Ditemukan 107811 dokumen yang sesuai dengan query
Saaduddin Ibrahim
Jakarta: Jaya Prasada, 1992
336.8 SAA p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Herry Prabowo
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S10483
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Indra Himawan Adlan
"Skripsi ini membahas fakta yang mendasari pertimbangan Hakim dalam memutus sengketa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada perusahaan pembiayaan terkait perkara diskon asuransi dan penjualan barang yang ditarik kembali. Pendekatan penulisan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Transaksi diskon asuransi terutang PPN pada skema transaksi pembiayaan konsumen sedangkan transaksi penjualan barang yang ditarik kembali dapat terutang PPN pada transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi. Sengketa ini disebabkan perbedaan interpretasi hukum sehingga memerlukan manajemen sengketa pajak berupa pembentukan aturan baru atau revisi aturan menggunakan peraturan yang sifatnya mengikat ke luar seperti Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
This thesis discusses facts which underpin the Judge?s verdict in Value AddedTax (VAT) disputes on matters related finance company insurance discounts and salerepossessed goods. It uses descriptive qualitative approach. VAT is levied on insurancediscount in consumer financing transaction scheme, while VAT on the sale of repossessedgoods can be levied in a finance lease transaction. This tax disputes are caused by differentlegal interpretation, thus it needs tax dispute management by forming a new rule oramendment of the existing rules using the rules which have legal binding force to thesociety such as Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Keuangan, and Peraturan DirekturJenderal Pajak"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
S63331
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Amelia Retno Wulandari
"E-commerce barang fashion diartikan sebagai mekanisme bisnis barang fashion dengan menggunakan media elektronik. Perkembangannya dari tahun ke tahun menunjukan peningkatan yang sangat signifikan seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Peluang untuk mengenakan pajak atas transaksi ini sangat besar terutama Pajak Konsumsi yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun sampai dengan saat ini, ketentuan perpajakan yang berlaku, yaitu UU PPN Tahun 2009, belum mengatur secara khusus tentang bagaimana sistem dan prosedur pengenaan PPN atas transaksi ini. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian menggunakan pendekatan dengan metode kualitatif. Pengumpulan data untuk keperluan analisis diperoleh melalui penelitian dokumen meliputi studi kepustakaan dan wawancara dengan pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, yaitu staf Sub Direktorat PPN Jasa dan Kepala Sub Direktorat Aplikasi Politik Hukum dan Keamanan Direktorat E-Business pada Departemen Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan penelitian, Indonesia masih dimungkinkan melakukan pengenaan PPN atas transaksi e-commerce berdasarkan ketentuan Undang- undang perpajakan terutama UU PPN Tahun 2009 dan UU KUP Tahun 2008. Ketentuan pengenaan PPN diperkuat juga dengan dikeluarkannya aturan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU Nomor 11 Tahun 2008) yang intinya mengatur masalah penggunaan dokumen elektronik, tanda tangan elektronik dan pengaturan pelaku transaksi e-commerce. Untuk itu diharapkan Direktorat Jenderal Pajak agar membuat aturan yang jelas mengenai transaksi e-commerce terutama dalam membuat sistem dan prosedur pengenaan PPN atas transaksi e-commerce yang didasarkan atas asas kepastian hukum, asas kemudahan dan berbiaya rendah dengan menggunakan bantuan teknologi.
The term fashion e-commerce is defined as a fashion business mechanism using electronic media. It is shown that e-commerce develops significantly year by year along with the development of information technology. Although, the possibility to impose consumption tax namely Value Added Tax (VAT) on such transaction is very high. However, until now, the Indonesian VAT Law ( Law Number 42 Year 2009) has not clearly ruled the system and procedure of it. This thesis is drawn up pursuant to reseach by using qualitative methode. Data collection for the purpose of analyzes was obtained through document evaluation comprising bibliography study and site research that shall cover interview with officials of Directorat General of Taxes and Sub Directorate of Politic, Law and Security Application on Departement of Information and telematics. According to this research, Indonesia is still enable to impose VAT on e-commerce transaction pursuant to taxation law, that is VAT Law and The General Tax Provisions and Procedures Law, and strenghtened with The Law of Information and Electronic Transaction (Law Number 11 Year 2008) that arrange of using electronic document, digital signature, and the arrangement of the persons who involve in electronic transaction (e-commerce). Therefore, it is advisable to Directorate General of Taxes in order to make a clear and comprehensive regulation about e-commerce transaction, especially in making system and procedure for taxing VAT on e-commerce transaction base on certainty principle, ease of administration and low cost by using technology."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Djoni Rombe
"
ABSTRAKPerkembangan sektor industri yang sangat pesat membutuhkan energi yang sangat besar. Hal ini menyebabkan harga minyak dunia terus naik. Oleh karena itu, pemerintah menghimbau dunia usaha untuk menggunakan batubara sebagai sumber energi. Penggunaan batubara sebagai sumber energi sangat tepat karena Indonesia memiliki cadangan batubara yang besar. Selain itu harga produksi batubara tentunya lebih rendah daripada harga minyak. Himbauan pemerintah untuk menggunakan batubara ini juga karena penggunaan batubara dalam negeri yang sangat kecil. Batubara yang digunakan dalam negeri hanya mencapai sekitar 20% sampai dengan 30% dari total batubara yang diproduksi setiap tahunnya. Permintaan batubara sebagai sumber energi terutama oleh konsumen luar negeri terus meningkat. Permintaan yang tinggi tersebut memacu harga batubara terus naik sampai USD 48,31 per ton. Hal ini menyebabkan kontraktor pertambangan batubara memaksimalkan produksi. Produksi batubara yang dilakukan secara besar-besaran oleh kontraktor pertambangan batubara tentunya membutuhkan suatu peraturan dan undang-undang agar kegiatan operasional berjalan dengan baik. Oleh karena itu, pemerintah memperlakukan kontrak karya dengan kontraktor pertambangan batubara sebagai lex spesialis. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi para investor dibidang pertambangan batubara. Selain kontrak karya, pemerintah juga menerbitkan undang – undang dan peraturan pemerintah yang dapat mendukung kegiatan pertambangan. Namun salah satu peraturan pemerintah justru dianggap sebagai hambatan bagi perkembangan dunia usaha pertambangan batubara. Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 mengubah status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara dari Barang Kena Pajak menjadi bukan Barang Kena Pajak. Status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak menyebabkan kontraktor pertambangan batubara tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak sehingga tidak dapat melakukan restitusi atas kelebihan Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dan tidak dapat dimintakan restitusi ini menjadi beban bagi kontraktor pertambangan batubara yang akan menaikkan harga pokok produksi batubara. Kenaikan harga pokok produksi tentunya akan mempengaruhi besarnya harga jual batubara. Perubahan status batubara menjadi bukan Barang Kena Pajak membawa masalah tersendiri bagi kontraktor pertambangan batubara generasi I. Dalam kontrak karya dinyatakan bahwa pajak baru yang tidak diatur dalam kontrak karya akan dimintakan pengembaliannya kepada pemerintah. Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai yang tidak diatur dalam kontrak karya dianggap sebagai suatu pajak baru yang dapat dimintakan pengembaliannya. Dalam praktek, kontraktor pertambangan batubara generasi I meminta pajak baru tersebut melalui restitusi Pajak Pertambahan Nilai. Pajak baru yang tidak dapat dimintakan restitusi tersebut menyebabkan kontraktor pertambangan batubara melalui Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 ke Mahkamah Agung dan oleh Mahkamah Agung diterbitkan Surat No. 2/Td.TUN/III/2004 tanggal 23 Maret 2004 perihal Permohonan Pertimbangan Hukum yang ditujukan kepada Direktur Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia. Surat tersebut menyatakan bahwa PP No. 144 Tahun 2000 batal demi hukum. Namun karena surat tersebut sifatnya hanya sebatas pertimbangan hukum (legal opinion) dan bukan merupakan Putusan Mahkamah Agung yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat untuk dilaksanakan maka oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.15/2004 tanggal 30 Juni 2004 menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tetap berlaku. Kontraktor pertambangan batubara tidak menyetujui Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 dengan alasan bahwa batubara yang belum diproses menjadi briket batubara seharusnya menjadi Barang Kena Pajak karena sesungguhnya telah melalui suatu proses berupa pemecahan, pencucian, dan pencampuran yang memberikan nilai tambah bagi batubara tersebut. Oleh karena itu, kontraktor pertambangan batubara terus mendesak pemerintah untuk mengubah status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai Barang Kena Pajak dan memberikan restitusi Pajak Pertambahan Nilai kepada mereka. Perseteruan antara pemerintah dan kontraktor pertambangan batubara mengenai penetapan batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak perlu dikaji lebih dalam untuk mengetahui bahwa apakah benar batubara yang belum diproses menjadi briket batubara belum mengalami suatu proses sehingga dikategorikan sebagai barang hasil pertambangan yang diambil langsung dari sumbernya dan belum dapat dijadikan sebagai Barang Kena Pajak. Selanjutnya perlu dikaji pula, berapa jumlah restitusi Pajak Pertambahan Nilai yang tidak diterima oleh kontraktor pertambangan batubara dengan adanya perubahan status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak. Metode analisa yang digunakan untuk menganalisa apakah batubara yang belum diproses menjadi briket batubara telah mengalami proses atau tidak, maka digunakan metode deskriptif developmental. Sedangkan untuk menghitung jumlah restitusi yang seharusnya dibayarkan oleh pemerintah kepada kontraktor pertambangan batubara maka digunakan PT. ABC sebagai benchmark dengan data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Berdasarkan analisa yang dilakukan maka diketahui bahwa batubara yang belum diproses menjadi briket batubara telah mengalami suatu proses yakni pemecahan, pencucian, dan pencampuran sehingga seharusnya menjadi Barang Kena Pajak karena tidak memenuhi kriteria sebagai barang hasil tambang yang diambil langsung dari sumbernya. Berdasarkan analisa juga diketahui bahwa jumlah restitusi yang tidak dibayarkan oleh pemerintah karena perubahan status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak untuk tahun 2001 sampai dengan 2007 adalah sebesar Rp. 5.706.740.773.684,- dan untuk tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 adalah sebesar Rp. 4.895.425.655.831,-"
2007
T24514
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Library Harun
"Tanah yang luas dimiliki oleh bangsa Indonesia tidak seenaknya saja untuk dimiliki oleh masyarakat tanpa adanya pengaturan akan kebutuhan perumahan tersebut, adanya instansi yang terkait dengan interaksi tersebut baik segi pemerintah, swasta dengan masyarakat yang ingin memiliki rumah. Objek atas tanah yang dilukakan dalam perumahan berupa tanah yang diatasnya terdapat bangunan rumah maupun tanah yang berupa tanah kavling yang dilakukan pematangan terlebih dahulu sebelum tanah itu dijual kepada masyarakat yang membutuhkan rumah. Hubungan hukum tersebut berupa tanah yang dibebaskan untuk dimiliki yang kegiatannya dilaksanakan oleh swasta (perusahaan pengembang) untuk kemudian dijual kepada masyarakat yang membutuhkan berupa tanah matang. Adanya kepentingan pemerintah dengan hubungan hukum itu terutama dengan kepentingan untuk melaksanakan roda perekomian pemerintah berupa pemungutan pajak atas transaksi jual-beli tanah dalam bentuk BPHTB dan PPN karena adanya transaksi perusahaan dengan pihak lain dengan tanahnya berupa pematangan tanah. Pajak yang timbul dari pematangan tanah yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pungutan atas PPN atas tanah matang masih banyak yang belum mengetahuinya, karena PPN dipungut atas pertambahan nilai dari penyerahan BKP/JKP, sehingga masih banyak yang belum melakukan pemotongan pajak tersebut. Pemotongan pajak ini harus dilakukan sesuai dengan pembukuan peraturan perpajakan dan harus dilakukan pencatatan pembukuan untuk kepentingan perpajakan, tetapi tidak dilakukan oleh Perusahaan Pengembang yang menyebabkan adanya penyimpangan, oleh kekurangan-mengertian staf pelaksana perusahaan walaupun peraturan yang ada cukup jelas. Bisa juga terjadi karena adanya unsur kesengajaan dengan memanfaatkan celah hukum yang kurang mengaturnya. Untuk itu bahasan yang kami lakukan dengan adanya penyimpangan dari pengenaan PPN. Biar bagaimanapun tidak ada peraturan yang dibuat Secara sempurna semakin ada peraturan semakin timbul adanya penyimpangan dengan memanfaatkan celah hukum tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T18958
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Yumeina Tiffani Husni
"Tidak banyak penelitian yang mengkaji fasilitas PPN tidak dipungut atas impor barang untuk eksploitasi minyak dan gas bumi (migas). Padahal, fasilitas pajak dalam kegiatan migas kerap kali dijadikan instrumen ekonomi untuk menarik investor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dasar pertimbangan dan menganalisis implikasi dari kebijakan fasilitas PPN tidak dipungut atas impor barang untuk kegiatan usaha eksploitasi migas. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan dan metode kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar pertimbangan diberikannya fasilitas PPN tidak dipungut atas impor barang untuk kegiatan hulu migas ialah untuk memberikan kepastian hukum untuk melakukan kegiatan impor barang. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak dapat diaplikasikan karena dalam kebijakan pajak yang saat ini berlaku, syarat untuk memberikan fasilitas hanya mengacu pada kegiatan eksplorasi saja, sehingga kontraktor dalam mengimpor barang untuk kegiatan eksploitasi tetap membayar PPN.
There are not many research discussing Value Added Tax (VAT) not levied facility on the imported goods for oil and gas exploitations activities; whereas, tax facility on the oil and gas activities is often used as an economic instrument to attract investors. The aim of this research is to analyze the basic considerations and to analyze the implications of the VAT not levied facility on the imported goods for oil and gas exploitation activities. This research is conducted with qualitative approach and qualitative methods.The results show that the consideration given facility is to provide legal certainty to import goods; however, the policy can not be applied. The requirement to provide a facility only refers to the exploration activities, so that the contractor in importing goods for exploitation activities still have to pay VAT."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55088
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hamzah
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) terhadap kendaraan bermotor beroda dua yang hanya dikenakan bagi kendaraan bermotor beroda dua dengan isi silinder di atas 250 cc. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan pengenaan PPnBM bagi kendaraan bermotor beroda dua dengan isi silinder di atas 250 CC adalah karena konsep barang mewah tersebut berkembang seiring kemajuan teknologi, pertumbuhan ekonomi, serta perubahan pola konsumsi masyarakat. Pihak perindustrian yang diwakilkan oleh Kementerian Perindustrian pun menginginkan adanya tarif 0% bagi PPnBM atas kendaraan bermotor beroda dua dengan isi silinder di atas 250 cc, sehingga dapat memajukan industri dalam negeri.
This thesis discusses the application of luxury sales tax to the two-wheeled motorized vehicles are only charged for two-wheeled motor vehicles with a cylinder above 250 cc. The study was a descriptive qualitative research. The results suggest that the reason for the imposition of luxury sales tax for twowheeled motor vehicles with a cylinder above the 250 CC is because the concept of luxury goods is growing as technology advances, economic growth, as well as changes in consumption patterns. Sides of industry are represented by the Ministry of Industry also wanted the luxury sales tax rate of 0% for the twowheeled motor vehicles with a cylinder above 250 cc, so as to promote domestic industries."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Mochamad Kemal Afiantoro
"
ABSTRAKPerkembangan teknologi saat ini sangat meningkat pesat, yang menimbulkan adanya produk digital yang tidak memiliki bentuk fisik yang ditransaksikan secara lintas batas negara dan banyak dimanfaatkan oleh konsumen akhir dalam transaksi business-to-consumer (B2C). Penelitian ini membahas mengenai sulitnya pengadministrasian prinsip tujuan barang dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia atas transaksi pemanfaatan produk digital dari luar daerah pabean dalam transaksi B2C yang menggunakan mekanisme customer collection/reverse charge. Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan teknik analisis data kualitatif. Perbandingan dengan regulasi Goods and Services Tax (GST) di Australia dijadikan dasar komparasi untuk dapat menentukan desain kebijakan administrasi dalam mengatasi kesulitan pengadministrasian tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa setelah dikomparasikan, regulasi PPN di Indonesia dengan GST di Australia memiliki perbedaan yang signifikan, terutama dalam pengadministrasiannya. Perbedaan tersebut diantaranya dalam hal ketentuan pendaftaran sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk pihak penyedia produk digital dari luar negeri di masing-masing negara agar dapat melakukan pemungutan PPN/GST, definisi yang jelas mengenai termasuk kemana produk digital ini, dan juga tata cara pemungutan dan pelaporan PPN/GST yang terutang atas transaksi ini di Australia yang menekankan kepada supplier collection. Desain kebijakan yang dapat diberikan dari hasil komparasi tersebut adalah dengan membuat mekanisme pendaftaran baru untuk pihak penyedia produk digital dari luar Indonesia agar dapat melakukan pemungutan PPN atas transaksi dari konsumen akhir dengan cara disimplifikasikan mekanisme pendaftaran serta kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakannya.
ABSTRACTThe rapid development of technology nowadays resulting in a product which has no physical form whatsoever called digital product that can be transacted across countries with end users can easily utilize those products via internet in business-to-consumer (B2C) transaction. This research discusses about the difficulty in administrating the collection of Value Added Tax (VAT) in Indonesia in regards with the destination principle for digital product supplies from overseas in B2C transaction that currently using the customer collection/reverse charge mechanism. The methodology used in this research is qualitative approach with qualitative data analysis technique. Regulation comparison between VAT in Indonesia and Goods and Services Tax (GST) in Australia is set to be the basis in determining the policy design to address the difficulty that is mentioned. The result from this research shows that in terms of regulation comparison, there are significant differences in how both countries administer the collection of VAT/GST. Those differences are the provision regarding the registration for foreign suppliers of digital products to collect VAT/GST, clear definition regarding which categories these digital supplies belong to, and the procedures to collect and report the VAT/GST payable in this transaction with Australia using the supplier collection mechanism to administer that. Policy design based on that comparison is that Indonesia needs to create new registration system for foreign suppliers of digital products so they could collect VAT from their end users consumers for this transaction with simplified mechanism for both registration and their fulfilment of tax obligations.
"
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Aisyah Farah Nabiila
"Kegiatan retur tidak mungkin dihindari dalam proses bisnis perusahaan, termasuk pula yang dilakukan PT X. Sebagai salah satu perusahaan yang dikenakan koreksi pajak oleh DJP dalam hal pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan Impor Barang Kena Pajak yang diretur kembali yang tidak memiliki hubungan dengan kegiatan usaha PT X pada Tahun Pajak 2015 dan 2017. Penelitian ini menganalisis koreksi pajak pertambahan nilai PT X terkait koreksi fiskus atas pengkreditan Pajak Masukan perolehan Impor Barang Kena Pajak yang diretur kembali ke luar Daerah Pabean yang berujung pada sengketa untuk Tahun Pajak 2015 serta menganalisis apakah sudah sesuai dengan asas ease of administration. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik penumpulan data melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Sengketa disebabkan oleh adanya perbedaan argumen antara PT X dengan DJP terkait penafsiran peraturan yang berhubungan dengan frasa “kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen” pada Pasal 9 Ayat 8 huruf b Undang - Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan perlakuan atas koreksi yang dikenakan dengan tahun pajak berbeda kasus pengkreditan Pajak Masukan perolehan Impor Barang Kena Pajak untuk kegiatan retur kembali serta koreksi yang dikenakan kepada PT X tidak memenuhi asas ease of administration.
Returns are unavoidable in the company's business processes, including those carried out by PT X. As one of the companies subject to tax correction by DGT in terms of crediting Input Tax on the acquisition of returned Imported Taxable Goods that have no relationship with PT X's business activities in the 2015 and 2017 Fiscal Years. This research discusses the analysis of PT X's value added tax correction related to the tax authority correction for crediting the Input Tax on the acquisition of the Imported Taxable Goods returned outside the Customs Area which resulted in a dispute for the 2015 Fiscal Year and analyzes with Ease of Administration principle in deliberation. This study uses a qualitative approach with data collection techniques through in-depth interviews and literature study. The dispute was caused by differences in arguments between PT X and the DGT regarding the interpretation of regulations relating to the phrase “production, distribution, marketing and management activities” in Article 9 Paragraph 8 letter b of the VAT Law and Sales Tax on Luxury Goods. The result of this research concludes that there are differences in the treatment of corrections imposed by different tax years in the case of crediting the Input Tax on the acquisition of Taxable Goods for returns and corrections imposed on PT X that do not fulfill the Ease of Administration principle."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library