Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95625 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nugraha Adi Prasetya
"Perjanjian Kredit kepada Bank merupakan praktek yang umum dilakukan oleh debitur untuk memperoleh kredit yang dibutuhkannya. Dalam prakteknya, perjanjian ini menggunakan jaminan hak tanggungan dimana format dan bentuknya telah ditentukan dalam perjanjian kredit tersebut. Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) diberlakukan dalam hal debitur tidak bisa datang langsung dan sebagai syarat agar dapat segera ditindak lanjuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). SKMHT pada prinsipnya diberikan untuk jangka waktu tertentu. Tujuan ini diberlakukan dalam rangka mencegah berlarut-larutnya waktu pelaksanaan SKMHT. Namun dalam praktek kadangkala penggunaan SKMHT menemui berbagai permasalahan yang mengakibatkan posisi kreditur sebagai pemegang hak tanggungan dirugikan. Permasalahan yang timbul terutama akibat adanya pembatasan jangka waktu SKMHT dibahas dalam penelitian ini terutama dalam hal resiko yang dihadapi kreditur bank bilamana terjadi cidera janji (wanprestasi) debitur dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat melindungi kreditur bank dalam penggunaan SKMHT.

Bank credit agreement are common practice by debitor to receive the credit they need. In practice, this agreement are using securities right insurance where the form and contents had been determined in those credit agreement. The impose attorney mortgage are used in situation where the giver mortgages unable to attend and as a condition to make the Deed of Encumbrance. The impose attorney mortgage is given for some amount of time. The reason for this time limitation is to prevent the longer time more than needed to make this attorney imposing mortgage runs. However, sometimes the practice of this attorney imposing mortgage had met some problems that make the position of creditor not good. The discussion focused on problems that occur because of the time limitation especially the risk that creditor need to face when the delinquent payment occur with the alternate solution that can be chosen to protect the creditor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30367
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lisda Feby Susanto
"Perkembangan ekonomi yang sangat pesat membuat kepastian hukum untuk lembaga-lembaga keuangan sangatlah diperlukan untuk menjamin kembalinya hak yang dimilikinya. Hal tersebut mengaikbatkan diperlukannya jaminan untuk memperkuat kepastian hukum yang dimiliki oleh pemegang jaminan untuk didahulukan apabila si pemberi jaminan cidera janji atau wanprestsasi. Namun pada kenyataannya banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang mengakibatkan pemegang jaminan tersebut kehilangan jaminannya tersebut. Salah satu diantaranya hapusnya Hak Tanggungan yang dimiliki oleh pemegang hak tanggungan diakibatkan itikad buruk dari pemberi hak tanggungan. Oleh karena itu diperlukan kepastian hukum lebih lanjut agar terjaminnya perlindungan dan kedudukan kreditur dalam pemberian jaminan.
Dalam Tesis ini mengangkat mengenai putusan Makhamah agung Republik Indonesia Nomor 396/K/Pdt/2009 mengenai pembebasan Tanah yang dijadikan jaminan utang dari pembebanan hak tanggungan yang membuat kerugian bagi pihak pemegang hak tanggungan. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelittian kepustakaan, data yang diperlukan adalah data sekunder. Penulisan tesis ini membahas mengenai perlindungan kreditur sebagai pemegang hak tanggungan atas pembebasan tanah yang dijadikan jaminan utang dari pembebanan hak tanggungan dalam perjanjian kredit dan upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pemegang hak tanggungan untuk bisa mendapatkan haknya sebagai pemegang hak tanggungan.

The rapid economic growth requires the legal certainty for financial institutions to guarantee the return of the owned rights. Therefore, warranty is necessary to strengthen the legal certainty of the guarantee holder if the guarantor violates the contract. However, in the reality, many holders lose their guarantee due to the breaches. One of them is the voidance of Mortgage Right of its holder by reason of the ill will of the mortgage giver. Thus, further legal certainty is requisite to guarantee the creditor protection and position in the guarantor.
This thesis discusses the verdict of Indonesian Supreme Court No. 396/K/Pdt/2009 on land acquisition as loan guarantee which causes loss for the mortgage right holder party. This thesis uses library research, for the data to be used is secondary data. This thesis discusses creditor protection as mortgage right holder of land acquisition as loan guarantee from mortgage burden in the credit agreement and legal actions of the mortgage right holder to obtain the right as the mortgage right holder.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43088
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arika Yuanita
"ABSTRAK
Persamaan kedudukan dari kreditor bersama tidak hanya dapat diterobos oleh
adanya penentuan undang-undang atau perjanjian seperti halnya yang terjadi pada
privilege dan hipotik, melainkan dapat juga diterobos oleh adanya hak retensi
yang memberikan kreditor hak untuk menahan bendanya sampai piutang yang
bertalian dengan benda itu dibayar lunas. Pada dasarnya pemegang hak retensi
tidak memiliki hak untuk didahulukan sehingga ia merupakan kreditor konkuren.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur pada prinsipnya pemegang
hipotik dan pemegang hak istimewa memiliki hak didahulukan dibandingkan
kreditor konkuren. Namun dalam hal kepailitan dalam kondisi dimana benda yang
ditahan oleh pemegang hak retensi dapat menguntungkan harta kepailitan, maka
menurut Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, kurator wajib membayar piutang pemegang hak retensi terlebih dahulu
sebelum melakukan pemberesan harta kepailitan. Hal ini berarti dalam kondisikondisi
tertentu pemegang hak retensi dapat memiliki kedudukan yang lebih
diuntungkan dari kreditor pemegang hak istimewa dan kreditor pemegang hipotik.

ABSTRACT
The equality position of the collective creditors not only may be intruded by any
determination of law or agreement as seen on privileges and mortgages, but may
also be intruded by retention right that gives creditor the right to hold the object
until the claim relating to the object is fully paid. Basically a retention right holder
has no right to take precedence so he is an unsecured creditor. Indonesian Civil
Code in principle stipulates that a mortgagee and a preferential right holder have
the right to take precedence over unsecured creditor. However in the event of
bankruptcy, if the object held by the retention right holder is profitable to the
bankruptcy assets, then according to the Law on Bankruptcy and Suspension of
Debt Payment Obligations, the curator must pay the retention right holder before
performing the settlement of bankruptcy assets. This means that under certain
conditions the retention right holder may have a more advantaged position over
the preferential right holder and the mortgagee."
2013
T35304
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Fatan Fahir
"Tesis ini membahas mengenai perlindungan hukum bagi kreditor (bank) atas batalnya hak atas tanah yang dijadikan obyek hak tanggungan. Fungsi utama bank adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Perlindungan hukum bagi kreditor (bank) diperlukan karena bank sebagai lembaga keuangan mengelola dana masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Berbagai macam jasa dan kemudahan layanan yang ditawarkan oleh lembaga perbankan menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi masyarakat pengguna jasa perbankan. Bank sebagai salah satu badan usaha yang memberikan pinjaman uang kepada masyarakat dalam bentuk pemberian kredit mensyaratkan adanya penyerahan jaminan kredit oleh pemohon kredit. Hak Tanggungan merupakan jaminan kebendaan atas benda tidak bergerak (tanah) muncul setelah diundangkannya UU Nomor 4 Tahun 1996 tanggal 9 April 1996. Obyek Hak Tanggungan suatu ketika dapat menjadi obyek perkara di pengadilan yang dalam keputusannya nanti dapat merugikan pihak kreditor (bank). Berangkat dari latar belakang tersebut, penulis akan meneliti bagaimanakah perlindungan hukum bagi kreditor (bank) terhadap obyek hak tanggungan yang dibatalkan sertipikatnya. Kemudian apa yang dapat dilakukan bank untuk memenuhi prinsip collateral dalam sistem perbankan setelah sertipikat tanah atas obyek hak tanggungan dibatalkan oleh pengadilan. Penelitian tesis ini menggunakan metode penelitian bersifat deskripsi analisis, dengan pendekatan melalui penelitian kepustakaan dan wawancara kepada pihak yang berkepentingan.
Hasil penelitian yang didapat adalah meskipun didalam UU Nomor 7 Tahun 1992 maupun UU Nomor 10 Tahun 1998 tidak mengatur perlindungan hukum bagi kreditor (bank) terhadap obyek hak tanggungan yang dibatalkan sertipikatnya, namun karena bukan lagi sebagai kreditor preferen maka dilindungi oleh Pasal 1131 KUH Perdata kedudukannya sebagai kreditor konkuren dan perlindungan tidak hapusnya utang yang dijamin (Pasal 18 Ayat (4) UU Hak Tanggungan). Kemudian upaya yang dapat dilakukan Bank untuk memenuhi prinsip collateral dalam sistem perbankan setelah sertipikat tanah atas obyek Hak Tanggungan dibatalkan oleh pengadilan yaitu: (a) meminta kepada debitor agar memberikan jaminan pengganti sampai utangnya lunas; atau (b) meminta kepada debitor agar memberikan jaminan fidusia sebagaimana diatur menurut UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; atau (c) meminta kepada debitor agar memberikan jaminan gadai sebagaimana diatur dalam Bab XX Buku II KUH Perdata Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160.

This thesis discusses the legal protection for creditor (bank) for the cancellation of the land rights which made security right on land object. The main function of the bank is as collector and distributor of public funds. Legal protection for creditor (bank) necessary because the bank as a financial institution managing public funds in the form of deposits in the form of demand deposits, time deposits, certificates of deposit, savings, and/or other equivalent forms of it. A wide range of services and amenities offered by banking institutions to be one of the main attraction for the public users of banking services. Bank as one of the business entity that provides lending money to the community in credit requires the submission of credit guarantees by the loan applicant. Security right on land is a guarantee of the object is not moving material (soil) emerged after the enactment of Law Nu. 4 of 1996 dated 9 April 1996. One time security right on land object can be an object of the court case in which the decision later can be detrimental to the creditor (bank). From this background, the author will examine how legal protection for creditor (bank) to the object of security right on land certificate canceled. Then what can be done by bank to satisfy the principle of collateral in the banking system after a land certificate of security right on land object overturned by the court. This thesis is a research method of description analysis, through literature research and interview to interested parties.
The result obtained are even in the Law Nu. 7 of 1992 and Law Nu. 10 of 1998 does not regulate legal protection for creditor (bank) on the object that was canceled encumbrance certificate, but, because it is no longer a priority creditor so it is protected by Civil Code Section 1131which equated his position as a creditor and the abolishment of protection not secured debt (Article 18 Paragraph (4) Security Right On Land Act). Then attempt to do the bank to meet the principles of collateral in the banking system after the land certificate of security right on land is overturned by the court, namely: (a) ask the debtor to provide substitute collateral untill the debt is paid off; or (b) require the debtor to provide fiduciary assurance as stipulated by Law Nu. 42 Year 1999 on Fiduciary; or (c) ask the borrowers to provide collateral lien as provided in Chapter XX Book II Civil Code Article 1150 to Article 1160.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T34968
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fennieka Kristianto
"Perjanjian Kredit Sindikasi (PKS) adalah perjanjian mengenai suatu pinjaman yang diberikan oleh dua atau lebih lembaga keuangan kepada satu debitor, berdasarkan syaratsyarat dan ketentuan-ketentuan yang sama, dengan menggunakan satu dokumentasi kredit yang sama bagi semua kreditor peserta sindikasi serta diadministrasikan oleh satu agen yang bertindak sebagai kuasa para kreditor untuk pengurusan fasilitas dan jaminan sindikasi. Kreditor seringkali menjalankan hak tagihnya sendiri terhadap debitor. Adanya ketidakjelasan mengenai kewenangan bertindak melaksanakan hak tagihnya dalam gugat pailit terhadap debitor baik oleh agen sindikasi maupun oleh kreditor sendiri, perlu dipahami melalui ketentuan umum dalam Buku III KUHPer yang mengatur mengenai perjanjian dan kuasa, serta ketentuan khusus dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (OUK). Penelitian deskriptif kualitatif ini, menggunakan metode penelitian kepustakaan. Tujuan penelitian adalah memperoleh data dan kejelasan atas kewenangan agen jaminan dan kreditor, khususnya dalam kasus kepailitan. Berdasarkan analisa isi diperoleh kesimpulan berikut. Kewenangan agen sindikasi terbatas pada fungsi administratif dan koordinatif pelaksanaan sindikasi, kecuali diatur secara lain dalam PKS. Dalam PKS, agen jaminan bertindak berdasarkan kuasa anggota sindikasi. Tergantung dari ketentuan dan persyaratan dalam PKS, maka anggota sindikasi bisa atau tidak bisa mengajukan hak tagih, meskipun sudah ada penunjukan agen jaminan. Dilakukan penelitian atas dua perkara yang berkaitan dengan PKS dan pelaksanaan hak tagih dalam kasus kepailitan. Dari penelitian tersebut terlihat belum adanya keseragaman pemahaman mengenai hak anggota sindikasi dalam upaya pelaksanaan hak tagih khususnya dalam kasus kepailitan. Baik anggota sindikasi maupun agen sindikasi maupun pihak ketiga termasuk instansi peradilan harus melihat kesepakatan para pihak dalam PKS yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

A syndicated credit agreement (PKS) is an agreement whereby two or more financial institutions grant a credit facility to .a debtor upon the same terms and conditions provided for in a credit documentation applicable to all syndicated creditors, where the facility and the syndicated security are administered by an agent acting as representative of the creditors. A creditor often collects payment directly from the debtor. The ambiguity of the power of the syndication agent and of the creditors to exercise the collection right in a bankruptcy claim against the debtor would need to be understood through the general provisions of Book III of the Civil Code concerning agreements and agency and the specific provisions in the Law Number 4 Year 1998 concerning Bankruptcy (UUK). This descriptive-qualitative research uses the bibliographical research method. The research is aimed at obtaining data and clarification regarding the power of the security agent and the creditors, particularly in bankruptcy cases. The analysis leads to the following conclusion. Unless otherwise provided in the PKS, the syndication agent's power is limited to his administrative and coordinating function in the syndication arrangement. Under the PKS, the security agent shall act as a representative of the syndication members. Depending upon the terms and conditions of the PKS, the syndication members may or may not exercise the right to collect payment notwithstanding the appointment of the security agent. The research involves two bankruptcy cases concerning PKS and the exercise of collection right. The research shows that there is no uniform understanding of the syndication members' right in attempting to exercise the collection right, particularly in bankruptcy cases. The syndication members and the syndication agent as well as any third party, including the courts, must observe the agreement reached by the parties as embodied in the PKS, entered into on the basis of the freedom of contract.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19587
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rora Roikhani Endah Retnowati
"Kepailitan mempunyai akibat bagi seluruh Kreditor, tidak terkecuali bagi Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia. Pengembalian utang Debitor kepada Kreditor dalam hal Debitor dinyatakan pailit akan sangat tergantung pada kedudukan dari Kreditor tersebut. Kedudukan Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia adalah sebagai Kreditor Preferen. Hak ini tidak hapus karena adanya kepailitan atau likuidasi Debitor Pemberi Jaminan Fidusia. Kreditor Preferen (secured creditors) dalam kepailitan biasanya disebut Kreditor Separatis. Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia sebagai Kreditor Separatis sangat berkepentingan agar tetap dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Kepailitan maupun Undang-undang Fidusia yang berlaku saat ini, ternyata kurang memberikan perlindungan hukum terhadap Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia sebagai Kreditor Separatis dalam proses kepailitan.
Dalam penyusunan penelitian ini, Penulis mempergunakan tipe penelitian-hukum normatif dan bersifat deskriptif analitis, dengan dilengkapi melakukan wawancara kepada 2 (dua) orang Kurator dan 3 (tiga) orang Legal Officer Bank terkemuka di Jakarta. Dalam proses kepailitan di Pengadilan Niaga, dalam hal obyek jaminan fidusia sudah tidak ada lagi maka Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia sebagai Kreditor Separatis tidak memiliki hak untuk didahulukan dari kreditor lainnya, sehingga untuk mengajukan tagihannya dalam kedudukannya sebagai Kreditor Konkuren. Dengan demikian perlu diberikan perlindungan hukum bagi Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia dalam proses kepailitan agar tetap dapat melaksanakan haknya sebagai Kreditur Separatis."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14529
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamill Hasyim
"Dengan makin pesatnya perkembangan lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah saat ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif solusi terhadap krisis perekonomian di Indonesia Indikasi ini terlihat pada saat awal terjadi krisis perekonomian, hampir seluruh perbankan konvensional mengalami gulung tikar yang diakibatkan pada tingginya tingkat suku bunga yang berdampak pada kekurangan likuiditas, sedangkan perbankan syariah yang diawali dengan adanya Bank Muamalat Indonesia ternyata mampu bertahan terhadap krisis perekonomian dan bahkan mendapat rating A Berangkat dari kasus tersebut, saat ini banyak perbankan konvensional yang membuka Divisi Biro Syariah seperti Bank Negara Indonesia '46 (BNI Syariah), Bank Bukopin Syariah, Bank IFI syariah, BII Syariah, BRI Syariah, Bank Syariah Hardin.
Dampak positif dari hadirnya perbankan syariah adalah efektifnya fungsi intermediasi perbankan yaitu dana yang dilempar pada sektor UKM (Usaha Kecil Menengah) atau dikenal dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) yang dimiliki hampir mencapai 100 %, yang berdampak langsung pada makro ekonomi yaitu meningkatnya perekonomian masyarakat dan dapat menekan tingkat pengangguran. Tingginya Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan syariah secara teoritis berkorelasi positif dengan risiko kredit yang dihadapi. Untuk menghindari terjadinya risiko kredit yang dihadapi perbankan syariah, maka perlu dilakukan penelitian atau kajian mengenai perilaku nasabah debitur dan faktor-faktor yang mempengaruhi seorang debitur dalam menentukan pembiayaan syariah sehingga risiko terjadinya kredit macet dapat diminimalisir.

Syariah banking as one of the increasing financial institution is hoped to be one of the alternative solutions to overcome the economic crisis in Indonesia. It is due to the fact of the bank's capability to survive dining the crisis where most of the conventional banks experienced bankruptcy which was caused by the high rate of interest resulting in the liquidity weaken. Bank Muamalat. Indonesia as the pioneer of syariah banking has proved it It even gains an A rating.
Deriving from the above case, many of the conventional banks, nowadays, open the syariah division such as Bank Negara Indonesia '46 (BNI Syariah), Bank Bukopin Syariah, Bank IFI Syariah, BII Syariah, BRI Syariah and Bank Syariah Mandiri.
The positive impact of the syariah banking existence is the effective of the intermediary function of a bank, that is the financing allocation at real sector resulting in 100% of Loan to Deposit Ratio (LDR) amount This has a direct influence in developing the community's economy and in reducing the unemployment number. Theoretically, the high amount of LDR has a positive correlation to credit risk. To avoid this a -edit risk a research on the debtor behavior and factors influencing them in determining the syariah financing is conducted so that the default risk can be minimize.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11891
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sartika
"Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, cessie sebagai jaminan mulai ditinggalkan dalam praktek pemberian jaminan, kreditor mulai beralih ke lembaga jaminan fidusia walaupun begitu tidak ada larangan untuk tetap menggunakan cessie sebagai jaminan. Berdasarkan hal tersebut, muncul permasalahan apakah ada perbedaan antara fidusia piutang atas nama dengan cessie sebagai jaminan? Apa kelemahan dan kelebihan fidusia piutang atas nama dibandingkan dengan cessie sebagai jaminan? Permasalahan apa yang dihadapi kreditor saat melakukan eksekusi fidusia piutang atas nama dan cessie sebagai jaminan. Penelitian yang digunakan adalah normatif dengan alat pengumpulan data berupa studi dokumen dan didukung dengan data yang diperoleh dengan wawancara dari berbagai kalangan yang terkait. Fidusia piutang atas nama dan cessie sebagai jaminan menampakkan kesamaan sebagai jaminan tambahan dimana kreditor harus proaktif melakukan up date terhadap tagihan yang dijaminkan sedangkan perbedaannya adalah dalam cessie sebagai jaminan tidak dikenal penyerahan secara constitutum possesorium sebagaimana halnya dalam fidusia sementara kelebihan fidusia piutang atas nama adalah adanya hak preferen dan adanya asas droit de suite. Kelemahan fidusia piutang atas nama adalah biaya penjaminan yang tinggi dan tidak perlu adanya pemberitahuan kepada kreditor sehingga sulit dilakukan penagihan langsung serta bukti kepemilikan hanya berupa list tagihan dan tidak ada kepastian keberadaan dan keadaan obyek jaminan saat eksekusi walaupun begitu fidusia tetap menjadi pilihan para kreditor. Melihat kebutuhan dalam praktek, disarankan untuk membuat suatu peraturan pelaksana tersendiri untuk penjaminan dan eksekusi terhadap barang-barang bergerak tidak berwujud seperti piutang atas nama, melakukan pengawasan terhadap pegawai dalam kantor pendaftaran fidusia karena biaya tidak resmi menyebabkan pendaftaran fidusia menjadi mahal, data mengenai benda yang dijaminkan lebih balk terbuka untuk umum untuk memudahkan pihak ketiga mengetahui mengenai penjaminan fidusia tersebut.

With the adoption of Law Number 42/1999 regarding Fiduciary Security, cessie as collateral started to be abandoned in the practice of awarding collateral, the creditor has shifted to fiduciary security institution nevertheless there is no prohibition to remain using cessie as collateral. Based on the said matter, there is a problem whether any difference between registered receivable fiduciary and cessie as collateral? What is the weakness and advantage of registered receivable fiduciary compared to cessie as collateral? what problem is encountered by the creditors when they executed registered receivable fiduciary and cessie as collateral? The research applied is normative with data collection tool is in the form of document study and supported by data obtained through interviews with various relevant parties. Registered receivable fiduciary and cessie as a collateral show the equality as additional collateral in which creditors must be proactive to conduct update the claim being collateralized while its difference is in cessie a collateral shall not be recognized delivery in constitutum possesorium manner as in fiduciary while the advantage of registered receivable fiduciary is there is a preference right and droit de suite principle. The weakness of registered receivable fiduciary is higher guaranteeing cost and unnecessary notification to creditors so that it is difficult to make direct collection and certificate of ownership is only in the form of list claim and there is no certainty on the existence and condition of object of collateral at the time of execution when fiduciary keeps becoming a choice of the creditors. Observing the requirement in practice, it is recommended to draft a separate implementing regulation for guaranteeing and execution against intangible movable goods such as registered receivable, control the employees in Fiduciary Registration Office since unofficial cost resulting in fiduciary registration becoming expensive, data concerning object being collateralized is better open for public to facilitate the third party know about the said fiduciary guaranteeing."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Jabal Altariq
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai pengambilalihan (take over) kredit dengan
menggunakan subrogasi dengan menganalisis pengikatan agunan dan biaya yang
menjadi beban debitur. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini bersifat
yuridis normatif. Oleh karena itu, dilakukan penelitian kepustakaan untuk
memperoleh data sekunder serta dilengkapi dengan penelitian lapangan untuk
memperoleh data primer melalui wawancara. Berdasarkan analisa dapat
disimpulkan bahwa pengambilalihan (take over) kredit dengan menggunakan
subrogasi mempunyai kepastian hukum mengenai jaminan kredit yang beralih
langsung tanpa harus melalui mekanisme roya dan menghemat biaya dalam
pembebanan Hak Tanggungan.

ABSTRACT
This research is about take over credit using subrogation by analyzing the
collateral binding and the debtor burden cost. The thesis research used juridical
norms approach. Therefore, the writer used literary research to collect secondary
data, and used field research through interview to get the primer data. Based on
the data analysis the writer concludes that the takeover credit using subrogation
have legal certainty regarding the collateral of credit that change over directly
without using the Roya mechanism and will efficient the cost during making
guarantee right certificate."
Universitas Indonesia, 2013
T34967
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifah Niffari
"Skripsi ini mengkaji tentang Kreditur yang tidak mendaftarkan piutangnya kepada Kurator serta akibat hukumnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta Undang-Undang lain khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Pada intinya berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kreditur yang tidak mendaftarkan piutangnya kepada Kurator tidak dapat mengunakan hak tagihnya kepada Debitur Pailit karena melalaikan kewajibannya sebagai Kreditur Pailit. Kreditur Pailit juga tidak dapat melakukan penagihan kepada Debitur pailit setelah Kreditur pailit kehilangan hak tagihnya meskipun prosedur kepailitan telah selesai berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Hasil penelitian menyarankan bahwa pemerintah perlu menyempurnakan ketentuan tentang Pencocokan Piutang dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 khususnya mengenai dampak Kreditur yang tidak mengajukan daftar piutang kepada Kurator.

This thesis examines about Creditors who do not register claims to the Curator and its legal consequences pursuant to Act No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment and other law especially the Book of the Law of Civil Law (KUHPER). The method used in this research is normative juridical. In essence based on the Bankruptcy Act and the Suspension of Payment, Creditors who do not register claims to the Curator can not examine the bill rights to Debtor Bankruptcy because of neglecting the duty as a Bankruptcy Creditor. Bankruptcy Creditors also can not do the billing to the Bankrupt Debtor after the Bankruptcy Creditor loses the bill right even though bankruptcy procedures have been completed pursuant to Act No. 37 of 2004. The research results suggest that the government needs to improve provisions on Verification of Claim in Law Number 37 Year 2004 specifically on the implication for Creditors who do not submit accounts to the Curator."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43900
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>