Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171565 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Esi Sekar Rini
"ABSTRAK
Transaksi digital semakin mendominasi sistem perdagangan di era ini, perdagangan elektronik yang timbul karena adanya perkembangan teknologi. Dalam transaksi perdagangan, konsumen merupakan pihak yang memanfaatkan barang dam/atau jasa yang diperoleh. Konsumsi barang dan/atau jasa merupakan hal yang terutang PPN. Pengenaan PPN atas konsumsi dalam Daerah Pabean, dikenakan tanpa melihat dari mana asal barang dan/atau jasa tersebut, termasuk yang berasal dari luar Daerah Pabean. Penelitian ini membahas tentang kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), tertuang di dalam PMK No. 48/PMK.03/2020. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis latar belakang perumusan kebijakan dan bagaimana strategi implementasi yang telah disiapkan oleh pemerintah dan membandingkan bagaimana kebijakan dan pengenaan PPN, khususnya atas BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean melalui PMSE dengan negara lainnya di ASEAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perumusan kebijakan dilatar belakangi oleh upaya pemerintah untuk memungut PPN atas barang dan/atau jasa yang berasal dari luar negeri sebagaimana sesuai dengan asas pemungutan pajak yakni equality dan karakteristik PPN yang bersifat netral, serta sesuai dengan konsep destination principle dan didasari oleh asas perpajakan revenue productivity. Dalam penetapan kebijakan, pemerintah memilih opsi yang dapat memberi kemudahan dan efisiensi bagi pemerintah dan Wajib Pajak yang melaksanakan kewajiban perpajakan. Selanjutnya, strategi implementasi yang disiapkan oleh pemerintah ialah dengan melakukan sosialisasi internal dan eksternal, serta mempersiapkan sistem yang baik untuk implementasinya baik dari segi teknologi maupun ekonomi.

ABSTRACT
Digital transaction increasingly dominating the trading system in this era, electronic commerce arises due to technological developments. The government needs to implement a policy strategy to optimize taxation of digital transactions, one of which is through the VAT policy on Trade Through Electronic System. In a trade transaction, the consumer is the party who utilizes the goods and/or services obtained. Consumption of goods and/or services is subject to VAT payable. One of the VAT payable of consumption in the Customs Area is imposed regardless of the origin of the goods and/or services, including those which imported from outside the Customs Area. This research discusses about policy of VAT of Digital Goods and Services from outside into Customs and Excises Territory through Trade Through Electronic Systems (foreign e-commerce), which regulated in PMK No. 48/PMK.03/2020. This study aims to analyze the background reason of the policys formulation and to analyze the strategy of implementation which the Government has planned, also to compare the policy and implementation of VAT, especially about foreign e-commerce transaction of Digital Goods and Services, along with the other countries in ASEAN. The method of this research is a descriptive method and the study approach in this research is qualitative. The result of this research indicates that the formulation of the policies is based by the Governments attempt to collect a VAT of goods and/or services from overseas as accordant with the principle of tax collections which are equalityand the characteristic of VAT that tends to be neutral, also suitable with the concept of destination principle and based by the principle of revenue productivity taxation. In the establishment of policies, Government chose the option that give eases and efficiencies for both Government and Taxpayers who engages in taxation obligations. Furthermore, the strategy of implementation which Government prepares is to hold an internalized and externalities socialization, and to organize a decent system for the implementation, both from the technology and economy viewpoint.
"
Lengkap +
2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sayyidus Wisnu Widagdo
"Perkembangan perdagangan secara elektronik (e-commerce) telah menyebabkan berkembangnya jenis barang dan jasa yang dijual di media tersebut. Dengan tingginya pengguna internet di Indonesia maka hal ini menjadikan adanya urgensi bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan perhatiannya atas pengenaan pajak pertambahan nilai terhadap barang dan jasa digital. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang didukung dari data-data yang diperoleh selama penelitian, buku-buku, literatur dan sumber lain yang relevan. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap transaksi produk digital diatur dalam Pasal 3A ayat (3) UU No. 42 Tahun 2009 dan juga Permenkeu Nomor 40/PMK.03/2010 yang mengatur mekanisme reverse charge di Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya, pengaturan tersebut belum dapat berjalan efektif, hal tersebut karena beban pemungutan, pelaporan dan penyetoran pajak terutang dibebankan kepada si pembeli atau konsumen. Selain itu adanya pelaku usaha yang tidak berkedudukan di Indonesia juga menambah rumitnya permasalahan ini. Sedangkan ruang lingkup Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara lain masih terbatas pada lingkup Pajak Penghasilan. Maka dari itu pemerintah perlu untuk segera memperbarui pengaturan mekanisme pengenaan pajak pertambahan Nilai atas barang dan jasa digital dan juga memperluas lingkup yang ada di Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

The development of electronic trading (e-commerce) has led to the growth of goods and services sold in the digital platform/marketplace. With the high Internet users in Indonesia, this makes the urgency for the Indonesian Government to increase its attention to the imposition of value added tax on digital goods and services. The research methods in this study are supported literature research from data obtained during research, books, literature and other relevant sources. The imposition of value added tax (VAT) on the transaction of digital products is regulated in article 3A paragraph (3) UU No. 42 year 2009 and also Permenkeu number 40/PMK. 03/2010 which regulates reverse charge mechanism in Indonesia. However, in its execution, such arrangements have not been able to run effectively, it is due to the burden of voting, reporting and withholding tax payable to the buyer or the consumer. In addition, there are business actors who are not domiciled in Indonesia also increase the complexity of this problem. Therefore, the Government needs to promptly update the setting of the imposition of value added tax on digital goods and services and also expand the scope of the agreement in the avoidance of double taxation."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tunas Hariyulianto
"Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip tujuan (Destination Principle) yaitu suatu prinsip pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas barang dan jasa oleh negara tempat pemanfaatan atau konsumsi barang dan jasa tersebut. Berdasarkan prinsip ini, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi di dalam Daerah Pabean, sedangkan atas konsumsi barang dan jasa yang dilakukan di luar Daerah Pabean tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Atas dasar prinsip tujuan (Destination Principle) ini, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai tidak mengenakan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak. Pengecualian dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai ini dilakukan melalui metode Zero Rate, yaitu atas ekspor Barang Kena Pajak ditentukan sebagai penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0%. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% ini telah membuat ekspor Barang Kena Pajak menjadi bebas dad pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh (Free of Tax), karena atas Barang Kena Pajak yang diekspor tersebut tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pengusaha ekspor tetap dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan barang dan jasa yang berhubungan dengan Barang Kena Pajak yang diekspor tersebut.
Berbeda halnya dengan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai hanya mengatur mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dengan tarif 10%, tanpa adanya ketentuan iebih lanjut yang mengatur mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai da!am hal Jasa Kena Pajak tersebut dimanfaatkan di luar Daerah Pabean (Ekspor Jasa). Dengan demikian, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai mengenakan tarif yang sama sebesar 10% atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean baik untuk dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean maupun di luar Daerah Pabean.
Analisis yang dilakukan berdasarkan studi kepustakaan, penelaahan dokumen dan hasil wawancara diperoleh kesimpulan bahwa Ketentuan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% atas ekspor Jasa Kena Pajak tidak sesuai dengan konsep teori Pajak Pertambahan Nilai antara lain prinsip tujuan (Destination Principle) yang dianut oleh Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, Teori Netralitas Pajak Pertambahan Nilai dan Teori Bukan Faktor Harga (VAT is not a cost price factor). Berdasarkan prinsip tujuan, atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean untuk dikonsumsi atau dimanfaatkan di luar Daerah Pabean seharusnya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Teori Netralitas Pajak Pertambahan Nilai menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai seharusnya tidak dikenakan atas ekspor. Sedangkan teori yang ketiga menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai bukanlah faktor penentu harga atau tidak masuk ke dalam harga barang atau jasa yang diserahkan.
Pengecualian dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Jasa Kena Pajak, dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dua metode yaitu Exemption dan Zero Rate. Berdasarkan konsep teori dan metode yang digunakan oleh negara-negara yang menerapkan sistem Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax), metode yang sebaiknya digunakan adalah Zero Rate, yaitu pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak dengan tarif 0%.
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan metode Zero Rate (tarif 0%) ini, akan membuat ekspor Jasa Kena Pajak menjadi bebas dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh (Free of Tax), karena atas Jasa Kena Pajak yang diekspor tersebut tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pengusaha ekspor tetap dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan barang dan jasa yang berhubungan dengan Jasa Kena Pajak yang diekspor tersebut. Pengecualian dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh (Free of Tax) diharapkan akan dapat meningkatkan daya saing harga dari produk-produk jasa yang diekspor oleh Pengusaha Indonesia. Hal ini tentunya akan Iebih menciptakan iklim dunia usaha jasa di Indonesia yang lebih kondusil. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan metode Zero Rate juga dilakukan dalam rangka harmonisasi perpajakan demi terciptanya perdagangan internasional yang fair dan netral.
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan analisis permasalahan dalam tesis ini adalah pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak dalam peraturan perundang-undangan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia belum sesuai dengan konsep teori Pajak Pertambahan Nilai. Selanjutnya, disarankan agar dilakukan perubahan ketentuan dalam Undangundang Pajak Pertambahan Nilai yang mengatur mengenai penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean untuk dimanfaatkan di luar daerah pabean (ekspor Jasa Kena Pajak) sehingga sesuai dengan konsep teori Pajak Pertambahan Nilai.

The Indonesian VAT Prevailing Law follows a Destination Principle in imposing Value Added Tax. Under this Destination Principle, VAT is imposed on goods and services consumed in the taxing jurisdiction, regardless of where they are produce. VAT is imposed on imports for consumption in the state, and VAT is rebated on exports to be consumed elsewhere. Fiscal frontiers must be maintained to ensure that exports are fully rebated for the VAT paid in the exporter's domestic market and where the VAT rates appropriate to the importer's home market can be applied.
Based on The Destination Principle, VAT is not imposed on goods consumed outside the taxing jurisdiction (Exports of goods). This Exception of VAT Levy, done with Zero Rate Method. Zero Rate means that the trader is fully compensated for any VAT he pays on inputs and, therefore, genuinely is exempt from VAT, On the other hand, a trader liable to the zero rate is liable to an actual rate of VAT, with just happens to be zero; therefore, such a zero-rated trader is wholly a part of the VAT system and makes a full return for VAT in the normal way. However, when this trader applies the tax rate to his sales, it ends up as a zero VAT liability but from this he can deduct the entire VAT liability on his inputs, generating a repayment of tax from the government. In this way, the zero-rated trader reclaims all the VAT on his inputs and bears no tax on his outputs, and the purchaser of such a trader's sales buys the good free of VAT. Different matter with VAT levy on exports of services. Indonesian VAT Laws imposed on every transfer of taxable services in taxing jurisdiction with rate of 10%, regardless of where they are consumes. Therefore, 10% VAT is imposed on export of taxable services.
Analysis that has been done based on study of literature books and interview, conclude that 10% VAT levy on export of taxable services is not appropriate with Theory of VAT, among other things, Destination Principle, Neutrality Theory and VAT is not a cost-price factor Theory. According to this principle and the theory, VAT should not impose on services that consumed outside the taxing jurisdiction (Export of services).
Exception of VAT levy on export of services can use exemption or zero rate. According to VAT Theory and method used in countries that used VAT System, the method should be used is zero rate. Using Zero Rate means that the exporter of services is fully compensated for any VAT he pays on inputs and, therefore, genuinely is exempt from VAT. The exporter of services can reclaims all the VAT on his inputs and bears no tax on his outputs, and the purchaser of such a trader's sales buys services free of VAT. Using zero rate in export of services will increase price competitiveness of service products that exported by Indonesian producer. Further, this matter will create the conducive condition for business of services in Indonesia.
Based on analysis of the case in this examination, conclude that imposing Value Added Tax on export of services according to the prevailing law is not appropriate with theory of VAT. Further, suggested that the government should amendment prevailing law in particular that regulate about imposing Value Added Tax on export of services.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22186
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mochamad Kemal Afiantoro
"ABSTRAK
Perkembangan teknologi saat ini sangat meningkat pesat, yang menimbulkan adanya produk digital yang tidak memiliki bentuk fisik yang ditransaksikan secara lintas batas negara dan banyak dimanfaatkan oleh konsumen akhir dalam transaksi business-to-consumer (B2C). Penelitian ini membahas mengenai sulitnya pengadministrasian prinsip tujuan barang dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia atas transaksi pemanfaatan produk digital dari luar daerah pabean dalam transaksi B2C yang menggunakan mekanisme customer collection/reverse charge. Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan teknik analisis data kualitatif. Perbandingan dengan regulasi Goods and Services Tax (GST) di Australia dijadikan dasar komparasi untuk dapat menentukan desain kebijakan administrasi dalam mengatasi kesulitan pengadministrasian tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa setelah dikomparasikan, regulasi PPN di Indonesia dengan GST di Australia memiliki perbedaan yang signifikan, terutama dalam pengadministrasiannya. Perbedaan tersebut diantaranya dalam hal ketentuan pendaftaran sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk pihak penyedia produk digital dari luar negeri di masing-masing negara agar dapat melakukan pemungutan PPN/GST, definisi yang jelas mengenai termasuk kemana produk digital ini, dan juga tata cara pemungutan dan pelaporan PPN/GST yang terutang atas transaksi ini di Australia yang menekankan kepada supplier collection. Desain kebijakan yang dapat diberikan dari hasil komparasi tersebut adalah dengan membuat mekanisme pendaftaran baru untuk pihak penyedia produk digital dari luar Indonesia agar dapat melakukan pemungutan PPN atas transaksi dari konsumen akhir dengan cara disimplifikasikan mekanisme pendaftaran serta kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakannya.

ABSTRACT
The rapid development of technology nowadays resulting in a product which has no physical form whatsoever called digital product that can be transacted across countries with end users can easily utilize those products via internet in business-to-consumer (B2C) transaction. This research discusses about the difficulty in administrating the collection of Value Added Tax (VAT) in Indonesia in regards with the destination principle for digital product supplies from overseas in B2C transaction that currently using the customer collection/reverse charge mechanism. The methodology used in this research is qualitative approach with qualitative data analysis technique. Regulation comparison between VAT in Indonesia and Goods and Services Tax (GST) in Australia is set to be the basis in determining the policy design to address the difficulty that is mentioned. The result from this research shows that in terms of regulation comparison, there are significant differences in how both countries administer the collection of VAT/GST. Those differences are the provision regarding the registration for foreign suppliers of digital products to collect VAT/GST, clear definition regarding which categories these digital supplies belong to, and the procedures to collect and report the VAT/GST payable in this transaction with Australia using the supplier collection mechanism to administer that. Policy design based on that comparison is that Indonesia needs to create new registration system for foreign suppliers of digital products so they could collect VAT from their end users consumers for this transaction with simplified mechanism for both registration and their fulfilment of tax obligations.
"
Lengkap +
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sanan Susanto
"Tesis ini mengambil judul Tinjauan Kebijakan Pengenaan PPN Terhadap Penyerahan Barang Kena Pajak dari Kantor Pusat ke Cabang atau Sebaliknya. Pasal 1A UU PPN mengatur tentang penyerahan Barang Kena Pajak dari kantor pusat ke cabang atau sebaliknya. Dengan adanya ketentuan ini, maka transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dari kantor pusat ke cabang atau sebaliknya terutang PPN. Akibatnya Pengusaha yang memilki tempat usaha/ cabang yang berbeda lokasi wilayah KPP, harus mendaftarkan tempat usaha/cabang tersebut untuk dikukuhkan sebagai PKP pada KPP setempat. Pada dasarnya penyerahan Barang Kena Pajak dari kantor pusat ke cabang atau sebaliknya merupakan transaksi internal, oleh karena dalam transaksi tersebut tidak terjadi perpindahan kepemilikan atas suatu Barang Kena Pajak. Dari sudut administrasi perpajakan, tentu saja ketentuan ini akan memberatkan PKP terutama dalam hal cost of compliance yang harus ditanggung oleh PKP. Disamping itu ketentuan pengenaan PPN atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang tidak sejalan teori dan konsep dalam PPN itu sendiri. Pemusatan tempat PPN terutang sebagai penyeimbang ketentuan tersebut, kurang memberikan unsur keadilan di antara PKP. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori dalam PPN yang umum digunakan sebagai dasar merancang suatu kebijakan perpajakan. Teoriteori tersebut meliputi, teori tentang PPN, teori tentang cabang, teori tentang penyerahan Barang Kena Pajak, teori Pengusaha Kena Pajak, teori tentang Administration and compliance cost dan teori-teori lainnya yang masih relevan dengan topic penelitian ini.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan deskriptif engan menggunakan sumber data primer berupa wawancara dengan narasumber serta data sekunder berupa buku-buku, literatur, peraturan perundangan dan sumber lainnya yang masih berkaitan dengan topik pembahasan dalam tesis ini. Ketentuan tentang PPN di Indonesia, dan di Uni Eropa serta PT. XYZ diungkap untuk memberikan gambaran umum tentang objek yang akan diteliti. Gambaran umum tentang ketentuan PPN di Indonesia meliputi objek pajak, penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN, Pengusaha Kena Pajak, pemusatan tempat PPN terutang, kewajiban PKP serta sanksi perpajakan. Pada Uni Eropa pun diberikan gambaran umum tentang, Pengusaha Kena Pajak dan Penyerahan yang terutang pajak. PT. XYZ juga dipaparkan gambaran tentang alur pembelian dan penjualan barang dari pusat ke cabang, serta alur penyampaian laporan pajak untuk masing-masing cabang. PT. XYZ memiliki banyak cabang seluruh Indoensia, yang tentu saja akan mempunyai dampak terhaap kebijakan pengenaan PPN aas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya.
Hasil penelitian melalui wawancara yang dilakukan terhadap pihak akademisi, praktisi dan wajib pajak serta literatur yang ada, diketahui bahwa penyerahan Barang Kena Pajak dari kantor pusat ke cabang atau sebaliknya tidak layak dijadikan sebagai objek pajak. Dasar pertimbangannya adalah bahwa secara teori dan konsep ketentuan tersebut tidak selaras. Ketidakselarasan tersebut antara lain dsebabkan oleh karena dalam transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang adalah transaksi yang bersifat internal, sehingga tidak ada perpindahan kepemilikan atas suatu Barang Kena Pajak. Selain itu akibat yang dtimbulkan dari kebijakan tersebut sangat dirasakan sekali oleh PKP terutama berkaitan dengan compliance cost. Dari sisi penerimaan pajak (tax revenue) yang diterima oleh pemerintah juga menghasilkan jumlah yang sama antara penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang dianggap sebagai objek PPN maupun tidak dianggap sebagai objek PPN. Dalam hal pemusatan tempat PPN terutang, memang bisa mengurangi compliance cost bagi PKP, hal tersebut dapat terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap PT. XYZ. Namun kebijakan tersebut belum dapat memberikan rasa keadilan diantara PKP. Dalam hal kelaziman dalam praktek perpajkan internasional, setelah dilakukan penelitian literature yang ada, bahwa ternyata Council Directive Uni Eropa tidak mengatur adanya ketentuan penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang sebagai objek pajak.
Dari penelitian tersebut dapat ditarik suatu simpulan bahwa penyerahan Barang Kena Pajak dari kantor pusat ke cabang tidak sejalan dengan teori dan konsep PPN yang ada. Selain tidak adanya nilai tambah yang dikenakan PPN dalam transaksi tersebut menyebabkan, PPN yang dipungut dari PKP secara agregat nihil. Oleh karena tax base dari penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang adalah sebesar harga pokok. Kebijakan Pemusatan tempat PPN terutang memang dapat menurangi cost of compliance, namun kemudahan pemberian izin pemusatan tempat PPN terutang belum dapat dirasakan oleh semua PKP. Dalam praktek pajak internasional seperti pada Council Directive di Uni Eropa, tidak mengatur adanya kebijakan PPN atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang dan merujuk pada teori dan konsep PPN yang ada, maka dari penelitian ini, disarankan, sebaiknya ketentuan PPN atas peneyarahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang dihapuskan.

This thesis takes its title "Review of Imposition Policy on VAT on Supply of Taxable Goods from Central to Branch Office or vice versa". Article 1A of VAT LAW provides supply of Taxable Goods from central to branch office or vice versa. With this provision, Supply of Taxable Goods transaction from central to branch office or vice versa leads to VAT payable. The result is that the Company having business place/branch different from Tax Office area must register its business place/branch in order to be confirmed as Taxable Company at the local Tax Office. Basically, supply of Taxable Goods from central to branch office or vice versa represents an internal transaction, because in such a transaction there is no transfer of ownership of Taxable Goods. In the standpoint of tax administration, this provision, of course is burdensome for Taxable Company in particular in cost of compliance. In addition, the provision on VAT imposition for supply of Taxable Goods from central to branch office is not in line with theory and concept in the VAT itself. Centralization of payable VAT as balancer of the provision appeared to provide no sense of justice among the Taxable Persons This study is conducted by using the theories in the VAT generally applied as ground to design a tax policy. The theories include theory on VAT, theory on branch, theory on supply of Taxable Goods , theory on Taxable Company, theory on Administration and compliance and such other theories which are relevant to the title of this study.
The method of this study uses quantitative and descriptive approach, by using primary data in the form of interview conducted on academician, practioners, taxpayer and Directorat General of Tax and also secondary data in the form of books, literature, regulations and others related to the topic. Provision on VAT in Indonesia, and in European Union and PT. XYZ is stated to provide a general description on the object to be studied. General description on VAT regulation in Indonesia which includes tax object, Taxable Goods delivery with VAT payable, Taxable Persons, centralization of VAT payable place, obligation of Taxable Company and tax sanction. In European Union a general description is also provided on Taxable Persons and taxable supply. PT. XYZ also provides description on flow of sale of goods from central to branch, and flow of submission of tax report for each of branches. PT. XYZ has several branches all over Indoensia, this will be effects on VAT on supply of taxable goods from central to branch office or vice versa.
The result of interview conducted on academicians, practitioners, tax payers and the exisiting literatures , they in general are in the opinion that supply of Taxable Goods from central to branch office is not reasonable to be made a tax object.It caused by transaction of supply from central to branch or vice versa is internal transaction, as result, it will not be transfer of ownership a taxable goods. In addition, consequences arising out of the policy are greatly felt by Taxable Persons in particular those related to compliance cost. In the standpoint of tax revenue received by the government also resulted in the same amount among the Supply Taxable Goods from central to branch whether or not it is deemed a VAT object. In terms of centralization of VAT payable place, compliance cost for Taxable Persons decreased, but the policy cannot yet provide sense of justice among Taxable Persons. In general practice of international taxation, proved that VAT on supply of taxable goods from central to branch or vice versa is not regulated on Council Directive in European Union.
From the study, a conclusion is made that Supply of Taxable Goods from central to branch is not in line with the existing theory and concept of VAT. In addition to the absence of added value with the imposed VAT in the transaction, VAT collected from Taxable Persons became nil in the aggregate,.Please note that tax base of supply of Taxable Goods from central to branch is of the cost price. The policy of centralization can be deemed to decrease cost of taxation, otherwise it cannot yet provide sense of justice among Taxable Persons. In case of general practice of international taxation such as Council Directive European Union and referred to existing theory and concept of VAT , it suggested that VAT on supply of taxable goods from central to branch or vice versa to be excluded from tax object."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24583
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Giar
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S10080
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Mora Aryani
"Salah satu upaya untuk mengefektifkan peranan pajak sebagai sumber pembiayaan pemerintahan adalah memperluas subjek pajak - Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga tingkat pedagang eceran. Untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran (PKP PE) dalam memenuhi kewajiban PPN-nya, maka dikeluarkan ketentuan Nilai Lain sebagai Daftar Pengenaan Pajak (DPP).
Pokok permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana pelaksanaan ketentuan tersebut pertama : apakah terdapat keseragaman pemahaman terhadap ketentuan perundang-undangan perpajakan, kedua : apakah telah memberikan kemudahan administrasi pajak, ketiga : apakah telah memenuhi asas keadilan pajak, keempat apakah terdapat pengawasan dan pemeriksaan pajak yang efektif.
Kerangka teori yang penulis ajukan adalah prinsip-prinsip perpajakan yang ideal yaitu bahwa sistem perpajakan yang ideal harus memenuhi prinsip kepastian hukum yang tercermin dalam keseragaman pemahaman, kemudahan administrasi pajak, azas-azas keadilan pajak serta sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.
Disamping melakukan studi literatur (library research), penulis juga melakukan penelitian lapangan (field research) berupa unit analisis persepsi dan pengalaman aparatur pajak maupun wajib pajak (pedagang eceran) di wilayah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Jakarta Menteng dengan menggunakan instrumen kuesioner.
Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa, diantara wajib pajak maupun aparatur pajak tidak memiliki persepsi yang seragam terhadap pokok peraturan perundang-undangan perpajakan, belum sepenuhnya memberikan kemudahan dalam administrasi pajak bagi wajib pajak maupun instansi pajak, responden aparatur pajak menyatakan bahwa tarif deemed 10% x 20% x DPP sudah cukup wajar dan adil sebaliknya responden wajib pajak menyatakan belum sepenuhnya/belum adil dan seharusnya lebih rendah, sistem pengawasan dan pemeriksaan yang ada ternyata belum efektif, masih terdapat beberapa kendala dan perlu ditingkatkan.
Untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan pengenaan PPN terhadap PKP PE dengan menggunakan Nilai Lain sebagai DPP, disarankan untuk dilakukan peninjauan kembali seluruh ketentuan perpajakan yang terkait, dilakukan penyeragaman pemahaman antara wajib pajak maupun aparatur pajak, dilakukan peninjauan lebih lanjut untuk memberikan kemudahan administrasi pajak, dilakukan penelitian lebih lanjut tentang besarnya tarif deemed yang wajar dan dilakukan penyuluhan yang intensif dan terencana untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak sehingga tercipta keadilan (persaingan yang sehat) diantara wajib pajak."
Lengkap +
2001
T7439
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Muhammad Fauzan Hilmi
"Kepastian hukum pajak merupakan hal penting dalam upaya menjalankan hak dan kewajiban bagi PKP Ekspor Perikanan. Seperti yang diketahui juga bahwa ekspor perikanan merupakan sektor penting bagi perekonomian Indonesia sehingga keberlangsungan sektor perikanan harus menjadi perhatian penting bagi pemerintah Indonesia. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberlangsungan sektor perikanan adalah kebijakan perpajakan yaitu kebijakanPajak Pertambahan Nilai (PPN) atas ekspor BKP Produk Perikanan. Dalam perpajakan terdapat produk perikanan yang merupakan BKP tertentu yang bersifat strategis. Dalam implementasi kebijakan PPN atas Ekspor BKP ProdukPerikanan pernah dianggap sebagai penyerahan atas BKP Produk Perikanan meskipun termasuk kedalam Ekspor BKP tertentu yang bersifat strategis tetap dianggap ekspor BKP yang dikenakan tarif 0% sehingga berpengaruh terhadap Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang nantinya akan berpengaruh terhadap arus kas PKP tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis terkait implementasi kebijakan PPN atas ekspor dan penyerahan BKP produk perikanan serta melihat kepastian kedua kebijakan tersebut. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan post positivis dan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam. Hasil penelitian ini adalah kebijakan PPN 0% atas ekspor BKP Produk Perikanan memiliki efek domino yang memiliki dampak ekonomi yang signifikan baik bagi eksportir ataupun perekonomian Indonesia. Dalam hal birokrasi restitusi, untuk PKP yang melakukan ekspor BKP berwujud dapat mengajukan permohonan menjadi PKP berstatus risiko rendah dengan syarat memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang ada. Selanjutnya, untuk kebijakan PPN atas penyerahan di dalam daerah pabean dianggap tidak sesuai dengan spirit pemberian fasilitas pembebasan PPN. Dikarenakan Pajaka Masukan atas PPN dibebaskan menjadi komponen tambahan biaya yang melekat di produk perikanan sehingga menambah harga jualproduk perikanan. Dilihat dari asas kepastian, sebenarnya baik dari kepastian hukum pajak materil dan hukum pajak formil telah memiliki kepastian. Namun terdapat perbedaan interpretasi definisi dari penyerahan dan ekspor yang memiliki pengenaan PPN yang berbeda. Meskipun ekspor BKP Strategis, namun untuk pengenaan PPN tetap tarif 0%.

Certainty of tax law is an important thing in the effort to carry out the rights and obligations for Fishery Export VAT Enterprise. As it is well known that fishery exports are an important sector for the Indonesian economy, so the sustainability of the fisheries sector must be an important concern for the Indonesian government. One of the factors that affect the fisheries sector is the policy of Value Added Taxation (VAT) on Taxable Goods Export. In the taxation of fishery products which are certain strategic taxable goods. In the implementation of VAT on on Taxable Goods Export Fishery Products, it was once considered as on Taxable Goods for Fisheries Products even though it was included in certain strategic Taxable Goods Exports, it was still considered Taxable Goods exports which were subject to a 0% rate so that it affected the flow of creditable taxes which would later affect for industry cash flow. This study was conducted to analyze the implementation of the VAT policy Taxable Goods Export Fishery Products and to see the two policies. This research was conducted using an post positivist approach and data collection techniques through in-depth interviews. The results of this study are the 0% VAT policy on Taxable Goods Export Fishery Products has a domino effect that has a significant economic impact on both exporters and the Indonesian economy. In terms of working with restitution for VAT Enterprise, it seems that you can apply to become a VAT Enterprise provided that you meet the existing requirements. Furthermore, for the VAT policy on what is considered not in accordance with the spirit of providing facilities in VAT. This is because the input tax on VAT is exempted from being an additional component of costs attached to fishery products, thereby increasing the selling price of fishery products. Judging from certainty, in fact, both material tax law and formal tax law have certainty. However, there are different interpretations of the definition between submission and exports which have different VAT impositions. Despite the BKP's export strategy, the imposition of VAT remains at 0%"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>