Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68792 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Fahry
"Terdapat dua lapangan kerja yang dapat menyerap tenaga keija yaitu sektor formal dan informal. Karena tingginya tuntutan kualifikasi pada sektor formal membuat para pendatang yang berkemampuan terbatas lebih memilih masuk pada sektor informal. Ada berbagai macam usaha yang masuk pada sektor informal yaitu yang bergerak di bidang perdagangan seperti perdagangan kaki lima dan di bidang jasa seperti usaha bengkel kaki lima. Karena keterbatasan kemampuan dalam soal modal membuat para pengusaha bengkel kaki lima cenderung untuk menggunakan trotoar dan pinggiran jalan sebagai tempat usahanya. Begitu juga dengan perekrutan tenaga kerja karena sulit mendapatkan tenaga kerja yang sudah terampil (mahir), karena dengan keterbatasan modal yang dimilikinya para pengusaha ini tidak dapat membayar upah yang tinggi. Oleh karena itu pilihan jatuh kepada tenaga kerja yang berasal dari ligkungan keluarga (kerabat), pada hal belum tentu tenaga kerja yang diterima sudah terampil. Dimana sebagai suatu usaha bengkel kaki lima ini membutuhkan suatu skill yang cukup dan juga tempat usaha yang di pinggiran jalan yang melanggar karena menggunakan sarana umum sebagai tempat usaha maka kemampuan bertahan usaha bengkel kaki lima ini sangat menarik. Pada dasamya kelangsungan usaha kaki lima ini dapat dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor internal yang merupakan faktor yang berasal dari kemampuan wirausaha pengusaha dan faktor ekstemal yaitu faktor yang berasal dari luar diri pengusaha seperti kondisi pasar dan lain-lain. Tetapi pada penelitian ini batasan internal difokuskan pada pola hubugan keija dan ekstemal pada kondisi pasar Penelitian ini bersifat deskiiptif dimana berusaha menggambarkan fenonema yang ada dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini mengambil lokasi di daerah Tebet Timur, Jakarta Selatan dengan menggunakan tehnik wawancara mendalam dan observasi non partisipan maka dengan data yang di dapat mencoba melihat bentuk pola hubungan keija yang ada pada bengkel kaki lima di jalan Tebet Timur Dalam Raya. Pinggiran jalan Tebet Timur Dalam Raya telah digunakan sebagai tempat usaha bengkel sejak tahun 1994, terdapat enam buah pengusaha bengkel kaki lima yang berada di sepanjang jalan Tebet Timur dimana keenam bengkel ini bergerak di bidang perbaikan body kendaraan bermotor. Yang menarik dari usaha bengkel kaki lima ini adalah kesemua pengusaha yang ada berasal dari satu daerah yang sama yaitu Surabaya. Karena keterbatasan modal yang dimiliki pengusaha bengkel kaki lima sehingga untuk mendapatkan tenaga kerja yang terampil sangatlah sulit. Maka para pengusaha harus menerima tenaga kerja yang belum terampil dengan keharusan dilatih terlebih dahulu. Oleh karena itu pengusaha harus mempertahankan tenaga keija yang sudah terlatih, cara mempertahankan tenaga kerja dilakukan melalui pola hubungan kerja yang terjalin karena di dalam pola hubungan kerja yang terjalin terdapat suatu hubungan pertukaran dimana pengusaha sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan lebih dibanding dengan tenaga kerja memberikan fasilitas berupa tempat tinggal, pengurusan surat-surat keterangan KTP) dan lain-lain. Dengan pemberian fasilitas ini membuat tenaga kerja lebih merasa terjamin dan aman sehingga dapat bekerja secara optimal selain itu tenaga kerja juga merasa betah sehingga untuk meninggalkan pengusaha adalah suatu hal yang tidak mudah. Adanya kesamaan latar belakang seperti ikatan keluarga juga membantu memperkuat hubugan kerja yang terjalin. Dengan terjalinnya hubungan yang demikian membuat kelangsungan usaha kaki lima ini dapat dipertahankan karena dengan adanya tenaga kerja pekerjaan dapat terus berlangsung. Selain faktor internal faktor yang berpengaruh pada kelangsungan usaha bengkel kaki lima ini adalah kondisi pasar dimana kondisi pasar pada saat ini membantu peningkatan jumlah pelanggan yang menggunakan jasa usaha bengkel kaki lima ini. Pada saat seperti ini bengkel kaki lima ini menjadi alternatif bagi pengguna jasa bengkel untuk memperbaiki mobilnya karena murahnya ongkos yang ditawarkan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
S6848
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lapian, Gideon M.
"ABSTRAK
Pedagang Kaki Lima Makanan harus dapat mempertahankan kelangsungan kegiatan ekonomi itu demi pemenuhan kebutuhan untuk hidup mereka. Sehingga mereka memerlukan suatu manajemen yang dapat mengatur dan mengelola usaha kebutuhan material mereka. Namun selain berusaha memperoleh hasil material, mereka pun harus dapat memproses penginteqrasian pengelompokan sesial (reproduksi sosial) yang terproses dalam manajemen tersebut. Reproduksi sosial ini sangat penting dalam usaha pemenuhan kebutuhan material karena menyangkut kelangsungan usaha pemenuhan kebutuhan material itu sendiri. Terlebih lagi para pedagang kaki lima tersebut terkondisi dalam situasi yang serba informal (tak resmi/tanpa legalitas kontrak ). Nyatanya manajemen yang terwujud dan relatif mapan merupakan hasii dari proses mekanisme kerja yang berlangsung dalam kegiatan ekonomi mereka sehari-hari di mana usaha pe/nenuhan kebutuhan material (reproduksi material) dibarengi dengan usaha pengintegrasian pengelompokan sosial di antara mereka. Ada pun proses pengintegrasian yang terwujud ialah melalui berbagai bentuk pertukaran barang/jasa yang bersifat personal; yang memproses suatu pola hubungan kerja yang sangat mengandalkan azas saling percaya. "
1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S6918
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suriadi
"Ruang lingkup: Pekerja yang mendapatkan pajanan antara lain panas dan lembab tinggi, misalnya pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima merupakan kelompok yang mudah terinfeksi tinea kruris. Kebiasaan pekerja tidur bersama-sama, kebersihan diri yang kurang, pendidikan rendah, serta beberapa variabel lain juga diduga merupakan faktor risiko terhadap tinea kruris. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi serta faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi kejadian tinea kruris. Metode : Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan jumlah sampel sebanyak 87 orang yang merupakan populasi terjangkau. Data diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan sediaan langsung KOH untuk memastikan diagnosis tinea kruris. Juga dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian : Didapatkan prevalensi tinea kruris pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima di Kecamatan Taman Sari sebesar 33,3%. Faktor-faktor risiko seperti umur, jenis kelamin, pendidikan rendah, kebersihan diri, kontak erat dengan penderita tinea kruris, serta status gizi tidak terbukti rnerupakan faktor risiko untuk terjadinya tinea kruris pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima. Ditemukan faktor risiko yang cenderung memiliki hubungan yang cukup kuat dengan tinea kruris, yaitu kebersihan diri (p= 0,052; OR= 7,30; 95% CI= 0,90-158,4). Kesimpulan dan Saran : Hasil penelitian ini mendapatkan prevalensi tinea kruris pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima di Kecamatan Taman Sari ternyata tinggi dibandingkan dengan prevalensi pada komunitas pekerja lainnya. Karena kelemahan metode pada penelitian ini, panas dan lembab belum dapat dibuktikan berpengaruh terhadap kejadian tinea kruris. Kebersihan diri mempunyai kecenderungan hubungan yang kuat dengan tinea kruris. Penelitian selanjutnya untuk mengetahui pengaruh panas dan lembab terhadap tinea kruris, diperlukan pengelompokan populasi yang jelas berada pada dua tempat yang iklim kerjanya berbeda, atau dengan menggunakan analisis tugas (job analysis) pada 2 kelompok populasi yang iklim kerjanya tidak berbeda. Untuk mengetahui apakah kebersihan diri merupakan faktor risiko terhadap tinea kruris, diperlukan jumlah sampel yang seimbang untuk 2 kelompok yang diteliti. Penelitian hendaknya menggunakan kasus-kontrol sebagai desain penelitian."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16195
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Siswono
"Disertasi ini adalah mengenai hubungan-hubungan kekuasaan antara pemerintah kota dengan pelaku sektor informal. Lebih spesifik, disertasi ini mengenai kalangan pedagang kaki-lima (PKL) di Kota Depok, Jawa Barat dalam memahami, menginterpretasi dan menanggapi kenyataan yang mereka hadapi akibat pemberlakuan peraturan daerah (Perda). Kehidupan mereka teracam oleh tindakan operasi penertiban petugas Satpol PP sebagai salah satu aparat. Disertasi ini memusatkan perhatian pada strategis-strategis yang sengaja dikembangkan oleh PKL, Preman dan Aparat setempat untuk menguasi trotoar dengan melakukan negosiasi dan akomodasi.
Hubungan-hubungan kekuasaan dalam konteks penguasaan ruang publik tersebut, seolah menjadi perebutan antara pihak PKL dengan Preman dan Aparat yang ingin melaksanakan aktivitas sehari-hari serta tugasnya, dipandang sebagai sebuah perspektif, pengetahuan, dan kekuasaan yang bebas diinterpretasikan oleh seorang peneliti Antropologi. Sikap negosiasi dan akomodasi yang dilakukan para PKL yang terjadi di trotoar bekerja terkait satu sama lain dan saling membutuhkan, menyebabkan posisi mereka semakin menunjukkan penguasaannya. Para pelaku seperti preman dan aparat yang terlibat dalam melakukan strategi negosisasi dan akomodasi merupakan praktikpraktik sosial yang menandai bekerjanya kekuasaan, karena adanya hubungan antara struktur dan agensi (Giddens, 1979). Trotoar sebagai tempat aktivitas mereka sehari hari, juga sebagai objek tarik menarik antara PKL, Preman dengan Aparat setempat merupakan reproduksi aktivitas-aktivitas yang telah terorganisasi melalui kontekstualitas ruang dan waktu. Oleh karena itu, kontekstualitas merupakan interaksi yang disituasikan dalam ruang dan waktu (Giddens, 1984). Sikap resistensi yang ditunjukkan para PKL itu, meskipun terkadang tidak tampak ke permukaan merupakan sebuah aspek politik yang mengimplikasikan interpretasi yang berbeda beda (Foucault, 1978). Lebih jauh Foucault (1978) menyatakan, bahwa resistensi selalu hadir bersama kekuasaan, dan, "dimana ada kekuasaan, di sana ada resistensi", sehingga adanya kekuasaan selalu dihadapi dengan perlawanan. Hal ini oleh para antropolog seringkali dikaitkan dengan sifat hegemoni yang melekat pada kekuasaan tersebut (Gramsci dalam During, 2001). Di samping itu, Foucault (1978) menyatakan, bahwa kekuasaan selalu hadir di seluruh ruang sosial (social sphere) dimana pun dan memasuki ruang publik, sehingga kekuasaan bukanlah suatu kepemilikan monolitik suatu kelas atau kelompok tertentu.
Temuan penelitian, dapat dikemukan seperti sebagai berikut :
Pertama, bahwa trotoar dimaknai sebagai salah satu ruang publik yang peruntukannya diatur oleh pemerintah kota melalui peraturan daerah (Perda). Pemberlakukan Perda selama ini sejak 2006), sering mengundang kontroversi dari masing-masing pihak yang berkepentingan, terutama kalangan PKL. Para PKL yang sering melakukan perlawanan bertujuan untuk mengimbangi petugas Satpol PP. Akan tetapi pada saat yang lain PKL melakukan negosiasi, dan akomodasi untuk mempertahankan trotoar sebagai tempat berusaha mereka. Oleh karena itu, trotoar dalam konteks penggunaannya bukanlah sesuatu yang statis, tetapi konsep yang dinamis dan selanjutnya dijadikan objek perebutan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Proses "tarik menarik" antara berbagai kepentingan, proses makna-memaknai dan tafsir-menafsirkan merupakan proses yang menandai bekerjanya kekuasaan yang terus berkembang sesuai kepentingan masingmasing pihak yang terlibat.
Kedua, proses negosiasi, dan akomodasi yang dilakukan oleh masing-masing pihak tersebut demi melanggengkan kepentingannya untuk menguasai trotoar. Oleh karena itu untuk menguasai trotoar para PKL pada awalnya bersikap resistensi dalam menghadapi Aparat. Tetapi kemudian mereka melakukan negosiasi dan akomodasi karena dianggap lebih efektif. Tindakan negosiasi dan akomodasi yang dilakukan di antara pihak-pihak yang terlibat tersebut merupakan sikap yang berkembang selama ini, sehingga semakin memperkuat penguasaan ruang publik.
Ketiga, tindakan resistensi, negosiasi dan akomodasi yang berkembang dalam hubungan-hubungan kekuasaan antara PKL, Preman dan Aparat merupakan konstelasi yang tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja, tetapi memerlukan tindakan-tindakan yang arif, sehingga tidak terjadi tindakan-tindakan yang selama ini cenderung adanya kekerasan.

This Doctoral Thesis is about relations of authority between central government and informal sector. More specific, this doctoral thesis about impact of community of traditional trader in City of Depok, West Java in term of understanding, interpretation and responding reality life of them on local government legality - (Perda). Traditional trader life in danger by action and operation of Government Police (Satpol PP) to curb as government institution. This doctoral thesis focused on strategies which is absolutely developed by Traditional Trader (PKL), civilian freeman and government institution in that area to get control of pedestrian way with negotiation and accommodation. Relations between authority in context domination on public area, as through become battle for power between Traditional Trader (PKL) with civilian freeman and Government Institution which is they are want to do daily duties, viewed as perspective, knowledge, and authority which is to interpretation by Anthropologists. Attitude of negotiation and accommodation which is traditional trader doing on pedestrian way relate each other and need each other, impacting position of them more refer to get power. Civilian freeman and Government Institution in term to do strategy of negotiation and accommodation that is social practices which is mark sense authority works, because as it is relationship between structure and agency (Giddens, 1979).
Pedestrian Way as place of daily activities of them, as well as object battle for power between traditional trader, civilian freeman and local government institution which is reproduction of activities of organized by mean of contextual area and time. On that cause, contextuality which is situationed interaction on area and time (Giddens, 1984). Attitude of resistantion to pointed from that traditional trader, although sometimes not really definitely explisit which is one of politic aspect to implicate different interpretations (Foucault, 1978). Farther Foucault (1978) suggest that resistantion always come up with authority, and "where as it is autority, there as it is resistantion", so it will always authority responded with oppotition. This thing by anthropologists many times related with hegemony which is stick to that authority (Gramsci on During, 2001). Otherwise, Foucault (1978) suggest that authority always come up on whole social area(social sphere) anywhere and entering public area, so it will authority not an monolitic ownership a class or certain group.
Research result has fouded as like as :
First, that pedestrian way has meaned as one of public sphere which is role of conduct from local government by mean local government legality (Perda). Authorized Perda since 2006, often exciting controversion from each be concerned side, especially traditional trader side. Traditional traders which is who often to opposite purpose for balancing Government Police (Satpol PP).However once a time other side traditional trader doing negotiation, and accomodation for maintain pedestrian way as place as work for them. On that cause, pedestrian in context its use not statical things, but conceptual which is dinamic and next as well as object to battle for authority by sides be concerned. Process "pull-pulling" between various interest, meaningful process and interpretatively which is process indicated development authority works relate with authority each sides.
Second, hopefully to have authority for authorizing pedestrian way. On that cause to authorized pedestrian way traditional traders at first time being resistantion when confront to the Government Institution. But then have a deal and negotiation and accomodation because they feel more effectively. Actions of negotiation and accomodation that does between sides which is who joined with that situation there is as long as development attitude. So it will strengthen domination public sphere.
Third, resistantion action, negotiation and accomodation which is developed in term relations authority between traditional traders, civilian freeman and government institution which is not easy constelation to removed, but must have wise actions, so it wont create rush actions."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
D956
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Suriadi
"Operasi penertiban yang sering dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang dianggap melanggar Perda Nomor 11 Tahun 1988, rupanya tidak diterima begitu saja oleh PKL. Ternyata, para PKL melakukan berbagai bentuk perlawanan dalam menghadapi aparat Pemda, bahkan bentuk perlawanan mereka akhir-akhir ini semakin keras. Kerasnya perlawanan PKL tersebut disebabkan oleh munculnya berbagai faktor di mana faktor yang satu berkaitan dengan faktor yang lain.
Secara teoretis, suatu perlawanan dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, tergantung dari kondisi situasional yang tercipta pada saat itu serta nilai-nilai dan norma, baik yang berlaku di lingkungan setempat maupun yang mengendap dalam alam pemikiran para aktornya. Demikian pula bahwa terdapat sejumlah faktor yang saling berkaitan sehingga menyebabkan terjadinya suatu bentuk perlawanan yang dilakukan oleh satu pihak terhadap pihak lain. Secara umum, teori-teori yang dapat naenjelaskan masalah tersebut antara lain teori yang dikemukakan oleh Parsons, Galtung, Smelser, dan Gum Sementara teori-teori dalam nuansa konteks Indonesia juga dapat dijelaskan seperti yang dikemukakan oleh Pally, Nitibaskara, Wirutomo, dan Hikam.
Untuk mengkaji masalah bentuk bentuk perlawanan dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perlawanan PKL terhadap Pemda DKI Jakarta tersebut, maka dalam penelitian ini dipilih pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian yang bersifat deskriptif-eksplanatif Agar mendapatkan gambaran komprehensif, ada dua jenis data yang dibutuhkan, yakni data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara secara mendalam kepada informan yang dianggap dapat memberikan informasi yang diperlukan serta melakukan pengamatan langsung terhadap kehidupan sehari-hari para PKL. Sementara data sekunder diperoleh dari laporan, dokumen-dokumen, berita-berita surat kabar yang berkaitan dengan masalah perlawanan PKL. Sebagai sampel penelitian, ditetapkan secara purposif salah satu lokasi di DKI Jakarta, yaitu di Perempatan Ciracas, Kelurahan Susukan, Kecamatan Ciracas, Kotamadya Jakarta Timur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga bentuk perlawanan yang dilakukan oleh PKL dalam penertiban Pemda DKI Jakarta, yakni (1) perlawanan tertutup yang dicirikan oleh sikap pura-pura patuh pada saat ada aparat Pemda, tetapi ketika aparat meninggalkan lokasi mereka pun kembali berjualan; (2) perlawanan semi-terbuka yang dicirikan oleh sudah adanya upaya penentangan dalam bentuk perang urat syaraf, munculnya strategi mengaburkan konsep PKL, dan menggalang kekuatan melakukan protes secara lebih frontal; dan (3) perlawanan terbuka yang dicirikan oleh sikap perlawanan secara fisik berupa penggunaan benda tumpul dan senjata tajam yang digunakan oleh PKL untuk melakukan perlawanan kepada aparat Pemda DKI Jakarta.
Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perlawanan PKL secara keras dapat dilihat pada berbagai tingkatan. Pertama, faktor sistem budaya yang tidak sama antara PKL di satu sisi dengan aparat Pemda di sisi lain dalam memandang lokasi seperti taman-taman kota, trotoar, dan badan jalan. Pemda meletakkan nilai-nilai keindahan dan ketertiban sebagai dasar dalam melihat ketiga tersebut, sementara PKL menempatkan nilai-nilai yang lebih fungsional seperti nilai-nilai ekonomi (yang penting dapat uang) sebagai hal yang utama . Kedua, faktor sistem sosial yang tidak kondusif dalam interaksi sosial sehari-hari PKL, baik terhadap aparat Pemda maupun sesama PKL yang sesama ini mendapat perhatian dari Pemda. Ketiga, faktor sistem kepribadian PKL yang aktif dan agresif tidak diarahkan pada terbentuknya kepribadian yang taat pada aturan. Keempat, faktor sistem biologis yang kurang memadai, yang diakibatkan oleh pengaruh lokasi penjualan (panas, dingin, debu, asap kendaraan) dan lokasi permukiman yang tidak memenuhi norma-norma kesehatan, tidak memungkinkan terciptanya tabula yang senantiasa sehat. Keempat faktor ini saling berkaitan dalam dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah sistem biologis memberikan energi dan dorongan terhadap sistem kepribadian untuk kemudian diteruskan ke sistem sosial dan terakhir ke sistem budaya. Sedangkan mekatrisme kedua adalah setelah berada di puncak, sistem budaya kembali mengontrol sistem sosial (institusionalisasi), lalu mengontrol sistem kepribadian (internalisasi), seianjutnya mengontrol sistem biologis.
Dan hasil penelitian ini, ada beberapa rekomendasi yang dapat diajukan: (a) kiranya Perpu No. 11 Tahun 1988 (pasal 16) dapat ditinjau ulang karena ternyata Perda tersebut cenderung mendiskriminasi pedagang kecil, seperti PKL; (b) kiranya PKL yang tidak resmi diberi peluang yang sama dengan PKL yang resmi untuk mendapatkan status resmi sehingga mereka juga dapat menjalankan aktivitas penjualannya dengan aman dan tenang; (c) perlunya Pemda mengubah tindakan penertiban tersebut dengan langkah-langkah yang lebih akomodatif berupa penyediaan kios atau lapak-lapak serta pemberian bantuan modal bagi PKL; dan (d) perlunya pembenahan internal bagi Pemda di mana anggotanya sering memeras PKL, padahal mereka juga yang menertibkannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T7720
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andriansyah
"Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan formulasi dan memilih strategi yang tepat dalam mengatasi permasalahan di sektor informal yang ada di Propinsi DKI Jakarta.
Adapun latar belakang dari penelitian ini, yaitu dengan melihat kondisi Jakarta sebagai kota Metropolitan dengan jumlah penduduk hampir mencapai 10 juta jiwa akibat pertumbuhan yang cukup tinggi, rata-rata 200 ribu jiwa pertahun dari migrasi, berhadapan dengan luas wilayah yang relatif terbatas, berbagai kegiatan juga terkonsentrasi di Jakarta. Mulai dari industri, perdagangan dan jasa serta lain-lainnya, yang tentunya menjadi beban cukup berat bagi penyelenggara pemerintah daerah. Karena mau tidak mau harus menyiapkan dan mengatur mulai dari tempat tinggal, tempat usaha, lapangan pekerjaan, sarana dan prasarana serta berbagai fasilitas yang diperlukan penduduk. Dan inilah yang senantiasa menjadi persoalan yang dihadapi Pemerintah DKI Jakarta, karena keterbatasan dana yang dimilikinya.
Penduduk yang terus mengalir ke Jakarta dari berbagai pelosok tempat di tanah air, menyebabkan ketidakseimbangan tenaga kerja dengan lapangan pekerjaan yang tersedia serta ketidakseimbangan antara penduduk dengan daya dukung fasilitas perkotaan. Apalagi kualitas sumber daya para pendatang tidak sesuai dengan kebutuhan kota Jakarta. Hal ini berimplikasi meningkatnya pengangguran, semakin meluasnya pemukiman kumuh dan padat, kesenjangan antar penduduk, sektor informal yang tidak terkendali serta meningkatnya tindak kejahatan. Tidak heran kalau beberapa waktu lalu Jakarta dijuluki kota kumpulan perkampungan kumuh, sebab memang hanya di beberapa wilayah saja yang biasa disebut sebagai layaknya metropolitan.
Sebut saja semisal wilayah sepanjang Jalan Sudirman dan tindak Thamrin kawasan Menteng di Jakarta Pusat dan sebagian daerah Kebayoran Baru Pondok Indah di Jakarta Selatan, Kelapa Gading di Jakarta Utara, memang merupakan daerah elit. Sementara di beberapa wilayah di Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan masih banyak perkampungan kumuh ketimbang perumahan mewah. Di sepanjang trotoar di jalan jalan di Jakarta para Pedagang Kaki Lima (PKL) membangun tempat dagangannya seenaknya berupa gubuk-gubuk atau tenda-tenda. Tak heran keberadaan PKL ini meski merupakan sektor yang dapat"menempung tenaga kerja besar, namun sering menjadi permasalahan karena dianggap merusak tatanan dan kebersihan serta ketertiban kota Jakarta. Penertiban terhadap PKL dengan mengandalkan Law Inforcement yang kurang diimbangi dengan program yang matang oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta memang menjadi dilema yang tidak kunjung habis. Tetapi betapapun karena Jakarta adalah Ibukota Negara maka mereka yang menggeluti PKL seharusnya menyadari bahwa keteraturan, ketertiban, kebersihan adalah merupakan bagian yang tidak boleh diabaikan.
Fenomena kehidupan yang terjadi di Kota Jakarta berkaitan dengan PKL tersebut mendorong Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta untuk memanage (menata, mengatur, mengelola, membina, mengawasi, menertibkan dan sebagainya) secara konsisten para pedagang kaki lima sesuai dengan visi dan misi Kota Jakarta. Besarnya populasi para pengusaha kecil (mikro) ini yang akhir-akhir berkembang semakin sporadis dengan tingkat kepadatan yang cukup tinggi disadari oleh Pemerintah DKI Jakarta mempunyai potensi, baik potensi yang berdampak positif maupun potensi yang berdampak negatif (potensi konflik). Sisi negatif keberadaan usaha ini tentu akan menimbulkan beban sosial (sosial cost) yang harus ditanggung oleh pemerintah maupun oleh masyarakat Jakarta itu sendiri. Namun dari sisi positif jangka pendek, usaha-usaha ini berfungsi sebagai katup pengamanan penyediaan lapangan kerja, terutama bagi mereka yang mempunyai keterampilan marjinal, yang membutuhkan sumber nafkah. Hanya saja, mereka ini berusaha pada sembarang tempat yang mereka anggap mempunyai nilai cukup strategis dan ekoriomis dengan tanpa mengindahkan dampak negatif keberadaan usaha, dilihat dari aspek tata ruang, sosial, hukum dan ketertiban umum. Aspek-aspek ini tentu merupakan faktor dominan yang harus diperhatikan Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta didalam mengambil langkah ke masa depan untuk menangani pedagang kaki lima, serta merupakan aspek yang perlu diperhatikan pula masyarakat lain yang akan membuka usaha dengan menggunakan ruang publik (public domain).
Oleh karena itu Pemerintah DKI Jakarta berkepentingan untuk menyelesaikan permasalahan kaki lima secara akomodatif, edukatif dan humanis. Populasi target penelitian ini adalah seluruh stakeholders (masyarakat, pemerintah dan pihak swasta) yang ada di Propinsi DKI Jakarta. Oleh karena keterbatasan waktu dan biaya, keseluruhan populasi hanya diambil 15 orang secara purposive sample (responden adalah ekspert yang ahil pada bidang dan tugas yang dimiliki) dengan sebelumnya terlebih dahulu dibagi menjadi kelompok responden (cluster sample), yakni kelompok pemerintah meliputi 5 Walikotamadta di Propinsi DKI Jakarta, Kepala Bapeda, Kepala Dinas Koperasi dan UKM serta Kepala Biro Perekonomian Propinsi DKI Jakarta serta kelompok masyarakat yang terdiri dari para LSM dan para Akademisi (termasuk peneliti).
Berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan Analisis SWOT terpilih strategi ST sebesar 48,914 yang masing-masing diikuti oleh strategi SO (47,51), WT (19,728) dan WO (18,324), sedangkan berdasarkan hasil Analisis Hirarki Proses (AHP) didapatkan bahwa prioritas dalam penanganan kaki lima di Propinsi DKI Jakarta harus berorientasikan kepada kepentingan Publik (0,638) dengan prioritas kebijakan pada upaya menurunkan angka kemiskinan kota Jakarta / mengurangi jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta (0,192) melalui sasaran peningkatan Sumber Daya Manusia par-a pedagang kaki lima (C,272).
Hasil penelitian menginformasikan bahwa kebijakan pemerintah daerah menurunkan angka kemiskinan dan membuka kesempatan lapangan pekerjaan yang luas dengan sasaran peningkatan Sumber Daya Manusia adalah merupakan prioritas di dalam menangani pedagang kaki lima di Propinsi DKI Jakarta secara akomodatif, edukatif dan humanis."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Machsoen Ali
Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas Airlangga , 1989
351.1 MAC k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>