Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77896 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Fadhilah
"Pasca Perang Dunia II, Pemerintah Orde Baru memiliki cara pandang yang berbeda dengan Pemerintah Orde Lama dalam memandang Jepang. Cara pandang yang berbeda ini membuat corak diplomasi kedua Pemerintahan pun berbeda dalam menjalin hubungan kenegaraan dengan Jepang. Tulisan ini menitikberatkan pada pembahasan hubungan diplomasi Pemerintah Orde Baru dengan Pemerintah Jepang, khususnya di bidang ekonomi. Tidak seperti Pemerintahan sebelumnya, hubungan Indonesia dengan Jepang pada masa Orde Baru ini dapat dikatakan dekat. Kedekatan ini tidak lepas dari peran salah seorang Asisten Pribadi (Aspri) Soeharto pada awal Pemerintahannya, yakni Soedjono Hoemardani. Lewat lobilobinya, ia berhasil membujuk Pemerintah Jepang untuk mengeluarkan berbagai bantuan ekonomi, pinjaman, hibah dan investasinya. Namun di sisi lain, ia dianggap sebagai antek Jepang yang membuat Jepang mendominasi perekonomian Indonesia sehingga menimbulkan kesenjangan di kalangan pengusaha nasional yang berujung pada Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) di tahun 1974. Perannya yang kontroversial ini membuatnya lengser dari jabatan Aspri. Meski jabatan tersebut dicabut, namun kedekatannya dengan Pemerintah Jepang masih tetap berlanjut dengan posisinya sebagai Inspektur Jenderal Pembangunan. Walaupun hubungan tersebut tidak seintensif seperti ketika ia menjabat sebagai Aspri. Pasca Peristiwa Malari, hubungan Indonesia dengan Jepang berjalan normal kembali setelah Jepang mengubah cara diplomasinya secara Heart to Heart.

After The World War II, Indonesian government?s perspective about Japan had changed. This changing differentiated The Old Order and The New Order's bilateral relationship between the two countries. This thesis emphasize on diplomacy between The New Order Government and Japanese Government particularly on economic diplomacy. In contrast to The Old Order Government, Indonesia-Japan relation under The New Order Government was close. This closeness was a result of Soedjono Hoemardani?s diplomacy that had been commenced since the beginning of Soeharto's Government. At that time Soedjono Hoemardani was charged as Soeharto's Personal Assistance. By his lobbies, he succeeded to persuade Japanese Government to give some financial assistances through investment, grant, and credit. Nevertheless, he was judged as Japan puppet whose duty helping Japanese Government dominated economy of Indonesia on which the domination caused social discrepancy between local industrialist and Japanese industrialist that lead to The Malari Riot (riot at January 15th) 1974. This controversial role led him to retire from his position as Soeharto's Personal Assistance. Even though he had left his formal position as Soehartos's Personal Assistance, his close relation with Japanese Government set him remain lobbying Japanese Government under his new position as General Inspectorate of Development. However, the intensity of the relation was not as high as it used to be. After The Malari, Indonesia-Japan relationship returned to be normal because Japanese Government changed their diplomacy strategy to heart to heart diplomacy."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43548
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fachri Adam
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas pengaruh Peristiwa Malari terhadap perubahan pola diplomasi antara Indonesia dan Jepang, khususnya di bidang ekonomi secara bilateral. Peristiwa Malari merupakan salah satu kejadian yang pernah dialami oleh Indonesia yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa ini dikoordinir oleh mahasiswa dan dipimpin oleh Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, Hariman Siregar. Akibat adanya Peristiwa Malari, bantuan dana Official Development Assistance dari Jepang yang diterima Indonesia mengalami perubahan pola. Pola yang terjadi sebelum Peristiwa Malari adalah bantuan yang diberikan lebih banyak berupa Pinjaman Yen, atau pinjaman dengan bunga rendah. Namun setelah Peristiwa Malari, polanya perlahan berubah menjadi bantuan Kerjasama Teknik, atau bantuan pemberdayaan SDM. Selain itu, perubahan yang terjadi adalah perdagangan bilateral antara Indonesia dan Jepang. Sebelum Peristiwa Malari, Indonesia banyak mengimpor komoditas berupa minyak bumi, kayu, dan karet. Namun setelah Peristiwa Malari, jumlah komoditas yang diekspor tersebut berkurang. Bahkan Indonesia tidak lagi mengimpor komoditas Karet ke Jepang.

ABSTRACT
This thesis explain the effects of Malari Incident on diplomacy pattern between Indonesia and Japan, particularly in bilateral economy. Malari Incident is a riot that occurred on 15th of January 1974 in Indonesia. This incident was coordinated by the students and led by the Chairman of the University of Indonesia Student Council, Hariman Siregar. The Malari incident resulted in a change of pattern on ODA funds that was received by Indonesia. Japan economy aid for Indonesia slowly changed from Yen Loan to non material assistance such as Technical Cooperation and developing training for human resources. Another change that occurred after the Malari Incident was the decrease in export and import commodities on bilateral trade between Indonesia and Japan."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Unu Nurdin
"Sampah merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh kota-kota metropolitan, besar, sedang, dan bahkan menjadi permasalahan nasional, sehingga pengelolaannya harus diberikan prioritas utama. Pencemaran paling utama di Indonesia adalah pencemaran oleh limbah domestik terutama yang berasal dari rumah tangga, oleh karena luasnya daerah pencemaran dan besarnya jumlah korban. Ditambah lagi pada beberapa dekade belakangan ini adanya kecenderungan pemakaian karakter barang konsumsi yang tidak akrab lingkungan, seperti plastik, styrofoam dan lain-lain.
Berdasarkan data Dinas Kebersihan DKI Jakarta, sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Jakarta dapat mencapai 29.567 m3/hari atau kurang/lebih 2,92 liter/orang/hari, sedangkan yang sampai saat ini hanya mampu diatasi oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta baru sekitar 76,12% atau 22.507 m3/hari. Dari sisanya pun hanya sebagian kecil saja yang ditanggulangi oleh Dinas PU DKI Jakarta, Dinas Pertamanan DKI Jakarta dan PD Pasar Jaya serta lebih sedikit lagi yang dicoba dimanfaatkan oleh masyarakat dengan cara daur ulang.
Penanganan sampah di wilayah DKI Jakarta sebenarnya telah diupayakan dari waktu ke waktu untuk mengurangi dampak negatifnya, mulai dari tahap pengumpulan, pengangkutan, pengolahan sampai dengan pembuangan akhir. Namun adanya keterbatasan sumber daya yang ada mengakibatkan hasil yang dicapai belum optimal. Dilain pihak, permasalahan sampah yang dihadapi oleh Dinas Kebersihan, bukan semata-mata permasalahan teknis dan manajemen semata, tetapi juga dituntut adanya peran serta masyarakat termasuk sektor swasta. Gambaran tentang tumpukan sampah atau pun pengotoran sungai/kali di Jakarta bukan hanya urusan Pemerintah Daerah saja, tetapi juga harus dilihat dengan keadaan yang lebih menyeluruh serta proporsional.
Meskipun pengelolaan kebersihan lingkungan telah diatur melalui peraturan-peraturan dan penyelenggaraan kebersihan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, tetapi sehari-hari masih dengan mudah ditemui adanya tumpukan- tumpukan sampah bertebaran ditempat-tempat bukan tempat pengumpulan sampah. Berbagai upaya mengatasi hal tersebut di atas telah dilakukan, dimulai dengan lebih mengintensifkan cara pengumpulan dan pengangkutan sampah dengan mempertimbangkan kondisi dari masing-masing permukiman, pembuatan dan penyediaan Lokasi Pengumpulan Sampah (LPS) yang lebih banyak, maupun pemanfaatan sampah yang masih dapat dipergunakan seperti pembangunan Usaha Daur-ulang dan Produksi Kompos (UDPK), namun Cara-cara di atas masih belum mampu memecahkan masalah inti permasalahan sampah.
Kenyataan di lapangan, di beberapa daerah pemukiman umumnya, partisipasi masyarakat sering disalahartikan dengan cenderung hanya menunggu keterlibatan pemerintah saja, dalam hal ini Dinas Kebersihan DKI Jakarta yang mempunyai tugas khusus mengelola masalah sampah. Padahal pengelolaan sampah sebaiknya sudah dimulai dari sektor rumah tangga sebagai struktur terbawah yang saling berinteraksi, baru meningkat pada sektor-sektor diatasnya.
Untuk itu masih diperlukan upaya selain masalah teknis semata, yaitu dengan adanya upaya peran serta atau partisipasi masyarakat yang dimulai dengan melaksanakan pengumpulan dan pengangkutan sampah terpadu dari rumah-rumah ke tempat penampungan sementara, terutama di daerah-daerah yang kurang atau tidak terjangkau langsung oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta, sehingga untuk mengatasi permasalahan sampah tidak akan terselesaikan oleh upaya pemerintah saja, melainkan masyarakat juga perlu diajak berperanserta secara aktif.
Bagi Kotamadya Jakarta Utara, permasalahan sampah layak dianggap sebagai prioritas cukup utama mengingat wilayah tersebut mempunyai tingkat heterogenitas penduduk yang sangat tinggi, dengan tingkat disiplin dan kurangnya kesadaran masyarakat, ditambah wilayah dengan kontribusi 13 sungai yang berhilir di sana dengan beberapa daerah yang mempunyai kontur lebih rendah dari permukaan bumi dan mempunyai 17 lokasi permukiman kumuh, sehingga semuanya dapat berakumulasi, dapat membentuk kultur masyarakat yang kurang mendukung upaya pengelolaan sampah.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari dan mengetahui hubungan faktor status sosial dan status ekonomi terhadap kenaikan tingkat peran serta masyarakat dalam kebersihan, yang terbagi atas beberapa parameter seperti: upaya melakukan pewadahan sampah, upaya melakukan pemilahan sampah, upaya membuang sampah pada tempatnya, upaya membayar retribusi sampah sesuai jumlah dan waktunya, keikutsertaan dalam setiap kegiatan kebersihan, dan kepatuhan dalam setiap peraturan kebersihan.
Atas dasar hal tersebut disusun hipotesis sebagai berikut:
1. Ada keterkaitan antara status sosial dan status ekonomi masyarakat dengan tingkat peran serta masyarakat di bidang kebersihan.
2. Ada hubungan antara status sosial masyarakat dengan tingkat peran serta masyarakat di bidang kebersihan.
3. Ada hubungan antara status ekonomi masyarakat dengan tingkat peran serta masyarakat di bidang kebersihan.
4. Ada perbedaan yang berarti antara tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, lama tinggal, status kependudukan, dan pendapatan terhadap besamya peran serta di bidang kebersihan.
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian survei dan pendekatan korelasional. Analisis data diolah melalui program SPSS yang dipergunakan untuk mengetahui tingkat hubungan antara variabel status sosial dan status ekonomi terhadap peran serta masyarakat dalam kebersihan secara lebih mendalam. Pada pemilihan wilayah kecamatan dan kelurahan sebagai populasi survei dilakukan dengan metode Stratified Random Sampling, sedangkan pemilihan responden sebagai populasi target dilakukan dengan metode Proportional Random Sampling. Melalui metode di atas direncanakan diambil 160 responden, dengan harapan terdapat sejumlah perbandingan kondisi keluarga dengan status sosial dan status ekonomi yang diinginkan.
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa:
1. Terdapat hubungan yang sangat erat antara faktor status sosial dengan status ekonomi dari masyarakat.
2. Terdapat korelasi antara faktor status sosial dengan peningkatan peran serta masyarakat dalam kebersihan.
3. Terdapat korelasi antara faktor status ekonorni terhadap peningkatan peran serta masyarakat dalam kebersihan.
4. Terdapat korelasi bermakna, meskipun kecil antara faktor status sosial dan status ekonomi dengan peningkatan peran serta masyarakat dalam kebersihan.

Garbage is one of the problems up against by metropolitan cities, small and big cases and even as national matters, so its management has to put in the first priority. The main pollution in Indonesia is pollution due to domestic waste mainly originated from household, therefore spreading polluted area and amount of who are suffering of its impact. In addition the latest period tend to miscellaneous consumption product harmful to environment such as plastics, Styrofoam etc.
According to the data from Dinas Kebersihan DKI Jakarta, every day public in Jakarta could produce garbage of 29,567 m3/day or + 2, 92 liter/person/ day, whereas this office could handle it only 86,12% or 22,507 m3/day. The others were overcome by Dinas PU (Public Work Office) Dinas Pertamanan (Gardening Office) and Pasar Jaya and at least waste recycled by people.
Actually, the handling of garbage in DKI Jakarta have been done from time by time to minimize its negative impacts, started from its collection, transportation, processing and to the final disposal But due to the less of the human resources, the results achieved still not optimum. On the other hand, the waste problem faced by Dinas Kebersihan was not only caused by technical and management problems, but also the public participation including private sectors is very required to overcome this problem together. Description of garbage stack or dirty rivers are not problems of local government only, but it should be viewed in a more comprehensive and proportional circumstances.
Although the environmental sanitation management has been by regulations and its implementation was done the by government institutions, but in daily life it's easily to be found the garbage everywhere that is not in its collection place. Many efforts has been done to overcome these problems, started by doing more intensive ways of collection and transportation of garbage by either considering the condition of each settlement, the making and providing more of garbage collection place (LPS), nor the use of garbage which can be used such as the development of recycling business and compos production (UDPK), but those ways still can not overcome the main of waste problem.
In fact, generally in some urban areas public participation often being misunderstood and tends to wait the government's involvement only, in this case Dinas Kebersihan DKI Jakarta is the one who has a special duty to manage the waste problem. Whereas waste management is better started from household sector as the lowest structure is which interacted, and then increase to the upper sector.
Therefore it's still required the other efforts beside a technical problem that is doing an integrated from houses to the temporary places of garbage collection, especially for the areas that can not be achieved directly by Dinas Kebersihan DKI Jakarta, so to overcome garbage problems will not only be solved by government's efforts but also by active participation of the community.
For the Municipality of North Jakarta, the waste problems are deserved to be put as the first priority considering to the area that has high heterogenity of population with less dicipline and awareness, in addition the area contributed by 13 rivers that empty into lower land sea surface, and 17 slum areas, so Those could be accumulated to community culture who are less supporting the waste management.
This study was aimed to search and find out socio-economic relationship factors towards the increasing of community participation level in sanitation, which is divided into some parameters such as : effort in providing grange place, effort in identifying of garbage, effort in throwing garbage in its proper place, effort to pay retribution (tax) of garbage accordance with the volume and removal schedule, public participation in every sanitary activities and obedience in every sanitary regulations.
Based on the explanation above, the hypothesis has been arranged as follows:
1. There is a relationship between social and economic status with the public participation level.
2. There is a relationship between social statuses with the public participation level.
3. There is a relationship between economic statuses to the public participation level.
4. There is a difference among education level, kind of job, long of stay, citizenship status and income level to toward participation in sanitation.
This research uses survey research method and correlative approaches. Data analysis used SPSS program to know the relationship level among social status to the participation of public in sanitation. In choosing of sub districts and villages as survey population, stratified random sampling method was used, whereas the choosing of respondents as target population, proportional random sampling method was used. By this method, 160 respondents were taken with assumption there is s number of comparisons of family with the souse-economic status desired.
The result of this research showed that :
1. There is a tight relationship between social status factor and economic status factor.
2. There is a correlation between social status factor and the increasing of public participation in sanitation.
3. There is a correlation between economic status factor and the increasing of public participation in sanitation.
4. There is a significant correlation, although a little between socio-economic status factor and the public participation in sanitation.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T5200
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soedjono Hadidjojo
"Buku ini memuat tulisan-tulisan ilmiah dari mahasiswa beberapa fakultas di Universitas Gadjah Mada dalam menempuh ujian kesarjanaan, yaitu :
- Pertumbuhan kedudukan kenegaraan orang Indonesia sedjak 1850 sampai
pemutusan ikatan kenegaraan dengan Koninkrijk der Nederlanden
- Beberapa azas dan pengertian dalam membentuk pengaturan tentang
kewarganegaraan
- Pengaturan tentang kewarganegaraan Republik Indonesia.
Terdapat lampiran :
- Undang-undang kewarganegaraan dan penduduk negara Indonesia No. 3
tahun 1946 sesudah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 6 dan
8 tahun 1947
- Rentjana Undang-undang kewarganegaraan Indonesia"
Jogjakarta: Gadjah Mada, 1954
K 323.6 SOE k
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Ronny Rendra Setyawan
"Hubungan Pusat-Daerah Pada Masa Awal Orde Baru (1967-1978): Studi Kasen Daerah Istimewa Aceh. Sebuah bangsa ada karena adanya kehendak bersama, kesamaan sejarah yang sama, dan tujuan yang sama. Sebuah bangsa menjadi tidak ada adaiah karena adanya ketidakadilan, diskriminasi dan tertutupnya kran-kran kebebasan untuk mengekspresikan diri. Bangsa Indonesia lahir karena adanya cita-cita bersama dari seluruh suku bangsa yang ada untuk membebaskan diri dari belenggu imperialisme dan untuk setara dengan bangsa-bangsa lainnya, McIalui proses yang panjang kemudian terbentuklah negara Republik Indonesia. Proses pengelolaan negara yang terjadi di Indonesia mengalami fluktuasi sepanjang sejarah. Sejak zaman revolusi sampai masa Orde Baru Indonesia sebagai sebuah negara terus mengalami tantangan. Skripsi ini membahas hal tersebut dengan studi kasus di Daerah Istimewa Aceh. Daerah Aceh sejak masa kemerdekaan hingga Orde Baru adalah daerah yang terus menerus mengalami pergolakan. Pada masa kemerdekaan yang diperangi adalah Belanda, sedangkan pada masa-masa setelah itu peperangan yang terjadi adalah antara Aceh melawan Jakarta (daerah pusat). Pada masa Orde Baru Aceh adalah merupakan saiah satu daerah yang kaya akan sumber daya alam, tetapi jika dibandingkan dengan pembangunan yang ada terasa kurang sebanding. Hal ini bukan hanya terjadi di Aceh, tetapi di beberapa daerah lain mengalami hal yang sama. Hal ini terjadi karena pemerintah pusat telah menetapkan sebuah mekanisme tertentu untuk melemahkan daerah, balk secara politik maupun ekonomi. UU No 5 tahun 1974 yang merupakan produk dari Orde Baru ini, menjadi senjata yang sangat ampuh untuk menekan daerah. Sebagai contoh adalah masalah pengangkatan kepala daerah, walupu n di tiap daerah ada kepala daerah, tetapi yang menentukannya tetap pemerintah pusat. Disamping itu pola penyeragaman struktur pemerintahan daerah secara nasional menjadikan daerah ini menjadi teralienasi dari sistem budayanya sendiri. Dalam hal ekonomi pemerintah pusat membuat daerah-daerah menjadi mangalami ketergantungan yang tinggi terhadap pusat. Pemerintah lebih mengedepankan pemberian subsidi kepada daerah-daerah. terrnasuk Aceh. Dalam Realisasi Penerimaan Daerah Otonom Tingkat I, subsidi pemerintah pusat dari tahun ke tahun mengalami kenaikan dan rata-rata posisinya sekitar 60 % dari total penerimaan. Subsidi pemerintah pusat ini merupakan hasil yang diambiI dari daerah. Hal tersebut akhirnya menimbulkan reaksi, khususnya di Aceh. Walaupun reaksinya dalam skala kecil pada waktu itu, tetapi hal ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat telah membuat manajemen hubungan pusat-daerah secara kurang baik. Reaksi ini diwujudkan dengan perjuangan bersenjata yang dipimpin oleh Hasan Muhammad Tiro. Pada awainya gerakan ini merupakan gerakan elit dari kalangan intelektual Aceh yang merasa resah melihat kondisi Aceh pada sat itu, yang menurut mereka Aceh diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintah pusat. Gerakan ini walaupun pada akhirnya dapat ditumpas oleh pemerintah, tetapi tidak mati, dan pada tahun-tahun berikutnya pendukungnya mulai bertambah banyak."
2000
S12414
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soedjono
Bandung: Alumni, 1976
364.495 8 SOE p (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Soedjono
Bandung: Alumni, 1983
364.4 SOE p (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Proyek Monumen Pancasila Cakti , 1975
344.094 MON
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Soesabdo Marmo Soedjono
Jakarta: Bina Aksara, 1981
344.063 SOE p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Andhio Sunaryo
"Sektor keuangan syariah dipercaya berperan penting dalam mendorong perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Di Indonesia, walaupun sektor/industri keuangan syariah Indonesia masih didominasi oleh sektor perbankan, peran industri keuangan non-bank (IKNB) dan pasar modal syariah juga tidak bisa diabaikan. Namun demikian, masih sedikit studi yang membahas mengenai peran IKNB dan pasar modal syariah ini. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan sektor keuangan syariah, yang mencakup sektor perbankan, IKNB dan pasar modal syariah, terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan Vector Autoregression (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM), dan data sekunder periode Januari 2017 sampai dengan Desember 2020. Variabel dependen dalam studi ini adalah Indeks Produksi Industri (proksi pertumbuhan ekonomi), sedangkan variabel independennya adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Sukuk Negara (SBSN), Dana Pihak Ketiga (DPK) Syariah, Pembiayaan Syariah, Asuransi Syariah, Financial Technology (Tekfin) Syariah, Keterbukaan Perdagangan, Covid-19 dan Inflasi. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan menarik. Pertama, dalam jangka pendek, variabel yang berperan positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah SBIS dan SBSN. Kedua, dalam jangka panjang, variabel yang mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia secara positif adalah variabel SBSN dan asuransi syariah. Selain itu, variabel eksternal seperti pandemi Covid-19 dan keterbukaan perdagangan juga signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa seluruh sektor keuangan syariah berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia walaupun belum optimal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi regulator dalam menyusun kebijakan keuangan syariah agar bisa lebih efektif dan memberikan kontribusi yang signifikan untuk pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

The Islamic finance sector is believed to play an important role in encouraging the development and economic growth of a country. In Indonesia, although the Indonesian Islamic finance sector/industry is still dominated by the banking sector, the role of the non-bank financial industry (IKNB) and the Islamic capital market is also getting bigger and cannot be ignored. However, there are still few studies that discuss the role of IKNB and the Islamic capital market. Therefore, this study aims to analyze the relationship of the Islamic financial sector, which includes the banking sector, IKNB and Islamic capital market, to Indonesia's economic growth. This study uses quantitative methods, with Vector Autoregression (VAR) and Vector Error Correction Model (VECM), and secondary data for the period January 2017 to December 2020. The dependent variable in this study is the Industrial Production Index (IPI), while the independent variable is Certificates. Bank Indonesia Sharia (SBIS), State Sukuk (SBSN), Sharia Third Party Funds (DPK), Sharia Financing, Sharia Insurance, Sharia Financial Technology (fintech), Trade Openness, Covid-19 and Inflation. This research yielded some interesting findings. First, the Islamic banking sector has no significant effect on Indonesia's economic growth in the short term, but has a significant effect on the long term. Second, the capital market sector has a significant effect on economic growth in the short and long term. Third, the NBFI sector has a significant effect on long-term economic growth. In particular, SBIS and SBSN have a positive effect in the short term while Islamic insurance has a positive effect in the long term. Fourth, the variables of Islamic insurance and third party funds were found to have a fluctuating and positive impact on the IPI variable. In addition, external variables such as the Covid-19 pandemic and trade openness also significantly affect Indonesia's economic growth in the long term. Finally, it was found that the most influential variable on IPI was IPI itself. Overall, the research results provide evidence that Islamic finance, particularly Sharia IKNB, plays an important role in encouraging Indonesia's economic growth. These results are expected to be input for relevant policy makers."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>