Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177701 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Septiani Herlinda
"Skripsi ini membahas tentang analisa kekuatan pembuktian keterangan saksi anak atas tindak pidana asusila yang di hadapinya di persidangan. Kekuatan pembuktian keterangan saksi anak sebagai korban yang dapat digunakan ataupun dikesampingkan oleh Hakim sebagai alat bukti yang sah memicu suatu ketidakadilan bagi korban maupun keluarga korban. Penanganan yang terlambat ataupun tidak tepat dapat memberikan kendala-kendala dalam proses peradilan pidana terutama pada tahap persidangan. Adanya perbedaan penilaian kekuatan pembuktian bagi hakim membuat pencapaian tujuan hukum pun terkendala.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Dengan demikian, dibutuhkan sejauh mana kekuatan pembuktian keterangan yang diberikan oleh saksi anak sebagai korban pada tindak pidana asusila di persidangan pada setiap kasus yang ada. Selain itu juga dibutuhkan penanganan terhadap korban secara tepat dan cepat untuk mengatasi kendala dalam proses peradilan pidana.

This thesis discusses the analysis of the strength of evidence for child witnesses in criminal misconduct face him in court. The strength of evidence as a victim of child witness statements that can be used or set aside by the Court as valid evidence triggers an injustice to the victims and their families. Handling late or incorrectly may provide obstacles to the criminal justice process, especially at the trial stage. Assessment of differences in the strength of evidence for the judge to make the achievement of any law constrained.
The method used is the juridical normative. Thus, the extent to which the strength of evidence required information given by witnesses on the child as a victim of criminal misconduct in the trials in each of the cases. It also required the handling of victims appropriately and quickly to overcome the obstacles in the criminal justice process.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42526
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sinta Dewi HTP
"Perkembangan teknologi modern membawa perubahan dalam dunia hukum, salah satu diantaranya yakni penggunaan audio visual (teleconference) dalam memberikan keterangan (kesaksian) di depan persidangan perkara pidana. Di satu sisi, penggunaan fasilitas ini merupakan terobosan positif dalam peradilan pidana di Indonesia, namun di sisi lain menimbulkan banyak kontroversi karena penyelenggaraan audio visual (teleconference) dalam pemeriksaan saksi tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), akan tetapi kenyataannya sarana tersebut dipakai untuk memeriksa saksi dalam persidangan perkara pidana diantaranya dalam perkara tindak pidana korupsi, pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat di Timor-Timur, dan perkara tindak pidana terorisme. Berangkat dari hal tersebut, penulis berusaha mengkaji mengenai pemanfaatan audio visual (teleconference) di persidangan dalam perkara pidana sebagai alat bukti keterangan saksi.
Dari data yang penulis peroleh, dalam praktek persidangan diijinkannya penggunaan audio visual (teleconference) dalam pemeriksaan saksi karena untuk menguji kebenaran dari keterangan saksi itu sendiri. Selain itu, dengan telah terbentuknya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang memberikan pilihan bagi saksi dalam memberikan kesaksiannya yang tidak harus hadir ke pengadilan tetapi dapat melalui sarana elektronik (Pasal 9). Pemeriksaan saksi melalui audio visual (teleconference) pada prinsipnya merupakan komunikasi langsung secara interaktif dimana para pihak satu sama lain dapat berdialog (tanya/jawab) walaupun masing-masing berada di tempat yang berbeda dan dapat bertatap muka meskipun melalui monitor/layar, dengan demikian keterangan saksi yang disampaikan melalui teknologi audio visual (teleconference) di depan persidangan pada dasarnya adalah sama dengan keterangan saksi yang diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Selain itu penggunaan audio visual (teleconference) juga telah memenuhi asas-asas umum yang berlaku pada hukum acara pidana.
Dengan demikian keterangan saksi melalui audio visual (teleconference) dapat dijadikan alat bukti yang sah sebagai alat bukti keterangan saksi, sepanjang saksi tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai saksi, harus mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu (Pasal 160 ayat (3) jo. Pasal 185 ayat (7) KUHAP); dinyatakan secara lisan melalui alat komunikasi audio visual (teleconference) di muka sidang pengadilan (merupakan perluasan dari Pasal 185 ayat (1) KUHAP); Isi keterangan harus mengenai hal yang saksi lihat, dengar, dan alami sendiri, serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka 27 KUHAP) dan Keterangan saksi tersebut saling bersesuaian satu sama lain (Pasal 185 ayat (6) KUHAP). Penggunaan teknologi audio visual (teleconference) dalam pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan memang masih menimbulkan beberapa kendala selain kendala teknis juga kendala karena belum ada kesamaan pandangan dalam menyikapi penggunaan audio visual (teleconference) ini, untuk itu pemerintah segera merevisi KUHAP terutama yang berkaitan dengan hukum pembuktian.

The development of modern technology to bring a change in the legal world, one of them the use of audio visual/teleconference to give testimony in the trial of criminal cases. On the one hand, the use of this facility is a positive breakthrough in criminal justice in Indonesia, but on the other hand caused much controversy due to the implementation of audio visual/teleconference in the examination of witnesses is not regulated in Criminal Procedure Code (KUHAP), but the fact means may be used to examine witnesses in the trial of criminal cases including cases of corruption, gross human rights violations after the popular consultation in Timor-Timur, and terrorism. Departing from this, the authors tried to examine the use of audio visual/teleconference in proceedings in criminal cases as evidence the testimony of witnesses.
From the data the authors obtained, in a trial practice in allowing the use of audio visual/teleconference in the examination of witnesses as to test the truth of the witness testimony itself. In addition, the formation has Law of Indonesia Number 13 Year 2006 on Witnesses and Victims Protection that provides an option for witnesses to provide testimony that does not have to present to the court but can be by electronic means (Article 9). Examination of witnesses through the audio visual/teleconference in principle is a direct interactive communication where the parties can engage in dialogue with one another (question / answer), although each are in different places and can even come face to face through the monitor/screen, with the statement witnesses are delivered via audio visual technologies (teleconference) before the trial is essentially the same as set forth in the statements of witnesses that the provisions of Article 184 paragraph (1) Criminal Procedure Code (KUHAP).
In addition, the use of audio visual/teleconference also meets the general principles that apply to criminal procedure. Thus, the statements of witnesses through the audio visual/teleconference can be used as valid evidence as evidence the witnesses testimony, all witnesses are to meet the requirements as a witness, took the oath or affirmation must be first (Article 160 paragraph (3) jo. Article 185 paragraph (7) Criminal Procedur Code/KUHAP); expressed verbally through audio visual means of communication (teleconference) before the trial court (an extension of Article 185 paragraph (1) Criminal Procedure Code/KUHAP); content information must be on the witness see, hear, and experience, and state the reason of his knowledge of it (Article 1 number 27 Criminal Procedur Code/KUHAP) and the witness are compatible with each other (Article 185 paragraph (6) Procedur Code/KUHAP). The use of audio visual technologies (teleconference) in the examination of criminal cases in court is still causing some problems in addition to the technical constraints because there is no obstacle too common view in addressing the use of audio visual/teleconference, for the government to revise the Procedur Code/KUHAP, especially relating to the law proof.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30089
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Raquela Raya
"Skripsi ini membahas mengenai kekuatan pembuktian keterangan anak di bawah umur untuk dijadikan Saksi dalam tindak pidana pencabulan. Mengenai keterangan anak di bawah umur sebagaimana diatur dalam peraturan Pasal 171 KUHAP dikatakan bahwa anak di bawah 15 (lima belas) tahun tidak berkompeten untuk dijadikan Saksi, dikarenakan anak yang memberikan keterangan tidak berada di bawah sumpah dan keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk guna menambah keyakinan Hakim jika ditunjang oleh alat bukti yang sah lain. Namun, jika keterangan anak hanya dijadikan alat bukti petunjuk, tidak dapat pula dikatakan sebagai alat bukti yang sah, karena tidak disumpah. Sedangkan pada kasus tindak pidana pencabulan, banyak ditemukan anak menjadi Saksi dan/atau Korban sebagai alat bukti satu-satunya. Oleh sebab itu, pada skripsi ini akan membahas yaitu, kekuatan pembuktian Anak Saksi dalam tindak pidana pencabulan, yang memenuhi kriteria fit to stand a trial, perbaikan yang perlu dilakukan dalam rangka melindungi anak sebagai Saksi tindak pidana pencabulan dan RUU KUHAP dapat mengakomodasi hal tersebut. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif, di mana data penulisan ini berasal dari studi kepustakaan, wawancara Ahli dan Undang-Undang terkait. Hasil penulisan ini mengarahkan untuk dilakukan perbaikan pengaturan hukum di Indonesia yaitu anak di bawah umur yang akan dijadikan saksi tindak pidana pencabulan harus memenuhi batasan minimal umur dan melewati pemeriksaan kompetensi sesuai prinsip fit to stand a trial. Dan dalam rangka melindungi hak anak sebagai Saksi, anak wajib didampingi oleh Ahli Psikiatri Forensik sebelum persidangan, persidangan dan setelah persidangan.

This thesis discusses the strength of proof of the testimony of minors to be used as witnesses in criminal acts of obscenity. Regarding the testimony of minors as stipulated in Article 171 of the Criminal Procedure Code, it is said that children under 15 (fifteen) years are not competent to be made witnesses, because children who give statements are not under oath and their statements are only used as a guide to add to their conviction. Judge if supported by other valid evidence. However, if the child's statement is only used as evidence, it cannot also be said to be valid evidence, because it is not sworn in. Meanwhile, in cases of criminal acts of sexual abuse, many children were found to be witnesses and/or victims as the only evidence. Therefore, this thesis will discuss, namely, the strength of proof of Child Witnesses in criminal acts of obscenity, which meet the fit to stand a trial criteria, improvements that need to be made in order to protect Children as Witnesses in criminal acts of obscenity and the Criminal Procedure Code Bill can accommodate this. This writing uses a juridical-normative method, where the data for this writing comes from literature studies, expert interviews and related laws. The results of this writing direct the improvement of legal regulations in Indonesia, namely that minors who will be used as witnesses to criminal acts of obscenity must meet the minimum age limit and pass a competency examination according to the principle of fit to stand a trial. And in order to protect the rights of children as witnesses, children must be accompanied by a forensic psychiatrist before the trial, the trial and after the trial."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nababan, Adetya Evi Yunita
"Skripsi ini membahas penerapan asas unus testus nullus testis dalam praktik peradilan pidana di Indonesia serta kekuatan pembuktian keterangan saksi de auditu berdasarkan KUHAP yang melekat pada keterangan penyidik dalam pertimbangan majelis hakim sebagai salah satu akibat yang ditimbulkan dari kelemahan penerapan asas unus testis nullus testis. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak semua hakim yang memeriksa perkara pidana dapat menerapkan dengan tepat ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang lebih dikenal dengan asas unus testis nullus testis.
Terdapat respon yang berbeda terkait penerapan asas tersebut. Hal ini karena belum ada peraturan yang mengakomodir kelemahan dari asas tersebut, yaitu keterbatasan alat bukti yang tersedia dalam suatu tindak pidana. Selain itu, penelitian ini juga akan memperlihatkan perbandingan atas tanggapan para hakim Indonesia dan tanggapan hakim di peradilan Negara bagian dalam menilai kekuatan pembuktian saksi de auditu (hearsay evidence). Peranan aktif hakim dalam menemukan kebenaran materiil melalui perannya menentukan kekuatan pembuktian keterangan saksi yang memiliki kekuatan pembuktian bebas juga dipaparkan dalam penelitian ini.

The focus of this study is the application of the principle unus testis nullus testis in the practice of criminal justice in Indonesia as well as the strength of evidence on witness testimony de auditu based on Indonesian Criminal Procedure are attached to the description of the investigator in the judges?verdict as one of the weakness from the application of the principle 'unus testis nullus testis'. The research method used is this study is normative literature. The results of this study indicate that not all judges are examining a criminal case by applying the appropriate provisions of Article 185 paragraph (2) Indonesian Criminal Procedure Code which is better known as the principle of unus testis nullus testis.
There are different responses related to the application of this principle. This is because there is no regulation that accommodate the weaknesses of this principle, namely the limitations of the available evidence in a criminal act. In addition, this study will also show the comparison of the responses of the judges of Indonesia and the responses of judges in Texas state courts in assessing the strength of evidence the witness de auditu (Hearsay evidence). The study also describes the active role of judges in finding the material truth through its role to determine the strength of statements of witnesses evidence who have the independent verification power.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S398
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fikri Rasyidi
"Skripsi ini membahas tentang beberapa permasalahan terkait dengan legalitas atau keabsahan penyidik sebagai saksi dalam pemeriksaan persidangan tindak pidana narkotika. Penelitian ini berfokus pada tiga pokok permasalahan, yaitu: tentang legalitas atau keabsahan penyidik sebagai saksi di persidangan berdasarkan KUHAP, kekuatan hukum pembuktian alat buksi saksi yang diberikan oleh penyidik di persidangan, dan keabsahan penyidik sebagai saksi dalam pemeriksaan persidangan tindak pidana narkotika berdasarkan Putusan Mahkamah Agung. Penelitian ini bermetodekan yuridis-normatif yang metode pengambilan data berfokus pada studi literatur hukum dan peraturan perundangundangan terkait. Hasil penelitian berkesimpulan bahwa penyidik tidak boleh bersaksi di persidangan atas perkara yang ia sidik sendiri dan menyarankan untuk dilakukannya fungsi kontrol terhadap penyidik dalam melakukan penyidikan agar kesaksiannya dapat di pertimbangkan hakim di proses pemeriksaan persidangan.

This thesis discusses some problems related to the legality of the investigator as a witness in a criminal trial drug. This study focuses on three main issues, namely: the legality of the investigator as a witness in a drug's criminal trial based on KUHAP, the strength of evidence given by the investigator in a drug?s criminal trial, and the legality of the investigator as a witness in a drug's criminal trial based on the Supreme Court Verdict. This study focus on juridical-normative study. The data retrieval methods focus on the study of literature and Indonesia's legislation. The results concluded that the investigator by some reasons is not allowed to be a witness in a drug's criminal trial and advise to add the controlling system for the investigator in conducting investigations in order to consider his testimony to the judge in the trial examination.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46899
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Radinal
"Ketentuan mengenai saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia yang selama ini diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap melaui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 65/PUU-VIII/2010. Dengan adanya putusan tersebut maka perlu dilihat bagaimana sifat dari putusan tersebut mempengaruhi baik kedudukan saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia, maupun dalam hukum acara pidana pada umumnya, yang mana kedudukan saksi untuk dapat memberikan keterangan saksi dalam suatu perkara pidana dianggap cukup penting.

The provisions on witness in criminal procedure law in Indonesia provided in article 1 points 26 and 27, article 65, article 116 subsection (3) and subsection (4) and Article 184 subsection (1) letter a Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure (Indonesian Code of Criminal Procedure) is declared to be contrary to Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 and has no absolute legal force of law according to the Constitutional Court Award No. 65/PUU-VIII/2010. Following the ruling, the is necessity to see how the nature of the decision affects the position of witness both in criminal procedure law in Indonesia, as well as in the law of criminal procedure in general, considering the importance of the witness competence in giving testimony for the criminal trial."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42816
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tarisha Jasmine Arqietha
"Alat bukti dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya perbuatan tindak pidana, yang dibutuhkan dalam sistem pembuktian persidangan yang bersifat legally guilt. Dalam hal ini, keterangan saksi memiliki kedudukan penting dalam pembuktian dengan memuat informasi mengenai alur terjadinya suatu kejahatan. Saksi bisa saja melakukan penyimpangan hukum dikarenakan kepentingannya dipersulit oleh pihak tertentu sehingga melakukan tindak pidana. Kekuatan pembuktian dalam menetapkan perubahan status saksi menjadi tersangka perkara tindak pidana korupsi berdasarkan konsep factual guilt berdasarkan Pasal 183 KUHAP setidaknya harus memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti yang menunjukkan saksi tersebut secara formil dan materil memiliki keterlibatan untuk dijadikan tersangka agar pembuktian dapat dilakukan. Skripsi ini membahas mengenai kekuatan pembuktian alat bukti dalam menetapkan perubahan status saksi menjadi tersangka berdasarkan konsep legally guilt dan factual guilt dimana penerapan konsep keduanya diterapkan dalam proses persidangan tindak pidana korupsi, dengan menggunakan metode doktrinal dengan pendekatan kualitatif serta menggunakan bahan kepustakaan. Penelitian ini menemukan bahwa putusan pengadilan dapat digunakan sebagai alat bukti surat dalam menetapkan saksi menjadi tersangka, yang dibutuhkan Jaksa Penuntut Umum sebagai bukti dalam pembuktian factual guilt. Kemudian proses persidangan dapat dilanjutkan apabila Jaksa Penuntut Umum yakin bahwa alat bukti yang ada dapat menimbulkan keyakinan hakim dalam pembuktian berdasarkan konsep legally guilt.

Evidence is used as evidentiary material in order to create a judge's belief in the truth of the existence of a criminal act required in a trial evidence system that is legally guilt. In this case, witness' testimony has an important position in evidence by the information about the flow of a crime. Witnesses may commit legal deviations because their interests are complicated by certain parties so that they commit criminal acts. The strength of proof in determining the change in the status of a witness to a suspect in a corruption case based on the concept of factual guilt, based on Article 183 of the Criminal Procedure Code, must fulfill at least 2 pieces of evidence that show that the witness formally and materially has involvement to become a suspect so that proof can be carried out. This thesis discusses the evidentiary power of evidence in determining changes in the status of witnesses to suspects based on the concepts of legally guilt and factual guilt where the application of both concepts is applied in the trial process for corruption crimes, using doctrinal methods with a qualitative approach and using library materials. This study found that court decisions can be used as written evidence in determining witnesses to be suspects needed by the Public Prosecutor as evidence in proving factual guilt. Then the trial process can be continued if the Public Prosecutor believes that the existing evidence can lead to the judge's confidence in proving based on the concept of legally guilt."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Munthe, Saut Erwin Hartono A.
"Penerapan Teleconference untuk penghadiran saksi dalam Persidangan Pidana menimbulkan perdebatan panjang. Disatu sisi perkembangan hukum ketinggalan jauh dengan perkembangan masyarakat, apalagi bila diperbandingkan dengan kemajuan teknologi sedangkan disisi lainnya, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana {KUHAP} sebagai basis acara Pemeriksaan Perkara Pidana tidak mengaturnya. Pasal 185 KUHAP ayat (1) yang isinya sebagai berikut "keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan". Kalimat yang saksi nyatakan di sidang pengadilan inilah yang menjadi titik tolak perdebatan. Disatu pihak mengatakan bila saksi tidak hadir langsung secara fisik kedepan persidangan kesaksiannya tidak sah, di pihak lain menyatakan bahwa dengan teleconference saksi sudah hadir dipersidangan, karena keterangan saksi tetap dapat di Cross-Check oleh kedua belah pihak dan fisik saksi dapat dilihat pada layar monitor yang ada. Berkaitan dengan permasalahan hukum pembuktian, tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk memecahkan permasalahan yang ada mengenai teleconference sebagai salah satu alat bukti dalam memeriksa keterangan saksi, khususnya kekuatan bukti keterangan saksi melalui teleconference dan legalitas prosedur pemeriksaan jarak jauh melalui teleconference. Permasalahan hukum pembuktian Teleconference terkait dengan kekuatan bukti dan kekuatan pembuktian tidak bertentangan dengan asas-asas hukum pidana dan peraturan perundang-undangan yang ada. Ada beberapa asas-asas umum yang berlaku dalam hukum acara pidana yaitu asas terbuka secara umum, asas pemeriksaan secara langsung,asas peradilan cepat, sederhara, dan biaya ringan,asas kelangsungan/oral debat. Penggunaan teleconference sudah memenuhi syarat materiil dan syarat formil KUHAP. Dalam syarat formil tidak terlihat adanya hambatan, kecuali pasal 185 ayat (1), Penerapan Teleconference justru menutupi kelemahan Pasal 162 KUHAP karena dengan teleconference maka tetap dilakukan dialog dan tanya jawab serta melihat emosi saksi selama memberikan keterangan. Padoaharuan hukum pembuktian terutama dikaitkan dengan legalitas prosedur pemeriksaan jarak jauh mutlak dilakukan karena beberapa Undang-undang sebenarnya telah memasukkan dokumen elektronik sebagai alat bukti seperti RUU Informasi dan Transaksi Elektronik, RUU Perlindungan Saksi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Pemberantasan Korupsi, UU Terorisme. Berkaitan dengan hal itu KUHAP sebagai "UU Payung" mestinya mengakomodasi Perkembangan Alat Bukti modern khususnya Teleconference sebagai data Elektronika."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19806
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>