Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16105 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putri Krida Gita Prayogha
"Telah dilakukan pemeriksaan profil hormon ovari pada tikus betina (Rattus norvegicus) menggunakan FTIR. Penelitian bertujuan memperoleh gambaran atau profil fluktuasi kadar hormon ovari sepanjang siklus estrus. Sampel darah dari sepuluh ekor tikus pada sepanjang siklus estrus yang ditentukan melalui ulas vagina dianalisis melalui FTIR. Diperoleh hasil 3 gugus fungsi spesifik dari progesteron pada masing-masing bilangan gelombangnya berturut-turut sebagai berikut keton (CO) pada 1726 cm-1, metil (CH3)1375 cm-1, dan metil keton (COCH3) 1350 cm-1. Nilai absorbansi gugus fungsi spesifik progesteron diperoleh dan dikonversi dengan nilai absorbansi asam karboksilat (COOH), gugus fungsi spesifik dari hemoglobin pada bilangan gelombang 1425 cm-1 yaitu 0,258 %. Selanjutnya, nilai absorbansinya dikonversi ke dalam konsentrasi (ng/ml) sehingga menghasilkan kadar yang berfluktuasi sepanjang siklus estrus berkisar antara berkisar antara 12,135?39,387 ng/ ml untuk keton; 7,995?35,702 ng/ml untuk metil; dan 7,542?39,249 ng/ml untuk metil keton.

Research in determining progesterone concentration on female rat (Rattus norvegicus) using FTIR has been conducted. The aim of this research was to describe ovarian hormone profile is through rat?s estrous cycle. Blood samples from ten females which were taken as long as estrus cycle determined by vaginal smear, analyzed by FTIR . The results indicated three specific functional groups of progesterone in each successive wave numbers as follows: ketone (CO) at 1726 cm-1, methyl (CH3) at 1375 cm-1, dan methyl ketone (COCH3) at 1350 cm-1. Absorbance value of specific functional groups of progesterone are obtained and compared with absorbance values of carboksilate acid group (COOH), specific functional groups of hemoglobin in the wave number 1425 cm-1 which is 0.258%. Furthemore, converted into concentration (ng/ml) to generated levels of fluctuating group specifically ketones throughout the cycle ranged from 12,135 to 39,387 ng/ ml, whereas methyl ranged from 7,995 to 35,702 ng/ml and methyl ketones ranged from 7,542 to 39,249 ng/ml."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S43690
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Kriswanti
"Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui profil hormon progesteron pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) betina sepanjang siklus estrus. Sampel serum darah yang diambil selama 10 minggu dari empat ekor kerbau lumpur betina dianalisis menggunakan Fourier Transform Infared (FTIR). Hasil yang diperoleh yaitu bilangan gelombang dari gugus fungsi yang merepresentasikan progesteron berada di sekitar angka 1360 cm-1 untuk metil keton, 1380 cm-1 untuk metil dan 1717 cm-1 untuk keton. Nilai absorbansi yang berada pada bilangan gelombang tersebut dikonversi ke dalam nilai ekuivalensi yang mengacu pada penelitian terdahulu sehingga diperoleh perkiraan konsentrasi hormon progesteron sepanjang siklus estrus yaitu sekitar 5,96 ng/ml pada fase estrus dan 8,86 ng/ml pada fase non estrus.

Research in determining progesterone hormone profile throughout estrous cycle on female swamp buffaloes (Bubalus bubalis) has been conducted. Blood serum samples were taken from four female swamp buffaloes for ten weeks, and then analyzed by Fourier Transform Infrared (FTIR). Results showed that the wavenumbers of functional groups representing progesterone were along 1360 cm-1 for methyl ketone, 1380 cm-1 for methyl and 1717 cm-1 for ketone. The absorbance values were generated within those wavenumbers, furthermore converted using an equivalency value based from similar previous studies, so then the concentration range of progesterone throughout estrous cycle could be obtained, which were approximately 5.96 ng/ml on estrous phase and 8.86 ng/ml on non estrous phase."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S57556
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Septian
"Telah dilakukan pemeriksaan hormon progesteron pada tikus betina (Rattus norvegicus, Berkenhout 1769) menggunakan FTIR. Penelitian bertujuan mengetahui bilangan gelombang dan nilai absorbansi gugus fungsi spesifik progesteron dalam darah selama siklus estrus, dan mengetahui keabsahan FTIR dalam mengukur konsentrasi hormon progesteron. Sampel darah dari sepuluh ekor tikus pada fase estrus dan diestrus yang ditentukan melalui ulas vagina dianalisis melalui FTIR dan radioimmunoassay (RIA).
Nilai absorbansi dari gugus fungsi spesifik progesteron, yaitu keton (1724 cm-1), metil (1375 cm-1), dan metil-keton (1354 cm-1), dibandingkan dengan nilai absorbansi asam karboksilat (1425 cm-1) pada hemoglobin. Konsentrasi progesteron saat estrus melalui RIA dan FTIR berturut-turut adalah 17,593 ± 4,246 ng/ml dan 0,853 ± 0,310 %; saat diestrus adalah 76.218 ± 4.687 ng/ml dan 1,024 ± 0.268 %.

Research in determining progesterone concentration on female rat (Rattus norvegicus, Berkenhout 1769) using FTIR has been conducted. The aim of this research was to determine the wavenumbers and absorbance values of progesterone?s functional groups in blood during estrous cycles, and to verify the FTIR?s capability in measuring progesterone concentration in blood. Blood samples from ten females which were taken at estrus and diestrus phases determined by vaginal smear, analyzed by FTIR and Radioimmunoassay (RIA).
Absorbance values of progesterone's functional groups, such as ketone (1724 cm¬1), methyl (1375 cm-1), and methyl-ketone (1354 cm-1), were measured relatively to absorbance values of hemoglobin?s carboxylic acid (1425 cm-1). Progesterone concentration at estrus by RIA and FTIR are 17,593 ± 4,246 ng/ml and 0,853 ± 0,310 % respectively; at diestrus are 76.218 ng/ml and 1,024 ± 0.268 % respectively.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S825
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shafar Nur Azzis
"Telah dilakukan pemeriksaan hormon kortikosteron pada tikus betina (Rattus norvegicus) menggunakan FTIR. Penelitian bertujuan mengetahui bilangan gelombang dan nilai absorbansi gugus fungsi spesifik kortikosteron dalam urine selama siklus estrus, dan mengetahui keabsahan FTIR dalam mengukur konsentrasi hormon kortikosteron. Sampel urine dari sepuluh ekor tikus pada saat estrus dan diestrus yang ditentukan melalui ulas vagina dianalisis melalui FTIR. Diperoleh hasil 3 gugus fungsi spesifik dari kortikosteron pada masing-masing bilangan gelombangnya berturut-turut sebagai berikut alkohol (CH2OH) pada 3552 cm-1, hidroksil (OH) pada 3201 cm-1 dan metil (CH3) pada 1375 cm-1. Nilai absorbansi gugus fungsi spesifik kortikosteron diperoleh dan dibandingkan dengan nilai absorbansi keton (C=O), gugus fungsi spesifik dari kreatinin pada bilangan gelombang 1730 cm-1 yaitu 0,24 %. FTIR mampu mendeteksi konsentrasi kortikosteron saat estrus pada 2,00 % ± 0,50 % / % Cr dan saat non estrus pada 1,94 % ± 0,54 % / % Cr. Tidak terdapat perbedaan antara kortikosteron pada kondisi estrus dan non estrus.

Research in determining corticosterone concentration on female rat (Rattus norvegicus) using FTIR has been conducted. The aim of this research was to determine the wavenumbers and absorbance values of corticosterone's functional groups in urine during estrous cycles, and to verify the FTIR's capability in measuring corticosterone concentration in urine. Urine samples from ten females which were taken at estrus and non estrus determined by vaginal smear, analyzed by FTIR. The results indicated three specific functional groups of corticosterone in each successive wave numbers as follows: alcohol (CH2OH) at 3552 cm-1, hydroxyl (OH) at 3201 cm-1 and methyl (CH3) at 1375 cm-1. Absorbance value of specific functional groups of corticosterone are obtained and compared with absorbance values of ketone group (C = O), specific functional groups of creatinine in the wave number 1730 cm-1 which is 0.24%. FTIR can detection corticosterone concentration at estrus was 2.00 % ± 0.50 % /% Cr and in non-estrus was 1.94 % ± 0.54 % /% Cr. There was no difference between corticosterone in estrus and non-estrus condition."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S43329
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nikki Aldi Massardi
"Telah dilakukan penelitian mengenai aplikasi teknologi FTIR untuk mendeteksi masa subur lutung jawa (Trachypithecus auratus) betina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bilangan gelombang yang merepresentasikan gugus fungsi dari hormon metabolit estrone conjugate (E1C) maupun pregnanediol-3-glucuronide (PdG) pada sampel urine lutung jawa dan dikaitkan dengan pengamatan perilaku dan pembengkakan, data yang didapat digunakan untuk mengetahui apakah hasil FTIR bersifat universal atau spesifik.antar spesies.
Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel urine dari dua lutung jawa betina dan dianalisis menggunakan FTIR. Penelitian ini juga mengambil data penunjang yaitu, data perilaku dan data foto genital. Data perilaku yang didapat tidak menunjukkan adanya interaksi seksual antara kedua betina yang menunjukkan sedang estrus.
Hasil foto genital yang didapat menunjukkan pembengkakan yang terjadi hanya sampai pada pembengkakan sebagian. Analisis sampel urine menunjukkan E1C teridentifikasi melalui gugus fungsi alkil, aromatik dan hidroksil pada bilangan gelombang 596 cm-1, 698 cm-1, dan 3599 cm-1. PdG teridentifikasi pada gugus fungsi alkil dan aldehid pada bilangan gelombang 1450 cm-1 dan 1699 cm-1.

Research on technological application of FTIR to detect the fertility period of female javan lutung (Trachypithecus auratus) has been conducted. The aims of this research was to determine the wavenumbers that represented the functional groups of hormone metabolites estrone conjugate (E1C) and pregnanediol-3- glucuronide (PdG) on urine sampels of javan lutung and tied the data with behavioral and swelling observation, the attained data were used to determine whether FTIR results are universal or specific interspecies.
Research was carried out by taking urine samples from two females of javan lutung and measured by using FTIR. This study also use supporting data, which is behavioral data and genital photos. The behavioral data obtained indicate a lack of sexual interactions between the two females, which needed to show that they were estrus.
Resulting genital images obtained, showed that the only swelling that occurs was partial swelling. Analysis of urine samples showed that estrone conjugate (E1C) was identified on functional group of alkyl, aromatic, and hydroxyl at wave numbers 596 cm-1, 698 cm-1, and 3599 cm-1. Pregnanediol-3-glucuronide (PdG) was identified on functional group of alkyl and aldehyde at wave numbers 1450 cm-1 and 1699 cm-1.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S44271
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athyya Wulan Syafitri
"Gangguan reseptivitas endometrium telah diidentifikasi sebagai penyebab potensial infertilitas yang tidak dapat dijelaskan. Hewan model dapat menggambarkan patofisiologi terkait gangguan ini. Pembentukan hewan model gangguan reseptivitas endometrium sudah pernah dilakukan sebelumnya, tetapi belum pernah dilakukan di Indonesia. Konfirmasi dan validasi dibutuhkan untuk menilai reliabilitas pembentukan hewan model. Identifikasi siklus estrus penting untuk melacak fase sebagai variabel yang dapat mempengaruhi penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakter tiap fase siklus estrus untuk penentuan waktu awal pemberian perlakuan dan menganalisis pengaruh induksi hidroksiurea-adrenalin dalam pembentukan hewan model terhadap ketebalan endometrium. Tikus betina galur Wistar dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok model (hidroksiurea 450 mg/kgBB, adrenalin 0,3 mg/kgBB), kontrol normal (CMC Na 0,5%), dan kontrol positif (hidroksiurea 450 mg/kgBB, adrenalin 0,3 mg/kgBB, progesteron 0,9 mg/200gBB). Pemberian perlakuan dilakukan setelah fase statik teridentifikasi. Metode apusan vagina digunakan untuk mengidentifikasi siklus estrus. Hasil pengamatan apusan vagina menunjukkan ciri khas dari fase yang diketahui dari siklus estrus dan dapat dengan mudah diidentifikasi. Fase statik dapat diidentifikasi sebagai fase diestrus dari siklus estrus. Pemberian perlakuan dilakukan selama 10 hari, kemudian tikus betina dipasangkan dengan tikus jantan dan dikorbankan pada hari ke-8 kehamilan. Organ uterus diambil dan ketebalan endometrium dihitung dari pengukuran panjang rata-rata antara batas lumen uterus dan batas miometrium pada 4 kuadran. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik pada ketiga kelompok (F(2,15) = 1.584, p = 0.238). Sebagai kesimpulan, pembentukan hewan model dimulai setelah fase diestrus teridentifikasi dan pemberian hidroksiurea dan adrenalin tidak menyebabkan penurunan ketebalan endometrium.

Impaired endometrial receptivity has been identified as potential cause of unexplained infertility. Animal models can provide depiction of the pathophysiology related to this impairment. The establishment of impaired endometrial receptivity animal models has been done previously, but has never been done in Indonesia. Confirmation and validation are required to assess the animal models reliabilities. Identification of the estrus cycle is important to track the phase as a variable that can affect the study. The present study aims to analyze the character of each estrous cycle phase to determine the initial time of treatment and analyze the effect of hydroxyurea-adrenaline induction on the animal models establishment on endometrial thickness. Female Wistar rats is divided into 3 groups, namely the model grpup (hydroxyurea 450mg/kgBW, adrenaline 0.3mg/kgBW), normal control (CMC Na 0.5%), and positive control (hydroxyurea 450mg/kgBW, adrenaline 0, 3 mg/kg, progesterone 0,9 mg/200gBW). Treatment is carried out after the static phase is identified. The vaginal smears method is used to identify the estrus cycle. The results of vaginal smears observations showed the characteristics of a known phase of the estrus cycle and can be easily identified. The static phase can be identified as the diestrus phase of the estrus cycle. The treatment was carried out for 10 days, then female rats were paired with male rats and sacrificed on the 8th day of pregnancy. Uterine organs were removed and endometrial thickness was calculated from the measurement of the average length between the inner and outer layers of the uterus in 4 quadrants. The results of analysis showed that there is no statistically significant difference in the three groups (F(2.15) = 1.584, p = 0.238). In conclusion, the animal models establishment begins after the diestrus phase is identified and administration of hydroxyurea and adrenaline did not cause a decrease on endometrial thickness."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Widdya Damayanti
"

Madu sangat bermanfaat untuk tubuh. Madu dijadikan obat alternatif oleh masyarakat dalam menyembuhkan berbagai jenis penyakit dikarenakan kandungan senyawa di dalamnya. Tingginya permintaan pasar dikarenakan meningkatnya konsumsi madu oleh masyarakat memberikan peluang kepada oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk memalsukan madu. Oleh sebab itu diperlukan suatu teknologi canggih yang bisa mendeteksi keaslian madu beserta klasifikasikasi dan sifatnya secara cepat dan akurat. Identifikasi dan klasifikasi madu dilakukan pada madu asli yang berasal dari lebah Apis sp. dan juga stingless bees serta madu palsu buatan yang dibuat dengan percampuran madu asli dengan penambahan air gula (Fruktosa) dan NaHCO3.  Dalam melakukan identifikasi madu dengan metode Artificial Neural Network (ANNs) digunakan software berupa MATLAB. Metode Artificial Neural Network (ANNs) yang digunakan adalah alogaritma backpropagation dengan arsitektur jaringan multilayer. Hasil dari peneitian ini adalah pengidentifikasian madu menggunakan metode Artificial Neural Network untuk percobaan 2 kelas memiliki hasil tranning dan testing yang lebih tinggi dibandingkan dengan percobaan dengan 6 kelas. Hal tersebut disebabkan karena semakin banyak kelas maka jumlah data setiap kelas harus semakin banyak dan sama rata dikarenakan jumlah data mempengaruhi hasil tranning dan testing dari Artificial Neural Network.

 


Honey is very beneficial for body. It can be used as an alternative medicine by humans for curing various types of diseases due to the compound contained in honey. The high market demand due to increasing consumption of honey by consumers provides opportunities for unscrupulous individuals to falsify honey. In order to prevent consumers from fake honey, we need a sophisticated technology that can detect the authenticity of honey along with its classification and nature quickly and accurately. In this study, a method for identifying and classifying the authenticity of honey using Artificial Intelligence (AI), the type of artificial intelligence that is used in this study is Artificial Neural Network (ANNs). The identification and classification of honey is performed using honey Apis sp bees, stingless bees and fake honey. Fake honey is made by adding sugar (Fructose) and NaHCO3 to the honey. For identifying honey with the Artificial Neural Network (ANNs) method, the author used MATLAB software. The Artificial Neural Network (ANNs) method used is a backpropagation algorithm with multilayer network architecture. The result of this research is the identification of honey using the Artificial Neural Network method for the 2-class experiment which has higher tranning and testing results compared with experiments with 6 classes. This is because the amount of data per class must be more and equal because the amount of data affects the results of tranning and testing of Artificial Neural Network.

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noortiningsih
"Ruang lingkup dan cara penelitian salah satu perubahan fisiologis sistem hormonal yang menyertai kegiatan fisik ialah terjadi peningkatan kadar endorfin dan penurunan kadar gonadotropin di dalam tubuh. Endorfin, diketahui mempunyai sifat inhibitor kuat terhadap sekresi gonadotropin, sehingga menurunnya kadar Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle-stimulating Hormone (FSH) selama kerja fisik, diduga berhubungan erat dengan meningkatnya kadar endorfin tersebut. Hal ini diduga merupakan kunci penting penyebab timbulnya gangguan fungsi sistem reproduksi, khususnya pada atlit-atlit wanita.
Dari berbagai penelitian diketahui, bahwa endorfin dan agonisnya, menurunkan sekresi LH dan FSH, sedangkan antagonisnya, meningkatkan sekresi hormon-hormon tersebut. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh latihan fisik menimbulkan gangguan terhadap fungsi sistem reproduksi melalui adanya peningkatan kadar endorfin, dilakukan pengamatan terhadap lama siklus estrus, berat ovarium, dan jumlah folikel ovarium tikus, yang diberi latihan fisik aerobik tanpa dan dengan pemberian nalokson sebagai antagonis endorfin. Penelitian dilakukan terhadap 60 ekor tikus putih betina. Latihan fisik diberikan dengan menggunakan treadmill, dengan kecepatan 800 m/jam, inklinasi nol derajad, lama kerja 30 menit/hari/satu kali kerja fisik, dengan variasi lama latihan, 20, 40, dan 60 hari. Nalokson diberikan subkutan dengan dosis 1 mg/kg berat badan.
Hasil dan Kesimpulan : Latihan fisik yang diberikan, menyebabkan siklus estrus menjadi lebih panjang (P<0,01), berat ovarium mengalami penurunan (P<0,01), tidak terdapat perbedaan jumlah folikel primer maupun sekunder (P>0,05), tetapi jumlah folikel Graaf menurun dengan nyata (P<0,05), dan terdapat peningkatan jumlah folikel atresia selama fase luteal (P<0,01). Pemberian nalokson selama latihan fisik dapat menghambat pemanjangan siklus estrus, menghambat penurunan berat ovarium, meningkatkan jumlah folikel Graaf, dan menurunkan jumlah folikel atresia, mendekati kelompok tikus kontrol.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latihan fisik yang diberikan telah mengganggu fungsi sistem reproduksi tikus percobaan, dan pemberian nalokson dapat menghambat pengaruh latihan fisik terhadap fungsi sistem reproduksi tersebut. Namun demikian penelitian ini belum menunjukkan, sejak kapan latihan fisik yang diberikan mulai mengganggu fungsi sistem reproduksi tikus percoban, karena hasil yang diperoleh tidak menunjukkan adanya interaksi antara perlakuan dengan lamanya latihan (P>0,05). "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Awanis
"Penelitian dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh penggunaan kombinasi etilen glikol (EG) sebagai krioprotektan intraseluler dan kuning telur sebagai krioprotektan ekstraseluler dengan variasi konsentrasi dalam mempertahankan jumlah dan morfologi folikel preantral ovarium tikus setelah vitrifikasi selama 48 jam. 20 Sprague-Dawley betina berumur 12 minggu digunakan sebagai hewan model penelitian. Folikel yang diuji merupakan folikel tahap preantral yang berasal dari ovarium kanan saja. Sampel ovarium utuh (n = 20) dibagi ke dalam 7 kelompok yaitu KK, KKP 1, KKP 2, KKP 3, KP 1, KP 2, dan KP 3.
Kelompok kontrol (KK) merupakan ovarium segar tanpa vitrifikasi. Kelompok kontrol perlakuan (KKP 1, KKP 2, dan KKP 3) merupakan ovarium yang diberi perlakuan vitrifikasi dalam etilen glikol (EG) dengan konsentrasi berturut-turut 3,75%; 7,5%; dan 15%. Kelompok perlakuan (KP 1, KP 2, dan KP 3) merupakan ovarium yang diberi perlakuan vitrifikasi dalam kombinasi EG dan kuning telur (1 : 1) dengan konsentrasi masing-masing berturut-turut 3,75%; 7,5%; dan 15%. Setelah diisolasi dari tikus, ovarium KK segera difiksasi sedangkan ovarium KKP dan KP dibekukan dalam nitrogen cair (−196 ° C). Setelah 48 jam, sampel ovarium dicairkan dan difiksasi.
Seluruh kelompok ovarium difiksasi selama 48 jam. Masing-masing ovarium lalu dibuat sayatan histologis dengan ketebalan 5 um, kemudian diwarnai dengan pewarna hematoksilin eosin (HE). Folikel preantral ovarium diamati keutuhan morfologinya dan dihitung jumlahnya. Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa berdasarkan uji Kruskall-Wallis (P < 0,05) tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada jumlah folikel preantral ovarium 48 jam pascavitrifikasi. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa vitrifikasi menggunakan kombinasi etilen glikol (EG) dan kuning telur tidak berpengaruh dalam mempertahankan folikel preantral ovarium pascavitrifikasi.

The study was conducted to evaluate the effect of combination of ethylene glycol (EG) as intracellular cryoprotectant and egg yolk as extracellular cryoprotectant with varied concentrations in maintaining morphology and counts of ovarian pre-antral follicles after vitrification for 48 hours. Twenty 12 week old Sprague-Dawley female rats were used as animal models. The follicles tested were preantral stage follicles from right ovary only. Whole ovary samples (n = 20) were divided into 7 groups, namely NC; TCG 1; TCG 2; TCG 3; TG 1; TG 2; and TG 3.
The control group (NC) consists of fresh ovaries without vitrification. The treatment control group (TCG 1; TCG 2; and TCG 3) consists of ovaries treated with vitrification in ethylene glycol (EG) with a concentration of 3.75%; 7.5%; and 15%, respectively. The treatment group (TG 1; TG 2; and TG 3) were ovaries treated with vitrification in a combination of EG and egg yolk (ratio 1: 1) with a concentration of 3.75%; 7.5%; and 15%, respectively. After being isolated from the rats, the NC ovaries were immediately fixated while the TCG and TG ovaries were frozen in liquid nitrogen (−196 °C). After 48 hours, the ovary sample is thawed and fixated.
All ovarian groups were fixated for 48 hours. Each of the ovaries was then made a histological incision with a thickness of 5 µm, then stained with a hematoxylin eosin (HE). Ovarian pre-antral follicles were observed for the integrity of the structure and counted. The data based on Kruskall-Wallis test (P < 0.05) show that there were no significant differences in the number of ovarian preantral follicles 48 hours after vitrification. It can be concluded that vitrification using a combination of ethylene glycol (EG) and egg yolk has no effect in maintaining ovarian preantral follicles after vitrification.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Latifah
"Buah Leunca (Solanum nigrum L.) adalah salah satu tanaman obat Indonesia yang dikenal memiliki aktivitas sebagai antidisentri, antiinflamasi, dan fitoestrogen. Kandungan kimia buah leunca antara lain diosgenin, solanin, solamargin, dan chaconine. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek pemberian ekstrak etanol buah leunca (Solanum nigrum L.) terhadap pengurangan kerapuhan tulang pada tikus betina galur Sprague-Dawley. Tiga puluh ekor tikus dibagi dalam 6 kelompok terdiri atas kelompok kontrol normal, kelompok ovariektomi (OVX), kelompok OVX-tamoxifen dosis 1,8 mg/kg bb, dan 3 kelompok OVX-ekstrak etanol buah leunca dosis 150 mg/kg bb, 300 mg/kg bb, dan 600 mg/kg bb. Bahan uji diberikan selama 12 minggu berturut-turut. Parameter yang diamati adalah kadar kalsium dan alkalin fosfatase (ALP) darah serta histologi tulang femur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mulai dosis 300 mg/kg bb terjadi peningkatan densitas dan ketebalan trabekula tulang femur yang bermakna (α < 0,05) bila dibandingkan kontrol ovariektomi dan setara dengan kontrol normal. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian ekstrak etanol buah leunca memiliki potensi mengurangi kerapuhan tulang.

Black Nightshade fruit (Solanum nigrum L.) is one of Indonesian medicinal plant which known showing many activities such as antidisentry, antiinflamation, and also as phytoestrogen. Black Nightshade fruit contains diosgenin, solanine, solamargine, and chaconine. This research was conduct to investigate the effect of ethanolic extract of black nightshade fruit (Solanum nigrum L.) on ovariectomized rats bone loss. Thirty-3-months-old female rats Sprague-Dawley strain were randomly divided into six groups, namely 3 control groups and 3 treatment groups. The control groups consist of normal group, ovariectomized (ovx) group, and ovx group treating with tamoxifen 1,8 mg/kg bb. The treatment groups consist of the ovx group treating with ethanolic extract of black nightshade fruit dose of 150 mg/kg bb, 300 mg/kg bb, and 600 mg/kg bb. The treatment done every day for 12 weeks.
The result showed that start on 300 mg/kg bb, ethanolic extract of black nightshade fruit increased significantly (α < 0,05) the density and thickness of trabecular of femur bone. We can conclude that ethanolic extract of black nightshade fruit has potentially effect to decrease bone loss."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S44480
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>