Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195874 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
S9999
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1994
S9943
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indrianto Kusbandono
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S10218
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S10112
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Santoso Suryadi
"ABSTRAK
Notaris adalah Pejabat Umum yang mempunyai kewenangan kekuasaan negara dalam bidang hukum privat/ dengan demikian ia menjalankan sebagian dari tugas publik demi untuk memenuhi kepentingan umum. Pelayanan kepentingan umum merupakan hakekat tugas bidang pemerintahan, memberikan dan menjamin adanya rasa .kepastian hukum bagi-' para warga anggota masyarakat. Dalam rangka memberikan pelayanan kepentingan umum ini. Notaris diwajibkan dan untuk itu berwenang untuk membuat akta-akta otentik untuk suatu keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum tertentu. Akta Notaris dapat menjamin kebebasan berkontrak dan mengikat, berintikan kebenaran dan kepastian hukum, yang merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak yang berkepentingan dengan akta notaris. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai tidak mengenal istilah lain dari pada sebutan "Pengusaha Kena Pajak" untuk Subjek Pajaknya, sehingga dengan demikian Notaris sebagai Pejabat Umum yang juga dimasukkan sebagai Subjek Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai/ merasa keberatan dengan sebutan "Pengusaha" tersebut. Selain itu pelayanan yang diberikan oleh Notaris sebagai Pejabat Umum/ tidak sama dengan jasa hukum yang diberikan oleh praktisi dalam bidang hukum yang lainnya, sehingga dengan demikian berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis dengan memakai data sekunder berupa peraturan-peraturan, buku-buku, jurnaljurnal ilmiah dan lain-lain serta dibantu dengan data primer berupa wawancara dengan beberapa nara sumber yang terkait, maka dapat diambil kesimpulan dan saran bahwa pelayanan Notaris dalam memberikan pelayanan guna tercapainya suatu kebenaran dan kepastian hukum dalam masyarakat adalah sangat penting artinya, untuk itu seharusnya pelayanan Notaris dimasukkan ke dalam jasa yang tidak, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana yang juga diberikan terhadap beberapa jenis jasa lainnya."
2003
T36525
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Solahuddin
"Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak Tidak Langsung memiliki konsekuensi adanya dua pihak yang terlibat dalam pemungutan pajak, yaitu penjual sekaligus menjadi pemungut pajak, sedangkan pembeli adalah pembayar pajak. Jika pembeli tadi masih dalam mata rantai maka suatu saat akan bertindak sebagai penjual (pemungut pajak) demikian terus mekanisme berlaku sampai penaggung pajak yang sesungguhnya adalah konsumen akhir. Ada pengecualian yang dilakukan dengan penunjukkan bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN. Dalam mekanisme yang lazim, maka penjual adalah pihak pemungut PPN, namun jika yang menjadi pembeli atau pengguna jasa adalah pemerintah, maka bendaharawan pemerintah yang memungut PPN. Pengecualian ini dimaksudkan untuk menjamin masuknya Pajak ke kas negara dengan lebih lancar.
Mekanisme pengkreditan Pajak Masukan PPN menghendaki adanya bukti yang akurat tentang pemungutan pajak. Alat bukti adanya transaksi yang harus dipungut PPN adalah Faktur Pajak. Pada transaksi kepada bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN, faktur pajak harus dibuat paling lambat pada saat dibuatnya tagihan/invoice. Dalam praktiknya Wajib Pajak yang melakukan pekerjaan/proyek dengan pemerintah, baik yang pembiayaannya dari pinjaman atau hibah luar negeri maupun dari APBN murni, pada saat melakukan penagihan kepada bendaharawan selalu membuat commercial invoice dan membuat faktur pajak dengan mengosongkan atau tidak mencantumkan tanggal faktur pajak, karena nanti akan diberikan tanggal pada saat tagihan tersebut dicairkan. Sementara tenggang waktu antara penagihan dengan pencairan tagihan biasanya memakan waktu yang cukup lama.
Masalah dalam penelitian ini yaitu apa latar belakang dikeluarkannya tata cara pembuatan faktur pajak? Bagaimanakah Implikasi dikeluarkannya ketentuan mengenai faktur pajak? Bagaimanakah cara mengantisipasi permasalahan pelaksanaan kewajiban PPN berkaitan dengan transaksi yang melibatkan bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN? Alternatif-alternatif kebijakan yang bagaimanakah yang dapat menjadi solusi terbaik dari masalah saat pembuatan faktur pajak bagi pengusaha kena pajak rekanan yang menyampaikan tagihan kepada bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN? Metode penelitian yang digunakan adalah metode diskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan studi kepustakaan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa latar belakang dikeluarkannya ketentuan tersebut adalah sebagai peraturan pelaksana dari UU PPN, memberikan kepastian hukum, mengoptimalkan sistem faktur pajak, dan menjadi sarana pengawasan faktur pajak. Implikasi berlakunya ketentuan atas pembuatan faktur pajak justru menyulitkan bagi PKP rekanan. Di lain pihak bagi DJP memerlukan tambahan pengawasan dalam pelaksanaan kewajiban PKP. Saran yang diberikan adalah penunjukkanbendaharawan dan KPPN sebagai pemungut PPN sebaiknya dihilangkan saja karena tidak sesuai dengan konsep dan karakter PPN.

Value Added Tax as an Indirect tax gives an impact on the involvement of two parties in levying tax, namely the seller as the tax levier, and the buyer as the tax payer. If the buyer is part of the chain, it will be the seller (tax levier) later on and it continues until it comes to the last consumer as the tax payer. There is an exception done concerning the appointment of The Government Treasurer as the levier of VAT. In regular mechanism, the seller is the one who levies the tax, but if the buyer or the service user is government, then the tax will be levied by the Government Treasurer. Such exception is aimed to guarantee that the tax goes to the Government Treasury more smoothly.
Mechanism of crediting VAT input tax requires accurate evidence concerning tax levies. The evidence of the existence of a transaction in which tax must be levied is tax invoice. At transaction to Government Treasurer as VAT levier, tax invoice is made at the latest on the same date as the date of the invoice. In practice, tax payers who carry out projects with government and financed by loan, donation from other countries or merely by The National Budget always make commercial invoice and tax invoice by not putting the date of the tax invoice or by leaving it blank when they hand over the claim to the treasurer.
The problems in this research are: What is the background of the issue of tax invoice regulation? What is the implication of tax invoice regulation towards the implementation of VAT which involves the Treasurer as tax levier for tax payers as well as tax officers? How to anticipate the problems in implementing VAT which involves the Treasurer as VAT levier? What policy can be used as the best solution of the problem caused by the Treasurer as VAT levier? The research method used is descriptive method with both qualitative and quantitative approaches. Data collection is done by interview and library research.
The result of the analysis shows that the background of the issue of tax invoice regulation includes some aspects, namely: to play the role as the rules of implementation of VAT Law, to assure law certainty, to optimize tax invoice system, and to be an instrument to monitor tax invoice. The implication of tax invoice regulation making is difficult for taxable entrepreneur. The other hand, Directorate General of Tax must do extra monitoring in doing the obligation of taxable entrepreneur.It is suggested that the appointment of the Treasurer and KPPN as VAT levier be eliminated since it does not go with the concept and the characteristics of VAT."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24608
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Nazmi
"Penyelesaian restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tertunggak, sangat serius ditangani pemerintah, terutama Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Berbagai upaya terus dilakukan dan dikembangkan, baik secara sistem, pola, maupun peraturan. Tujuannya agar proses penyelesaiannya dapat dipercepat tanpa menimbulkan masalah. DJP menerbitkan dua ketentuan baru terkait proses penyelesaian restitusi. Pertama, PER-122/PJ/2006 tentang Jangka Waktu Penyelesaian dan Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran PPN/PPnBM. Kedua, PER-124/PJ/2006 tentang Pelaksanaan Analisis Risiko dalam Rangka Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN Lebih Bayar. Hal menarik dalam aturan baru ini adalah ditetapkannya analisis risiko untuk setiap permohonan restitusi PPN. Output dari proses ini akan berakibat pada ruang lingkup maupun jangka waktu pemeriksaan yang akan dilakukan. Kenyataannya tidak semua Pemeriksa memanfaatkan analisis risiko tersebut. Adapun masalah pokok penelitian ini adalah bagaimana latar belakang dikeluarkannya kebijakan analisis risiko Pengusaha Kena Pajak dalam proses pemeriksaan restitusi PPN yang berlaku saat ini? Bagaimana pemanfaatan analisis risiko Pengusaha Kena Pajak oleh pemeriksa pajak dalam proses penyelesaian restitusi PPN?, dan bagaimana pengaruh analisis risiko Pengusaha Kena Pajak terhadap waktu penyelesaian pemeriksaan restitusi PPN. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan latar belakang dikeluarkannya PER-124/PJ/2006 pada dasarnya untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 17B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. Permasalahan seputar tertundanya proses penyelesaian restitusi PPN mendorong DJP untuk menetapkan suatu prosedur yang mampu mendeteksi ketidakbenaran pelaporan Wajib Pajak sekaligus menentukan tingkat prioritas penyelesaian restitusi. Kebijakan analisis risiko Pengusaha Kena Pajak diharapkan mampu mengakomodir kedua hal tersebut. Pemeriksa Pajak umumnya tidak menggunakan analisis risiko yang diatur dalam PER-124/PJ/2006 sebagai alat yang membantu pemeriksaan restitusi PPN, karena analisis risiko PKP terlalu bersifat umum dan sederhana serta tidak dapat menunjukkan indikasi pelanggaran Wajib Pajak. PER-124/PJ./2006 tidak memiliki pengaruh terhadap waktu penyelesaian restitusi PPN di KPP PMA Empat. Hal itu terbukti dari tidak adanya percepatan waktu penyelesaian restitusi antara sebelum dengan setelah diberlakukannya ketentuan tersebut. Saran yang disampaikan adalah ketentuan PER-124/PJ/2006 tidak diberlakukan lagi. Untuk mempercepat proses penyelesaian restitusi, ketentuan yang mengatur prosedur pemeriksaan restitusi dan ketentuan yang mengatur dokumen-dokumen pendukung restitusi harus segera diperbaharui. Ketentuan analisis risiko harus dapat mengukur tingkat ketidakpatuhan Wajib Pajak secara menyeluruh, bukan berdasarkan salah satu jenis pajak seperti yang dianut saat ini. Penentuan risiko seharusnya tidak hanya mengandalkan data hasil pemeriksaan, akan tetapi melibatkan juga data eksternal yang disusun dalam bentuk database, dikelola secara professional dan selalu diperbaharui. Hasil pengolahan database dapat dimanfaatkan guna menentukan tingkat pelayanan yang seharusnya diberikan kepada Wajib Pajak.

The government, especially the Directorate General of Tax is seriously handling the settlement of arrears of VAT restitution. Numerous attempts are done and improved concerning the system, the model as well as the regulation. The purpose is to settle the process as quickly as possible without creating any problem. Directorate General of Tax issued two regulations which concern with the restitution settlement process. The first regulation, PER-122/PJ/2006, deals with the settlement timing and the system of VAT/ luxurious goods tax. The second regulation, PER-124/PJ./2006, deals with Risk Analysis implementation in Audit Framework towards Notification Letter regarding the SPT masa on VAT overpayment. The interesting part found about the regulations is the conduct of risk analysis for each restitution request. The output of the analysis will affect the audit scope as well as the timing. Unfortunately, not all auditors make good use of the risk analysis. The main problems discussed in this research are: What is the background of issuing the policy of risk analysis on Taxable Entrepreneurs in the process of VAT restitution, which is effective now? How do tax auditors make good use of risk analysis on Taxable Entrepreneurs in the process of VAT restitution settlement? And How does risk analysis on Taxable Entrepreneurs affect the time needed for examination of VAT restitution settlement? The research methodology applied is descriptive methodology with qualitative approach.
The research finding shows that the background of issuing the Directorate General of Tax regulation number PER-124/PJ./2006 is to implement what is stated in article 17B in Edict number 6 year 1983 begarding the General Rules and Conduct of Tax which has been amended several times. The last amendment is as in Edict number 16 year 2000. Issues concerning the delayed of restitution settlement process pushed Directorate General of Tax to implement a procedure to be able to detect dishonesty report of tax payers along with deciding priority level in settling the restitution. Policy of risk analysis on Taxable Entrepreneurs (PKP) in auditing hoped accommodate both condition. Auditor used to be not using analysis risk which has been arranged in PER-124/PJ/2006 as a tool to help the audit restitution on VAT, since analysis risk on Taxable Entrepreneurs (PKP) is too general and simple also can not show the failure of taxpayers. PER-124 does not affect the length of time needed for VAT settlement process at Tax Service Office for Foreign Capital Investment Four. It is proven by the absence of time acceleration regarding restitution settlement compared to the previous condition in which PER-124 was not implemented. Suggestion is the regulation of PER-124/PJ/2006 should not be implemented anymore. To speed up the restitution process, the regulation which set up the procedure of restitution process and the regulation which set up additional documents for restitution should be renewed. Criteria of risk analysis should be formulated to measure disobedience of taxpayers overall, not based on one kind of tax which is currently used. Decision on risk should not depend on record on tax audit results, however it should also consider the external records from data base which is professionally managed and up to date. Results of processed data base should be able to access and give benefits to the service quality given to the taxpayers.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24610
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Giar
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S10080
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S10373
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>