Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101109 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sugeng Riyadin
"Tesis ini membahas tentang Lembaga Pemasyarakatan Terbuka sebagai Sub-Sistem dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu dengan titik beratnya adalah latar belakang pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka, pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka dikaitkan dengan tujuan pemidanaan dan pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang dilakukan dengan wawancara dan pengamatan, selanjutnya diolah secara deduktif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan Terbuka dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.03.PR.07.03. Tahun 2003 tanggal 16 April 2003 tentang Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Pasaman, Jakarta, Kendal, Nusakambangan, Mataram dan Waikabubak. Bahwa pembentukan lembaga pemasyarakatan terbuka ini dilatar belakangi hal-hal sebagai berikut : sebagai salah satu upaya untuk mengurangi kelebihan narapidana (over crowding) di lembaga pemasyarakatan biasa (tertutup), merupakan perwujudan dari konsep community-based corrections, yang mana di lembaga pemasyarakatan terbuka pembinaan narapidana menekankan keterlibatan masyarakat, sebagai upaya untuk lebih menyiapkan narapidana berintegrasi dengan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan, Namun keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta pada khususnya dan lembaga pemasyarakatan terbuka di Indonesia pada umumnya merupakan kebijakan pemerintah yang setengah hati atau hanyalah propaganda pemerintah dalam pembinaan narapidana, karena keberadaannya hingga saat ini belum pernah dievaluasi dan perkembangan lembaga pemasyarakatan terbuka tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan baik dari segi pembinaan narapidana maupun peraturan spesifik mengenai lembaga pemasyarakatan terbuka yang menjadi landasannya. Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka (lapas terbuka) sebagai sub-sistem peradilan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, harus dimaksimalkan mengenai konsepnya untuk mencapai tujuan pemidanaan di Indonesia, yaitu mengembalikan dan mengintegrasikan narapidana ke masyarakat, menjadi manusia yang taat dan patuh pada hukum. Dengan demikian pembentukan lapas terbuka dapat menjembatani tujuan dan mewujudkan tujuan pembinaan di Indonesia. Pembinaan narapidana di lapas terbuka dimulai dengan penyeleksian narapidana yang harus memenuhi syarat subtantif berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman, Nomor : M.01.PK.04.10, Tahun 1999, Tentang asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, Pasal 7 ayat (2) dan syarat administratif Surat Keputusan Menteri Kehakiman, Nomor : M.01.PK.04.10, Tahun 1999, Tentang asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, Pasal 8. Selain itu bukan termasuk narapidana kejahatan penipuan, terorisme, narkotika dan illegal logging. Bahwa proses seleksi untuk menjadi warga binaan pemasyarakatan pada Lapas Terbuka Jakarta pada khususnya atau lapas terbuka di Indonesia pada umumnya sangat memungkinkan terjadinya penyimpangan seperti adanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), karena sangat banyak narapidana yang berada di wilayah Jabodetabek namun mengapa hanya lima orang yang menjadi warga binaan pada Lapas Terbuka Jakarta. Manjadi pertanyaan apakah kelima orang tersebut benar-benar memenuhi syarat ataukah ada KKN dalam proses kepindahanya dari Lapas Tertutup ke Lapas Terbuka Jakarta. Sehingga pembinaan narapidana pada Lapas Terbuka Jakarta tidak sesuai yang diharapkan karena program pembinaan tidak berjalan sebagaimana mestinya, dengan kata lain Lapas Terbuka Jakarta hanyalah tempat singgah sebelum para narapidana tersebut bebas.

This thesis discusses the Open Prison as a Sub-System in the Integrated Criminal Justice System with emphasis is the background of the formation of the Open Prison, Penitentiary establishment of the Open was associated with the goal of punishment and execution of prisoners in the Penitentiary building the Open. The research method used in this thesis is a normative legal research methods. Normative legal research done by examining library materials or secondary data. The data was collected through library research and field studies conducted by interviews and observations, then treated deductively. The results of this study concluded that the Open Prison was established by Decree of the Minister of Justice No. M.03.PR.07.03. 2003 April 16, 2003 on the establishment of the Open Pasaman Correctional Institution, London, Kendal, Nusakambangan, Mataram and Waikabubak. That the formation of an open prison this background the following matters: as an effort to reduce excess inmates (over crowding) in ordinary prisons (closed), is a manifestation of the concept of community-based Corrections, which is in open prisons coaching inmates emphasizes community involvement, as an effort to better prepare inmates integrate into society as the goal of punishment, but the existence of the Open Prison Jakarta in particular and open prisons in Indonesia in general is a government policy that half-hearted or just government propaganda in the coaching of prisoners, because its existence until now has not been evaluated and the development of open prisons did not show significant progress both in terms of specific guidance or regulations regarding inmate penitentiary opened which it rests.Penitentiary establishment of the Open (open prison) as a sub-system of criminal justice in relation to the purpose of sentencing, the concept should be maximized to achieve the purpose of punishment in Indonesia, that is to return and integrate inmates into society, a man who obey and comply with the law. Thus the formation of an open prison to bridge the goals and realize the goal of coaching in Indonesia. Inmates in open prisons coaching begins with the selection of eligible inmates who have substantive based on the Decree of the Minister of Justice, No. M.01.PK.04.10, 1999, On assimilation, Parole and Leaves Towards Free, Article 7 paragraph (2) and administrative requirements of Decree of the Minister of Justice, No. M.01.PK.04.10, 1999, On assimilation, Parole and Leaves Towards Free, Article 8. Besides not including inmate fraud, terrorism, narcotics and illegal logging. That the selection process to become prisoners in open prisons Jakarta in particular or open prison in Indonesia in general is very possible occurrence of irregularities such as corruption, collusion and nepotism (KKN), since so many inmates who are in the Greater Jakarta area, but why only five people who became citizens of the built in Jakarta Open Prison. Even become a question whether those people are actually qualified or is there corruption in the process of prison kepindahanya Closed to Open Prison in Jakarta.Thus fostering the Open Prison inmates in Jakarta is not as expected because the coaching program is not running as it should, in other words Jakarta Open Prison was a haven before the prisoners are free."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2012
T 29872
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Agung Wicaksono
"Sistem penegakan hukum yang diterapkan di Indonesia, secara spesifik dalam ranah hukum pidana dikenal dengan Integrated Criminal Justice System (ICJS), yang terdiri dari empat komponen aktor penegak hukum, yaitu hakim, jaksa, advokat, dan polisi. Keselarasan aktor ICJS dapat dicapai dengan kesepadanan kualitas aktor ICJS. Namun, pada saat ini masih terjadi diferensiasi kualitas input aktor ICJS, khususnya antara polisi dengan aktor ICJS lainnya. Implikasi dari diferensiasi tersebut menyebabkan proses penegakan hukum di Indonesia jauh dari cita hukum untuk dapat menyelaraskan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Penelitian ini bertujuan sebagai alternatif solusi perbaikan desain pendidikan polisi untuk mewujudkan ICJS yang selaras. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan bahan hukum sekunder. Revitalisasi sumber daya manusia polisi melalui sinkronisasi pendidikan polisi dengan aktor ICJS diperlukan mengingat polisi akan bekerja secara simultan dengan aktor ICJS lainnya. Revitalisasi lembaga pendidikan polisi akan difokuskan pada penataan kembali lembaga pendidikan polisi pada berbagai jenjang kepangkatan polisi. Kurikulum pendidikan polisi harus dapat menjadi bekal polisi untuk dapat menjalankan fungsinya ketika menjadi aparat penegak hukum. Ekuivalensi bobot pendidikan diharapkan dapat mewujudkan kesamaan cara pandang yang sama antara perwira polisi dengan aktor ICJS lainnya.

Law enforcement system in Indonesia, specifically in criminal law known as the Integrated Criminal Justice System (ICJS), which consists of four components, namely judges, prosecutors, lawyers, and police. The harmony of actors of ICJS can be achieved by equivalence of ICJS quality. But, police are getting different input in human resource compare with another actors of ICJS. The implication of differentiation is causing law enforcement in Indonesia far from law ideas to achieving legal certainty, justice and expediency. This research is aimed to design an alternative solution for the improvement of police education to realize the harmony of ICJS. This research is a normative legal research with using secondary legal materials. Revitalization of police human resources through police education synchronization with actors of ICJS needed because the police will work simultaneously with other actors of ICJS. Revitalization of police educational institutions will be focused on the realignment of police educational institutions at various police ranks. Police education curriculum should be a provision for the police to function as a law enforcement officer. Equivalence of education is expected to create the same light similarities between police officers with other actors of ICJS."
Universitas Indonesia, 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Chandras Suryo Kusmayasputri
"ABSTRAK
Tulisan ini adalah suatu kajian mengenai tindakan vigilantism di dalam masyarakat sebagai suatu perwujudan dari rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan otoritas yang ada. Adanya rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku merupakan suatu permasalahan sosial yang serius dan memerlukan perhatian tersendiri. Di dalam permasalahan ini, rasa ketidakpercayaan terhadap hukum dan otoritas yang ada dijadikan sebagai pemicu dalam memberikan reaksi sosial informal terhadap pelaku tindak kejahatan yang ada di dalam masyarakat. Reaksi sosial informal yang diberikan oleh masyarakat adalah berupa kekerasan. Teori Kriminologi Anarkis dijadikan sebagai teori utama dalam membahas permasalahan ini, dengan didasari anggapan bahwa hukum yang ada dijalankan secara tidak efektif. Sumber data sekunder seperti berita, artikel ilmiah, dan laporan survey resmi dijadikan sebagai dasar dalam melakukan analisis terkait kajian ini. Kesimpulan dari tulisan ini adalah teori kriminologi anarkis dapat digunakan untuk melihat dan menjelaskan realita dari fenomena vigilantism sebagai sebuah bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada.

ABSTRACT
This paper is a study of the act of vigilantism in society as a form of public distrust of the existing laws and authority. The existence of public distrust of the existing law is a serious social problem and requires its own attention. In this case, public distrust of existing law and authority becomes the trigger in providing informal social reactions to the perpetrators of criminal acts in society. Informal social reactions provided by the community are in a form of violence. Anarchist Criminology Theory is used as the main theory in discussing this issue, based on the assumption that law is not executed effectively. Secondary data sources such as news, scientific articles, and official survey reports serve as a basis for analyzing the review. The conclusion of this paper is anarchist criminology theory can be used to view and explain the reality of the phenomenon of vigilantism as a form of public distrust of the existing law."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferny Melissa
"Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah memberikan jaminan terhadap hak anak yang berhadapan dengan hukum. Di dalam pemenuhan dan penjaminan atas hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum, telah di atur sebuah sistem berupa prinsip keadilan restoratif atau restorative justice yang merupakan upaya penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan di luar dari proses peradilan di persidangan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, telah diatur sebuah proses yang disebut diversi. Penulis ingin memberikan penjelasan dan melakukan penelitian sejauh mana peran Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pendampingan dan pengawasan terhadap proses penyelesaian perkara pidana anak diterapkan berdasarkan Undang-undang SPPA yang memberikan jaminan kepastian hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Penulis melihat bahwa di dalam praktiknya, masih banyak aparat penegak hukum yang masih terus berproses mempelajari upaya keadilan restoratif dan justru masih banyak orang atau masyarakat yang tidak tahu hak-hak anak di dalam sebuah proses hukum yang dijaminkan pada undang-undang tersebut. Oleh sebab itu, dengan adanya penguatan keberadaan Pembimbing Kemasyarakatan dinilai sangat penting di dalam menjamin hak-hak anak berhadapan dengan hukum.

The Bill Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System has provided guarantees for the rights of children in conflict with the law. In fulfilling and guaranteeing the rights of children in conflict with the law, a system has been set up in the form of the principle of restorative justice, which is a law enforcement effort in resolving cases that can be used as an instrument of recovery outside of the judicial process at trial. Based on this law, a process called diversion has been regulated. The author wants to provide an explanation and conduct research to what extent the role of Probation and Parole Officer in assisting and supervising the process of resolving children's criminal cases is implemented based on the SPPA Law which provides a guarantee of legal certainty for children in conflict with the law.
The author sees that in practice, there are still many law enforcement officers who are still in the process of studying restorative justice efforts and in fact there are still many people or communities who do not know about children's rights in the legal process guaranteed by this law. Therefore, strengthening the existence of Probation and Parole Officer is considered very important in ensuring children's rights in dealing with the law.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The code of criminal procedural law in the Law No.8 of 1981 as an operational basis of criminal justice system in Indonesia submits the conception of integrated criminal justice system which absolutely needs coordination among the law enforcement institutions. The failure of one of components of the system will influence the achievement of the other institutions. In fact, it is difficult to realize this system because each institution holds its own achievement oriented."
342 JPIH 18:VI (1998)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lathifah Aini Rahman
"Overcrowding Lembaga Pemasyarakatan menjadi sebuah masalah besar di negara Indonesia. Contoh kecilnya saja adalah pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II APaledang Bogor. Overcrowded tersebut berujung pada munculnya perlakuan kepada narapidana yang tidak manusiawi. Kemudian timbul masalahmasalah lain seperti perasaan tidak nyaman para penghuni Lapas karena harus saling tidur tumpang tindih dan berebut tempat tidur dan bahkan ada yang tidur dengan posisi jongkok, narapidana harus antre dan berebut mendapatkan air bersih untuk MCK, timbulnya penyakit menular, pertemuan dengan keluarga pembesuk sangat terbatas, terjadi prisonisasi, kerusuhan, kekerasan dan sebagainya. Dengan kondisi seperti itu, pembinaan yang efektif untuk mengintegrasikan kembali narapidana ke masyarakat tentu menjadi tujuan yang sangat sulit dicapai.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Paledang Bogor sudah melakukan berbagai upaya namun juga harus didukung dengan upaya yang lebih struktural, sistematis dan lebih besar lagi untuk mengatasi overcrowding.Penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang dan studi kasus melalui studi literatur, observasi dan wawancara. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyebab overcrowded dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Paledang Bogor adalah bahwa Lapas ini tidak hanya menampung narapidana yang divonis dari Pengadilan Negeri Bogor tetapi juga dari vonis Pengadilan Negeri Cibinong dan Depok yang dimana tiap-tiap pengadilan negeri tersebut tidak memperhatikan keluaran putusan yang banyak menjatuhkan pidana penjara, kemudian karena tidak berjalan dengan baik upaya mengatasi overcrowded seperti program pemberian Pembebasan Bersyarat dan Cuti Bersyarat kemudian tempat rehabilitasi narkoba yang ditempatkan di Lapas tersebut dan bercampurnya Lapas dengan Rutan.
Sehingga penelitian ini juga menyimpulkan bahwa ada beberapa persiapan yang perlu dilakukan terkait upaya pembaharuan pemidanaan dan pemasyarakatan nantinya, mulai dari persiapan sumber daya aparat Sistem Peradilan Pidana, terkait sarana dan prasarana, serta kesediaan dari masyarakat sendiri untuk menerima kebijakan ini sebagai pidana alternatif.

Prisons overcrowding becomes a major problem in Indonesia. The example is Correctional Institution of Paledang Bogor. Overcrowding led to the emergence of the treatment of prisoners inhuman treatment. Then comes other problems such as uncomfortable feeling of the occupant prisons because they have each other to sleep overlapping and scramble the bed and there is even with a squatting position, the prisoners have to queue and scramble to get clean water for the toilets, bad circulation for fresh air, the emergence of infectious diseases, the limited to meetings with family, prisonization, riots, violence and so on. With such conditions, effective formation to reintegrate prisoners into society would be a very difficult to achieve.
To overcome these problems, Correctional Institution of Paledang Bogor has made various efforts, but also must be supported by the efforts of more structural, systematic and even more to cope with overcrowded.This research uses statute approach and case study through the study of literature, observation and interviews. From this study it can be concluded that the cause of overcrowded in the Correctional Institution of Paledang Bogor is that the correction is not only accommodates prisoners convicted by Court of Bogor but also of the verdict of the District Court of Cibinong and Depok which is each courts do not pay attention of the output decision that to much impose imprisonment sanction, then because it do not go well tackling overcrowded as program administration of Parole and a drug rehabilitation which is placed in Correctional Institution of Paledang Bogor and the cause which is not less important is the Correctional Institutionof Paledang Bogor also has the jail on it.
So this study also concludes that there are some preparations that need to be done related to sentencing and correctional reform efforts in the future, ranging from the preparation of the resource officers of Criminal Justice System, relating fascilities and infrastructure as well as the willingness of the community itself to accept this policy as an alternatives punishment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44859
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margareta Dewi Lusiana
"Melalui penyusunan penelitian kemasyakatan (Litmas) sebagai salah core businessnya, Bapas membawa Pemasyarakatan hadir dan bertugas mulai dari tahapan pra ajudikasi hingga purna ajudikasi. Hadirnya RUU KUHP yang di dalamnya memuat pedoman pemidanaan dan pidana alternatif membuka kemungkinan semakin bertambahnya ruang lingkup Litmas terutama sebagai pre-sentenced report bagi tersangka dewasa. Guna mempersiapkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian terkait pengaturan Litmas dalam peraturan perundang-undangan, pandangan aparat penegak hukum terhadap Litmas serta konsep terbaik yang dapat direkomendasikan agar pelaksanaan Litmas dapat berkontribusi dalam pencapaian tujuan pemidanaan. Penulisan tesis ini akan menggunakan metode penelitian dengan pendekatan yuridis empiris. Penelitian ini memiliki tiga kesimpulan. Pertama, sejak pertama kali dipraktikan Litmas telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan meskipu mayoritas bersifat internal Pemasyarakatan. Eksistensi Litmas tidak terlepas dari falsafah pemidanaan Indonesia yang dipengaruhi prinsip utilitarian. Kedua, pembuatan dan pelaksanaan Litmas memperoleh respon yang positif dari aparat penegak hukum lain. Untuk mengantisipasi bertambahnya ruang lingkup Litmas ketika RUU KUHP diberlakukan maka perlu adanya dasar hukum yang mengikat aparat penegak hukum di lain dan penguatan sumber daya manusia pembimbing kemasyarakatan. Ketiga, pembaruan hukum pidana Indonesia melalui penyusunan RUU KUHP membuat sejumlah kebaruan. Untuk itu perlu dipersiapkan konsep pelaksanaan Litmas yang mengakomodir perubahan-perubahan yang akan terjadi ketika RUU KUHP diberlakukan seperti pembuatan Litmas yang dimulai sejak pelaku kejahatan masih berstatus tersangka dan juga optimalisasi perlibatan masyarakat serta institusi privat dalam pelaksanaan tugas Pemasyarakatan seperti halnya
yang diterapkan dalam praktek probation service di Belanda.

Correctional Institution works in a system through several agencies in it, one of which is the Correctional Center. Through the probation officer’s report as one of its core businesses, the Correctional Center will carry out its duties from the pre-adjudication to post-adjudication stages. The presence of the Draft Criminal Code which contains guidelines for punishment and criminal alternatives may increase the scope of probation officer’s report, especially as a pre-sentence report for adult suspects. In order to prepare for this, it is necessary to conduct research related to probation officer’s report arrangement in laws and regulations, find out the views of law enforcement officers towards probation officer’s report and the best concept that can be recommended to support the implementation of probation officer’s report. This thesis will use research methods with an empirical juridical approach. This study has three conclusions. First, since it was first put into practice, probation officer’s report have been regulated in various laws and regulations. The existence of probation officer’s report in the criminal justice system in Indonesia is inseparable from the Indonesian philosophy of punishment which is influenced by utilitarian principles. Second, the implementation of probation officer’s report received a positive response from other law enforcement officials. However, to anticipate the increasing scope of probation officer’s report when the Draft Criminal Code is enacted, it is necessary to have a clear legal basis and strengthen human resources for probation officer.Third, the reform of Indonesian criminal law through the drafting of the Criminal Code Bill has created a number of novelties, including formulating of the puspose of the punishment and also the presence concept of criminal individualization. For this reason, it is necessary to prepare a concept for the implementation of probation officer’s report which accommodates the changes that will occur when the Draft Criminal Code is enacted, such as the creation of probation officer’s report which begins when the perpetrators are still suspects and also the involvement of private institutions in carrying out correctional tasks as is applied in the practice of probation service in the Netherlands."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Purnomo Hadi
"Pembebasan bersyarat, pada hakekatnya merupakan satu tahapan dari proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan. Tahapan itu merupakan rangkaian dalam penegakan hukum pidana, yang berarti menanggulangi kejahatan dengan sarana hukum pidana, yang dioperasionalkan melalui suatu sistem yang di sebut sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sebagai suatu sistem, maka akan didukung dengan unsur perundang-undangan (unsur substansial) dan unsur kelembagaan (unsur struktural) meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, yang harus bekerja secara terpadu. Namun, secara praktis, kenyataan menunjukkan, yang terjadi justru masih terdapat ketidakterpaduan baik unsur substansial maupun struktural, khususnya yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat. Dalam unsur substansial terdapat kontradiksi antara hukum pidana material dengan hukum pidana formal; antara hukum pidana material dengan hukum pelaksanaan pidana; antara hukum pidana formal dengan hukum pelaksanaan pidana.
Aspek yang sangat penting yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat, bahwa secara faktual sebagian besar narapidana ternyata hanya menjalani dan dibina di dalam lembaga pemasyarakatan kurang dari setengah masa pidana dari putusan hakim. Keadaan ini disebabkan karena cara penghitungan persyaratan masa menjalani pidana duapertiga yang tidak sesuai dengan ide KUHP yang menjadi dasar pembebasan bersyarat. Unsur struktural, juga masih terdapat ketidakserasian yang berkaitan dengan proses pemberian pembebasan bersyarat, yaitu tidak dilibatkannya Hakim Wasmat dalam proses pemberian pembebasan bersyarat. Ketidakserasian itu berarti mengarah pada ketidakterpaduan sistem peradilan pidana, yang jika tidak diadakan perbaikan, justru dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kejahatan, atau faktor kriminogen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Criminal justice system are mostly concerned with dispensing justice accurately rather than the efficiency of the processes involved within the system. With such prioritization, delays become part of the process, which in turn can negatively affect the accused, accuser and society as a whole. While there is an implicit general awareness that delays have costs, there have been few attempts to actually estimate them."
300 APS 6:1 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Mas Bagus Trisardono Risandyo
"Tindakan upaya paksa yang dilakukan ketika tahap pemeriksaan perkara seringkali disertai dengan kesewenang-wenangan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Saat ini upaya hukum yang dapat diajukan oleh pihak yang dirugikan adalah melalui lembaga Praperadilan yang dinilai tidak berjalan secara optimal. RKUHAP mengatur ketentuan terkait lembaga yang berwenang mengawasi jalannya acara pemeriksaan yang diserahkan kepada Hakim Komisaris. Luasnya wewenang yang dimiliki Hakim Komisaris dirasa akan lebih menjamin perlindungan HAM pada tersangka/terdakwa. Namun penggantian lembaga Praperadilan dengan Hakim Komisaris tidak semata akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian ini bermaksud menelaah tiga hal; pertama, pengaturan Hakim Komisaris pada RKUHAP; kedua, peran Hakim Komisaris pada RKUHAP khususnya terkait HAM tersangka/terdakwa; dan ketiga, kendala-kendala yang dapat terjadi dari penerapan Hakim Komisaris. Jenis penelitian ini ialah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Jenis data yang digunakan merupakan data sekunder yang didukung dengan data primer berupa wawancara yang diolah serta dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; pertama, Pengaturan Hakim Komisaris sudah ada dan diatur sejak sebelum Indonesia Merdeka dan kemudian dimasukan kembali pada RKUHAP 1974 hingga 2012; kedua, peran lembaga Hakim Komisaris khususnya terkait perlidungan HAM tersangka/terdakwa dianggap lebih ideal ketimbang Praperadilan karena Hakim Komisaris bersifat aktif dan memiliki wewenang yang lebih luas dan lengkap dalam tahap pra-ajudikasi sehingga berbeda dengan Praperadilan yang hanya bersifat pasif dan represif; dan ketiga, penerapan Hakim Komisaris akan mengalami beberapa kendala berupa kendala normatif (aturan-aturan), kendala kepentingan antar lembaga sistem peradilan pidana, serta kendala geografis yang dimiliki Indonesia.

Coercive measures taken during the case examination stage are often accompanied by arbitrariness which results in human rights violations. Currently, legal remedies that can be submitted by the aggrieved party are through pretrial institutions which are considered not running optimally. RKUHAP stipulates provisions related to the institution authorized to oversee the proceedings of the examination which is submitted to the Judge Commissioner. It is felt that the breadth of authority possessed by the Commissioner Judge will ensure the protection of human rights for the suspect/defendant. However, the replacement of the Pretrial Institution with the Commissioner Judge will not only run as expected. This research intends to examine three things; first, the setting of the Commissioner Judge in the RKUHAP; second, the role of the Commissioner Judge in the RKUHAP, especially regarding the human rights of the suspect/defendant; and third, the obstacles that can occur from the application of the Commissioner Judge. This type of research is a normative juridical research with a conceptual approach and legislation. The type of data used is secondary data which is supported by primary data in the form of interviews which are processed and analyzed descriptively-qualitatively. The results showed that; first, the arrangement of the Judge Commissioner has existed and was regulated since before Indonesia's independence and was then re-introduced in the 1974 to 2012 RKUHAP; secondly, the role of the Judicial Commissioner, especially regarding the protection of the human rights of suspects/defendants, is considered more ideal than pretrial because the commissioner judge is active and has broader and complete authority in the pre-adjudication stage so that it is different from pretrial which is only passive and repressive; and third, the application of the Judge Commissioner will experience several obstacles in the form of normative constraints (rules), inter-institutional interests of the criminal justice system, as well as geographical constraints that Indonesia has."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>