Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117616 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saaduddin Ibrahim
Jakarta: Jaya Prasada, 1992
336.8 SAA p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Herry Prabowo
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S10483
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Himawan Adlan
"Skripsi ini membahas fakta yang mendasari pertimbangan Hakim dalam memutus sengketa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada perusahaan pembiayaan terkait perkara diskon asuransi dan penjualan barang yang ditarik kembali. Pendekatan penulisan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Transaksi diskon asuransi terutang PPN pada skema transaksi pembiayaan konsumen sedangkan transaksi penjualan barang yang ditarik kembali dapat terutang PPN pada transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi. Sengketa ini disebabkan perbedaan interpretasi hukum sehingga memerlukan manajemen sengketa pajak berupa pembentukan aturan baru atau revisi aturan menggunakan peraturan yang sifatnya mengikat ke luar seperti Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak

This thesis discusses facts which underpin the Judge?s verdict in Value Added
Tax (VAT) disputes on matters related finance company insurance discounts and sale
repossessed goods. It uses descriptive qualitative approach. VAT is levied on insurance
discount in consumer financing transaction scheme, while VAT on the sale of repossessed
goods can be levied in a finance lease transaction. This tax disputes are caused by different
legal interpretation, thus it needs tax dispute management by forming a new rule or
amendment of the existing rules using the rules which have legal binding force to the
society such as Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Keuangan, and Peraturan Direktur
Jenderal Pajak
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
S63331
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Retno Wulandari
"E-commerce barang fashion diartikan sebagai mekanisme bisnis barang fashion dengan menggunakan media elektronik. Perkembangannya dari tahun ke tahun menunjukan peningkatan yang sangat signifikan seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Peluang untuk mengenakan pajak atas transaksi ini sangat besar terutama Pajak Konsumsi yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun sampai dengan saat ini, ketentuan perpajakan yang berlaku, yaitu UU PPN Tahun 2009, belum mengatur secara khusus tentang bagaimana sistem dan prosedur pengenaan PPN atas transaksi ini. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian menggunakan pendekatan dengan metode kualitatif. Pengumpulan data untuk keperluan analisis diperoleh melalui penelitian dokumen meliputi studi kepustakaan dan wawancara dengan pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, yaitu staf Sub Direktorat PPN Jasa dan Kepala Sub Direktorat Aplikasi Politik Hukum dan Keamanan Direktorat E-Business pada Departemen Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan penelitian, Indonesia masih dimungkinkan melakukan pengenaan PPN atas transaksi e-commerce berdasarkan ketentuan Undang- undang perpajakan terutama UU PPN Tahun 2009 dan UU KUP Tahun 2008. Ketentuan pengenaan PPN diperkuat juga dengan dikeluarkannya aturan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU Nomor 11 Tahun 2008) yang intinya mengatur masalah penggunaan dokumen elektronik, tanda tangan elektronik dan pengaturan pelaku transaksi e-commerce. Untuk itu diharapkan Direktorat Jenderal Pajak agar membuat aturan yang jelas mengenai transaksi e-commerce terutama dalam membuat sistem dan prosedur pengenaan PPN atas transaksi e-commerce yang didasarkan atas asas kepastian hukum, asas kemudahan dan berbiaya rendah dengan menggunakan bantuan teknologi.

The term fashion e-commerce is defined as a fashion business mechanism using electronic media. It is shown that e-commerce develops significantly year by year along with the development of information technology. Although, the possibility to impose consumption tax namely Value Added Tax (VAT) on such transaction is very high. However, until now, the Indonesian VAT Law ( Law Number 42 Year 2009) has not clearly ruled the system and procedure of it. This thesis is drawn up pursuant to reseach by using qualitative methode. Data collection for the purpose of analyzes was obtained through document evaluation comprising bibliography study and site research that shall cover interview with officials of Directorat General of Taxes and Sub Directorate of Politic, Law and Security Application on Departement of Information and telematics. According to this research, Indonesia is still enable to impose VAT on e-commerce transaction pursuant to taxation law, that is VAT Law and The General Tax Provisions and Procedures Law, and strenghtened with The Law of Information and Electronic Transaction (Law Number 11 Year 2008) that arrange of using electronic document, digital signature, and the arrangement of the persons who involve in electronic transaction (e-commerce). Therefore, it is advisable to Directorate General of Taxes in order to make a clear and comprehensive regulation about e-commerce transaction, especially in making system and procedure for taxing VAT on e-commerce transaction base on certainty principle, ease of administration and low cost by using technology."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Djoni Rombe
"ABSTRAK
Perkembangan sektor industri yang sangat pesat membutuhkan energi yang sangat besar. Hal ini menyebabkan harga minyak dunia terus naik. Oleh karena itu, pemerintah menghimbau dunia usaha untuk menggunakan batubara sebagai sumber energi. Penggunaan batubara sebagai sumber energi sangat tepat karena Indonesia memiliki cadangan batubara yang besar. Selain itu harga produksi batubara tentunya lebih rendah daripada harga minyak. Himbauan pemerintah untuk menggunakan batubara ini juga karena penggunaan batubara dalam negeri yang sangat kecil. Batubara yang digunakan dalam negeri hanya mencapai sekitar 20% sampai dengan 30% dari total batubara yang diproduksi setiap tahunnya. Permintaan batubara sebagai sumber energi terutama oleh konsumen luar negeri terus meningkat. Permintaan yang tinggi tersebut memacu harga batubara terus naik sampai USD 48,31 per ton. Hal ini menyebabkan kontraktor pertambangan batubara memaksimalkan produksi. Produksi batubara yang dilakukan secara besar-besaran oleh kontraktor pertambangan batubara tentunya membutuhkan suatu peraturan dan undang-undang agar kegiatan operasional berjalan dengan baik. Oleh karena itu, pemerintah memperlakukan kontrak karya dengan kontraktor pertambangan batubara sebagai lex spesialis. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi para investor dibidang pertambangan batubara. Selain kontrak karya, pemerintah juga menerbitkan undang – undang dan peraturan pemerintah yang dapat mendukung kegiatan pertambangan. Namun salah satu peraturan pemerintah justru dianggap sebagai hambatan bagi perkembangan dunia usaha pertambangan batubara. Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 mengubah status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara dari Barang Kena Pajak menjadi bukan Barang Kena Pajak. Status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak menyebabkan kontraktor pertambangan batubara tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak sehingga tidak dapat melakukan restitusi atas kelebihan Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dan tidak dapat dimintakan restitusi ini menjadi beban bagi kontraktor pertambangan batubara yang akan menaikkan harga pokok produksi batubara. Kenaikan harga pokok produksi tentunya akan mempengaruhi besarnya harga jual batubara. Perubahan status batubara menjadi bukan Barang Kena Pajak membawa masalah tersendiri bagi kontraktor pertambangan batubara generasi I. Dalam kontrak karya dinyatakan bahwa pajak baru yang tidak diatur dalam kontrak karya akan dimintakan pengembaliannya kepada pemerintah. Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai yang tidak diatur dalam kontrak karya dianggap sebagai suatu pajak baru yang dapat dimintakan pengembaliannya. Dalam praktek, kontraktor pertambangan batubara generasi I meminta pajak baru tersebut melalui restitusi Pajak Pertambahan Nilai. Pajak baru yang tidak dapat dimintakan restitusi tersebut menyebabkan kontraktor pertambangan batubara melalui Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 ke Mahkamah Agung dan oleh Mahkamah Agung diterbitkan Surat No. 2/Td.TUN/III/2004 tanggal 23 Maret 2004 perihal Permohonan Pertimbangan Hukum yang ditujukan kepada Direktur Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia. Surat tersebut menyatakan bahwa PP No. 144 Tahun 2000 batal demi hukum. Namun karena surat tersebut sifatnya hanya sebatas pertimbangan hukum (legal opinion) dan bukan merupakan Putusan Mahkamah Agung yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat untuk dilaksanakan maka oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.15/2004 tanggal 30 Juni 2004 menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tetap berlaku. Kontraktor pertambangan batubara tidak menyetujui Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 dengan alasan bahwa batubara yang belum diproses menjadi briket batubara seharusnya menjadi Barang Kena Pajak karena sesungguhnya telah melalui suatu proses berupa pemecahan, pencucian, dan pencampuran yang memberikan nilai tambah bagi batubara tersebut. Oleh karena itu, kontraktor pertambangan batubara terus mendesak pemerintah untuk mengubah status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai Barang Kena Pajak dan memberikan restitusi Pajak Pertambahan Nilai kepada mereka. Perseteruan antara pemerintah dan kontraktor pertambangan batubara mengenai penetapan batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak perlu dikaji lebih dalam untuk mengetahui bahwa apakah benar batubara yang belum diproses menjadi briket batubara belum mengalami suatu proses sehingga dikategorikan sebagai barang hasil pertambangan yang diambil langsung dari sumbernya dan belum dapat dijadikan sebagai Barang Kena Pajak. Selanjutnya perlu dikaji pula, berapa jumlah restitusi Pajak Pertambahan Nilai yang tidak diterima oleh kontraktor pertambangan batubara dengan adanya perubahan status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak. Metode analisa yang digunakan untuk menganalisa apakah batubara yang belum diproses menjadi briket batubara telah mengalami proses atau tidak, maka digunakan metode deskriptif developmental. Sedangkan untuk menghitung jumlah restitusi yang seharusnya dibayarkan oleh pemerintah kepada kontraktor pertambangan batubara maka digunakan PT. ABC sebagai benchmark dengan data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Berdasarkan analisa yang dilakukan maka diketahui bahwa batubara yang belum diproses menjadi briket batubara telah mengalami suatu proses yakni pemecahan, pencucian, dan pencampuran sehingga seharusnya menjadi Barang Kena Pajak karena tidak memenuhi kriteria sebagai barang hasil tambang yang diambil langsung dari sumbernya. Berdasarkan analisa juga diketahui bahwa jumlah restitusi yang tidak dibayarkan oleh pemerintah karena perubahan status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak untuk tahun 2001 sampai dengan 2007 adalah sebesar Rp. 5.706.740.773.684,- dan untuk tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 adalah sebesar Rp. 4.895.425.655.831,-"
2007
T24514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Rania Syawalia
"UU HKPD yang disahkan tanggal 5 Januari 2022 telah memberikan perubahan terhadap beberapa tarif pajak daerah, salah satunya tarif PBJT atas jasa hiburan tertentu, seperti diskotek, karaoke, klub malam, bar, dan mandi uap/spa. Perubahan tersebut adalah adanya kebijakan batas tarif minimum sebesar 40% dari sebelumnya pada undang-undang yang lama, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 hanya diatur batas tarif maksimum sebesar 75%. Kebijakan tersebut kemudian menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses formulasi kebijakan batas tarif minimum PBJT atas jasa hiburan tertentu pada UU HKPD dan menganalisis strategi yang diberikan oleh pemerintah untuk merespon gejolak yang ditimbulkan dari perubahan kebijakan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi lapangan melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses formulasi kebijakan batas tarif minimum PBJT atas jasa hiburan tertentu pada UU HKPD telah melalui seluruh tahapan formulasi kebijakan, yaitu identifikasi masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan, dan penetapan kebijakan. Namun, walau sudah melalui seluruh tahapan, terdapat proses yang tidak maksimal pada tahap agenda kebijakan karena kurang mendalamnya kajian akademik yang membahas terkait PBJT atas jasa hiburan tertentu dan tidak dilibatkannya para pelaku usaha di dalam proses public hearing. Selain itu, di dalam penentuan tarifnya terdapat perbedaan usulan antara Pemerintah dan DPR RI, sehingga menghasilkan keputusan akhir bahwa tarifnya ditetapkan menjadi 40%-75%. Adapun, kebijakan batas tarif minimum ini bertujuan untuk meningkatkan local taxing power, dalam rangka mewujudkan asas keadilan, dan mengendalikan dampak eksternal negatif yang timbul dari pemanfaatan jasa hiburan tertentu tersebut. Dalam rangka merespon gejolak yang timbul atas adanya perubahan kebijakan tarif ini, pemerintah kemudian memberikan dua solusi yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah, yaitu dengan memberikan insentif fiskal sesuai Pasal 101 UU HKPD dan pemilahan jenis pajak dalam satu tempat hiburan yang sama.

The HKPD Law which came into effect on January 5, 2022 has changed several regional tax rates, one of which is the Certain Goods and Services Tax (PBJT) rate for certain entertainment services, such as discos, karaoke, nightclubs, bars, and steam baths/spas. The change is the policy of a minimum rate limit of 40% compared to the previous law, namely Law of The Republic Indonesia Number 28 Year 2009 which only regulated a maximum rate limit of 75%. This policy then raises pros and cons from various parties. This research aims to analyze the process of formulating the PBJT minimum rate limit for certain entertainment services in the HKPD Law and analyze the solutions provided by the government to respond to the turmoil caused by this policy. This research uses a qualitative approach with data collection techniques in the form of field studies through in-depth interviews and literature studies. The results of this research show that the policy formulation process for PBJT minimum rate limit for certain entertainment services in the HKPD Law has gone through all stages of policy formulation, namely problem identification, agenda setting, selection of policy alternatives, and policy determination. However, even though all the stages have gone through, there is a process that is not optimal at the agenda setting stage due to the lack of in-depth academic studies discussing PBJT for certain entertainment services and the non-involvement of business actors in the public hearing process. Apart from that, in determining the rate there are differences in proposals between the Government and the DPR RI, resulting in the final decision that the rate is set at 40%-75%. Meanwhile, this minimum rate limit policy aims to increase local taxing power, in order to realize the principle of justice, and control negative external impacts arising from the use of certain entertainment services. In order to respond to the turmoil arising from this change in rate policy, the government then provided two solutions that could be utilized by regional governments, namely by providing fiscal incentives under Article 101 of the HKPD Law and sorting the types of taxes within the same entertainment venue. "
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radot Kornelius
"Laporan magang ini membahas tentang pengelolaan Pajak Pertambahan Nilai PPN pada perusahaan yang berstatus sebagai KPS Migas Pembahasan ini mencakup tahapan tahapan pengelolaan PPN di BUT S Energy yang difokuskan pada pencatatan pajak pada Bagian account payable dan Bagian pajak Pada pelaksanaannya pencatatan PPN di Bagian account payable dan Bagian pajak mengalami perbedaan yang mempengaruhi pembayaran PPN Hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan pencatatan tersebut adalah adanya time lag antara tagihan awal dan tagihan revisi Selain itu juga dibahas mengenai pengaruh pembukuan PPN terhadap laporan keuangan yang terjadi di BUT S Energy BUT S Energy yang memiliki base amount USD mengharuskan terjadinya translasi dalam pembukuan PPN sehingga berpengaruh terhadap laporan laba rugi komprehensif.

This internship report discusses the management of Value Added Tax VAT on the company 39 s status as a ldquo KPS Migas rdquo This discussion includes the stages of managing VAT in BUT S Energys which focused on the recording tax on Accounts payable section and Taxes section In the implementation VAT recording in accounts payable section and tax section experienced the differences that affect the payment of VAT Things that cause the differences in the recording are the time lag between the initial bill and bill revision It is also discussed the effect of the VAT accounting on the financial statements which occurred in the BUT S Energy BUT S Energy which has a base amount USD requires the translation in the books of VAT and therefore contributes to the comprehensive income statement."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Library Harun
"Tanah yang luas dimiliki oleh bangsa Indonesia tidak seenaknya saja untuk dimiliki oleh masyarakat tanpa adanya pengaturan akan kebutuhan perumahan tersebut, adanya instansi yang terkait dengan interaksi tersebut baik segi pemerintah, swasta dengan masyarakat yang ingin memiliki rumah. Objek atas tanah yang dilukakan dalam perumahan berupa tanah yang diatasnya terdapat bangunan rumah maupun tanah yang berupa tanah kavling yang dilakukan pematangan terlebih dahulu sebelum tanah itu dijual kepada masyarakat yang membutuhkan rumah. Hubungan hukum tersebut berupa tanah yang dibebaskan untuk dimiliki yang kegiatannya dilaksanakan oleh swasta (perusahaan pengembang) untuk kemudian dijual kepada masyarakat yang membutuhkan berupa tanah matang. Adanya kepentingan pemerintah dengan hubungan hukum itu terutama dengan kepentingan untuk melaksanakan roda perekomian pemerintah berupa pemungutan pajak atas transaksi jual-beli tanah dalam bentuk BPHTB dan PPN karena adanya transaksi perusahaan dengan pihak lain dengan tanahnya berupa pematangan tanah. Pajak yang timbul dari pematangan tanah yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pungutan atas PPN atas tanah matang masih banyak yang belum mengetahuinya, karena PPN dipungut atas pertambahan nilai dari penyerahan BKP/JKP, sehingga masih banyak yang belum melakukan pemotongan pajak tersebut. Pemotongan pajak ini harus dilakukan sesuai dengan pembukuan peraturan perpajakan dan harus dilakukan pencatatan pembukuan untuk kepentingan perpajakan, tetapi tidak dilakukan oleh Perusahaan Pengembang yang menyebabkan adanya penyimpangan, oleh kekurangan-mengertian staf pelaksana perusahaan walaupun peraturan yang ada cukup jelas. Bisa juga terjadi karena adanya unsur kesengajaan dengan memanfaatkan celah hukum yang kurang mengaturnya. Untuk itu bahasan yang kami lakukan dengan adanya penyimpangan dari pengenaan PPN. Biar bagaimanapun tidak ada peraturan yang dibuat Secara sempurna semakin ada peraturan semakin timbul adanya penyimpangan dengan memanfaatkan celah hukum tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T18958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vanessa
"Pemberian bampel merupakan strategi promosi penjualan yang dilakukan dengan memberikan barang secara gratis untuk mendorong penjualan produk baru. Cara lain metode promosi barang sampel kepada pelanggan dapat dilakukan dengan peminjaman barang sampel atau penyerahan barang sampel yang dikembalikan ke penjual. Namun, dalam praktiknya, penyerahan barang sampel yang dikembalikan ke penjual menimbulkan dispute di lapangan karena adanya perbedaan interpretasi terkait penyerahan dan pengkategorian barang sampel dalam pengertian Barang Kena Pajak (BKP) atau dikecualikan dari BKP. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan penyerahan BKP sampel dalam daerah pabean, serta ekspor dan reimpor BKP sampel. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan kualitatif dan paradigma interpretif. Dengan metode pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan wawancara serta teknik analisis data kualitatif, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian BKP sampel yang kembalikan ke penjual tidak termasuk dalam definisi penyerahan karena tidak terdapat pengalihan hak milik. Namun, perlu adanya tinjauan lebih lanjut dalam kesepakatan penjual dan pembeli ketika menyerahkan BKP sampel untuk menentukan terjadinya penyerahan. Di sisi lain, ekspor BKP sampel merupakan objek PPN dengan fasilitas tarif 0% sedangkan impor BKP sampel tidak dipungut PPN. Meskipun demikian, pemanfaatan fasilitas tersebut menimbulkan compliance cost yang tinggi sehingga PKP yang menyerahkan BKP sampel perlu melakukan perhitungan lebih lanjut apakah manfaat yang didapatkan dari fasilitas tersebut sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.

Product sampling is a sales promotion strategy carried out by providing goods for free or free of charge to encourage sales of new products. One method of promoting sample goods to customers can be done by borrowing sample goods or handing over sample goods that are returned to the seller. However, in practice, the handing over of sample goods that are returned to the seller causes disputes in the field due to differences in interpretation regarding the handing over and categorizing of sample goods in the sense of Taxable Goods (BKP) or exempted from BKP. This study aims to analyze the policy of handing over sample BKP in the customs area, as well as the export and reimport of sample BKP. To achieve the objectives of the study, the research method used is a qualitative method with a qualitative approach with an interpretive paradigm. With data collection methods in the form of literature studies and interviews as well as qualitative data analysis techniques, the results of this study indicate that the provision of sample BKP that is returned to the seller is not included in the definition of handing over because there is no transfer of ownership rights. However, further review is needed in the agreement between the seller and the buyer when handing over sample BKP to determine the occurrence of handover. On the other hand, export of sample BKP is an object of VAT with a 0% tariff facility while import of sample BKP is not subject to VAT. However, the use of these facilities results in high compliance costs so that PKP who submit BKP samples need to carry out further calculations whether the benefits obtained from these facilities are commensurate with the costs incurred. "
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yumeina Tiffani Husni
"Tidak banyak penelitian yang mengkaji fasilitas PPN tidak dipungut atas impor barang untuk eksploitasi minyak dan gas bumi (migas). Padahal, fasilitas pajak dalam kegiatan migas kerap kali dijadikan instrumen ekonomi untuk menarik investor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dasar pertimbangan dan menganalisis implikasi dari kebijakan fasilitas PPN tidak dipungut atas impor barang untuk kegiatan usaha eksploitasi migas. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan dan metode kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar pertimbangan diberikannya fasilitas PPN tidak dipungut atas impor barang untuk kegiatan hulu migas ialah untuk memberikan kepastian hukum untuk melakukan kegiatan impor barang. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak dapat diaplikasikan karena dalam kebijakan pajak yang saat ini berlaku, syarat untuk memberikan fasilitas hanya mengacu pada kegiatan eksplorasi saja, sehingga kontraktor dalam mengimpor barang untuk kegiatan eksploitasi tetap membayar PPN.

There are not many research discussing Value Added Tax (VAT) not levied facility on the imported goods for oil and gas exploitations activities; whereas, tax facility on the oil and gas activities is often used as an economic instrument to attract investors. The aim of this research is to analyze the basic considerations and to analyze the implications of the VAT not levied facility on the imported goods for oil and gas exploitation activities. This research is conducted with qualitative approach and qualitative methods.
The results show that the consideration given facility is to provide legal certainty to import goods; however, the policy can not be applied. The requirement to provide a facility only refers to the exploration activities, so that the contractor in importing goods for exploitation activities still have to pay VAT.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55088
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>