Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93166 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
S6840
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Pertiwi
"Diare merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada balita dan sering menyebabkan kematian. Penelitian bertujuan untuk mengetahui persepsi orang tua terhadap diare pada balita. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 21 April-18 Mei 2008 di RW 02 Kelurahan Baru Pasar Rebo Jakarta Timur. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif sederhana. Teknik pengambilan sampel random sampling sejumlah 62 responden. Data dikumpulkan menggunakan kuisioner berisi pernyataan tentang persepsi orang tua mengenai definisi, penyebab, tanda gejala, penanganan, akibat dan pencegahan diare pada balita. Hasil penelitian menunjukkan 44 orang tua (70,97%) bersepsi negatif dan 18 orang tua (29,03%) berpersepsi positif. Kesimpulan penelitian ini persepsi orang tua terhadap diare pada balita adalah negatif. Penelitian ini merekomendasikan penelitian berikutnya membahas hubungan antar variabel dengan jumlah sampel lebih besar."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA5878
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Kanker payudara merupakan penyakit di urutan ketiga dari penyakit kanker dan yang
paling sering menyebabkan kematian pada wanita di seluruh dunia (Crane & Okada, 2001).
The American Cancer Society (ACS) merekomendasikan kepada wanita yang berusia 20
tahun atau lebih agar melakukan SADARI setiap bulan untuk mendeteksi dini kanker
payudara (Carlson dkk, 1997). Penelitian ini bertujuan untuk rnengidentifikasi pengetahuan
tentang SADARI pada ibu-ibu di Kelurahan Cijantung, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta
Timur. Teknik pengambilan sampel penelitian purposive sampling. Penelitian ini
menggunakan desain deskriptif sederhana. Sebagian besar ibu-ibu di Kelurahan Cijantung
mempunyai tingkat pengetahuan kognitif sedang tentang SADARI (66,2 %), tingkat
pengetahuan afektif sedang (76,5 %), tingkat pengetahuan psikomotor sedang (75 %), tingkat
pengetahuan secara keseluruhan sedang (70,6%). Berdasarkan penelitian ini juga diketahui
bahwa pengetahuan kognitif yang baik menunj ang pengetahuan afektif yang baik,
pengetahuan kognitif yang baik juga menunjang pengetahuan psikomotor yang baik, dan
pengetahuan afektif yang baik menunjang pengetahuan psikomotor yang baik pula.
Rekomendasi penelitian ini adalah pendidikan kesehatan dan dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan memperbanyak responden."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2004
TA5423
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Dwi Anggraini
"Tercatat 5.4% anak balita Indonesia gizi buruk dan 13.0% gizi kurang. Kualitas SDM Indonesia peringkat ke-124 dunia pada 2011 menurut UNDP. Konsumsi susu sebagai sumber makanan/minuman dengan zat gizi lengkap di Indonesia masih rendah, hanya 11,9 liter/kapita/tahun. Jumlah anak balita sebagai kelompok umur yang direkomendasikan mengonsumsi susu di Indonesia mencapai 22.6 juta jiwa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah media yang memuat iklan susu yang memapar, frekuensi paparan iklan susu, pendidikanorangtua (ayah dan ibu), pekerjaan orangtua (ayah dan ibu), pendapatan keluarga, pengetahuan gizi orangtua, jumlah anak, umur anak, dan alergi susu pada anakbalita dengan konsumsi susu anak balita di wilayah Kelurahan PekayonKecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur.
Desain studi berupa kuantitatif crosssectional dengan sampel 86 orangtua yang memiliki anak balita umur 13-59 bulan yang dipilih secara acak dari data total anak balita umur 13-59 bulan di wilayah Kelurahan Pekayon. Variabel yang memiliki hubungan bermakna dengan tingkat konsumsi susu pada balita adalah jumlah media yang memuat iklan susu yang memapar (p value = 0.020; OR = 3.4), frekuensi paparan iklan susu (p value = 0.012; OR = 3.6), pendidikan ibu (p value = 0.004; OR = 5.9), pendapatan keluarga (p value = 0.012; OR = 4.0), pengetahuan gizi orangtua (p value = 0.006; OR = 7.1), jumlah anak (p value = 0.009; OR = 5.6 ), dan alergi (p value = 0.001; OR = 11.6 ).
Perlu peran orangtua, kader kesehatan, dan kerjasama sektor pemerintah dari kementrian kesehatan, serta kementrian pertanian untuk meningkatkan konsumsisusu Indonesia.

Recorded 18.4% under five years old children in Indonesia have undernutrition. The quality of Indonesian was number 124th in a world in 2011 according to UNDP. The prevalence of milk consumption in Indonesia was below (11,9 L/capita/year). The number of under five years old children in Indonesia, as a group that recommended to consume milk, was very large, around 22,6 million.
The purpose of this study was to investigate the correlation between the amount of mass media, frequencies of milk advertisement, parents? education, parents? employment status, family?s economic status, parents? nutrition knowledge, number of children, children?s age, and allergies with milk consumption among under five years old children in Kelurahan Pekayon, Pasar Rebo, East Jakarta.
This study used quantitative cross sectional design with 86 parents as respondents and simple random sampling was used to choose the sample. The result of this study showed correlation between amount and frequencies of milk advertisement (p=0,020; OR=3,4 and p=0,012; OR=3,6), mother?s educational status (p=0,004; OR=5,9), family?s economic status (p=0,012; OR=4), nutrition knowledge (p=0,006; OR=7,1), number of children (p=0,009; OR=5,6), and allergies (p=0,001; OR=11,6).
From these result we suggest that to increase milk consumption in Indonesia, the contribution of parents, health workers, and the collaboration between Ministry of Health and Ministry of Agriculture is very important."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Joon Sumargono
"Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian bayi dan balita di Indonesia. Berdasarkan Survai Kesehatan Rumah Tangga tahun 1986 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, ISPA menempati urutan paling atas dalam daftar penyebab kematian seluruh golongan umur (13,7%) dan menurut pola penyakit pada bayi didapatkan ISPA 42,4% dan pada umur 1-4 tahun 40,6. Dalam Pelita IV prioritas utama dalam bidang kesehatan adalah penurunan angka kematian bayi, yang di galakkan dalam kegiatan terpadu K5-Kesehatan (Posyandu) tetapi belum terlihat adanya program khusus untuk menanggulangi ISPA.
Keterbatasan sumber dana operasional menyebabkan pemberantasan ISPA terlambat di mulai walaupun sudah sejak lama diketahui bahwa masalah ISPA di Indonesia sangat besar. Di negara berkembang termasuk Indonesia, pola kebiasaan hidup erat hubungannya dengan tingginya "rate" dari ISPA yang disebut sebagai faktor risiko yang berhubungan erat dengan tingkat sosial ekonomi seperti tinggal dilingkungan yang padat, ventilasi rumah yang kurang, polusi asap dapur, pendidikan yang rendah, higiene perorangan yang buruk dan sebagainya. Maka mengurangi atau menghindari faktor risiko merupakan salah satu cara yang dapat mencegah terjadinya ISPA.
Dengan dasar hal-hal diatas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko tersebut dan seberapa jauh pengaruhnya. Jenis penelitian ini adalah kohort prospektif pada 534 balita yang dipilih secara random sampling pada tiap berdasarkan pemilikan barang dalam keluarga. Pemantauan dilakukan selama tiga bulan untuk melihat jumlah episod ISPA yang terjadi. Teknik analisa yang digunakan adalah Chi Square, RR dan Logistik Regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh terbesar untuk jumlah episod ISPA ringan secara berturut-turut adalah pencemaran udara, pendidikan ibu, gizi balita, umur balita dan imunisasi. Untuk jumlah ISPA sedang pengaruh terbesar berturut-turut adalah pemilikan barang dalam keluarga, pencemaran udara dan kepadatan dalam rumah.
Selanjutnya disarankan agar dilakukan perbaikan kesehatan lingkungan, dalam hai ini terutama ditujukan pada perbaikan perumahan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, penyuluhan tentang pengaruh buruk dari merokok pada kesehatan balita, meningkatkan pendidikan kesehatan pada ibu-ibu balita mengenai ISPA. Juga disarankan untuk meningkatkan cakupan imunisasi dan meningkatkan gizi balita di Posyandu serta menambah keterampilan ibu balita untuk dapat meningkatkan pendapatan keluarga.
Terakhir disarankan untuk penelitian lebih lanjut tentang pengaruh faktor-faktor risiko yang tidak dapat di buktikan dalam penelitian ini. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Gaol, Harapan
"Pergeseran paradigma dari pemerintah (government) menuju kepemerintahan (governance) yang terjadi saat ini tidak hanya pada tataran makro dengan lahimya berbagai legislasi tentang otonomi dan desentralisasi. Bagi Pemerintah Daerah DKI Jakarta paradigma kepemerintahan juga sudah dibangun di tataran mikro yaitu kelurahan. Ditetapkannya berbagai Perda tentang pmerintahan kelurahan, serta didirikannya Dewan Kelurahan (Dekel) yang dibidani pemerintah dan operasinya dijalankan masyarakat merupakan upaya membangun kepemerintahan lokal di tingkat bawah. Dengan paradigma itu ada kemauan politik untuk membatasi peran dominatif pemerintah dan memperkuat partisipasi masyarakat.
Model kemeperintahan lokal yang intinya menyediakan ruang dan mengaktifkan peran berbagai aktor dan institusi untuk mengambil bagian signifikan dalam pembangunan adalah pembagian kerja koordinatif dan heterarkhis dalam kerangka otonom. Intinya adalah membangun relasi sinergistik dalam bentuk komplementaritas dan kelekatan sehingga masing-masing aktor atau institusi pemerintah dan privat memberikan kontribusi setara dan signifikan bagi komunitas, dalam kerangka otonomi yang melekat (embedded autonomy) (Pierre, Jessop, Stoker 2000: Evans 1995, I996; Ostrom 1996, Woolcock 1998).
Meski agak normatif, model kepemerintahan terbukti bukan utopia diterapkan di negara berkembang seperti indonesia. Pengalaman kawasan di negara-negara berkembang seperti Porto Alegre di Brasil, Novgorod di Rusia, Kerala di India, relasi sinergistik pemerintah dan masyarakat dapat terjadi dalam atmosfir pembagian kerja yang Fungsional dan produktif. Pada tataran lokal, model itu dibangun dengan memberi dan menciptakan ruang yang luas bagi aktor dan institusi masyarakat sipil dengan fasilitasi pemerintah untuk bersama-sama melakukan perubahan. Hasilnya adalah model itu sangat fungsional sebagai tambatan modal sosial dengan terjadinya interaksi intens, saling belajar dan saling kontrol antar stakeholders, sehingga terjadi efisiensi ongkos pombangunan secara signifikan dan masyarakat menunjukkan rasa memiliki atas berbagai program pembangunan.
Replikasi model dari suatu negara ke negara lain atau suatu kawasan ke kawasan Iain memang dapat dilakukan sepanjang terdapat social curcumstances yang relevan. Nampaknya model kepemerintahan lokal yang kini terjadi di kelurahan Jakarta adalah replikasi dari model yang terjadi pada kawasan lain. Persoalan dari suatu replikasi model adalah bahwa ia harus mempertimbangkan determinan tertentu terutama pengalaman masa lalu, iklim sosial politik, termasuk kultur lokal. Berjalannya model kepemerintahan di kawasan yang disebut di atas sangat ditentukan oleh atmosfir masyarakatnya yang legalitarian dan juga tata birokrasinya yang sehat, yang sebagiannya dipengaruhi oleh faktor anugerah sejarah yang telah berjalan berabad-abad, termasuk juga inovasi organisasional yang diperjuangkan oleh para reformis di kalangan pemerintah dan masyarakat sipil.
Jika dikaitkan dengan atmosfir di Indonesia (Jakarta), determinan di atas dapat disebut tidak memiliki akar. pengalaman masa lalu dengan pemerintah yang mencengkeram, iklim sosial politik saat ini yang masih pada taraf transisional, serta kultur lokal yang masih dikungkung klientelisme, sebagiannya kurang memberi fundasi kokoh bagi berjalannya gerakan kepemerintahan lokal. Akan tetapi pergeseran paradigma dan implementasi berbagai model kepemerintahan lokal yang terjadi saat ini dalam bentuk formal rules (mulai dari UU 22/1999; 3212004 hingga Perda DKI Jakarta 5/2000) dan berbagai ujicoba program (sepeni Dewan Kelurahan) sesungguhnya menjadi potensi menuju pernbangunan sistem kepemerintahan yang baik (good governance).
Untuk memahami persoalan di atas, studi ini kemudian mempertanyakan "dalam setting dan situasi sosial facial circumstances) apukah sinergi dapat terjadi antara pemerintah (kelurahan) dan masyarakat (Dekel) khususnya di Kelurahan Gedong?" Secara lebih rinci pertanyaannya adalah (i) apakah dimensi peraturan formal (UU, perda dan peraluran lainnya) menyediakan ruang bagi terjadinya pembagian kerja sinergistik antara pemerintahan lokal dan masyarakat, dan sejauh mana aturan tersebut fungsional dalam mempengaruhi perilaku dan tindakan aktor pemerintah dan masyarakat (Dekel) melaksanakan kepemerintahan lokal? (ii) determinan-determinan budaya (lnformal rules) apakah di dalam masyarakat yang mempengaruhi (mendukung, memperlancar, menghambat) kepemerintahan lokal? serta (iii) dalam dimensi apakah program partisipatif (PPMK) yang ada fungsional mempengaruhi (mendukung, memperlancar, menghambat) kepemerintahan lokal?
Untuk menemukan jawaban, data dihimpun dari para informan kunci yaitu pejabat pemerintah mulai dari atas (Pemda DKI) hingga pejabat kelurahan, perangkat warga seperti para pcngurus RW dan RT, Dekel, tokoh-tokoh informal masyarakat, LSM, warga biasa serta kelompok pemanfaat dana PPMK. Data diperoleh melalui studi dokumentasi, pengamatan partisipatif, wawancara mendalam, diskusi terarah (FGD), untuk selanjulnya dianalisis secara kualitatif.
Studi ini menemukan, secara struktural (institusional) telah ada perubahan paradigma menuju kepemerintahan lokal di tataran regulatif terbukti dengan muatan berbagai aturan formal yang mengatur dan mengarahkan terjadinya sinergi (kelekatan dan komplementaritas) antara pemerintah kelurahan (Pemkel) dan masyarakat (Dekel). Akan tetapi pada tataran empiris sinergi yang terjadi masih pada taraf simbolik. Hal ini disebabkan perubahan pada ranah struktural (inslitusional) di tingkat atas tidak otomatis diikuti perubahan struktural (institusional) di tingkat bawah pada tubuh pemerintah Iokal. Selanjutnya perubahan pada dimensi struktural (institusional) pada tataran negara tidak otomatis diikuti parubahan pada dimensi kognitif (relasional) pada tataran masyarakat. Ada dilema antara upaya menyediakan ruang bagi bangkitnya masyarakat sipil dengan kepentingan mempertahankan status quo pemerintah. Akibatnya di lapangan terjadi bentuk ?relasi sinergistik baru? antara Pemkel dan masyarakat (Dekel) dengan mengembangkan resiprositas negatif yang dilakukan dengan menarik diri untuk tidak saling berinteraksi intens, tidak saling belajar dan tidak saling mengontrol agar masing-masing pihak aman pada posisinya sendiri. Pemerintah dan masyarakat justru membangun otonomi yang tidak melekat.
Program PPMK yang diharapkan mcnjadi instrumen mempertautkan pemerintah, Dekel dan warga justru menjadi alat dikotomi karena program direkayasa untuk menciptakan sekat-sekat di antara ketiganya. Pemerintah tidak mencampuri urusan PPMK dengan ekspektasi Dekel melakukan hal serupa dengan tidak mengintervensi berbagai program dan proyek pemerintah. Dana PPMK dipinjam-gulirkan kepada ?warga mampu? dengan ekspektasi agar akumulasi dana tetap terjaga sehingga Dekel mendapat citra sebagai penyelenggara PPMK yang berhasil (kepentingan institusional). Cara ?win-win solution " yang terjadi saat ini, meski menjauh dari esensi sinergi, pada taraf tertentu cukup ?fungsional? sebagai ?sabuk pengaman? bagi masing-masing pihak untuk tidak terjebak dalam konflik terbuka yang akhirnya merugikan komunitas. Dengan pola ini pula penembusan batas publik. privat di tingkat lokal belum bisa terjadi, dan kekhawatiran bahwa pemerintah dan masyarakat (Dekel) membangun kolusi dan public rem seeking juga tidak terjadi.
Berdasarkan temuan ini saya mengajukan tiga rekomendasi: (i) gerakan good local governance perlu mempertimbangkan struktur sosial politik lokal dan dilaksanakan secara menyeluruh, dimulai dengan refonnasi struktur pemerintahan Iokal yang mengarah pada otonomi. Pemda DKI Jakarta perlu melakukan amandemen bagi berbagai peraturan perundangan untuk memperbaharui kebijakan dengan (a) memberi peran Iebih besar kepada Jekot dan Dekelg (b) melakukan pemilihan kepala kelurahan secara Iangsung; (c) menciptakan kontrak politik antara kepala kelurahan dengan warga untuk menjalankan tugas-tugas kepemerintahan lokal; (ii) harus ada koherensi antara Iogika aturan formal yang dibangun di tingkat atas dengan Iogika lembaga eksekutif dan masyarakat di tingkat lapangan dengan kontrol yang intens; (iii) model pemberdayaan ekonomi warga yang tidak pernah berkelanjutan (sustainable) perlu direformulasikan dengan membaginya menjadi dua kategori yaitu (a) bantuan sosial (social assistance) dan (b) kredit keuangan mikro (microflnance). Jenis pertama diciptakan sebagai "lumbung esa" yang ditujukan sebagai jaminan substitutif bagi warga kurang beruntung yang terkena risiko kehilangan atau ketiadaan pendapatan, jenis kedua dikelola warga yang kompeten, terlatih dan ahli di bidang itu untuk mencapai profit dan hasilnya untuk subsidi bantuan sosial dan juga pembangunan infrasruktur kelurahan untuk menciptakan kelurahan yang mandiri".

The paradigm shift from "government" towards "governmance" has structurally changed the map of national and local governance of Indonesia. At the macro level, Act number 22/l999 and 32/2004 concerning local autonomy and decentralization have functioned as national guidelines to shift from centralized government to become decentralized govemance. As the impact to the micro level, local governments have also enacted several local regulations aimed at strengthening local communities. Currently, local govemment of Jakarta has also enacted local regulations (among others is Number 5/2000) and built Local Social Chamber (Dewan Kelurahan) of the so-called ?Dekel? in every kelurahan in Jakarta. Dekel which was fonnerly initiated by local government of Jakarta functions as a local civil society organization where all its activities are operated and managed by citizen?s representatives whose elected in participatory and democratically manner from every neighborhood areas (Rukun Warga). The shift ofthe paradigm seems to be a government political will to strengthen local people and to minimize local government?s dominations.
Local governance which essentially provides certain spaces for civil society and activate all related stakeholders to take part significantly in local development is a division of labor which relates to the new practices of coordinating activities through networks, partnerships, deliberative forums, and heterarchical cooperation in an embedded autonomy. The subject matter of local governance is mutually reinforcing relations between government and groups of engaged citizens in synergistic relation both in complementarity and also in embeddedness (Pierre, Jessop, Stoker 2000: Evans 1995, 1996; Ostrom 1996, Woolcock 1998).
Local governance, refers to the experiences of several developing countries might be feasibly implemented in Indonesia. Many states (e.g. Porto Alegre in Brazil, Novgorod in Russia, Kerala in India), have been proving that synergistic relation between government and civil society could be created and strongly functional and productive to the development. The model, in fact, enables harmonious cooperation among local actors and institutions where social capital is embedded. Actors and institutions are mutually having intensive relations, social leaming processes, and social control that enables development sustainable and efficient.
Replication of a model conducted by govemment of Jakarta would only be feasible as far as a relevant or resemble social circumstances are provided. A replication, however, should also consider other determinant factors such as past experiences, social and political atrnospheres, as well as local cultures. However, the success story of local govemancc in mentioned states, mostly determined by its egalitarian people and healthy local bureaucracy which is rooted in a long history as historical endowment. Besides, the rcforrnists from local govemment also takes important role on improving organizational innovations. While in Jakarta such historical determinant factors are not rooted. Government of new order regime which was co-opted, hegemonic and centralistic, the current transitional social and political situation and the local cultures remain sustaining clientelism are probably the fundamental inhibitions to realize the new governance paradigm. Therefore, the need for studying new paradigm shift (formal rules and local institutional building) would be important.
To understand above research problems, grand tour research question is "in which social settings d circumstances are the local govemment and citizens (Dekel) able to make synergy" Sub research uestions are; (i) do formal rules (acts, local regulations, etc.) provide spaces for synergistic division of...
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
D794
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Dwi Wahyu Wulandari
"Sejak awal tahun 2020, Virus Corona atau yang lebih dikenal dengan Virus Covid-19 menyebar di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Pembatasan kontak dan interaksi antara masyarakat menjadi salah satu strategi yang dilakukan untuk melindungi diri dan lingkungan dari ancaman virus. Perwujudan batas dalam skala perumahan, lingkungan antar rumah dan antar ruangan sebagai strategi untuk melindungi diri dari ancaman pandemi covid-19 berbeda-beda. Dalam melindungi diri dan mencegah penularan virus, masyarakat memperkuat dan memperjelas batas (melalui gerbang dan pagar serta melalui proses seleksi hal-hal yang dapat masuk dan keluar area rumah dan/atau perumahan), menggeser batas (melalui perluasan jarak antar individu dalam berinteraksi) serta menciptakan zona fungsi baru (melalui hadirnya zonasi saat bekerja dari rumah).

Since the beginning of 2020, the Corona Virus or better known as the Covid-19 Virus has spread throughout the world, including in Indonesia. Limiting contacts and interactions between communities is one of the strategies implemented to protect oneself and the environment from the threat of viruses. The embodiment of boundaries on the housing scale, the neighborhood and between rooms as a strategy to protect ourselves from the threat of the Covid-19 pandemic varies. In protecting themselves and preventing transmission of the virus, the community strengthens and clarifies boundaries (through gates and fences and through a process of selecting things that can enter housing area), shifting boundaries (through expanding the distance between individuals in interacting) and creating a new zone of function (through the presence of zoning when working from home)."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mery Yalestri Sari
"ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada proses mobilitas sosial vertikal intragenerasi penduduk migran di Kramat Jati, Jakarta Timur. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat aspek-aspek yang menentukan dalam proses mobilitas sosial vertikal intra generasi yang dialami pendatang, yaitu pekerjaan, pendidikan, keahlian, modal sosial, dan kebijakan pemerintah. Selanjutnya, mobilitas sosial vertikal intra-generasi dialami oleh para pendatang. Peneliti berpendapat bahwa dalam proses mobilitas sosial intra generasi pendatang tidak hanya terdapat aspek-aspek tersebut, tetapi juga aspek tambahan yaitu teknologi dan modal material. Kedua aspek tersebut terjadi karena perkembangan zaman telah melahirkan berbagai jenis pekerjaan baru dan modal baru sehingga membuka lapangan kerja baru. Mobilitas sosial vertikal antargenerasi meningkat, tetap, atau menurun pada migran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses mobilitas sosial vertikal intra generasi yang dialami pendatang berbeda. Dalam proses ini terdapat aspek pendefinisian yaitu pekerjaan, pendidikan, keahlian, modal sosial, kebijakan pemerintah, teknologi, modal material, semangat dan ketekunan dalam bekerja, keberanian mengambil resiko, kreativitas, disiplin, serta kinerja, prestasi dan masa kerja. . Mobilitas sosial vertikal antargenerasi meningkat, tetap, dan jatuh pada para migran. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu wawancara mendalam dan observasi. Informan utama dalam penelitian ini adalah pendatang, sedangkan informan pendukung adalah petugas lingkungan. Penelitian ini dilakukan di Kramat Jati.

ABSTRACT
This research focuses on the vertical social mobility process of intrageneration of migrant populations in Kramat Jati, East Jakarta. Previous research states that there are defining aspects in the intra-generational vertical social mobility process experienced by migrants, namely employment, education, expertise, social capital, and government policies. Furthermore, intra-generational vertical social mobility is experienced by migrants. Researchers argue that in the process of intra-generation social mobility of migrants, there are not only these aspects, but also additional aspects, namely technology and material capital. These two aspects occur because the times have given birth to various types of new jobs and new capital, thus opening up new jobs. Vertical social mobility between generations increases, remains, or decreases in migrants. The results showed that the intra-generational vertical social mobility process experienced by newcomers was different. In this process, there are defining aspects, namely work, education, expertise, social capital, government policies, technology, material capital, enthusiasm and persistence in work, courage to take risks, creativity, discipline, as well as performance, achievement and tenure. . Vertical social mobility between generations increases, remains, and falls on the migrants. This study used a qualitative approach, namely in-depth interviews and observations. The main informants in this study were newcomers, while the supporting informants were environmental officers. This research was conducted in Kramat Jati."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Ilhamsyah
"Penelitian Analisis Kualitas Jasa Pada Pelayanan Kesehatan di RSUD Pasar Rebo Jakarta Timur telah dilaksanakan sejak bulan Maret 2003 sampai dengan Juni 2003. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan kesehatan dilihat dari dimensi: Tangibility, Reliability, Responsiveness, Assurance, dan Empathy. Disamping itu penelitian ini juga ingin mengetahui faktor-faktor apa yang paling mempengaruhi tingkat kepuasan pengguna jasa layanan kesehatan di RSUD Pasar Rebo.
Tidak semua pelayanan kesehatan yang ada di RSUD Pasar Rebo yang diteliti, tapi hanya dibatasi pada unit pelayanan rawat jalan (poliklinik) saja. Penelitian ini hanya dilakukan terhadap pengguna jasa layanan kesehatan di poliklinik RSUD Pasar Rebo tersebut. Kualitas diukur atas dasar kinerja pelayanan dan harapan dari pengguna jasa layanan kesehatan di RSUD Pasar Rebo. Kinerja diukur dari persepsi pengguna jasa layanan kesehatan mengenai layanan yang telah mereka terima, sedangkan harapan diukur dari anggapan pengguna jasa layanan kesehatan tentang idealnya suatu pelayanan kesehatan. Tingkat kepuasan pengguna jasa diukur berdasarkan: mean skor dan persentase tingkat kepuasan dari 120 orang responden yang diambil secara acak memakai teknik pengambilan sampel aksidental, dengan mempergunakan model pengukuran kualitas jasa SERVQUAL yang terdiri dari dimensi tangibility, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy. Dimensidimensi itu kemudian dijabarkan menjadi 22 indikator variabel berbentuk pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuisioner. Dari data yang diperoleh dilakukan analisis reliabilitas, validitas, tingkat kepuasan, dan analisis faktor dengan mempergunakan SPSS 11,0.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 22 indikator variabel yang digunakan, hanya 20 indikator yang reliabel dan valid untuk dianalisis lebih lanjut. Kemudian diperoleh rata-rata tingkat kepuasan untuk masing-masing dimensi sebesar: -0,7222 (tangibility); -0,8700 (reliability); -0,8528 (responsiveness); -0,7375 (assurance); dan -0,5433 (empathy). Kalau dilihat dari masing masing indikator variabel, hasil tertiriggi berdasarkan mean skor adalah sebesar -0,23 yaitu indikator variabel Q14 (Persuasif) dengan tingkat kepuasan sebesar 94,04%. Sedangkan tingkat kepuasan terendah adalah indikator variabel Q17 (dukungan terhadap petugas) dengan mean skor sebesar -1,13 dan tingkat kepuasan sebesar 74,94%.Dari hasil analisis faktor yang dilakukan terhadap 20 indikator variabel, terbentuk 6 faktor utama yang menjadi pertimbangan pengguna jasa layanan kesehatan di RSUD Pasar Rebo. Pembentukan faktor-faktor tersebut juga didasarkan atas angka eigenvalues, dimana kriteria pemilihan banyaknya faktor yang terbentuk adalah faktor yang memiliki nilai eigennya lebih dari 1. Keenam faktor yang terbentuk dengan urutan persentase varian data masing-masing faktor adalah sebagai berikut: (1) faktor memahami pelanggan (29,300%); (2) faktor ketepatan dan keandalan layanan (9,446%); (3) faktor komunikasi (6,893%); (4) faktor kenyataan fisik (6,520%); (5) faktor profesionalisme petugas (5,526%); dan (6) faktor hubungan baik (5,150%).
Berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, disarankan agar pihak pengelola (management) RSUD Pasar Rebo lebih memperhatikan dan memahami keinginan pasien yang membutuhkan layanan kesehatan dalam meningkatkan kinerja pelayanannya, karena belum ada satupun dari indikator variabel yang digunakan dalam penelitian ini memberikan hasil yang memuaskan pengguna jasa. Penelitian untuk mengukur kualitas layanan kesehatan di rumah sakit ini harus dilakukan secara periodik dalam jangka waktu tertentu, sebab persepsi dari pengguna jasa suatu layanan akan terus berubah. Disamping itu perlu juga dilakukan penelitian serupa pada rumah sakit-rumah sakit yang dikelola oleh swasta, agar dapat memberikan perbandingan kualitas yang diberikan berdasarkan persepsi pengguna jasa."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12368
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Octaviani
"Cidera kecelakaan lalu lintas (Road Traffic Injury) merupakan hal yang sangat mungkin dialami oleh setiap pengguna jalan. Hal ini terjadi karena pengemudi kendaraan bermotor, orang yang membonceng, pejalan kaki, dan pengguna jalan lain memiliki kerentanan terhadap kecelakaan (vulnerable users). Selain itu, jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat, mobilitas penduduk yang tinggi, serta kondisi jalan yang rusak merupakan faktor lain yang memungkinkan seseorang mengalami Road Traffic Injury (RTI). Berdasarkan World Report On Road Traffic Injury Prevention (2004), kecelakaan lalu lintas (road accident) yang pada tahun 1990 menjadi penyebab kematian nomor 9 (sembilan) di dunia, maka pada tahun 2020 akan menempati urutan ketiga.
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan penerapan injury control pada pelajar tingkat SMU pengguna sepeda motor di Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur, Tahun 2008. Sifat dari penelitian ini deskriptif yaitu dengan melakukan wawancara mendalam (in depth interview) terhadap pelajar pengguna sepeda motor tingkat SMU. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur dan dilakukan pada bulan Juni 2008. Informan pada penelitian ini adalah pelajar tingkat SMU yang bersekolah atau bertempat tinggal di wilayah Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur yang menggunakan sepeda motor ke sekolah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lamanya pengalaman berkendaraan pada pelajar pengguna sepeda motor yang diwawancarai paling singkat selama 6 bulan sedangkan paling lama selama 7 tahun, dan sebagian dari responden yang diwawancarai mengatakan belum memiliki SIM. Sedangkan pada faktor perilaku berkendaraan yaitu menggunakan HP pada saat mengemudikan motor menunjukkan hasil bahwa lima orang pelajar tidak pernah menggunakan HP, satu orang mengatakan jarang, dan dua orang mengatakan memiliki kebiasaan menggunkan HP pada saat mengemudikan motor. Bila dilihat dari kecepatan berkendaraan, kecepatan tertinggi yang digunakan, dua orang pelajar menggunakan kecepatan 80 km/jam, satu pelajar 65 km/jam, satu pelajar 60 km/jam, tiga pelajar 100 km/jam, dan satu pelajar 110 km/jam. Dalam hal kebiasaan mengebut saat berkendaraan semua responden yang diwawancarai mengatakan sering melakukan hal tersebut, dan bila dilihat dari kepatuhan mereka terhadap rambu-rambu lalu-lintas hanya dua orang responden yang mengatakan selalu mematuhinya sedangkan enam orang lainnya mengatakan tidak pernah mematuhi rambu-rambu yang ada. Bila dilihat dari disain kendaraan terdapat beberapa responden yang memiliki kendaraan yang tidak sesuai dengan standar yang ada. Sedangkan untuk kebiasaan pengguanaan helm sebagai salah satu alat pelindung diri dalam mengendarai motor hanya empat orang yang mengatakan selalu menggunakan helm sedangkan empat orang lainnya mengaku tidak pernah menggunakannya.
Saran untuk pelajar pengguna sepeda motor, agar lebih mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan peraturan yang telah ditetapkan, serta lebih meningkatkan kesadaran akan pentingnya penggunaan APD pada saat mengendarai sepeda motor. Bagi para polisi, agar lebih menegakkan peraturan yang telah ditetapkan dan lebih tegas dalam memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengendara sepeda motor, terutama kepada pelajar pengguna sepeda motor. Bagi pihak sekolah, agar memasukkan pendidikan atau pelajaran tentang tata cara berkendara secara aman mengingat semakin banyaknya pelajar SMU yang mengendarai sepeda motor ke sekolah."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>