Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57309 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
S8058
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Sukaniasih
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
S8023
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jussac Kantjana
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
S7896
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
S7466
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Panggabean, Sanga
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Worang, Toary Ceacer Fransiskus
"Internasionalisme Amerika adalah orientasi dalam politik luar negeri Amerika. Penyebaran demokrasi dan liberalisme ke seluruh dunia merupakan ciri utama dalam orientasi ini. Internasionalisme Amerika diformulasikan oleh Presiden Amerika Woodrow Wilson. Ia percaya bahwa Amerika memiliki sense of mission dan sense of obligation memperkenalkan demokrasi dan liberalisme kepada masyarakat internasional dalam rangka pembentukan tatanan dunia yang aman, stabil dan makmur. Bagi Wilson upaya membawa demokrasi dan liberalisme pada masyarakat internasional tidak bisa dilepaskan dari bentuk kerjasama dengan institusi intemasional/ multilateral. Pemikiran Wilson inilah yang diangkat kembali dalam politik luar negeri masa Clinton. Ciri utama politik luar negeri Clinton adalah pemanfaatan institusi internasional/multilateral dalam upaya penyebaran demokrasi dan liberalisme ke seluruh dunia lewat strateginya "Enlargement". Tesis ini akan menunjukan bagaimana pemerintah Clinton memanfaatkan institusi internasional/multilateral dalam mendukung terlaksananya strategi `Enlargement'. Pelaksanaan politik luar negeri Amerika Serikat masa Clinton sendiri tidaklah mudah karena perkembangan lingkungan internasional yang mana Neo Cold War Orthodoxy yang semakin membahayakan dan tidak terduga bagi Amerika Serikat. Untuk itu tesis ini jugs akan menunjukan bagaimana sikap pragmatis pemerintah Clinton menyebabkan keberhasilan pemanfaatan institusi internasional/multilateral mendukung strategi "Enlargement".

American Internationalism is an orientation in American Foreign Policy. The main characteristic of American internationalism is the universalism of democracy and liberalism. It was President Woodrow Wilson who formulated American Internationalism since he believed that Americans have sense of mission as well as sense of obligation to introduce democracy and liberalism to international community in order to create a stable, secure, and prosperous world order. According to Wilson, American's effort to promote democracy and liberalism is highly in collaboration with various international and multilateral institutions. In Clinton's administration Wilsonianism has been adopted and become the main element in its foreign policy. In this regard, the use of international/multilateral institutions become prominent in universalizing democracy and liberalism through so called `enlargement strategy'."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T14629
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lis Riana Dora M.P.
"ABSTRAK
Sejak pembentukan negara Republik Rakyat Cina (1949), kebijakan Cina terhadap Korea sangat dipengaruhi oleh pertimbangan keamanan. Cina memandang Korea Utara sebagai wilayah penyangga antara dirinya dengan kekuatan-kekuatan lain, seperti: Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan dan Uni Soviet. Dalam masa Mao Zedong, kebijakan luar negeri Cina di Semenanjung Korea dipusatkan pada Korea Utara dan tidak menjalin hubungan dengan Korea Selatan. Berdasarkan politik dan ideologi, Cina memihak Korea Utara menentang Korea Selatan yang didukung Amerika Serikat dan Jepang. Berbeda dengan Mao, di bawah pimpinan Deng Xiaoping, Cina menjalin hubungan ekonomi secara informal dengan Korea Selatan pada tahun 1980-an. Selanjutnya dalam era pasca-Perang Dingin, tepatnya pada tanggal 24 Agustus 1992, Beijing menormalisasi hubungan diplomatik dengan Seoul. Namun, hal ini bukan berarti bahwa Cina meninggalkan Korea Utara. Beijing tampak berusaha memelihara hubungan baik dengan Pyongyang. Dengan menggunakan pendekatan keterkaitan antara faktor-faktor internal dan eksternal yang dikemukakan Samuel S. Kim, skripsi ini berusaha menjelaskan pelaksanaan kebijakan luar negeri Cina di Semenanjung Korea dalam era pasca- Perang Dingin (1989-1994), termasuk sikap Cina terhadap tiga isu penting di kawasan itu, yakni: nuklir Korea Utara, unifikasi Korea, dan masa depan Korea Utara. Ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina di Semenanjung Korea, yaitu: kepemimpinan dan elite; kepentingan ekonomi; serta kepentingan politik dan keamanan. Sedangkan faktor-faktor eksternal utama yang mempengaruhi kebijakan Cina tersebut ialah normalisasi hubungan Cina-Soviet, serta jatuhnya rezim-rezim komunis di Eropa Timur dan runtuhnya Uni Soviet (berakhirnya Perang Dingin); serta hubungan Cina dan Amerika Serikat. Pembahasan permasalahan juga dikaitkan dengan tulisan Kenneth Lieberthal, A. Doak Bamett, Hans J. Morgenthau, Susan Shirk, dan William T. Tow."
1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuhaeti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
S8004
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Namzariga Adamy
"Tesis ini menggunakan perspektif realis untuk mengkaji fenomena kebijakan peacekeeping operation Jepang di Kamboja. Perspektif ini memberikan asumsi-asumsi common sense mengenai bagaimana politik internasional dan masalah masalah strategis dapat dianalisa dan diuji. Asumsi-asumsi common sense ini mencakup konsep bahwa perusahaan tidak dimungkinkan dalam sistem internasional. Sebagai suatu teori dalam hubungan internasional dan sebagai pandangan dunia dari para pembuat kebijakan, Realisme menekankan pada kekuatan (power) dan kepentingan nasional (national interest); memberikan suatu pandangan yang pada dasarnya konservatif dan pesimis terhadap hubungan internasional; dan yang paling penting, menekankan pada agenda keamanan nasional (national security) dari negara, serta perlunya kemampuan militer (military capability) dan suatu perimbangan kekuatan (balance of power) sebagai elemen utama dalam memelihara stabilitas politik internasional. Meskipun terdapat perbedaan interpretasi dan bahkan perdebatan diantara para penganut realis, mereka akan berpendapat bahwa paradigma ini mendasarkan pada beberapa asumsi pokok, yaitu: (1) konsekuensi dari sistem internasional yang anarkhi adalah bahwa tidak adanya otoritas utama yang dapat memaksakan penggunaan kekuatan atau menjamin perlindungan dari ancaman negara lain; (2) negara merupakan aktor utama (state actor) dalam politik internasional; (3) tujuan utama negara adalah keamanan (security), dan karena itu motif utama yang mendasari perilakunya adalah mempertahankan atau mempertinggi kekuatan relatifnya terhadap negara lain; (4) kebijakan luar negerinya didasarkan pada adanya ancaman-ancaman dan kesempatan-kesempatan dari lingkungan eksternalnya. Sehingga sistem internasional merupakan faktor yang menentukan dalam perilaku suatu negara dibanding karakteristik domestiknya; dan (5) para pemimpin negara merupakan aktor rasional (rational actor).
Perspektif Realis akan digunakan dalam tesis ini untuk menganalisa perkembangan kebijakan luar negeri Jepang pasea Perang Dingin dan menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Jepang membuat kebijakan untuk berpartisipasi dalam peacekeeping operation PBB di Kamboja serta peran apa saja yang dilaksanakan Pasukan Bela Diri Jepang dalam misi peacekeeping operation di Kamboja.
Dengan dipicu oleh peristiwa Perang Teluk, Jepang melakukan reorientasi terhadap kebijakan luar negerinya dan mengirim Pasukan Bela Dirinya untuk berpartisipasi dalam PKO PBB di Kamboja. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang sangat penting karena ini merupakan pertama kalinya Pasukan Bela Diri Jepang dikirim ke luar negeri sejak Perang Dunia II. Kebijakan Jepang untuk mengirim Pasukan Bela Dirinya ke luar negeri dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Perubahan lingkungan regional, pengurangan peran Amerika Serikat, tekanan Amerika Serikat, perubahan persepsi ASEAN, serta adanya dorongan ASEAN bagi Jepang untuk mereposisi kebijakan luar negerinya merupakan alasan-alasan yang terkait dengan struktur internasional. Selain itu faktor domestik juga mendorong kebijakan PKO Jepang, yang ditandai dengan adanya perubahan sikap publik Jepang pasca Perang Dingin, reinterpretasi terhadap Konstitusi khususnya Pasal 9, dan keinginan Jepang untuk mendapatkan kursi permanen dalam Dewan Kewan Keamanan PBB.
Pengesahan UU PKO memberikan kesempatan bagi Pasukan Bela Diri Jepang mengalami perluasan peran. Namun UU tersebut juga disertai dengan batasan-batasan terhadap keterlibatan Pasukan Bela Diri Jepang dalam PKO PBS. Batasan-batasan tersebut dibuat agar peran Jepang dalam PKO tidak melanggar Konstitusi Jepang. Selain itu juga untuk meyakinkan negara-negara lain bahwa keterlibatan Jepang dalam PKO di Kamboja bukan merupakan awal dari bangkitnya kembali militerisme Jepang.
Kesimpulan dari tesis ini menunjukkan bahwa kebijakan PKO Jepang merupakan salah satu keinginan Jepang untuk berupaya menghilangkan persepsi lama di Negara-negara Asia Tenggara khususnya bahwa pengiriman Pasukan Bela Dirinya bukan merupakan ancaman dan bukan awal dari. bangkitnya militerisme Jepang. Selain itu kebijakan PKO tersebut juga merupakan salah satu upaya Jepang untuk menjaga kepentingan nasionalnya di kawasan tersebut.
Daftar Pustaka: 32 buku, 34 jurnal, 10 terbitan khusus, 8 media massa, 5 website, 3 lampiran."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13882
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>