Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 83753 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
S10022
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Karim
"Tunggakan pajak merupakan beban dalam administrasi perpajakan yang sekaligus dapat menjadi potensi untuk menambah penerimaan pajak melalui pencairan tunggakan pajak. Bagaimana perilaku Wajib Pajak dalam pelunasan tunggakan pajak dan hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan Wajib Pajak dalam pelunasan tunggakan pajak serta bagaimana implementasi penagihan aktif adalah pokok permasalahan ;yang dibahas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku Wajib Pajak dan hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan Wajib Pajak dalam pelunasan tunggakan pajak. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui implementasi penagihan aktif di KPP PMA Enam. Metode penelitian yang digunakan adalah mixed approach. Kombinasi penelitian kualitatif dan kuantitatif dimungkinkan jika keduanya berpijak pada paradigma yang sama. Penelitian ini juga merupakan jenis penelitian yang bersifat deskriptif dan penelitian kebijakan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer didapat melalui kuesioner yang disebarkan ke 82 Wajib Pajak yang menjadi sampel. Data Primer juga didapat melalui wawancara yang mendalam yang dilakukan terhadap 3 orang Wajib Pajak dan 2 orang Jurusita Pajak Negara. Sementara data sekunder didapat melalui studi kepustakaan termasuk data-data penagihan aktif dari tempat penelitian dilakukan. Dasar Teori yang digunakan adalah teori mengenai perilaku Wajib Pajak, utang pajak serta penagihan pajak. Dimensi perilaku Wajib Pajak yang terdiri dari pengetahuan, kesadaran dan kepatuhan serta persepsi Wajib Pajak didapatkan dan disarikan dari teori perilaku dan perilaku Wajib Pajak. Untuk teori penagihan pajak menggunakan teori Inter American Center of Tax Administration (2000) yang menyatakan bahwa tindakan-tindakan dapat diambil untuk menagih pajak karena tidak dibayarnya pajak sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan antara lain terhadap sejumlah pajak yang telah ditetapkan oleh fiskus. Hasil penelitian dari kuesioner yang disebarkan menunjukkan bahwa sebagian besar Wajib Pajak mengetahui hak dan kewajiban perpajakannya, kurang sadar dan patuh terhadap pelunasan tunggakan pajaknya sesuai ketentuan yang berlaku serta mempunyai persepsi atas ketentuan yang berlaku sekarang ini. Berdasarkan hasil wawancara, Wajib Pajak juga mempunyai beberapa alasan yang dijadikan pertimbangan dalam pelunasan tunggakan pajak. Berdasarkan wawancara serta data sekunder yang didapat dari Jurusita Pajak Negara KPP PMA Enam, implementasi penagihan aktif juga menemui beberapa kendala di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian di atas, perilaku wajib pajak dalam pelunasan tunggakan pajak masih belum seperti yang diharapkan, walaupun mereka memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai hak dan kewajiban perpajakannya. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan Wajib Pajak dalam melunasi tunggakan pajak adalah kondisi keuangan yang tidak memungkinkan, ketidakpuasan atas kualitas pemeriksaan fiskus serta Wajib Pajak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan dan banding. Implementasi penagihan aktif juga belum mencerminkan kondisi sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini dapat dilihat dari belum maksimalnya tahapan penagihan aktif yang dilakukan serta minimnya tindakan penagihan aktif yang dilaksanakan. Melihat kondisi di atas maka perlu diintensifkan sosialisasi kepada Wajib Pajak, maksimalkan dan intensifkan tindakan penagihan aktif, perlu dibuatkan aturan pelaksanaan dan petunjuk pelaksanaan yang berfungsi sebagai pedoman bagi Jurusita dalam melaksanakan tugasnya. Disamping itu, perlu juga dilakukan evaluasi terhadap kebijakan penagihan aktif serta evaluasi terhadap sistem dan prosedur pemeriksaan serta kualitas dan kuantitas pemeriksa.

Tax in arrears is considered as burden in tax administration which is also potential to add income from tax through liquidation of tax in arrears. How is tax payer?s attitude in settlement of tax in arrears and what matters become consideration of taxpayer in settlement of tax in arrears and how is implementation of active collection is subject matter of problem being discussed. This research aims at knowing the taxpayer?s attitude and what matters become consideration of taxpayer in settlement of tax in arrears. Another aims is to know implementation of active collection at Taxation Service Office of Foreign Investment Six. This research uses mixed approach as methodology of research. There is possibility to use combination between qualitative and quantitative research if both stand on the same paradigm. This research is descriptive research and policy research. This research uses both primary and secondary research. Primary data is obtained through questionnaires which is distributed to 82 taxpayers that become sample. Besides, Primary Data is also obtained through deep interview carried out toward 3 taxpayers and 2 bailiffs of State Tax. While the secondary data is obtained through library study including active collection data from place where research was conducted. Basis of theory used is concerning attitude of taxpayer, tax payable, and tax collection. Dimension of attitude of taxpayer which includes knowledge, awareness, and compliance as well as perception of taxpayer is obtained and excerpted from theory of attitude and taxpayer?s attitude. For tax collection used theory of Inter American Center of Tax Administration (2000) which stated that measures can be taken to collect tax due to non payment of tax until the dead line such as toward the amount of tax determined by tax authority. Result of research from questionnaires distributed showed that majority taxpayers know rights and obligations of their taxes, lacked of awareness and compliance toward settlement of tax in accordance with prevailing provisions as well as make perception over prevailing provisions in the present time. Based on result of interview, taxpayer also has a number of reasons to be considered in settlement of tax in arrears. Based on interview and the secondary data obtained from Bailiff of State Tax of Taxation Service Office of Foreign Investment Six, implementation of active collection also find obstacles in the field. Based on result of research mentioned above, attitude of the taxpayer in settling tax in arrears still not yet as it is expected, despite they have sufficient knowledge concerning rights and obligations of its taxes. Some matters which become consideration of taxpayer in which to settle tax in arrear includes condition of financial which is impossible, not satisfied with quality of tax audit done by tax auditor and taxpayer filing legal efforts in the form of objection and appeal. Implementation of active collection also not interpret condition in accordance prevailing provisions. This matter can be seen from minimum active collection stage conducted and minimum active collection conducted. Having observed condition mentioned above, it requires to intensify socialization to taxpayer, increase and intensify active collection, it is necessary to prepare implemental regulation and implemental guideline which will serve as guideline for Bailiff in performing its duty. Besides, it also requires to conduct evaluation toward active collection policy and evaluation toward system and procedure of tax audit and quantity and quality of the tax auditor."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T22742
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Eliza Yuliana
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S10069
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S10093
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indrianto Kusbandono
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S10218
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Imelda Sari
"Direktorat Jenderal Pajak sedang dalam masa perubahan sistem administrasi menjadi sistem administrasi perpajakan moderen. Jika sebelumnya masyarakat Indonesia menganggap pajak dan petugas pajak sebagai momok. Maka dengan sistem modernisasi ini diharapkan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap Direktorat Jenderal Pajak. Kantor Pelayanan Pajak PMA Dua adalah salah satu pilot project dari perubahan sistem ini. Visi DJP menjadi model pelayanan masyarakat yang menyelenggarakan sistem dan manajemen perpajakan kelas dunia, yang dipercaya dan dibanggakan masyarakat mendapatkan banyak kendala karena kurang siapnya SDM dan sistem pendukungnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T38572
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Iskandar
"Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Empat (KPP PMA 4) merupakan Kantor Pelayanan Pajak yang berada di dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Jakarta Khusus yang dibentuk pada Tahun 2002. Pembentukan Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Empat selain dimaksudkan untuk mengoptimalkan tugas-tugas Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka mengamankan penerimaan negara dari sektor pajak juga untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak PMA khususnya yang bergerak di bidang tekstil, makanan dan minuman, kayu, industri kulit dan sepatu. Berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka pengamanan penerimaan pajak senantiasa diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak. Untuk meningkatkan kinerja penerimaan pada KPP PMA Empat, maka telah dilaksanakan penerapan sistem administrasi modern yang meliputi perubahan administratif dan perubahan teknologi sistem informasi perpajakan. Berkaitan dengan upaya peningkatan kinerja tadi, maka perlu ada suatu cara atau metode yang berhubungan dengan cara melakukan penilaian atau evaluasi penilaian kinerja tadi. Selama ini pengukuran kinerja hanya terbatas pada penilaian atas pencapaian target penerimaan pajak yang dibebankan kepada KPP PMA 4, sedangkan aspek penilaian lainnya belum menjadi perhatian. Aspek lainnya seperti kepuasan Wajib Pajak atas kualitas pelayanan perpajakan, penilaian kinerja pada perspektif WP selaku pelanggan KPP adalah salah satu perspektif penilaian yang perlu diperhatikan bagi kinerja KPP. Selain itu penilaian kinerja lainnya yang menjadi penting untuk dilakukan pengukuran adalah pengukuran pertumbuhan dan pembelajaran organisasi KPP. Kinerja pertumbuhan dan pembelajaran organisasi merupakan pengukuran kinerja yang didasarkan pada kedewasaan organisasi melalui proses pembelajaran. Perspektif lainnya dalam penilaian kinerja KPP adalah pada penilaian kinerja proses pelayanan, yaitu pengukuran kinerja yang menekankan pada kecepatan dan kemudahan WP dalam melakukan pembayaran pajak. Kecepatan dan kemudahan tersebut hanya dapat dilakukan dengan penyusunan sistem dan prosedur yang ringkas dan tidak dengan birokrasi yang berbelit. Sehingga kondisi ini dapat menekan terjadinya permainan atau penggelapan dana pajak antara oknum pegawai dan wajib Pajak. Ketiga perspektif yang telah dijelaskan di atas yaitu pelanggan, proses kerja dan pembelajaran merupakan tiga dari empat perspektif yang ada dalam konsep pengukuran kinerja Balanced Scorecard (BSC). Jika organisasi memiliki keberhasilan dalam ketiga perspektif tersebut maka dampaknya pada pencapaian kinerja keuangan jangka panjang. Perspektif keuangan tersebut merupakan perspektif utama dari pengukuran kinerja pada BSC. Konsep pengukuran kinerja organisasi dengan menggunakan BSC dikembangkan oleh Kaplan dan Norton. Konsep pengukuran tersebut sangat jauh berbeda dari konsep pengukuran kinerja konvensional yang hanya menilai kinerja organisasi berdasarkan kinerja keuangan semata. Pengukuran kinerja BSC memiliki konsep pengukuran kinerja yang lebih luas, komprehensif dan koheren. Sehingga jika organisasi dapat mempertahankan kinerja pada keempat perspektif tersebut maka dapat dipastikan organisasi memiliki kemampuan survival jangka panjang. Untuk dapat menganalisis kinerja pada KPP PMA 4 maka dilakukan penelitian. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan kuantitatif, artinya penelitian ini lebih memfokuskan dalam analisis kinerja organisasi berdasarkan angka-angka secara kuantitatif dalam mengukur kinerja tersebut. Berdasarkan hasil analisis terhadap data KPP PMA 4 dapat diambil kesimpulan, bahwa KPP PMA 4 masih perlu melakukan perbaikan atas layanan-layanan seperti prosedur kemudahan layanan dan kualitas pelayanan dengan indikator yang telah dilakukan di atas. KPP PMA 4 perlu melakukan pengukuran kinerja organisasi secara komprehensif, yakni selain aspek pencapaian kinerja keuangan, juga meliputi aspek kualitas pelayanan, aspek internal proses. Dengan diperbaikinya semua aspek tersebut dapat diharapkan akan terjadi peningkatan kerja sama antara Wajib Pajak dan KPP PMA 4 dalam pelayanan pembayaran perpajakan.

Tax Services Office for Foreign Investment #4 (KPP PMA 4) is Tax Services Office that located at working area of Special Jakarta Regional Office, esrablished on 2002. The establishment of Tax Services Office for Foreign Investment #4 is intended to optimize the duty of General Directorate of Tax in order to assure state revenue from tax sector, and also to increase services to mandatory foreign investment tax payers especially at textile, food and beverage, wood, and leather and shoes industries. Various efforts in order to secure the state tax revenue always follow by the increase of services quality for tax payers. To increase revenue performance at KPP PMA 4, modern administration system has been applied that include administrative changes and tax information system technology changes. Related to the effort of performance increase, certain method to measure and evaluate the performance appraisal. Until now, the performance measurement is only limited to appraisal on the achievement of tax revenue target set for KPP PMA 4, while other appraisal aspects are unnoticed. Other aspects such as taxpayer satisfaction on quality of taxation services, performance appraisal at taxpayer prespective as KPP?s customer is one of appraisal perspective that needed to notice regarding KPP performance. The other important aspect to measure is the growth and learning process of KPP organization. Growth and organizational learning process appraisal is performance appraisal that based on maturity of organization through learning process. Other perspective on performance appraisal of KPP is on services process, which is focus on time and convenience aspects of taxpayer to pay the tax. Time and convenience will only achieve by development of simple system and procedure without complex bureaucracy. Therefore, the condition will minimize tax fraud collusion between tax officer and tax payer. The above three perspectives which are customer, business processm and learning process are parts of four perspectives on concept of Balance Scorecard (BSC) performance appraisal. If organization obtains achievement on the three aspects, it will give impact on financial performance for long term perspective. The financial perspective is main perspective of performance appraisal on BSC. The concept of performance appraisal using BSC is developed by Kaplan and Norton. The measurement concept is very different to conventional performance measurement that only measure organizational performance based on financial performance. Performance appraisal by BSC obtain broader, more comprehensive, and more coherent performance measurement concept. Therefore, if organization is able to maintain performance on the four aspects then certainly the organization has ability of long term survival. Research will be conducted to be able to do performance analysis on KPP PMA 4. The research will use quantitative method as approach, which means that the research will be focus on performance analysis on organization based on quantitative figures to measure performance. Based on data analysis of KPP PMA 4, it can be conclude that KPP PMA 4 needs further improvement regarding some services such as services procedure and services quality with the above mentioned indicators. KPP PMA 4 needs to conduct comprehensive organizational performance measurement, which is financial performance aspect, and also include services quality aspect and internal process aspect. The improvement of the above mentioned aspects hopefully will improve cooperation among taxpayer and KPP PMA 4 regarding taxation payment services."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24564
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Nazmi
"Penyelesaian restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tertunggak, sangat serius ditangani pemerintah, terutama Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Berbagai upaya terus dilakukan dan dikembangkan, baik secara sistem, pola, maupun peraturan. Tujuannya agar proses penyelesaiannya dapat dipercepat tanpa menimbulkan masalah. DJP menerbitkan dua ketentuan baru terkait proses penyelesaian restitusi. Pertama, PER-122/PJ/2006 tentang Jangka Waktu Penyelesaian dan Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran PPN/PPnBM. Kedua, PER-124/PJ/2006 tentang Pelaksanaan Analisis Risiko dalam Rangka Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN Lebih Bayar. Hal menarik dalam aturan baru ini adalah ditetapkannya analisis risiko untuk setiap permohonan restitusi PPN. Output dari proses ini akan berakibat pada ruang lingkup maupun jangka waktu pemeriksaan yang akan dilakukan. Kenyataannya tidak semua Pemeriksa memanfaatkan analisis risiko tersebut. Adapun masalah pokok penelitian ini adalah bagaimana latar belakang dikeluarkannya kebijakan analisis risiko Pengusaha Kena Pajak dalam proses pemeriksaan restitusi PPN yang berlaku saat ini? Bagaimana pemanfaatan analisis risiko Pengusaha Kena Pajak oleh pemeriksa pajak dalam proses penyelesaian restitusi PPN?, dan bagaimana pengaruh analisis risiko Pengusaha Kena Pajak terhadap waktu penyelesaian pemeriksaan restitusi PPN. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan latar belakang dikeluarkannya PER-124/PJ/2006 pada dasarnya untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 17B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. Permasalahan seputar tertundanya proses penyelesaian restitusi PPN mendorong DJP untuk menetapkan suatu prosedur yang mampu mendeteksi ketidakbenaran pelaporan Wajib Pajak sekaligus menentukan tingkat prioritas penyelesaian restitusi. Kebijakan analisis risiko Pengusaha Kena Pajak diharapkan mampu mengakomodir kedua hal tersebut. Pemeriksa Pajak umumnya tidak menggunakan analisis risiko yang diatur dalam PER-124/PJ/2006 sebagai alat yang membantu pemeriksaan restitusi PPN, karena analisis risiko PKP terlalu bersifat umum dan sederhana serta tidak dapat menunjukkan indikasi pelanggaran Wajib Pajak. PER-124/PJ./2006 tidak memiliki pengaruh terhadap waktu penyelesaian restitusi PPN di KPP PMA Empat. Hal itu terbukti dari tidak adanya percepatan waktu penyelesaian restitusi antara sebelum dengan setelah diberlakukannya ketentuan tersebut. Saran yang disampaikan adalah ketentuan PER-124/PJ/2006 tidak diberlakukan lagi. Untuk mempercepat proses penyelesaian restitusi, ketentuan yang mengatur prosedur pemeriksaan restitusi dan ketentuan yang mengatur dokumen-dokumen pendukung restitusi harus segera diperbaharui. Ketentuan analisis risiko harus dapat mengukur tingkat ketidakpatuhan Wajib Pajak secara menyeluruh, bukan berdasarkan salah satu jenis pajak seperti yang dianut saat ini. Penentuan risiko seharusnya tidak hanya mengandalkan data hasil pemeriksaan, akan tetapi melibatkan juga data eksternal yang disusun dalam bentuk database, dikelola secara professional dan selalu diperbaharui. Hasil pengolahan database dapat dimanfaatkan guna menentukan tingkat pelayanan yang seharusnya diberikan kepada Wajib Pajak.

The government, especially the Directorate General of Tax is seriously handling the settlement of arrears of VAT restitution. Numerous attempts are done and improved concerning the system, the model as well as the regulation. The purpose is to settle the process as quickly as possible without creating any problem. Directorate General of Tax issued two regulations which concern with the restitution settlement process. The first regulation, PER-122/PJ/2006, deals with the settlement timing and the system of VAT/ luxurious goods tax. The second regulation, PER-124/PJ./2006, deals with Risk Analysis implementation in Audit Framework towards Notification Letter regarding the SPT masa on VAT overpayment. The interesting part found about the regulations is the conduct of risk analysis for each restitution request. The output of the analysis will affect the audit scope as well as the timing. Unfortunately, not all auditors make good use of the risk analysis. The main problems discussed in this research are: What is the background of issuing the policy of risk analysis on Taxable Entrepreneurs in the process of VAT restitution, which is effective now? How do tax auditors make good use of risk analysis on Taxable Entrepreneurs in the process of VAT restitution settlement? And How does risk analysis on Taxable Entrepreneurs affect the time needed for examination of VAT restitution settlement? The research methodology applied is descriptive methodology with qualitative approach.
The research finding shows that the background of issuing the Directorate General of Tax regulation number PER-124/PJ./2006 is to implement what is stated in article 17B in Edict number 6 year 1983 begarding the General Rules and Conduct of Tax which has been amended several times. The last amendment is as in Edict number 16 year 2000. Issues concerning the delayed of restitution settlement process pushed Directorate General of Tax to implement a procedure to be able to detect dishonesty report of tax payers along with deciding priority level in settling the restitution. Policy of risk analysis on Taxable Entrepreneurs (PKP) in auditing hoped accommodate both condition. Auditor used to be not using analysis risk which has been arranged in PER-124/PJ/2006 as a tool to help the audit restitution on VAT, since analysis risk on Taxable Entrepreneurs (PKP) is too general and simple also can not show the failure of taxpayers. PER-124 does not affect the length of time needed for VAT settlement process at Tax Service Office for Foreign Capital Investment Four. It is proven by the absence of time acceleration regarding restitution settlement compared to the previous condition in which PER-124 was not implemented. Suggestion is the regulation of PER-124/PJ/2006 should not be implemented anymore. To speed up the restitution process, the regulation which set up the procedure of restitution process and the regulation which set up additional documents for restitution should be renewed. Criteria of risk analysis should be formulated to measure disobedience of taxpayers overall, not based on one kind of tax which is currently used. Decision on risk should not depend on record on tax audit results, however it should also consider the external records from data base which is professionally managed and up to date. Results of processed data base should be able to access and give benefits to the service quality given to the taxpayers.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24610
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Wiwiek Hartini
"Reformasi administrasi perpajakan yang diterapkan di Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Empat mulai 1 September 2004, bertujuan untuk mengamankan penerimaan negara melalui peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan peningkatan kepercayaan Wajib Pajak kepada fiskus. Strategi utama yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah meningkatkan pelayanan (pelayanan prima) dan pengawasan kepada Wajib Pajak. Kualitas pelayanan prima dapat muncul karena pegawai memberikan kinerja terbaiknya. Kinerja pegawai akan meningkat apabila pegawai merasa puas dengan pekerjaannya. Howel dan Dipboye (1986) memandang kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat suka atau tidak sukanya pegawai terhadap berbagai aspek pekerjaannya. Kepuasan kerja berkaitan dengan motivasi kerja. Model motivasi harapan Vroom yang dikembangkan oleh Porter-Lawler (1968), melihat hubungan timbal balik antara motivasi dan kepuasan kerja.
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah pertama apakah makna kepuasan kerja menurut pegawai KPP PMA Empat sebelum reformasi administrasi perpajakan?. Kedua, bagaimanakah upaya-upaya yang dilakukan oleh DJP, sebagai instansi vertikal diatas KPP PMA Empat, untuk meningkatkan kepuasan kerja pegawainya, dan ketiga, bagaimanakah kepuasan kerja pegawai KPP PMA Empat pasca reformasi administrasi perpajakan? Kerangka teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahwa reformasi administrasi perpajakan telah melakukan beberapa modifikasi, yaitu struktur organisasi menjadi lebih fungsional, modernisasi sistem informasi yang didukung dengan teknologi tinggi, peningkatan kualitas SDM melalui uji kemampuan dan integritas, serta peningkatan kompensasi yang disertai dengan adanya kode etik bagi pegawai. Keempat perubahan tersebut telah sesuai dengan teori Gibson (1996) tentang pengembangan iklim organisasi untuk pencapaian tujuan perusahaan secara efektif dan efisien. Reformasi administrasi perpajakan tersebut akan mempengaruhi kepuasan kerja pegawai. Smith, Kendall dan Hulin (1969) mengembangkan instrumen untuk mengukur kepuasan kerja dengan sebutan Job Descriptive Index (JDI). JDI mengukur 5 aspek pekerjaan, yaitu (1) pekerjaan itu sendiri, (2) kualitas supervisi, (3) rekan kerja, (4) promosi, dan (5) gaji. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif.
Analisa penelitian didasarkan pada hasil survei kuisioner berupa pandangan pegawai terhadap 5 aspek kepuasan kerja JDI pasca reformasi administrasi perpajakan, observasi partisipatif (participant observation), serta wawancara mendalam (in depth interview) yang semiterstruktur (semistructured interview) dengan informan-informan kunci dari kalangan interen DJP yang berkompeten dengan permasalahan penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kepuasan kerja pegawai KPP PMA Empat terhadap reformasi administrasi perpajakan secara umum sudah baik. Mengenai jumlah kompensasi, mayoritas pegawai sudah merasa puas. Ketidakpuasan hanya terjadi pada jabatan AR dan fungsional pemeriksa yang berhubungan langsung dengan Wajib Pajak. Ketidakpuasan juga terdapat di beberapa item, yaitu atas desain pekerjaan, sistem training, workflow SIDJP, evaluasi (feedback) dari atasan, alokasi peralatan kantor untuk fungsional pemeriksa, dan atas kurangnya penghargaan bagi jabatan pelaksana. Kode etik pegawai terbukti efektif untuk mengikat pegawai dari perilaku disfungsional.
Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini bahwa makna kepuasan kerja menurut pegawai KPP PMA Empat sebelum reformasi administrai perpajakan adalah kompensasi berada di urutan pertama, baru kemudian disusul dengan pekerjaan itu sendiri, desain pekerjaan, promosi, supervisi, rekan kerja, aktualisasi diri, dan skill variety. Ketidakpuasan atas kompensasi telah mendorong terjadinya perilaku disfungsional. Reformasi administrasi perpajakan yang dilakukan oleh DJP telah mampu meningkatkan kepuasan kerja pegawai. Jumlah kompensasi yang diberikan telah memuaskan mayoritas pegawai. Ketidakpuasan hanya terjadi pada jabatan AR dan fungsional pemeriksa. Ketidakpuasan lainnya adalah atas desain pekerjaan, sistem training, workflow SIDJP, evaluasi (feedback) dari atasan, alokasi peralatan kantor untuk fungsional pemeriksa, dan atas kurangnya penghargaan bagi pelaksana. Penelitian ini juga memberikan beberapa saran bagi Kepala KPP PMA Empat dan DJP, yaitu perlunya penambahan training bagi AR dan fungsional pemeriksa, perlu lebih memperhatikan alokasi peralatan kantor bagi fungsional pemeriksa, perlu adanya evaluasi (feedback) dan pengawasan dari atasan, perlu dibentuk pola training yang baku oleh DJP, perlunya redesign job description bagi Kasi, AR, dan pelaksana, perlu dilakukan modifikasi ulang atas SIDJP, dan terakhir, perlu dilakukan redesign atas sistem kompensasi, dengan memperhitungkan faktor kinerja individual sebagai basis perhitungan.

Tax administration reform, which was put into practice in Tax Service Office for Foreign Investment Four (The Tax Office) since 1 September 2004, is design to secure national income through the improvement of taxpayers voluntary compliance and taxpayers reliance on Tax Officers. The main strategies to accomplish this goal are improving the public service (excellence service) and the observation process upon taxpayers. Excellence service quality can emerge when tax officers give their finest performance. Tax officers􀂶 performance will improve when they satisfied with their job. Howel and Dipboye (1986) consider job satisfaction as a whole outcome from the employees􀂶 interest toward various aspects of their job. Moreover, job satisfaction correlate with work motivation. Porter-Lawler (1968) in their Expectancy Model of Vroom of Work Motivation discovers that there is a reciprocal relationship between motivation and job satisfaction.
There are three main issues in this research. First, what is the definition of job satisfaction according to The Tax Office before the implementation of tax administration reform? Second, what does the Directorate General of Taxation (DGT), as the upper organization of The Tax Office, do to improve their employees􀂶 job satisfaction? Third, how is The Tax Office employees􀂶 job satisfaction after the implementation of tax administration reform? Theory framework used in this research is that tax administration reform had carried out several modifications which are, organizational structure changes based on the function of each division, information system modernization supported by sophisticated technology, human resource quality improvement through capability and integrity tests, and remuneration increase along with the presence of ethical code for employees. These changes are consistent with Gibson Theory (1996) about the development of organization environment to achieve corporation􀂶s goals effectively and efficiently. This tax administration reform will affects employees􀂶 job satisfaction. Smith, Kendall and Hulin (1969) develop an instrument to measure job satisfaction which is called Job Descriptive Index (JDI). JDI measures 5 aspects of a job, which are (1) the job itself, (2) supervisors􀂶 quality, (3) co-worker, (4) promotion, and (5) remuneration.
The assessment method used in this research is qualitative assessment method. The analysis will be based on the questionnaire􀂶s responses upon employees􀂶 perspective toward 5 JDI job satisfaction aspects after the implementation of tax administration reform, participant observation, semistructured in depth interview with key officials from DGT who have competencies in handling the problems in this research.
The result of this research shows that The Tax Office employees􀂶 job satisfaction toward tax administration reform is good. Most employees are satisfied with the amount of renumeration. Dissatisfaction only stated by Account Representatives and Auditors who directly interact with taxpayers. The dissatisfaction also arises on several aspects such as job description design, training system, DGT Information System􀂶s Work Flow, feedback from upper management, office equipment distribution for tax auditors, and lack of reward at staff level. Ethical code for employees is effectively proven in preventing employees from showing dysfunctional behaviors.
The conclusion from this research is as follows. The meanings of job satisfaction according to The Tax Office employees in order of importance before the implementation of tax administration reform are remuneration, the job itself, job description design, promotion system, supervisors􀂶 quality, co-worker, self actualization, and skill variety. Dissatisfaction on remuneration had urges the dysfunctional behaviors occurrence. Tax administration reform implemented by DGT is capable to increase employees􀂶 job satisfaction. The amount of remuneration had satisfied most employees. Dissatisfaction only occurs at Account Representative and Auditor level. Other dissatisfaction includes dissatisfaction on job description design, training system, DGT Information System􀂶s Work Flow, feedback from upper management, office equipment distribution for tax auditors, and lack of reward at staff level. This research also proposes several suggestions which include the necessary to provide trainings for Account Representatives and tax auditors, to allocate office equipment distribution for tax auditors, to give feedback for employees, to redesign job description for Supervisors, Account Representatives and staffs, to redesign DGT Information System􀂶s Work Flow, and to revise remuneration system by using individual performance as the calculation base."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19508
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>