Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 83842 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
S7928
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Pribadi Sutiono
"Dalam menghadapi perlawanan kaum nasionalis Guomindang, Mao Zedong pada awal perjuangannya sudah melihat potensi yang dimiliki oleh masyarakat Cina, yaitu terbaginya masyarakat dalam berbagai kelas. Dari kelas--kelas yang ada di Cina, Mao Zedong kemudian membaginya menjadi dua kelas yang besar, yaitu kelas revolusioner dan kelas yang tidak revolusioner (yang cenderung memihak lawan). Penbagian Mao Zedong atas kelas-kelas itu bertitik tolak dari teori-teori Marxisme-Leninisme ditambah dengan situsi keadaan Cina saat itu. Oleh Mao Zedong, kelas-kelas revolusioner ini dimanfaatkannya untuk mendapatkan jumlah massa pengikut Partai komunis Gongchandang guna menjalankan revolusi melawan partai Nasionalis Guomindang. Mao Zedong menganggap bahwa revolusi dapat dijalankan hanya bila dipimpin oleh kelas -kelas revolusioner yang dipimpin oleh kelas Proletar. Meskipun demikian, Mao Zedong telah membuat suatu kesalahan yang cukup memberatkan untuk suatu teori. Mao Zedong beberapa kali membuat suatu pernyataan yang bertentangan dengan situasi atau metode yang sebenarnya dijalankan olehnya. Hal ini merupakan suatu kelemahan dari teori revolusi yang dibuatnya. Meskipun demikian hal ini juga merupakan bentuk dari kepraktisan Mao Zedong dalam menyesuaikan situasi yang ada di Cina. Dengan analisis kelas masyarakat di Cina ini, Mao Zedong telah berhasil memenangkan pertikaian antara Partai Komunis dengan Partai Nasionalis pada saat itu. Dan hal ini membuktikan bahwa Mao Zedong telah berhasil memanfaatkan situasi Cina saat itu dan dengan bertolak dari teori Marxisme-Leninisme yang dipahaminya."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haura Marjorie Herbayuning
"ABSTRAK
Cina menganut sistem sosial patriarki, yang berarti laki-laki menjadi poros utama dalam kehidupan masyarakat Cina. Hal ini membuat peran perempuan Cina tidak terlalu dianggap. Namun, ketika Mao Zedong berkuasa 1949 mdash;1976 , ia memiliki beberapa kebijakan yang dapat mengembangkan peran perempuan Cina khususnya di bidang politik dan ekonomi. Jurnal ini berfokus pada pemaparan alasan Mao membuat kebijakan untuk mendukung peran perempuan, menjelaskan cara Mao dalam meimplementasikannya, serta memaparkan perkembangan perubahan partisipasi perempuan Cina pada saat itu. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan historis. Penulisan jurnal ini bertujuan untuk melihat perubahan partisipasi perempuan Cina saat Mao memimpin.

ABSTRACT
China adopts the patriarchal social system, which means men become the main axis in the life of Chinese Society. This makes Chinese women rsquo;s role not so much considered. But, when Mao Zedong came to power 1949 mdash;1976 , he has some policies to developed Chinese women rsquo;s role especially in politics and economics. This Journal focus on the explanation of the reasons Mao makes policies to support women rsquo;s role, how he implementing it, and also the explanation of the development of Chinese women rsquo;s participation at that time. The writer will be using qualitative method with historical approach. The aim of this journal is to see the changes of Chinese women rsquo;s participation during the reign of Mao. "
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Rifa Zulkania
"Mao Zedong merupakan tokoh pemimpin yang berpengaruh dalam sejarah Cina. Pada awal dekade 1990-an, belasan tahun setelah kematian Mao dan setelah posisinya dalam pemerintahan digantikan oleh Deng Xiaoping, terjadi ketertarikan kembali di kalangan masyarakat Cina terhadap sosoknya, yang dikenal dengan istilah 毛泽东热 (Mao Zedong re, Demam Mao Zedong). Penelitian ini bertujuan untuk memahami apa saja ragam ekspresi yang nampak dalam fenomena Demam Mao Zedong dalam masyarakat Cina pada 1990 hingga 1995, serta mengapa fenomena tersebut terjadi dalam masyarakat. Penelitian ini menemukan bahwa Demam Mao Zedong ditunjukkan melalui berbagai ragam ekspresi, seperti komersial, media masa, pariwisata, dan spiritual. Fenomena Demam Mao Zedong juga disebabkan oleh kebijakan Reformasi dan Keterbukaan yang memungkinkan masyarakat memanfaatkan sistem ekonomi pasar untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari sosok Mao, romantisme masyarakat terhadap Mao dalam bentuk kekaguman terhadap sosok Mao sebagai pemimpin dan nostalgia terhadap masa pemerintahannya, serta kemunculan pandangan baru masyarakat mengenai sosok Mao, yaitu sosok manusia biasa dan sebagai objek dari satire dan parodi.

Mao Zedong is an influential leader figure in the history of China. On the early 1990s, years after his death and the replacement of his position in Chinese government by Deng Xiaoping, there was a renewed interest of his figure in Chinese society, which became known as 毛泽东 热 (Mao Zedong re, Mao Zedong fever). This research is meant to analyze the expressions of Mao Zedong fever on Chinese society during 1990 to 1995, and the reasons of its appearance during that era. This research found that Mao Zedong Fever was expressed using various forms, such as commercial goods, mass media, tourism, and spiritualism. The Mao Zedong Fever phenomenon was also caused by the Reform and Openness policy, which allows the use of market economy system by society to achieve economic gain from Mao`s image, romanticism of his image, such as his status as a leader and nostalgia of his period of government, and the rise of new outlooks on Mao`s figure within Chinese society, which are Mao as an ordinary man and Mao as the object of satire and parody."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto Wibowo
"Sejarah politik Cina periode 1955 sampai 1965 dapat dikatakan sebagai sejarah konflik. Dalam periode tersebut serangkaian konflik yang terjadi lebih disebabkan oleh adanya perbedaan poly kepemimpinan antara Mao Zedong dan Liu Shaoqi. Selain daripada itu, konflik tersebut menimbulkan juga banyak peristiwa yang hampir tidak masuk akal terjadi. Konflik infra elite yang terjadi dalam kurun waktu itu, cenderung berakibat pads pergeseran sifat ke arah antagonistis. Perseteruan antara kelompok Mao dan kelompok Liu Shaoqi dalam kurun waktu tersebut makin memburuk. Hal tersebut tidak terjadi begitu saja melainkan berlangsung beberapa tahap. Dalam tahap pertama antara tahun 1949 sampai 1956, hubungan antara Mao dengan Liu masih belum menunjukkan hal-hal yang negatif. Periode pertama itu ditandai dengan beberapa kerja sama yang dilakukan dan kerja sama itu masih memperlihatkan kecendrungan yang baik, walaupun di dalam kebijaksanaan yang dilahirkannya itu, di dalamnya sebenarnya mengandung perbedaan yang mendasar. Gerakan Land Reform merupakan contoh paling tepat. Keadaan mulai berubah memasuki tahap antara tahun 1957-1958. Liu tampak sudah tidak pasif lagi. Antara tahun itulah, tahapan ini memasuki periode transisi. Periode setelah tahun 1958, merupakan periode keras dalam hubungan antara Mao dan Liu. Konflik kedua pemimpin itu sudah makin terbuka. Gerakan Lompalan Jauh ke Depan ditandai dengan pembentukan Komune Rakyat tahun 1958, menjadi batas dimulainya konflik yang bersifat antagonistis. Antara tahun 1961-1962, Mao kembali ke panggung politik dan mendapat sambutan di daerah-daerah pedalaman. Tampilnya kembali Mao ke panggung politik itu, kemudian melahirkan gagasannya mengenai Revolusi Kebudayaan. Sejak tahun 1958 itulah, konflik antara Mao dengan Liu sudah menjadi antagonis dengan korban-korban yang mulai berjatuhan. Konflik yang makin keras dari tahun ke tahun dalam kurun waktu tersebut, menjadi semakin brutal karena pendukung kepemimpinan model Mao yang lebih cenderung emosional dan irasional ikut terlibat langsung. Sementara pendukung Liu bukanlah massa yang mudah dibangkitkan emosinya, apalagi dikerahkan. Pendukung Liu lebih benyak berasal dari kalangan formal, kader-kader partai serta kaum terdidik yang lebih rasional. Akibat emosi yang dibangkitkan dan dimanfaatkan oleh Mao sendiri, massa pendukung tersebut akhirnya justru sulit dikendalikan. Akibatnya, Pengawal Merah yang merupakan massa yang membentuk organisasi, menjadi tidak terkontrol dan memakan banyak korban. Akhirnya hanya militer yang mampu menghentikan kerusuhan setelah Liu Shaoqi sendiri bersama-sama dengan kawan dan pendukungnya termasuk Deng Xiaoping menjadi korban."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
T37247
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triasti Budhiyani
"Isu faksionalisme yang ada dalam sebuah organisasi, terutama dalam partai politik seperti pada Partai Komunis Cina (PKC), seperti tak ada habisnya dijadikan bahan penelitian. Hal ini disebabkan masih adanya data-data yang masih belum dibuka untuk umum dan juga karena faksionalisme dalam PKC mempunyai karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan partai politik lainnya. Contohnya adalah pertentangan antar faksi pada masa Revolusi Kebudayaan 1966-1976 dan Tragedi Tiananmen 1989. Keduanya mendapat perhatian besar karena jatuhnya begitu banyak korban jiwa baik dari pihak intern partai maupun luar partai seperti intelektual, mahasiswa, dan rakyat biasa. Porsi yang besar atas kedua peristiwa seperti mengecilkan faksionalisme yang berlangsung masa awal PKC antara 1921-1949, padahal dari periode awal inilah dapat dilihat bagaimana awalnya faksionalisme terjadi dalam partai tersebut dan pengaruhnya terhadap periode selanjutnya.Penggambaran atau deskripsi serta analisa atas faksionalisme dengan menggunakan teori faksionalisme dapat membuka cakrawala dan pemahaman atas isu tersebut. Pihak-pihak yang bertentangan secara garis besar memang terbagi dua yaitugaris Soviet dan garis non Soviet, tapi dari pembahasan selanjuinya dapat diamati bahwa yang terjadi tidak sesederhana itu.Munculnya Mao Zedong sebagai pemenang dari persaingan antar faksi ini membuatnya dipuja-puja rakyat, akan tetapi belakangan Mao justru menimbulkan masalah akibat keinginannya untuk selalu menang. Dapat dilihat Mao sebagai seorang tokoh yang berpengaruh besar merupakan faktor yang menyebabkan munculnya faksi, sekaligus mempengaruhi hasil faksi. Beberapa faktor lain memang ikut berpengaruh. Walau demikian Mao menjadi tokoh terpenting dalam PKC dari sekian tokoh lainnya yang ikut berperan dalam persaingan antar faksi ini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S13068
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Creel, Herrlee Glessner, 1905-1994
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989, 1990
181.11 CRE ct
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rizal Sukma, 1964-
Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1995
951 RIZ p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Ichsan Arifin
"Pemikiran militer Mao Zedong dan peranannya dalam Tentara Pembebasan Rakyat. Di bawah bimbingan Dr. A. Dahana , Fakultas Sastra Universitas Indonesia , 1997. Sejak masa dinasti, peran dan kehadiran militer dalam perjalanan sejarah bangsa Cina sangat penting. Pergantian antara dinasti yang satu ke dinasti berikutnya selalu ditandai dengan adanya pemberontakan bersenjata kaum tani terhadap dinasti penguasa yang dianggap telah kehilangan 'mandat clan langit' (Tianming). Hal tersebut dapat dikatakan sebagai cikal bakal militer di Cina.
Jika pada masa Cina klasik terdapat pemikiran militer Sun Zi yang sangat terkenal, maka pada masa Cina kontemporer terdapat pemikiran militer Mao Zedong. Mao terkenal dengan konsep Perang Rakyat-nya sebagai doktrin rniliter. Doktrin tersebut telah menjadi suatu landasan kebijaksanaan militer Cina selama puluhan tahun. Pemikirannya tersebut dipengaruhi oleh dua sumber utama yaitu pemikiran Cina klasik dan Marxisme-Leninisme.
Dalam pernikirannya, Mao sangat memperhatikan keseimbangan antara unsur 'merah' dan 'ahli' namun pada pelaksanaannya justru terdapat penekanan dalam hal 'manusia yang mengungguli mesin' sehingga unsur keahlian dan modemisasi militer agak terabaikan. Perselisihan antara unsur 'merah' dan 'ahli' tersebut selalu mewarnai kemelut kepemimpinan di Cina dan mencapai puncaknya pada saat pecahnya Revolusi Besar Kebudayaan Proletariat (Wenhua da Geming) di tahun 1966."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
S13057
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farid
"Skripsi ini bertujuan memahami konflik ideologi kelompok kiri dan kanan di kalangan elit PKC yang berlatarbelakangi lahirnya sosialisme tahap awal dan bagaimana sosialisme tahap awal' mampu meredan konflik ideologi di antara kedua kelompok tersebut serta implikasinya pada perkembangan sosialisme di Cina"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S13045
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>