Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96726 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
S7711
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siadari, Mutiara F.
"Akhir-akhir ini ikan dari perairan darat Indonesia sudah jarang ditemukan di pasaran, kalaupun ada harganya akan sangat mahal. Selain produksinya yang menunan terus, ukurannya pun jarang yang besar. Keadaan ini menjadi suatu tanda bahwa ikan air tawar yang hidup sekarang ini di perairan darat Indonesia tidak lagi memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.
Keadaan ini menyadarkan manusia untuk dapat memenuhi kembali kebutuhannya serta menyediakan kembali ketersediaan sumberdaya ikan dengan mengusa fakan budidayanya. Odum (1971) mengemukakan bahwa bila populasi alam dimanfaatkan sampai batasnya, dan berkurang karena pengambilan ikan yang melampaui batas, maka tentu saja perhatian akan beralih kepada pemeliharaan ikan, atau budidaya air, terutama karena budidaya semacam itu dapat merupakan cara yang efisien untuk memproduksi pangan protein.
Budidaya diharapkan dapat menghasilkan produksi yang selalu meningkat sehingga selain dapat menyediakan kebutuhan protein ikan sehari-hari juga dapat menjaga kelestarian dari keanekaragaman hayati ikan air tawar.
Khususnya di Ibun, salah satu kecamatan di Kabupaten Bandung, masyarakat telah sejak dulu ikut berperanserta dalam pembudidayaan ikan air tawar. Namun, peranserta yang selama ini ada hanya terkait dengan kegiatan pemanfaatan dan berorientasi pada ekonomi tanpa memperhatikan kelestarian ikan air tawar. Maka, diperlukan peranserta yang aktif dari masyarakat pembudidaya ikan air tawar dalam hal perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara lestari terhadap kualitas dan kuantitas ikan air tawar.
Berdasarkan uraian di etas, maka yang pertu ditetiti adalah budidaya ikan yang dapat meningkatkan produksi ikan air tawar dan pengaruh peranserta masyarakat dalam budidaya ikan air tawar terhadap kelestarian keanekaragaman hayati.
Penelitian ini menggunakan metode survei dan bersifat deskriptif analisis. Pemilihan responden sebagai sampel penelitian dilakukan dengan metode penarikan sampel secara acak sederhana. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan SPSS (Statistical Product and Service Solutions) yang mencakup perhitungan frekuensi, ANDVA, korelasi, dan chi-square.
Hasil penelitan yang dapat dipaparkan adalah:
Produksi ikan tertinggi dihasilkan oleh masyarakat yang memiliki sistem budidaya kolam air tenang, setelah itu masyarakat yang memiliki sistem budidaya minapadi, potikultur/tumpangsari, kolam air deras, keramba, dan yang paling sedikit produksinya adalah masyarakat dengan sistem budidaya jaring apung. Jenis ikan yang paling banyak dibudidayakan adalah jenis ikan mas, lale Jumbo, nila, dan ikan nitem.
Berdasarkan jawaban dari 120 responden yang diberi kuesioner, sekitar 0,83% memiliki tingkat persepsi sangat baik, 60,83% baik, dan 38,34% memiliki tingkat persepsi cukup. Tingkat peranserta masyarakat masih sangat rendah dengan nilai 85,83%. Tingkat peranserta masyarakat kategori rendah sebanyak 5,87%, cukup 3,33%, dan kategori tinggi hanya sebanyak 4,17%.
Setelah melakukan penelitian dan pembahasan terhadap data yang didapatkan, maka ditemukan kesimpulan sebagai berikut:
1. Budidaya ikan yang diiakukan masyarakat Desa Lampegan bervariasi dalam sistem budidaya dan jenis ikan. Budidaya yang dilaksanakan terdiri dari pembenihan dan pembesaran ikan. Kesemuanya ini menghasilkan produksi ikan yang meningkat dari waktu ke waktu, bagi pemenuhan konsumsi gizi dan peningkatan pendapatan keluarga.
2. Persepsi masyarakat terhadap budidaya ikan sudah cukup tinggi, namun peranserta masyarakat masih sangat rendah. Oleh karena itu belum terlihat ada pengaruh peranserta masyarakat terhadap budidaya yang mereka lakukan selama ini.

People Participation in Sustainable Freshwater Fish Cultivation (Study Case in Lampegan Village, Ibun Subdistrict, Bandung District, West Java)Recently, fish in the Indonesia's fresh water is rarely found in the market. Because of that, it is very expensive to buy. The production keeps going down and about the size never have a big one. This situation became a sign that freshwater fish in Indonesia's water never have a chance to grow and develop.
This situation realized people to get back to fulfill human needs and to provide fish resources by develop the cultivation. In Odum (1971) explained that if natural population (in this case is fish) is used and reach the limits, people will take many ways to get back to maintain fish or fish cultivation. It is an efficient way to produce protein food.
The cultivation is expected success in production, daily fish protein needs, and conservation. In Ibun, one of the sub Districts of Bandung District, people always participate in freshwater fish cultivation. People participation only connect with economy activity without consider the freshwater fish conservation. Because of that, people in this village should participate actively in freshwater fish by conservation, protection, and sustainable cultivate to get good quality and large quantity of freshwater fish.
The problems of this research are as follows: What kinds of fish cultivation can increase the production of freshwater fish and how the impact of people participation in fish cultivation that can conserve the biodiversity?
The research is using a survey method and type of this research is descriptive analysis. Respondent election as a research sample is using a simple random sample method. Data analysis is using a SPSS (Statistical Product and Service Solutions) which includes frequency, ANOVA, correlation, and chi-square calculation.
The results of this research are as follows:
The highest fish production is produced by people who have a quiet pond cultivation system, after that people who has minapadi cultivation system, polyculture / intercropping, fast pond, keramba, and the lower production is produced by people who has a float nit cultivation system. The fish type, which is the most, cultivated, is gold fish, fete freshwater catfish, nila, and nilem.
The questioner is given to 120 respondents. About 0,83% from 120 respondents have a very good perception level, 60,83% has a good perception level, and 38,34% has an enough perception level. The lower people participation level is about 85,83%, low people participation level is about 6,67%, enough people participation level is about 3,33% and the highest participation level is about 4,17%.
The conclusions of this research are as follows:
1. The fish cultivation in Lampegan village is several of cultivation system and fish type. The implementation of cultivation consists of seeding and growing fish. This implementation can produce fish that increases progress. It can increase family income and nutrient needs.
2. The people perception in fish cultivation is high enough, but the people participation is very low. So there is no impact of people participation to fish cultivation in this study area.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T11061
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kustiawan Tri Pursetyo
"ABSTRACT
Neon terra (Paracheimdan innesi) sebagai salah satu jenis ikan komersial kelompok tetra. Prospek pasar terutama untuk nasional, lumayan bogus. Salah satu mata pencaharian Kabupaten Kras adalah usaha bertani ikan dimana kondisi terkini dimana prospek usaha ikan hias semakin meningkat, keterampilan teknik pemuliaan ikan hias Neon tetra merupakan keuntungan bagi usaha budidaya ikan. Metode yang digunakan menggunakan penyuluhan diskusi, pelatihan, monitoring, dan konsultasi. Hasil target program layanan masyarakat ini adalah Melengkapi usaha budidaya ikan di Kabupaten Kras dengan pengetahuan teknik dan manajemen pemeliharaan bibit ikan air tawar neon tetra dan meningkatkan pendapatan mereka dengan membuat ikan air tawar neon tetra sebagai komoditas diversifikasi ikan hias. Kemampuan memijahkan ikan terutama ikan hias sangat diminati oleh para petani di Kecamatan Kras, Kediri. Hal itu karena para petani sangat menginginkan untuk bisa membudidayakan ikan hias neon tetra tersebut. Para petani dapat mencoba memulai memijahkan sendiri ikan hias Neon Tetra dengan sampel ikan yang diberikan serta dapat berkonsultasi mengenai budidaya ikan hias Neon Tetra sewaktu-waktu di Laboiatorium Perikanan FPK Unfair."
Surabaya: Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Masyarakat (LP4M) Universitas Airlangga, 2017
360 JLM 1: 1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Kapitono DJ.
Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1986
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutardjo
"Budidaya ikan dalam keramba jaring apung (WA), marupakan salah satu kegiatan yang berkembang pesat di waduk Jatiluhur. Dasar pertimbangan pengembangan BJA ialah untuk pemanfaatan sumber air waduk dan untuk memberikan sumber pendapatan altematif bagi masyarakat di sekitamya. Dampak positif dari pengembangan BJA antara lain meningkatnya lapangan kerja bagi masyarakat di sekitarnya dan meningkatnya produksi ikan untuk konsumsi dalam negeri. Jumlah Keramba Jaring Apung (KJA) yang beroperasi di waduk Jatiluhur terus mengalami peningkatan dari 15 unit KJA pada tahun 1988 menjadi 2.100 unit KJA pada tahun 1997 dengan total produksi ikan yang di panen hingga tahun 1997 sebanyak 1.545.32 ton.
Namun demikian perkembangan WA tersebut telah menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas perairan, dan menyebabkan kegagalan panen akibat kematian ikan budidaya secara masal pada tahun 1996 dan 1997.
Dalam rangka pengendalian dampak negatif BJA tersebut, telah dilakukan berbagai upaya antara lain : penataan ruang waduk dan pengembangan KJA sistem ganda. Kematian ikan akibat perubahan kualitas air biasanya terjadi pada awal musim penghujan saat cuaca mendung, dimana intensitas cahaya matahari sangat rendah, sehingga menyebabkan rendahnya laju fotosintesis dan rendahnya produksi oksigen (02) dalam air. Berdasarkan data time series kualitas air di Ciganea terdapat peningkatan kandungan nutrien yang dihasilkan dari dekomposisi limbah organik yang berasal dari BJA. Peningkatan nutrien tersebut mengakibatkan meningkatnya kesuburan perairan dan densitas fitoplankton, sehingga akan meningkatkan kebutuhan 02 yang diperlukan fitoplankton pada malam hari. Pada kondisi populasi fitoplankton yang padat dan padatnya ikan dalam KJA, menyebabkan terjadinya defisit 02 yang lebih besar, akibatnya jumlah ikan dalam KJA yang mengalami kematian juga meningkat.
Jadi masalah utama yang menyebabkan menurunnya kualitas air di lingkungan budidaya adalah limbah organik dari kegiatan BJA, sehingga permasalahan yang di kaji pada studi ini ialah terjadinya perubahan kualitas air waduk akibat kegiatan BJA, dan proses terjadinya kematian ikan budidaya secara masal dalam KJA.
Tujuan dari studi ini ialah untuk mengetahui : 1) pengaruh kegiatan BJA terhadap perubahan kualitas air di lingkungan budidaya, waduk Jatiluhur, 2) perubahan kualitas air dari waktu ke waktu melalui indikator parameter kunci kualitas air yang terkait dengan kegiatan BJA, dan 3) perbedaan kualitas air antara daerah WA (Ciganea) dan non BJA (Ubrug) di waduk Jatiluhur.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam studi ini dapat disusun hipotesis sebagai berikut :
Pertama : Tidak ada perbedaan kualitas air antara daerah BJA dan daerah non BJA.
Kedua : Ada kecenderungan penurunan kualitas air dari waktu ke waktu di Ciganea, mulai sebelum ada kegiatan BJA sampai timbul masalah kematian ikan.
Studi ini dilaksanakan di perairan waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, dari tanggal 12 Pebruari - 5 Maret 1999. Lokasi penelitian berada di perairan Ciganea yang merupakan areal BJA dan perairan Ubrug yang merupakan areal non budidaya. Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini ialah metode surval dengan pendekatan observasi lapang di daerah terpapar dan daerah non terpapar pada kedalaman yang berbeda. Luas perairan Ciganea sekitar 40 ha dengan kedalaman ± (34 - 50) m, keadaan perairan relatif tenang karena jauh dari masukari air sungai, sedangkan perairan Ubrug luasnya sekitar 50 ha dengan kedalaman } (16 - 30) m terletak di sebelah selatan Ciganea, keadaan perairan relatif dangkal dan berarus sedang karena merupakan muara sungai Cilalawi dan Cisomang. Pengambilan sampel air dilakukan di perairan Ciganea pada 5 titik pengamatan (stasiun) dengan jarak antar titik 750 m dan di perairan Ubrug pada 3 titik pengamatan yang dianggap mewakili dengan jarak antar titik 1500 m. Pengambilan dilaksanakan sekali seminggu, selama satu bulan dan dilakukan secara vertikal untuk 3 lapisan kedalaman yang berbeda (permukaan, tengah dan dasar perairan) dengan menggunakan Bottle Water Sampler volume 3,5 L. Pengambilan sampel dilakukan dari pagi hingga siang hari, dengan
1) Perlu pengendalian jumlah KJA yang terdapat di perairan Ciganea, waduk Jatiluhur, karena jumlah KJA yang ada telah melampaui dada dukung lingkungan atau jumlah optimum yang di perbolehkan yaitu 400 unit KJAlwilayah. Pengendalian tersebut harus dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab yaitu Dinas Perikanan Propinsi Dati I Jawa Barat, dengan menerapkan sangsi hukum antara lain dengan tidak menerbitkan Surat ljin Usaha Perikanan (SIUP) untuk BJA dan mengurangi jumlah KJA yang ada dengan memindahkan ke lokasi lain diluar Ciganea sesuai dengan Rencana Tata Ruang Waduk yang ada seperti di daerah Cipariuk, Pasir Jangkung, Batu Kerong, Tegal Malaka dan Cilingga. Hal tersebut dapat dilakukan melalui sosialisasi kepada masyarakatlpetani BJA, dengan pendekatan penyuluhan, pelatihan dan peningkatan kesadaran, agar mereka ikut berperanserta aktif dalam menjaga pelestarian perairan waduk.
2) Perlu disosialisasikan tentang cara pemberian pakan yang sesuai dengan ketentuan, yaitu sebanyak 3 % dari berat badan ikan yang dibudidayakan. Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi jumlah sisa pakan yang masuk ke perairan, sehingga dapat mencegah terjadinya pencemaran perairan. Berdasarkan hasil penelitian jumlah sisa pakan yang terbuang ke perairan waduk adalah sekitar 5 kgMari, sehingga agar supaya tidak menimbulkan pencemaran perairan, maka jumlah sisa pakan yang terbuang harus lebih kecil dari 5 kg/hari (< 5 kg/hari) atau sekitar (1-1,5) kg/hari, sehingga hal itulah yang menjadi pedoman yang harus dipatuhi oleh semua prang yang melakukan kegiatan WA di waduk Jatiluhur. Agar hal tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka harus disosialisasikan kepada masyarakat khususnya kelompok usaha BJA/petani BJA melalui berbagai pendidikan/pelatihan dan percontohan agar ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dapat dipatuhi dan dilaksanakan.
3) Perlu peningkatan pemantauan, pengendalian dan pengawasan, terhadap kegiatan BJA di Ciganea, waduk Jatiluhur, balk dari aspek kualitas air maupun jumlah KJA yang beroperasi. Untuk pemantauan kualitas air tersebut harus dilakukan secara rutin, diikuti dengan pengendalian jumlah KJA yang beroperasi yang dilakukan melalui koordinasi dengan instansi terkait dan melibatkan lembaga masyarakat yang ada di daerah tersebut, dengan Dinas Perikanan sebagai koordinator dan penanggung jawabnya. Selanjutnya dalam pelaksanaan pengawasan perlu peningkatan penegakan hukum (law enforcement) baik kepada pengusaha BJAlpetani BJA maupun kepada aparat pemerintah. Agar kegiatan tersebut dapat berjalan dengan balk, perlu diterapkan sanksi hukum yang tegas bagi setiap pelanggar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (UU. No. 911985 tentang Perikanan, 2311997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan apabila perlu pencabutan S1UPBJA agar mereka patuh. Disamping hal tersebut perlu dibarengi dengan upaya pemberdayaan kepada kelompok usaha BJAI petani BJA melalui sosialisasi, penyuluhan, pendidikan/pelatihan dan penyadaran hukum, sehingga diharapkan mereka dapat ikut berperan serta aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan perairan dan mengawasi tindak pelanggaran yang terjadi.
4) Perlu pengembangan teknik BJA yang ramah lingkungan yaitu Keramba Jaring Apung Ganda (Berlapis) untuk mengurangi Iimbah pakan yang masuk ke perairan waduk. Berdasarkan hasil penelitian teknik budidaya ini dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan mencegah pencemaran perairan. Namun demikian untuk dapat dikembangkan dimasyarakat, hal tersebut masih perlu dikaji lebih mendalam terutama dari aspek ekonomi agar dapat terjangkau oleh masyarakatlpetani BJA dan aspek kemudahannya agar dapat dicontohldipraktekkan, dan sebelum dikembangkan secara luas hangs disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat melalui kelompok usaha BJA/petani BJA.

The Effects of Fish Culture on the Water Quality of Reservoir (A Case Study on Fish Cage Culture in Ciganea, Jatiluhur Reservoir, Purwakarta, West Java)Fish cage culture was carried out intensively in Jatiluhur reservoir. This activity was developed to utilize the available water resources in the reservoir and to provide alternative income source for the community around the reservoir. Beside that, positive impact the development of cages culture such us the increasing fish production for domestic consumtion and job opportunity for local community. Based on the statistical data the number of cage culture used for fish culture increased steadily for 15 unit in 1988 to 2.100 unit in 1997. Total production of fish harvested in 1997 is 1.545,32 tones. However, this considerable development of the cage culture has resulted in an adverse impact of water quality which in few resulted in the failure of production. It is reported that in 1977 about 50 % of the cages could not be hatvested as the fishes were died. The collaps of production resulting from the low water quality, usually happens during early raining season where the solar radiation is quite low. This results in the low rate of photosynthesis and consequently low oxygen production. In order to control the adverse impact of the cage culture the spatial planning was set up by reservoir management authority in collaboration with the provincial government and interrelated institution.
Based on the time series data of water quality in Ciganea, there is increase in the concentration nutrient resulted of the decomposition of the great concentration production waste of cage culture. Increases in concentration nutrient resulted in eutrophication and increasing phytoplankton density, which In few increase consentration of oxygen required by phytoplankton during night time. Increasing phytoplankton and fish densities resulted in hightly defisit oxygen, consequently the number of fish cultivated in the cage that were dead also increase.
It is clear that the main problem causing dateriotation of water quality is production waste that consisted of feed waste and metabolite. Therefore, this study is focused on the changes of the water quality in aquaculture areas of reservoir resuldted by cage culture activity. The objectives of the study are, {1) to find out the effects of cage culture activity on water quality change in waters environment; (2) to evaluate of the environmental impact of the cage culture on the water quality in Ciganea areas Jatiluhur reservoir.
The objectives of the study are, (1) to find out the effects of cage culture activity on water quality change in waters environment; (2) to evaluate of the environmental impact of the cage culture on the water quality in Ciganea waters, Jatiluhur reservoir.
The hypothesis in this study to be tested are :
First There are not the differences of water quality in both the cage culture compared with in non cage culture areas.
Second : There are the tendences of water quality decrease on periodically in Ciganea areas, before cage culture development until case of death fishes.
The area of sudy are Ciganea and Ubrug waters of Jatiluhur reservoir, Purwakarta, West Java. The study was conducted during February 12 to March 5 1999. The Ciganea waters was used for cage culture, while Ubrug waters was free of cage culture activity. The methode of study used are survey methode, survey was conducted to collect water samples and to observe aquaculture activities reservoir and environment condition.
The Area of Ciganea waters was about 40 ha, it's depth varied between (35-50) m. The waters was relatively stagnant quaite a far from the inlet of reservoir. Area of Ubrug waters was about 50 ha, it's depth varied between (16-30) m, it is south word of Ciganea. The waters condition relatively shalow, moderate curent and as the estuary from Cilalawi and Cisomang rivers. The water samples were collected weekly from 5 stations in Ciganea and 3 stations in Ubrug, using 3.5 liters Kemmerer Bottle sampler in vertical depth of surface, centre and at the bottom water. Distance between station in Ciganea and ubrug are about 750 m and 1500 m representatively. The depth of water sampled were the (0-0,5) m layer, the (1,4-1,8) m layer and the (34-49) m layer. Sampling was carried out during the day time. The physico-chemical characteristic of the water quality measured ware temperature, transparancy, pH, DO, BOD, alkalinity, amonia, amonium, nitrite, nitrate, posphate, and suspended of organic matter. Water samples ware analysed in the chemical laboratory belong to the Research Institute of Fresh Water Fisheries, compared to the standard quality of C catagory, stipulated through Governor of West Java Decree No. 38/1991. The hypothesis were tested by using statistical analysis.
Results of the study show that :
1. The water quality in Ciganea waters to degradation as long as cage cultures activity development. It is indicated by condition of water quality parameters such us NO2, NO3, NF14, NH3 and P04, have been over of threshold value for water quality standard (C criteria), it was caused by input of feeding to waters and number of feeding tend to increases as long as cage cultures activities on going.
The water quality in Ubrug is better than Ciganea waters, it is indicated by condition of water quality parameters such us NO2, NO3, NH4, NH3 and P04, was still good and still under threshold value of water quality standard (C criteria), It is because no pollutant from feeding to waters.
The result of this study can be used. to sugestion of waters environment management in Jatiluhur reservoir, as follow :
1) It is nacessary for local government (Fisheries of Services Office) to control of number cage cultures was operated in Jatiluhur reservoirs, it is because have been carying capacity over. Base on the research, the number of cage culture recommended to operation is 400 unit/areas. Ways to control of cage culture through letter of effort, limitation of cage culture operating in waters through moving of cage culture to other areas and implemented of monitoring and surveillance.
2) It is nacessary for local government (Fisheries of Services Office) to control of number feeding to water a number of 3 °Io from weight of fish biomass to culture. Its means to prevent of polluted waters from feeding. Base on the research the number of feeding waste to waters is 5 kg/day, so recommended that less than 5 kg/day or (1-1,5) kglday of feeding waste to guiden of water quality. To impernented this program mus be following to law enforcement, extention and public awerenees to local community, especially to group of fish farmers in Jatiluhur reservoir.
3) it is necessary to enhancment of monitoring, controling and surveillance for net cage culture activity in Jatiluhur reservoir, it is involving the water quality and number of net cage culture aspect and also strengthening of law enforcement through doubt of law to farmers and official government. In order to implematation this activity is needed coordination with inter instituation and non government organisation. Biside that it is needed empowerment to local community so they can do self management and surveillance of violance to cage culture activity in Jatiluhur reservoir.
4) One of alternative to decrease of organic waste to waters is development of technical culture of environmental friendly. This technical was called double net cage cultures. Base on the research this technical can increase of use feeding efficiency and prevention of pollutted waters. Howerver it is necessary to study in detail especially including economic and assesibility aspect before introduced to community.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lukman
"Pembangunan desa adalah pembangunan yang dilaksanakan diwilayah pemorintahan terendah, yaitu desa atau kelurahan dengan ciri utama keikutsertaan masyarakatnya yang dilaksanakan secera langsung dalam bentuk swadaya gotong-royong (PEPRES 21, 1984). Adapun sasarannya 'menjadikan desa-desa yang maju den berkembang, sehingga masyarakat' desa memiliki taraf bidup dan tingkat kesejahteraan yang akan terus meningkat. Dikemukakan oleh Bintarto (1983), bahwa maju mundurnya desa dapat tergantung pada beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah potensi nonfisik desa. Potensi nonfisik desa tentu tidak sama untuk tiap desa, karena liagkungan geografi dan keadaan penduduknya berbeda. Kenyataan ini akan mengakibatkan adanya perbedaan bagi desa yang bersangkutan, khususnya dalam hal kondisi desanya yakni: kaya, sedang dan miskin. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui penyebaran desa-desa kaya di kabupaten Subang, serta hubungan potensi nonfisik desa terhadap status desa (desa kaya). Sesuai dengan tujuan tersebut make pembahasan tulisan ini terbatas pada masalah: Dimana saja desa kayà di kabupaten Subang, serta, faktor apakah yang paling berpengaruh terhadap status desa (desa kaya). Atas dasar masalah tersebut pada hipotesa dikemukakan: Faktor yang paling berpengaruh terbadap status desa adalah pamong desa. Untuk menjawab permasalahan diatas didkn analisa sebagai berikut: untuk mendapatkan status desa (kaya, sedang dan 'miskin) dipergunakan indikator, pendapatan per kapita, persentase rumah permanen, persentase jalan yang baik, persentase penduduk tamat sekolah dasar. Sedangkan untuk potensi non-fisik desa (baik, sedang dan buruk) diperoleh dari swadaya gotong-royong, kelembagaan desa, adat Istiadat, katagori lkmd den pamong desa. Metode pendekatan yang digunakan adalah analisa model matrik penilaian, korelasi pets dan analisa korelasi Karl Pearson. Setelah dihitung, diklasifikasi dan dianalisa diperoleh: desa yang termasuk dalam status desa kaya adalah: Sukamelang Pagaden, asuk dalain status desa keys adalab: Sukamelang
Pagaden, Lengkong, Marluk, Rancasari, Gempol, Blanka,
Ciberes, Parapatan, Sagalaherang, Kawungluwuk dan
Tambakan. Hubungan antare potensi desa terhadap
status desa erat, dengan besar r/kp. = 0 1 89. Pamong
desa merupakan faktor yang paling bepengaruh terhadap
status desa. Dengan demikian atas dasar kesimpulan
tersebut make hipotesa menunjukan kecenderungannya atau terbukti."
Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1988
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
S47931
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Jayani
"ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji tentang implementasi kebijakan Sistem Resi Gudang (SRG) sebagai upaya peningkatan posisi tawar petani kecil di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Kajian dilakukan dengan menggunakan model implementasi kebijakan George Edwards III, bahwa implementasi dipengaruhi oleh empat faktor yaitu komunikasi, sumberdaya, kecenderungan pelaksana kebijakan dan struktur organisasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap delapan informan dan observasi lapangan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa para pemegang kepentingan sudah melaksanakan ketentuan yang tercakup dalam empat faktor tersebut. Meski demikian, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian lebih karena pertanian adalah bidang pekerjaan utama di Kabupaten Cianjur. Dengan berpartisipasi dalam sistem SRG, petani dapat melakukan tunda jual dan berpeluang untuk mendapatkan harga yang lebih baik serta meningkatkan kualitas produksinya, yang kemudian berdampak pada peningkatan penghasilan dan kesejahteraan sosialnya.


ABSTRACT


This study examines implementation of the Warehouse Receipt System (SRG) policy in improving the bargaining position of small farmers in Cianjur Regency, West Java. The study adopts George Edwards III's policy implementation model which state that policy implementation is influenced by four factors, namely communication, resources, the propensity of implementing policies and organizational structure. This study uses a qualitative approach with a descriptive research type. Data collection was conducted through in-depth interview to eight respondents and field observation. The study shows that stakeholders have implemented the provisions covered by these four factors. However, there are some aspects that need more attention because agriculture is the main livehood in Cianjur Regency. By participating in the SRG system, farmers can postpone selling and have the opportunity to get better prices as well as to improve the quality of their commodities, which in turn has an impact on increasing their income as well as social welfare.

"
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadhansyah Hermawan
"Plastik merupakan bahan stabilitas tinggi hasil polimerisasi monomer dengan tingkat penggunaan yang tinggi. Sampah plastik berbahaya bagi lingkungan karena partikel penyusunnya memiliki ketahanan dan kestabilan tinggi sehingga proses degradasinya berlangsung lama. Di lingkungan perairan, plastik akan mengalami degradasi atau penguraian menjadi partikel kecil yang disebut mikroplastik (<5 mm). Partikel mikroplastik berpotensi termakan oleh berbagai biota perairan sehingga membahayakan siklus rantai makanan melalui proses biomagnifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik mikroplastik (bentuk, ukuran, dan jenis polimer) pada air, sedimen dan ikan belanak Mugil cephalus (Linnaeus, 1758) pada organ dan jaringan (daging, insang, saluran pencernaan) di Muara Sungai Blanakan, Subang, Jawa Barat. Metode penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel dengan  air  diambil sebanyak 50 L lalu disaring menggunakan plankton net hingga tertampung volume air 1000 mL, sampel sedimen diambil menggunakan Vanveen grab hingga tertampung pada jar 500 mL dan sampel ikan belanak diambil 10 ekor menggunakan bubu. Ekstraksi sampel sedimen dilakukan dengan pemberian larutan NaCl jenuh dengan perbandingan 1 (sedimen): 2 (NaCl jenuh), kemudian diberi larutan H2O2 30% + FeSO4 0,05 M  dengan perbandingan 1:1 untuk sampel air dan sedimen. Ekstraksi sampel ikan dilakukan dengan mengambil jaringan dan organ yang digunakan, ditimbang dan dan diberi larutan KOH 10% sebanyak 50 mL. Sampel air, sedimen dan ikan disaring menggunakan kertas saring Whatman dan diidentifikasi mikroplastik menggunakan mikroskop olympus CX22LED. Analisis polimer mikroplastik dilakukan dengan metode Raman Spectroscopy. Uji statistik seperti uji kruskal-walis, one way anova, dan uji regresi spearman dan pearson digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata total kelimpahan mikroplastik pada air 710 ± 183,34  partikel meter-3, sedimen 879,63 ± 205,13 partikel Kg-1 dan ikan belanak 210,8 ± 108,80 partikel individu-1. Nilai kelimpahan mikroplastik ikan belanak jika diurutkan dari yang tertinggi hingga terkecil adalah daging, saluran pencernaan, dan insang. Secara keseluruhan, bentuk dan ukuran mikroplastik yang paling banyak ditemukan adalah fiber dan <300 µm. Polimer mikroplastik yang dominan adalah PET, PP, dan PVC. Berdasarkan hasil uji beda nyata kelimpahan mikroplastik antar organ dan jaringan ikan belanak menunjukan tidak memiliki perbedaannya yang signifikan. Hasil uji korelasi Spearman menunjukan adanya korelasi antara kelimpahan mikroplastik di air dan sedimen Muara Sungai Blanakan terhadap kelimpahan mikroplastik di ikan belanak.

Plastik is a high-stability material resulting from the polymerization of monomers, with a high level of usage. In aquatic environments, plastic undergoes photo-oxidative degradation by UV radiation from the sun and chemical processes, leading to the breakdown of plastic waste into small particles known as microplastics (<5 mm). Microplastic particles have the potential to be ingested by various aquatic organisms, posing a risk to the food chain through biomagnification. This study aims to analyze the characteristics of microplastics in water, sediment, and the flathead grey mullet (Mugil cephalus) in different organs and tissues (muscle, gills, digestive tract) in the Blanakan River Estuary, Subang, West Java, based on their shape, size, and polymer types. Water samples were collected in a volume of 50 L, filtered using a plankton net to obtain a final volume of 1000 mL. Sediment samples were collected using a Vanveen grab and stored in 500 mL jars, while flathead grey mullet samples were collected using bubu (10 individuals). Sediment sample extraction was performed using a saturated NaCl solution with a ratio of 1 (sediment) to 2 (saturated NaCl solution), followed by the addition of a 30% H2O2 + 0.05 M FeSO4 solution in a 1:1 ratio for water and sediment samples. Fish sample extraction involved weighing and placing the tissues and organs in a glass beaker, followed by the addition of a 10% KOH solution in a volume of 50 mL. The water, sediment, and fish samples were then filtered using Whatman filter paper with the assistance of a vacuum pump, and placed in Petri dishes for microplastic identification using an Olympus CX22LED microscope. Polymer analysis of microplastics was performed using Raman Spectroscopy. Kruskal-Wallis and one-way ANOVA tests were used to determine significant differences in the abundance and composition of microplastics (size and shape) in water, sediment, flathead grey mullet, and their respective organs. Spearman and Pearson correlation tests were used to investigate the influence of water and sediment, as well as morphometric values, on microplastic accumulation in flathead grey mullet. The research findings showed an average total abundance of microplastics in water to be 710 ± 183,34 particles meter-3, in sediment to be 879,63 ± 205,13 particles kilogram-1, and in flathead grey mullet to be 210,8 ± 108,80 particles individual-1. When ranked in descending order, the abundance of microplastics in the three parts of the flathead grey mullet were as follows: flesh, digestive tract, and gills. Overall, the most commonly found forms and sizes of microplastics were microplastic fibers and those below 300 µm. The polymer analysis revealed that the microplastics found in the Blanakan River Estuary were dominated by PET (40%),  PP (40%), and PVC (20%). Based on the significant difference test for microplastic abundance among different parts of the flathead grey mullet, no significant differences were found. The Spearman correlation test indicated a correlation between the abundance of microplastics in water and sediment in the Blanakan River Estuary and the abundance of microplastics in flathead grey mullet."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indy Femnisya
"Muara Sungai Blanakan yang berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat merupakan wilayah pesisir yang tinggi aktivitas perikanan tangkap dan tambak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelimpahan mikroplastik di air, sedimen, dan ikan kuro (Eleutheronema tetradactylum) serta mengkaji komposisinya. Sampel air dan sedimen diambil dari 4 titik di sekitar muara bersama 12 individu ikan kuro. Sampel air dan sedimen diekstraksi menggunakan reagen Fenton. Sementara insang, saluran pencernaan dan daging yang dibedah pada tiap individu didestruksi dengan KOH 10%. Seluruh larutan sampel yang telah di destruksi disaring menggunakan vacuum pump dengan kertas saring Whatman cellulose nitrate membrane ukuran pori 0,45 μm. Identifikasi mikroplastik dilakukan dengan pengamatan melalui mikroskop untuk perhitungan kelimpahan serta komposisi mikroplastik yang dikategorikan berdasarkan bentuk, ukuran, dan warna. Sementara jenis polimer dianalisis menggunakan Raman microscopes spectrometer. Penelitian ini menunjukkan mikroplastik ditemukan pada seluruh sampel dan lokasi penelitian dengan kelimpahan yang berbeda. Rata-rata kelimpahan mikroplastik pada air didapatkan 710 ± 183,34 partikel/m3 dan pada sedimen 879,63 ± 205,14 partikel/kg. Sementara pada organ dan jaringan ikan berturut-turut dari kelimpahan terbesar diperoleh 16,64 ± 9,09 partikel/gr pada saluran pencernaan, 11,95 ± 5,33 partikel/gr pada insang, dan 3,55 ± 0,81 partikel/gr pada daging. Secara keseluruhan, komposisi mikroplastik yang ditemukan pada penelitian ini merupakan bentuk fiber, fragmen, film, dan pellet, dengan tidak ditemukannya bentuk foam. Ukuran mikroplastik yang paling banyak ditemukan pada air, sedimen, dan jaringan daging ikan merupakan <300 μm. Sementara pada insang dan saluran pencernaan, ukuran >1000 μm paling banyak ditemukan. Warna biru pada studi ini menjadi warna mikroplastik yang paling mendominasi. Polimer mikroplastik yang ditemukan merupakan polyethylene terephthalate (PET), polypropylene (PP), dan polyvinyl chloride (PVC). Uji korelasi menunjukkan tidak adanya korelasi antara kelimpahan mikroplastik di air maupun sedimen terhadap akumulasi mikroplastik pada ikan kuro.

Blanakan River estuary in Subang Regency, West Java, Indonesia is a coastal area with a high fishing and ponds activities. This study aims to examined the abundance and composition of microplastic contamination in water, sediment, and fourfinger threadfin (Eleutheronema tetradactylum). Water and sediment samples were obtained at 4 various location around the estuary with 12 individual fourfinger threadfin fish. Water and sediment samples were extracted using Fenton's reagent. The dissected gills, digestive tracts and muscles were destroyed with 10% KOH. All digested sample solution are filtered using a vacuum pump and Whatman cellulose nitrate membrane filter paper with a 0.45 μm pore size. Identification of microplastics was carried out by microscope observation to calculate the abundance and composition of microplastics which were categorized based on shape, size and color. While the type of polymer was analyzed using a Raman microscopes spectrometer. This study demonstated that microplastics were found at all samples and research locations with different abundances. The average abundance of microplastics in water was 710 ± 183.34 particles/m3 and in the sediment sample was 879.63 ± 205.14 particles/kg. While in fish, the highest abundance was found in the digestive tract at 16.64 ± 9.09 particles/gr, followed gills at 11.95 ± 5.33 particles/gr, and muscle at 3.55 ± 0.81 particles/gr. Overall, the composition of microplastics form consisted of fiber, fragments, films, and pellets; foam was absent in this study. The most frequent size of microplastic found in water, sediment, and fish tissue is <300 μm. While sizes greater than 1000 μm are most frequently observed in the gills and digestive tract. In this study, blue is the predominant microplastic color. Microplastic polymers detected were polyethylene terephthalate (PET), polypropylene (PP), and polyvinyl chloride (PVC). The correlation test showed that there was no correlation between the abundance of microplastics in water and sediment with the accumulation of microplastics in fourfinger threadfin fish."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>