidikan suatu tindak pidana, yang terkait dengan hak asasi manusia, oleh karenanya pemeriksaan tersangka harus dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu hukum acara pidana (KUHAP) yang menjadi dasar atau pedoman bagi aparat penegak hukum. Sebagai penjabaran KUHAP, khususnya mengenai proses pemeriksaan, Kapolri telah mengeluarkan Petunjuk Tehnis tentang Pemeriksaan Tersangka dan Saksi (Juknis/07/11/1982), yang berisi syarat-syarat dan prosedur pemeriksaan, meliputi persiapan, pelaksanaan dan evaluasi hasil pemeriksaan.
Meskipun telah ada undang-undang dan petunjuk tehnis yang mengatur tatacara pemeriksaan tersangka dan Saksi, ternyata masih sering terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, sebagaimana terungkap dari berbagai pemberitaan media masa, baik melalui media cetak maupun media elektronik, sebagai kekurangmampuan Polri dalam melaksanakan profesinya.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi individu dalam proses pemeriksaan tersangka, yaitu motif dan tujuan, status dan peranan masing-masing serta budaya atau sistem nilai yang dianut maupun norma yang berlaku. Proses interaksi dalam pemeriksaan tersangka, tidak selalu sesuai dengan harapan masing-masing pihak, yaitu pemeriksa mengharapkan tersangka akan berterus terang dalam menjawab setiap pertanyaan pemeriksa, sedangkan tersangka ingin diperlakukan secara wajar sesuai hak-haknya yang diatur dalam ketentuan hukum acara pidana dan berusaha menutupi kesalahanya agar Jobs dari jeratan hukum, sehingga dalam proses interaksi tersebut terjadi pertentangan keinginan. Apabila pemeriksa tidak mampu menunjukkan bukti-bukti tentang keterlibatan tersangka dalam suatu peristiwa pidana yang dipersangkakan, karena kurangnya bukti yang mendukung, sedangkan pemeriksa berdasarkan persepsi, intuisi, pengetahuan dan pengalamannya, berkeyakinan bahwa tersangka adalah pelakunya, maka dapat menimbulkan ketegangan pada diri pemeriksa. Sebagai pelampiasannya adalah menunjukkan sikap-sikap, perilaku dan tindakan yang cenderung melakukan kekerasan terhadap tersangka, baik berupa penyiiksaan fisiik, penyiiksaan psiikologis maupun penyiksaan hukum.
Pola-pola perilaku dan tindakan kekerasan terhadap tersangka tersebut cenderung sering dilakukan karena pemeriksa menganggap sangat efektif digunakan dalam mengungkap kasus pidana. Disamping itu para pemeriksa menganggap hal tersebut diperbolehkan dan dibenarkan, sehingga cenderung membentuk pola-pola perilaku tertentu yang secara langsung atau tidak langsung disepakti sebagai pola perilaku yang diterima dan dianggap biasa, meskipun sebenarnya menyimpang dari ketentan hukum yang berlaku serta merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Berdasarkan pengetahuan dan pengalamanya penyidik/penyidik pembantu selama bertugas melakukan pemeriksaan tersangka harus menghadapi tersangka yang berasal dari berbagai latar belakang ekonomi, status sosial dan budaya yang berbeda, maka pemeriksa berusaha mengolong-golongkan berdasarkan latar belakangnya itu. Penggolongan yang berisikan sangkaan-sangkaan buruk terhadap tersangka, merupakan prasangka yang dapat menimbulkan diskriminasi serta dijadikan acuan bertindak dalam melakukan pemeriksaan tersangka.
Dalam tesis ini telah ditunjukkan bahwa penyidik/penyidik pembantu yang ditunjuk sebagai pemeriksa tersangka pelaku curas di Polres Metro Jakarta Selatan mempedomani aturan formal yaitu KUHAP dan Petunjuk Tennis Pemeriksaan Tersangka dan Saksi, aturan-aturan tidak tertulis yang ditetapkan oleh Kapolres maupun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman serta keyakinan mereka dalam menggolong-golongkan tersangka, terungkap adanya berbagai pola tindakan penyidik/penyidik pembantu dalam mencapai tujuan pemeriksaan, yang berimplikasi terjadinya penyalahgunaan wewenang berupa penyimpangan berbentuk penyiksaan fisik, penyiksaan psikologis maupun penyiksaan hukum, sehingga terbukti telah melanggar hak asasi tersangka dalam proses pemeriksaan."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T9852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tika Suhertika
"ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, yang pengumpulan
datanya dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara dengan beberapa
narasumber yang berkompetensi. Mengingat bahwa rumusan Pasal 244 KUHAP,
terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi, artinya Upaya
hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas adalah sebagai
terobosan hukum dalam upaya memperoleh keadilan dan kebenaran. Demi
keadilan dan kepastian hukum, putusan hakim harus dapat dikoreksi untuk
diperbaiki atau dibatalkan apabila dalam putusannya terdapat kekeliruan atau
kekhilafan hakim. Hukum menyediakan sarana untuk mengoreksi suatu putusan
hakim apabila ada kekhilafan atau kekeliruan melalui upaya hukumnya. KUHAP
telah menetapkan larangan berkaitan dengan kewenangan untuk mengajukan
upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas. Jaksa Penuntut Umum mengajukan
upaya hukum terhadap putusan bebas, berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehakiman RI Nomor: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983
tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP), dalam butir
ke-19 lampiran keputusan tersebut pada pokoknya dinyatakan bahwa “terhadap
putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan
kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat
dimintakan kasasi”. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi. Dalam praktek
peradilan pidana, dikenal adanya Putusan Bebas Murni dan Putusan Bebas Tidak
Murni. Dalam hal kasasi terhadap putusan bebas, dalam memori kasasinya,
Penuntut Umum harus dapat membuktikan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Negeri merupakan putusan bebas tidak murni dengan menjelaskan
alasan-alasan yang dijadikan dasar pertimbangan dimana letak sifat tidak murni
dari suatu putusan bebas tersebut yang mengacu pada ketentuan Pasal 253 ayat (1)
KUHAP yaitu apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya, apakah benar cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang dan apakah benar pengadilan
telah melampaui batas wewenangnya. Terdapat korelasi antara pembuktian bebas
tidak murni Penuntut Umum terhadap putusan bebas dengan pertimbangan hukum
Hakim kasasi yang menerima kasasi Penuntut Umum, karena yang berwenang
menilai putusan bebas murni atau bebas tidak murni adalah Mahkamah Agung
sebagai pengadilan tertinggi (judex juris).

ABSTRACT
This Study uses normative legal research, which collecting of data is by library
research and interview with several competent resource persons. Considering that
draft Article 244 of Criminal Code Procedures (KUHAP), the Acquittal is unable
to be filed for legal effort of cassation, this means Legal Effort of Cassation By
Public Prosecutor Towards Acquittal is as legal penetration in the effort to have a
justice and truth. In the name of justice and legal certainty, the decision of judge
shall be able to correct for improvement or cancellation in case in its decision
contains error or mistake of the judge. The law provides facility to correct a
decision of the judge in case it has error or mistake through its legal effort.
KUHAP has stipulated a prohibition related to the authority to submit the Legal
Effort of Cassation By Public Prosecutor Towards Free Verdict. Public Prosecutor
submits the legal effort towards free verdict, based on the Decree of the Minister
of Justice of RI Number: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 dated the 10th of December
1983 regarding Supplement to Implementing Guidance of KUHAP (TPP
KUHAP), in point 19 of the attachment of its decree that principally states that
“toward Acquittal is unable to request an appeal, but based on the situation and
condition, in the name of law, justice and truth, the acquittal can be requested for
cassation”. This matter will be based on the jurisprudence. In the criminal
judicature practices, it is known Absolute Acquittal and Non-absolute Free
Verdict. N the case of cassation towards free verdict, in memory of its cassation,
the Public Prosecutor shall be able to prove that the decision punished by the
District Court is non-absolute acquittal by mentioning the reasons as the
consideration basis, in which the nature of non-absolute of a acquittal referring to
the provision in Article 253 paragraph (1) KUHAP namely is it correct the law
and regulation is not applied or improperly applied, is it correct the way to trial is
not carried out in accordance with the provision of the Law and is it correct the
court has over authority limit. There is correlation between proof of non-absolute
free by Public Prosecutor towards acquittal by legal consideration of Cassation
Judge who receive the cassation of Public Prosecutor, because the competent
authority to decide the absolute acquittal or non-absolute acquittal in the Supreme
Court as the highest court (judex juris)."
2013
T35419
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theodora
"ABSTRAK
Tindakan Mahkamah Agung untuk memenuhi keadilan di masyarakat
terhadap perkara tindak ringan membuat Mahkamah Agung mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tanggal 27 Februari
2012. Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA ini dikarenakan batasan
nilai untuk tindak pidana ringan yang ada di dalam KUHP selama ini
masih senilai Rp.250,- (dua ratus lima puluh) sudah tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat saat ini. Hal ini menyebabkan pasal-pasal yang
mengatur tindak pidana ringan yang ada di dalam KUHP saat ini seperti
mati suri. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 yang
merubah batasan nilai dan jumlah denda perkara tindak pidana ringan di
dalam KUHP tersebut menimbulkan beberapa permasalahan jika dilihat
dari hierarki peraturan perundang-undangan, PERMA memang diakui
sebagai peraturan perundang-undangan lainnya tetapi kedudukannya
masih di bawah Undang-Undang. Permasalahan yang lainnya adalah
keberadaan PERMA tersebut menyebabkan berubahnya proses acara
pemeriksaan yang semula dengan Acara Pemeriksaan Biasa menjadi Acara
Pemeriksaan Cepat sehingga mempengaruhi Sistem Peradilan Pidana
dalam menyelesaikan permasalahan perkara tindak pidana ringan tersebut.
Dianutnya asas legalitas dalam KUHP mengakibatkan Hakim terikat
terhadap isi dari ketentuan Undang-Undang dalam menyelesaikan perkara
pidana termasuk perkara Tindak Pidana Ringan. Dalam penelitian ini,
penulis menyajikan putusan Hakim dalam menyelesaikan perkara Tindak
Pidana Ringan yang terkait dengan PERMA No.02 Tahun 2012, dimana
terdapat ketidak seragaman dikalangan para Hakim sendiri dalam
menyelesaikan perkara Tindak Pidana Ringan yaitu dengan mendasarkan
kepada PERMA No.02 Tahun 2012 atau tetap berpegang kepada KUHP.

ABSTRACT
Supreme court action to fulfill justice in the society for the misdemeanor
cases makes Supreme Court issued Supreme Court Regulation No.2 Year
2012 on 27 February 2012. Supreme Court issued this regulation is
because the misdemeanor in the criminal code is still worth two hundred
and fifty rupiahs. It unsuitable with the condition society today. This
causes the articles of regulating the criminal acts in the misdemeanor of
the current criminal code as a dead faint. Supreme Court Regulation No.02
Year 2012 changing limits the value and amount of fines misdemeanor
cases in the criminal code, raises a number of problems if viewed from the
hierarchy of legislation. This regulation was recognized as the other
legislation but it’s still under the legislation. The other problem is the
existence of the Supreme Court Regulation No.2 Year 2012 led to change
examination procedures, which was originally with the Ordinary
Examination Procedures to be the Express Examination Procedures. Thus
affects The Criminal Justice System in resolve problems of the
misdemeanor cases. The principle of legality in the Criminal Code are
bound to lead to judge the content of the provisions of the Act in resolving
criminal cases including misdemeanor cases. In this study, the authors
present the Judge's decision to settle the misdemeanor cases associated
with Supreme Court Regulation No.2 Year 2012, where there is a lack of
uniformity among the Justices themselves to resolve the matter
misdemeanor by basing the Supreme Court Regulation No.2 Year 2012 or
remain adhering to the Criminal Code."
Universitas Indonesia, 2013
T35455
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Kehakiman. Dirjen Pembinaan Hukum, 1973
345.05 IND h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
R. Ay Koes Sabandiyah
"Penerapan asas praduga tidak bersalah dalam kegiatan jurnalistik agar dapat memberikan perlindungan kepada terdakwa, dan apakah liputan yang dilakukan oleh media massa dalam proses persidangan telah melanggar asas praduga tidak bersalah, merupakan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Dalam mekanisme pemuatan suatu berita yang penting adalah, apakah sebelum berita diturunkan sudah dilakukan cek dan ricek serta klarifikasi ke berbagai sumber berita. Sehingga dalam pemuatan pemberitaannya akan memenuhi asas berimbang atau cover both sides. Mekanisme baku tersebut sudah dilakukan Majalah Tempo sebelum menerbitkan berita yang berjudul, "Ada Tomy Di Tenabang?" yang diterbitkan pada Majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003. Berita ini menggambarkan seolah-olah ada keterlibatan Tomy Winata di balik terbakarnya Pasar Tanah Abang. Secara khusus korban juga sudah diwawancarai dan bantahannya dengan jelas juga sudah dimuat. Dengan telah memuat bantahan dari korban dan klarifikasi dari narasumber lain, maka Majalah Tempo harus dianggap telah menghormati asas praduga tidak bersalah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undangg Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Studi kasus dari Keputusan Mahakah Agung Republik Indonesia Nomor 1608 K/PID/ 2005 ini secara filosofi, berdasarkan Pasal 3,4 dan 6 Undang-undang No. 40 Tahun 1999, posisi pers nasional telah ditempatkan sebagai pilar ke empat dalam negara demokrasi. Meskipun Undang-undang Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kebebasan pers (terutama ketika terjadi delik pers karena tidak adanya ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut), dan tidak mengatur tentang penghinaan sehingga diberlakukan ketentuan KUHP. Untuk itu agar perlindungan hukum terhadap insan pers bukan sekadar impian, maka diperlukan improvisasi dalam penegakan hukum dalam delik pers dengan menciptakan yurisprudensi yang mampu menempatkan Undang-undang Pers sebagai lex specialist. Pada tahap tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, terdakwa dinyatakan bersalah atas tuduhan membuat berita bohong, fitnah, dan pencemaran nama baik. Di tingkat banding, putusan tingkat pertama dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi. Namun di tingkat Kasasi akhirnya terdakwa dinyatakan bebas.

The implementation of presumption of innocence in the activities of journalistic in order to give protection to the defendants, and whether or not the coverage done by the mass media in the process of court has crossed the presumption of innocence, is the focus of this research. In the mechanism of publishing a story, the most important thing to be considered is whether or not there has been a clarification and a double check to various sources of information. That way, the publication of a story must cover both sides. This procedural mechanism has been done by Tempo before it published the article titled ‘Is there Tomy in Tenabang?' that was issued in their 3-9 March 2003 edition. This article describes as if Tomy Winata was involved in the incendiary tragedy in Pasar Tanah Abang. Specifically the victim has also been interviewed and his denial has clearly published. By publishing the denial of the victim, and the clarification from other sources, then Tempo must be acknowledged of having respected the presumption of innocence as written in Provision 5 article 1, Act Number 40, year 1999 about Press.
The case study of the Decision of Supreme Court of Rpublic of Indonesia number 1608/K/PID/ 2005 philosophically based on Provision 3,4, and 6, Act no. 40, year 1999, the position of national press has been placed as the fourth column of democrative country. Eventhough the Law of Press hasn't been able to give portection to the freedom of press - mostly when there is an offense of press because there is no criminal regulation in that law) and it doesn't regulate contempt which is the reason of the application of KUHP. That way, in order that protection of law for press activists to become more than just a mere imagination, it needs the restriction of law in offense of press by creating the jurisprudence that can place Law of Press as lex specialist.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S22574
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, M. Yahya
Jakarta: Sinar Grafika, 2001
345.05 YAH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>