Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182163 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Suhanadji
"Tesis membahas tentang migrasi orang Madura ke Surabaya yang dihadapkan kepada suatu tantangan untuk dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidup buatan di Surabaya. Agar bisa survive, migran harus dapat mengembangkan strategi adaptasi di Surabaya. Cara mengembangkan strategi adaptasi ini akan lebih banyak diperlihatkan dari perilaku ekonominya. Objek penelitian ini dalah warga masyarakat Kelurahan Sidotopo, Kecamatan Semampir, Kotamadya Surabaya. Penelitian ini mengacu pada teori Siagel dan Everet Lee tentang Migration theory, Donald Bogue tentang push-pull factor dan Bennet tentang Adaptive Orgamic.
Dari penelitian ini telah dikemukakan bahwa:
pertama, migrasi orang Madura ke Surabaya melalui expedisi militer telah terhadi sejak sebelum kerajaan Mojopahit berdiri, yaitu : bantuan pasukan Sria Wiraraja dari Madura kepada Raden Wijaya untuk mengusir tentara Tartar (Gina). Setelah jaman kemerdekaan, apalagi setelah pemerintah mencanangkan Repelita tahun 1969 dan kota Surabaya menjadi kota INDAMARDI (Industri, Dagang, Maritim dan Pendidikan) sejak tahun 1971 kepergian orang Madura semakin intensif dan menjadi pola kebiasaan yang terus mengalir melalui saluran (chanel) teman dekat, saudara atau kerabat sekampung. Faktor pendorongnya adalah (1) tersedianya kesempatan kerja yang lebih luas dan bervariasai, (2) tidak ada hambatan psikologi? sosio dan budaya, (3) cerita sukses yang dibawa orang-orang Madura ketika pulang ke kampung halaman.
Kedua, dalam mengembangkan strategi adaptasi, orang Madura senantiasa melakukan diversifikasi usaha dan memiliki jenis usaha atau profesi yang sesuai dengan tuntutan lingkungan serta sesuai pula potensi yang dimilki oleh orang Madura sendiri.
Tiga, dalam perilaku ekonomi, orang Madura selalu menunjukkan semangat dan gairah yang tinggi dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi di Surabaya terutama dalam kegiatan ekonomi sektor informal. Perilaku ekonomi (pola produski, pola distribusi dan pola konsumsi) adalah bagian dari strategi adaptasi mereka dalam upaya mengembangkan kehidupannya sacara wajar di kota Surabaya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuce Sariningsih
"Tesis ini meneliti tentang perilaku orang tua miskin dalam memenuhi kebutuhan gizi balitanya. Kriteria kemiskinan pada penelitian ini adalah kriteria yang mengacu pada BKKBN, dimana kondisi keluarga miskin diidentikan sebagai keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I.
Balita adalah anggota keluarga yang rentan apabila kebutuhan akan pangannya tidak terpenuni, khususnya kebutuhan akan makanan yang bergizi. Dipandang dari segi dietetik, anak-anak usia 1 - 5 tahun (pra sekolah) merupakan konsumen pasif. Mereka belum dapat mengambil dan memilih makanan sendiri, sukar diberi pengertian tentang makanan, serta kemampuan untuk menerima jenis-jenis makanan masih terbatas.
Beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah gizi adalah faktor ekonomi, sosial dan budaya. Hal yang menarik adalah bahwa terdapat balita miskin yang memiliki kondisi gizi baik, di samping sebagian besar balita miskin yang mengalami gizi kurang. Pertanyaan penelitian yang mendasar dalam penelitian ini adalah bagaimana perilaku orang tua miskin dalam memenuhi kebutuhan gizi balita ?
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data melalui wawancara tidak berstruktur secara mendalam dan observasi langsung dengan kapasitas peneliti sebagai outsider. Informasi dipilih dengan menggunakan teknik purposive.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan gizi balitanya. Asumsi yang dihasilkan dari penelitian ini adalah bahwa perilaku orang tua yang menentukan terpenuhi atau tidaknya kebutuhan gizi balita miskin adalah perilaku dalam dimensi ekonomi dan sosial. Bagian dari dimensi ekonomi yang terpenting dalam pemenuhan kebutuhan gizi balita adalah ketrampilan dari keluarga miskin dalam mengelola pendapatan yang rendah. Aspek yang penting dalam dimensi sosial adalah penerapan pengetahuan mengenai gizi balita secara praktis dalam kehidupan sehari - hari. Sedangkan dimensi budaya yang terdiri dari komponen perilaku tabu/pantangan akan makanan tertentu dan perilaku mengutamakan makanan bagi kepala keluarga tidak memberikan kontribusi terhadap perilaku orang tua dalam memenuhi kebutuhan gizi balita pada keluarga informan.
Keempat keluarga miskin sebagai informan dalam penelitian ini memiliki pendapatan yang rendah dan tidak menentu, perekonomian mereka sehari-hari ditandai dengan aktifitas perekonomian gali lubung tutup lubang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, terutama kebutuhan pangan, keadaan ini merupakan indikator dari kemiskinan yang mereka alami. Tetapi dua balita miskin lainnya dapat terpenuhi kebutuhan gizinya.
Pada dua keluarga miskin yang memiliki balita dengan gizi baik, ibu dari balita mempunyai kreatifitas untuk mengolah makanan, toleransi yang rendah terhadap pemenuhan keinginan jajan makanan, memiliki ketelatenan yang tinggi untuk memberi makan anak balitanya, dan tidak berhenti berupaya jika balita tidak mau makan. Temuan lainnya adalah ibu berusaha memanfaatkan keberadaan Posyandu semaksimal mungkin. Di lain pihak, perilaku ayah adalah mengurangi anggaran untuk membeli rokok. Pengeluaran untuk rokok dialokasikan untuk kepentingan membeli makanan yang bergizi bagi balita. Pengetahuan mengenai gizi dan pentingnya bagi tumbuh kembang balita diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan pada dua keluarga miskin lainnya yang memiliki balita dengan gizi kurang bahkan buruk, ibu dari balita memiliki kreatifitas yang rendah dalam mengolah makanan, pengeluaran untuk jajan makanan cukup tinggi serta kurang telaten merawat balita. Di samping itu, ibu dari balita belum memanfaatkan Posyandu dengan baik, Perilaku ayah pada keluarga miskin yang tidak menunjang kondisi gizi balitanya adalah perilaku merokok. Konsumsi rokok dalam sehari mencapai satu sampai dua bungkus. Meskipun mereka telah mengetahui tentang gizi dan pentingnya gizi bagi tumbuh kembang balita, namun pengetahuan tersebut belum diaplikasikan pada perilakunya untuk memenuhi kebutuhan gizi balita.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, dipandang perlu bagi semua pihak terutama pemeriutah dan lembaga-lembaga pemberdaya lainnya termasuk LSM untuk memperkuat komitmennya dalam membantu memecahkan masalah gizi yang dialami oleh balita miskin. Upaya yang dilakukan dapat berbentuk pemberdayaan dalam bidang ekonomi dan pemberian motivasi pada keluarga miskin agar mereka dapat memenuhi kebutuhan gizi balitanya."
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"This research was conducted at the RW Sub - District VIII Tegalsari, Distric Tegalsari Surabaya which is poor area in urban and inhabited by several tribes. The research objective was to determine patterns of social interaction in socio economic and cultural inter - Javabnese and Madurese are the majority tribe in the area...."
PATRA 10 (3-4) 2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa
"Penelitian ini membahas tentang kehidupan ekonomi rumah tangga orang Madura di Pontianak. Dengan mengambil studi kasus komunitas Madura di Kelurahan Mariana. Dalam penelitian ini ditunjukkan aktivitas ekonomi rumah tangga orang Madura yang mencerminkan. fungsi dari sistem ekonomi, yakni meliputi kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi, dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar (basic need).
Penelitian ini dibangun dalam perspektif antropologis, dengan menggunakan satuan penelitian keluarga atau rumah tangga. Sedangkan pendekatan yang digunakan, yakni metode kualitatif. Melalui pengamatan terlibat dan wawancara mendalam, sebagai teknik pengumpulan datanya. Penelitian ini menggali informasi mengenai keadaan obyektif kehidupan orang Madura dan aktivitas rumah tangga yang di dalamnya terdapat aktivitas ekonomi, hingga implikasinya terhadap aktivitas di luar rumah tangga itu sendiri.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa dalam penyelenggaraan aktivitas rumah tangga, ada keterkaitan antara rumah tangga yang satu dengan rumah tangga lainnya baik internal maupun eksternal. Lalu akibatnya terbentuk jaringan sosial yang bersifat cair, antara sesama etnis Madura dan dengan etnis lainnya_ Dengan sesama etnis Madura jaringan sosial ini terbentuk karena adanya unsur emosi (sentiment network) sebagai anggota kerabat yang sebagian besar tinggal dalam satu rumah, maupun karena teman sesama etnis Madura yang bernasib sama, disamping kepentingan ekonomi juga ada, dengan perhitungan ekonomi seperti meminta uang jaminan atau `uang tanggung? bagi yang hendak menjadi sopir oplet, tetap mereka lakukan. Sedangkan dengan etnis lainnya, jaringan ini terbentuk karena faktor kepentingan ekonomi (interest network).
Selain itu, jaringan sosial tersebut semakin kuat karena hubungan antara etnis Madura dengan etnis lainnya yang ada di Pontianak, terutama dengan etnis Melayu semakin memburuk dan telah menjadi konflik sosial yang berkepanjangan. Bahkan hal ini berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi mereka, yang mengakibatkan kehidupan rumah tangga mereka mengalami gangguan. Dengan adanya tekanan sosial maupun politik dan ekonomi maka orang Madura lebih memperkuat jaringan sosial diantara sesama orang Madura.
Implikasi dari terbentuknya jaringan sosial tersebut diantaranya telah terjadi penguasaan terhadap sumber daya. Mereka menguasai sektor ekonomi informal. Sebagian besar orang Madura menjadi pedagang kaki lima, seperi pedagang rokok, pedagang sayur-mayur, warung nasi, tukang cuci atau pembantu rumah tangga, tukang becak, sopir oplet, tukang sampah, tukang batu, tukang perahu dan pekerjaan kasar lainnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T689
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Setyaningsih
"Penelitian ini berangkat dari fenomena yang banyak dialami oleh mahasiswa. Banyak mahasiswa yang mengalami stres, selain karena tugas-tugas sebagai mahasiswa, kurangnya keuangan, konflik dengan teman, lingkungan yang tidak nyaman, juga karena "budaya” yang berbeda. Hal tersebut mengakibatkan perubahan-perubahan dalam diri mahasiswa. Setiap perubahan memerlukan usaha-usaha penyesuaian diri, Penyesuaian diri dapat berupa penyesuaian mental (Palliative Coping). Keefektifan coping lebih banyak dipengaruhi oleh persepsi seseorang. Sebab coping sendiri merupakan proses yang dipengaruhi oleh penilaian kognitif seseorang, Maksudnya, setelah seorang mempersepsikan lingkungan, ada 2 (dua) kemungkinan yang terjadi : pertama, rangsang yang dipersepsikan berada dalam batas-batas optimal sehingga timbullah kondisi "Homeostasis". Kemungkinan kedua, bila rangsang itu berada diatas batas optimal mengakibatkan seseorang menjadi stres.
Subyek yang terlibat dalam penelitian ini adalah 120 mahasiswa yang berlatar belakang etnis Madura Latar belakang etnis Madura sengaja diambil karena selain jumlah mereka yang paling besar dibandingkan etnis lain yang ada di Surabaya juga karakteristik etnis Madura yang unik Karakteristik etnis Madura yang unik yaitu ekspresi spontan dan terbuka. Karena karakteristik seperti inilah masyarakat Madura sering mendapat stigma “kasar”.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Berawal dari pengalaman langsung yang dialami subyek berkaitan dengan perasaan stres. Hal-hal yang membuat subyek stres diperoleh melalui angket Setelah dipa oleh hal-hal yang membuat subyek merasa stres kemudian dilakukan wawancara terbuka Tujuan wawancara adalah memperoleh gambaran mengenai cara-cara obyek mengatasi masalah atau stres. Setelah diperoleh informasi bagaimana subyek mengatasi masalah kemudian diidentifikasi berdasarkan teori dari Taylor.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: pertama, penerapan strategi perilaku coping yang dijelaskan oleh Taylor, juga berlaku pada mahasiswa dengan latar belakang etnis Madura. Gaya koping yang dilakukan oleh mahasiswa yang berlatar belakang etnis Madura tak terpisahkan dari 8 (delapan) strategi ; 3 (tiga) strategi yang terpusat pada masalah dalam bentuk, konformasi, mencari dukungan sosial, dan dalam merencanakan pemecahan masalah, sedangkau 5 (lima) stratégi lainnya yang berpusat pada emosi dalam bentuk kontrol diri, membuat jarak,penilaian kembali secara positif menerima tanggung jawab dan dalam bentuk lari atau menghindar. Kedua mahasiswa Madura yang masih tinggal di Madura maupun yang tinggal di Surabaya mempunyai kecenderungan menggunakan gaya koping yang berpusat pada emosi yaitu dengan cara lari atau menghindar.
Sehubungan dengan coping yang dilakukan individu untuk mengatasi atau menangani berbagai problema kehidupan, coping bertujuan untuk mengembalikan fungsi psikologis (menstabilkan atau menetralisir kembali keadaan individu) seperti biasa. Apapun gaya coping yang diambil atau digunakan, tugas coping adalah tetap untuk mengurangi atau mengatasi situasi dan kondisi lingkungan yang membahayakan individu, bahkan juga untuk penyesuain diri individu dengan realitas sosial yang ada sehingga individu dapat mempertahankan diri dalam kondisi apapun."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanti Budi Suryani
"ABSTRAK
Sejak 1989, konflik antar etnik menjadi akar kekerasan yang
menggantikan perang antara negara bangsa di dunia. Konflik etnik menjadi unik
karena penanganannya menjadi resisten terhadap upaya resolusi yang sifatnya
rasional karena seringkah memperebutkan tujuan-tujuan yang tidak terukur salah
satunya adalah etnosentrisme. Kelompok - kelompok etnik dapat bertikai yang
disebabkan oleh etnosentrisme, dapat dijelaskan melalui proses transmisi
kebudayaan setiap kelompok etnik dalam enkulturasi. Pada masa enkulturasi
individu mempelajari apa yang menjadi standar alamiah kelompoknya dalam
melakukan perbandingan antarkelompok. Sumner (1906) menyebutnya sebagai
etnosentrisme, untuk menggambarkan situasi penerimaan dari siapa yang secara
kultural seperti dirinya dan penolakan terhadap siapapun yang berbeda. Melalui
sosialisasi, individu menggunakan sentimen primordial untuk mendefinisikan
batas-batas kultural yang dimiliki oleh kelompoknya berbeda dari kelompok yang
lain. Etnosentrisme ini kemudian dijelaskan dengan menggunakan teori identitas
sosial dari Tajfel (1970)
Dari catatan rangkaian konflik antar etnis di Indonesia, konflik di KalBar
cukup memprihatinkan. Pertama, karena hingga bulan Januari 2000, terdapat
68.934 orang pengungsi etnis Madura. Dan sampai kini proses penanganan baik
korban konflik antarsuku yang mengungsi maupun rekonsiliasi antar etnis yang
bertikai belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kedua, dari sejarah
konflik di KalBar dapat diasumsikan bahwa konflik yang teijadi sudah sangat
mengakar dan laten sifatnya. Yang sulit untuk dipercaya kemudian adalah bahwa
dalam 11 kali konflik sebelumnya antara suku Madura dan suku Dayak, suku
Melayu berada di pihak yang netral.
Hubungan yang semula dinilai sangat mesra berdasarkan penelitian
Sudagung (1984) ternyata terdapat beberapa fakta yang menunjukkan akan adanya
perbedaan budaya yang mendasari konflik diantara orang Melayu dengan orang
Madura. Dimana identitas agama Islam yang semula mempersatukan mereka,
ternyata pada awal kasus Parit setia runtuh dan etnis Melayu merasa dianggap
kafir dan dihina. Perbedaan budaya lainnya yang tidak dapat diterima oleh suku
Melayu adalah: kebiasaan membawa senjata tajam di tempat-tempat umum dan
sangat mudah untuk menggunakannya dalam pemecahan masalah, pendirian
tempat ibadah yang secara eksklusif, serta pelaksanaan pernikahan yang
eksklusif (Alqadrie 1999). Dari penjelasan dan fakta-fakta yang dikemukakan di atas dapat diketahui
bahwa faktor yang membuat terjadinya konflik terbuka dapat disebabkan oleh
sejarah permusuhan sebelumnya, stereotip yang terbangun tentang suku Madura
dalam periode saat hidup berdampingan, serta dominasi suku Madura sebagai
kelompok pendatang terhadap suku Melayu yang menjadi penduduk asli.
Disamping itu dalam konflik antar etnis Melayu dan etnis Madura terdapat
perbedaan budaya yang mendasarinya. Hal ini menimbulkan perkembangan
superioritas kelompok dan inferioritas kelompok lain yang dikenal dengan istilah
etnosentrisme. Etnosentrime kedua suku tersebut sangat mungkin terjadi melalui
proses identifikasi sosial pada masa enkulturasi dan sosialisasi dari masingmasing
kelompok etnis. Maka menjadi hal yang menarik untuk diteliti sejauh
mana etnosentrisme etnis Melayu Sambas terhadap etnis Madura di Sambas
dengan menggunakan kerangka sudut pandang teori Identifikasi Sosial yang
diawali studi mengenai perilaku antar kelompok oleh Henri Tajfel (1970).
Pengambilan data secara kuantitatif dan kualitatif. Tehnik pengambilan
sampel yang digunakan adalah accideAtal sampling. Instrumen yang digunakan
adalah kuesioner. Hasil yang diperoleh dalam pengolahan data secara kuantitatif
berupa skor mean skala alat ukur etnosentrisme dan dimensi-dimensinya. Disain
kualitatif yang dipilih pada penelitian ini berupa studi kasus.
Hasil penelitian menunjukkan derajat etnosentrisme yang cukup tinggi dari
orang melayu Sambas terhadap orang Madura di KalBar. Gambaran
etnosentrisme orang Melayu Sambas memilliki kecenderungan untuk menilai
segala sesuatu berdasarkan acuan nilai yang dimiliki kelompok daripada
kecenderungan untuk menganggap kelompoknya lebih unggul dibandingkan
kelompok lain. Gambaran etnosentrisme orang Melayu Sambas di KalBar pada
dimensi orientasi pada kelompok diwujudkan dalam penekanan pada
pembentukan identitas sosial yang positif terhadap kelompok sendiri. Penanaman
nilai dalam mendidik anak mengenai cara-cara kekerasan yang digunakan dalam
interaksi dengan etnis Madura memiliki derajat yang paling kecil. Gambaran
etnosentrisme orang Melayu Sambas di KalBar pada dimensi superioritas
kelompok diwujudkan dalam bentuk penggunaan perbandingan sosial antar
kelompok sebagai dasar untuk mengevaluasi identitas sosial, dimana untuk
memperoleh identitas sosial yang positif, perbandingan difokuskan pada
pembentukan aspek positif terhadap kelompok sendiri. Sementara perwujudan
dimensi superioritas kelompok dalam bentuk merendahkan budaya dan kelompok
lain memiliki derajat yang kecil. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
variabel demografi dengan dimensi etnosentrisme yang dimiliki subyek penelitian.
Saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah jumlah subyek
yang terlibat dalam penelitian lanjutan pelu ditambah untuk memberikan
gambaran yang lebih akurat mengenai derajat etnosentrisme subyek. Selain itu
mengingat item-item pernyataan unfavorable yang sangat sedikit pada alat
penelitian ini yang digunakan untuk menghindari respon negatif subyek, maka
pada penelitian lanjutan perlu digunakan metode open-ended question yang
bertujuan menggali informasi tentang sikap, pandangan dan perasaan subyek
terhadap kelompok tertentu tanpa membuat subyek merasa dipojokkan."
2002
S3126
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Zaenal Hakim
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang pemberdayaan penyandang cacat melalui Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM), yang dilaksanakan dikelurahan Dago kecamatan Coblong kota Bandung. Sebagai wujud dari keterlibatan masyarakat dan pamerintah dalam meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat, program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) bagi penyandang cacat ini telah membina penyandang cacat melalui keberadaan kader RBM dalam melakukan pembinaan pembinaan dan rehabilitasi menyangkut rehabilitasi medis, pendidikan, keterampilan dan rehabilitasi sosial terhadap penyandang cacat dalam keluarga dan masyarakat. Untuk melihat hasil yang telah dicapai penyandang cacat melalui program RBM ini, maka peneliti mencoba menelusuri pelaksanaan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat bagi penyandang cacat tersebut.
Tipe penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu bermaksud untuk membuat penggambaran (deskriptif) tentang pemberdayaan penyandang cacat melalui Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM). Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif karena bertujuan untuk memahami dan menafsirkan proses pelaksanaan pemberdayaan penyandang cacat melalui RBM Sesuai dengan katakteristik dari penelitian kualitatif, digunakan pendekatan studi kasus melalui pengumpulan serangkaian informasi yang luas, secara lebih mendalam, dan lebih mendetail terhadap beberapa kasus pelaksanaan pemberdayaan penyandang cacat yang telah dipilih. Untuk mendapatkan informasi tersebut, dalam penelitian ini dilaksanakan wawancara mendalam, pengamatan dan studi dokw-nentasi yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif, ditafsirkan dan diimplementasikan terhadap data tersebut serta ditarik implikasi teoritiknya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyandang cacat memiliki latar beiakang kecacatan baik disebabkan sejak lahir maupun diluar kelahiran sebagai akibat dari kecelakaan, menderita penyakit, dan karena permasalahan kehidupan keluarga yang dihadapi. Penyandang cacat mengalami kondisi ketidakberdayaan baik secara internal maupun eksternal. Keluarga yang anggotanya mengalami kecacatan, mengalami situasi kesedihan dan duka cita yang mendalam, perasaan pasrah dan menerima kecacatan yang dihadapi tanpa ada upaya perubahan, kurang memberikan perhatian, serta kurangnya pemahaman dan pengetahuan terhadap kecacatan.
Dalam pelaksanaan pemberdayaan yang dilakukan, tingkat kemandirian yang dicapai penyandang cacat sesuai dengan 23 kriteria kemandirian belum dapat memberikan kemampuan dan keberdayaan penyandang cacat secara penuh, menyangkut kemampuannya dalam pilihan personal dan kesempatan hidup, pemenuhan kebutuhan, pengungkapan gagasan, ide, pemanfaatan sumber, aktifitas ekonorni, serta reproduksi, Kemampuan Kader RBM dalam mendeteksi kecacatan belum mencakup kemampuan dalam mendeteksi kecacatan meliputi aspek medis, pendidikan, keterampilan dan aspek sosial. Masyarakat pada akhirnya belum secara aktif terlibat secara penuh dalam program RBM. Kurang tercapainya tujuan program RBM diatas, didasari atas proses pelaksanaan pemberdayaan yang lebih didominasi oleh Kader RBM, sehingga peran penyandang cacat, keluarga dan masyarakat tidak nampak dalam proses ini.
Berbagai upaya perubahan dan perbaikan perlu dilakukan, khususpya dalam upaya meningkatkan kapasitas, pengetahuan dan kemampuan Kader RBM. Kader harus diberikan kemampuan dan keterampilan yang luas terutama menyangkut deteksi kecacatan secara menyeluruh, meningkatkan kemampuan dalam perannya sebagai educator, fasilitator, representator dan tehnikal, serta pencapaian kemandirian dan kemampuan penyandang cacat secara penuh. Proses pemberdayaan yang dilakukan harus diarahkan pada penampilan peran yang seimbang dan terpadu antara Kader RBM, penyandang cacat, keluarga dan masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>