Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 99656 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rully Deddy
"Seringkali dijumpai berbagai sarana fisik yang tidak digunakan sebagaimana
rencana pembangunannya. Tangga penyeberangan dijadikan tempat berjualan,
trotoar pejalan kaki dijadikan tempat parkir kendaraan dan jalan bagi pengendara
motor, serta berbagai sarana fisik lainnya termasuk pula yang ada di terminal bus
Blok M. Beberapa sarana, seperti tangga turun yang menurut rancangan
pembangunan hanya digunakan untuk turun penumpang dari trotoar kedatangan
menuju lobi dalam kenyataan justru disalahgunakan oleh beberapa penumpang.
Mereka menggunakannya juga untuk naik sehingga trotoar kedatangan yang
tadinya hanya berfungsi sebagai tempat bus menurunkan penumpang digunakan
juga sebagai tempat menaikkan penumpang. Padahal tempat untuk naik bus telah
disediakan terpisah yakni di trotoar keberangkatan yang dapat dicapai melalui
tangga naik jalur yang ada di dalam lobi. Perbedaan antara perancang bangunan
dengan pengguna bangunan terhadap pemanfaatan sarana yang ada dapat terjadi
karena adanya perbedaan persepsi.
Persepsi seseorang terhadap suatu hal dipengaruhi oleh berbagai faktor,
salah satunya oleh nilai yang dianut orang tersebut (Robbins, 1983; Gifford,
1997). Nilai terbentuk sebagai hasil pengalaman individu dalam berinteraksi
dengan lingkungan dan budayanya. Nilai-nilai yang dianut kemudian membentuk
suatu sistem nilai yakni nilai instrumental dan nilai terminal. Menurut Rokeach
(1973), nilai instrumental dan nilai terminal digunakan dalam menentukan pilihan
terhadap suatu hal yang dianggap oleh seseorang lebih baik dari hal lainnya. Nilai
selanjutnya akan mengarahkan orang tersebut mencapai hal yang diinginkannya
dengan cara melakukan tingkah laku tertentu. Nilai-nilai yang dianut oleh
penumpang bus akan mengarahkan mereka pada penggunaan berbagai fasilitas
terminal yang ada sesuai dengan apa yang mereka anggap paling baik bagi dirinya
masing-masing, termasuk dalam menggunakan tangga naik jalur.
Gibson (dalam Bell et.al, 1996) rnengemukakan bahwa persepsi individu
terhadap suatu obyek terkait dengan setting lingkungan dimana obyek tersebut
ditempatkan. Setting lingkungan meliputi lingkungan sosial dan lingkungan fisik.
Lingkungan sosial diantaranya meliputi tingkat pengenalan individu terhadap orang-orang disekelilingnya, kesesakan, dan kepadatan. Sedangkan lingkungan
fisik diantaranya seperti suhu ruangan, pencahayaan ruangan, pewarnaan ruangan,
iklim, tata letak perabotan, dan keadaan geografis. Tujuan memahami persepsi
individu terhadap obyek dalam setting lingkungan tertentu menurut Barker (dalam
Stokols & Altman, 1987; Veitch & Arkkelin, 1995) adalah untuk menciptakan
keselarasan antara individu dengan lingkungan dimana individu tersebut berada.
Dalam konteks penelitian ini adalah untuk menciptakan kondisi lingkungan fisik
Iobi dan terminal yang sesuai dengan keinginan penumpang sebagai penggunanya.
Subyek penelitian adalah penumpang bus yang berdasarkan jenis pekerjaan,
menuntut aktivitas rutin (lima hingga enam hari perminggu). Rutinnya mereka
melakukan aktivitas membuat mereka menggunakan tangga naik yang ada di lobi
sebagai sarana naik bus dalarn menunjang kelancaran mereka beraktivitas.
Alat pengumpul data penelitian terdiri dari dua bagian, yakni Rokeach Value
Survey dimana subyek diminta untuk meranking nilai-nilai berdasarkan
keinginannya sendiri dan skala berbentuk semantik diferensial yang memuat tiga
faktor yakni aktivitas, potensi dan evaluasi, Skor-skor yang diperoleh kemudian
diolah dengan Spearman's rho untuk melihat hubungan antara sistem nilai dengan
persepsi melalui bantuan komputer menggunakan program SPSS PC+ versi 9.0.
Hasil utama penelitian menunjukkan bahwa nilai instrumental tidak
mempunyai hubungan yang signifikan pada tingkat 0,05 dengan persepsi ketiga
faktor pada skala semantik, sedangan pada nilai terminal menunjukkan hasil yang
signifikan hanya pada faktor potensi. Hasil tambahan penelitian menunjukkan
bahwa ranking pertama maupun rangking ke-18 dari nilai instrumental tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan dengan ketiga faktor yang ada dalam
skala semantik. Pada nilai terminal, hanya ranking pertama, yakni nilai
kebahagiaan yang merniliki hubungan yang signifikan dengan faktor potensi.
Penelitian perlu dilanjutkan kearah melihat hubungan antarbeberapa variabel
dengan persepsi penumpang terhdap pemanfaatan tangga naik jalur. Hal ini
dikarenakan bahwa secara umum nilai tidak bisa dijadikan satu-satunya variabel
independen yang berdiri sendiri dalam mempengaruhi pembentukan persepsi di
kalangan populasi penumpang bus. Dengan demikian hubungan antarbeberapa
variabel independen dengan beberapa fakor akan lebih bervariasi.
Agar mendapat gambaran lebih konprehensif tentang hubungan antara
sistem nilai, yang dianut penumpang dengan persepsi mereka terhadap
pemanfaatan tangga naik maka instrumen pengukuran tidak hanya menggunakan
Rokeach Value Survey. Hal ini karena nilai-nilai yang dianut suatu komunitas
sangat dipengaruhi oleh kultur dan keadaan demografis. Nilai-nilai yang dimiliki
masyarakat Indonesia mempunyai kekhasan dan keunikan sendiri dibanding nilai-
nilai yang dianut masyarakat Amerika seperti tercermin dalam alat tersebut.
Pengelola dapat rnelakukan manipulasi terhadap ruang lobi agar tangga naik
maupun tangga turun jalur dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Salah satu
bentuk manipulasi adalah dengan membangun eskalator yang betujuan
?memaksa? penumpang menggunakannya hanya untuk turun atau naik.
Penggunaan sarana sebagaimana mestinya akan melancarkan mobilisasi
penumpang dan bus yang di terminal tersebut."
2000
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heman Elia
"Penelitian ini berawal dari masalah penyalahgunaan zat psikoaktif yang telah menjadi masalah keluarga, sosial, dan nasional. Ingin diketahui dalam penelitian ini, bagaimana hubungan antara konsep diri penyalahguna zat psikoaktif dengan persepsinya terhadap orangtua, dan juga bagaimana hubungan antara konsep diri penyalahguna zat psikoaktif dengan daya tahannya terhadap stres.
Topik penelitian ini dibahas melalui studi kepustakaan yang ada, dan kemudian dirumuskan dalam 2 hipotesis.
Subyek penelitian adalah 33 orang penyalahguna zat psikoaktif dan 33 orang sebagai kelompok kontrol. Cara penelitian adalah ex post facto dengan metode penelitian survai.
Analisis data dilakukan dengan korelasi ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua hipotesis ini dapat diterima secara signifikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep diri penyalahguna zat berhubungan secara signifikan dengan daya tahan terhadap stres. Selain itu, konsep diri penyalahguna zat juga berhubungan secara signifikan dengan persepsi mereka terhadap orangtua.
Selain itu, dari hasil analisis uji-t, ditemukan pula perbedaan yang sangat signifikan antara konsep diri penyalahguna zat bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Konsep diri penyalahguna zat lebih buruk dibandingkan kelompok kontrol."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Dewi Apriliawati
"Dalam suatu organisasi tidak bisa lepas dari unsur manusia, baik yang berkedudukan sebagai pimpinan maupun sebagai bawahan faktor sumber daya manusia tersebut mempunyai peran central dalam organisasi. Penelitian ini bermaksud mengungkap kontribusi konsep diri instruktur dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja instruktur BLK se JABOTABEK Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif. PopuIasi penelitian adalah seluruh instruktur BLK se JABOTABEK dan teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan (angket). Dalam analisis data dilakukan dengan teknik korelasi dan regresi.
Dari penelitian tersebut menunjukkan hasil:
1. Terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan kepuasan kerja instruktur.
2. Terdapat hubungan yang signifikan antara budaya organisasi dengan kepuasan kerja instruktur.
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan budaya organisasi.
4. Terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dare budaya organisasi dengan kepuasan kerja instruktur.
5. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, untuk meningkatkan kepuasan kerja, disarankan perlunya pengembangan konsep diri instruktur dan tetap dipertahankannya budaya organisasi seperti kerjasama yang baik di antara sesama pegawai, di antara unit organisasi dan lain sebagainya.
6. Terdapatnya hubungan atau koefsien korelasi tersebut di atas, bukan berarti hanya variable konsep diri dan budaya organisasi yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja instruktur di BLK se JABOTABEK, namun masih ada variabel lain yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja instruktur. Karena itu perlu diadakan penelitian mengenai variable-variabel lain yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja instruktur. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T736
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheren Audina
"Game online merupakan salah satu sarana sumber hiburan yang berkembang pesat seiring dengan meningkatnya penggunaan internet. Banyaknya pengguna game online di berbagai kalangan usia membuat para pemain game online rentan terhadap kecanduan game online. Kecanduan game online dapat menjadi faktor yang mempengaruhi konsep diri individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecanduan bermain game online dengan konsep diri pada mahasiswa. Metode penelitian yang digunakan, yaitu penelitian kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional pada 222 mahasiswa Universitas Indonesia yang bermain game online pada rentang usia dewasa muda 18-23 tahun. Responden didominasi oleh mahasiswa S1 dan angkatan 2019. Instrumen penelitian yang digunakan, yaitu kuesioner Game Addiction Inventory for Adults (GAIA) untuk kecanduan bermain game online dan kuesioner Tennessee Self Concept Scale Second Edition Short Form untuk konsep diri. Temuan pada penelitian ini menggambarkan 59% mahasiswa memiliki tingkat kecanduan game online sedang dan 50,9% mahasiswa memiliki konsep diri sedang. Hasil analisis memperoleh nilai p=0,001, sehingga membuktikan adanya hubungan kecanduan bermain game online dengan konsep diri. Penelitian ini merekomendasikan pelayanan kesehatan untuk menciptakan program dan konseling khusus bagi mahasiswa kecanduan game online.

Online games are a means of entertainment sources that are growing rapidly along with the increasing use of the internet. The large number of online game users of various ages makes online game players vulnerable to online game addiction. Addiction to online games can be a factor that affects individual self-concept. This study aims to determine the relationship between online game addiction and self-concept in college students. The research method used was quantitative research with a cross-sectional research design on 222 University of Indonesia students who played online games in the age range of young adults 18-23 years. Respondents were dominated by the undergraduate student of 2019. The research instruments used were the Game Addiction Inventory for Adults (GAIA) questionnaire for online game addiction and the Tennessee Self Concept Scale Second Edition Short Form questionnaire for self-concept. The findings in this study illustrate that 59% of students have a moderate level of online game addiction and 50.9% of students have a moderate self-concept. The results of the analysis obtained a value of p = 0.001, thus prove there is a relationship between online game addiction and self-concept. This study recommends health services to create special counseling and programs for students who addicted to online games."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Diani Paramitha Maharsi
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dengan persepsi diri terhadap penuaan pada lanjut usia. Sebanyak 100 orang lanjut usia berusia 60 tahun keatas yang tinggal di Depok berpartisipasi pada penelitian ini. Religiusitas dalam hal ini meliputi sembilan dimensi, yaitu perilaku religius publik, perilaku religius pribadi, dukungan kelompok keagamaan, coping religius, kepercayaan dan nilai, komitmen religius, pengampunan, pengalaman spiritual harian, dan intensitas religius. Pengukuran religiusitas dilakukan dengan alat ukur Brief Multidimensional Measure of Religiousness/Spirituality yang dibuat oleh Idler, Musick, Ellison, George, Krause, Ory, Pargament, Powell, Underwood, dan Williams (2003), sedangkan persepsi diri terhadap penuaan diukur melalui Attitude Towards Own Aging yang dibuat oleh Liang dan Bollen (1983).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya terdapat hubungan positif yang signifikan pada satu dimensi, yaitu dimensi pengampunan (forgiveness) pada religiusitas dengan persepsi diri terhadap proses penuaan pada lanjut usia. Artinya, semakin individu menunjukkan kesediaan untuk memohon ampun pada Tuhan dan memaafkan orang lain dan diri sendiri, semakin positif pula persepsi terhadap proses penuaannya; begitu pula sebaliknya. Disisi lain, tidak terdapat hubungan yang signifikan pada delapan dimensi lainnya, yaitu dimensi perilaku religius publik, perilaku religius pribadi, dukungan kelompok keagamaan, coping religius, kepercayaan dan nilai, komitmen religius, pengalaman spiritual harian, dan intensitas religius.

This study examined the relationship between religiosity and self-perception of aging among elderly. 100 elderly living in Depok participated in this study. Religiosity in this study consists of nine dimensions, i.e public religious practices, private religious practices, congregation support, religious coping, belifs and values, religious commitment, forgiveness, daily spiritual experiences, and religious intensity Religiosity was measured by the Brief Multidimensional Measure of Religiosness/Spirituality (Idler, Musick, Ellison, George, Krause, Ory, Pargament, Powell, Underwood, dan Williams, 2003), whereas the self-perception of aging was measured by the Attitude Towards Own Aging scale (Liang & Bollen, 1983).
This study shows that there is a significant, positive relationship only on one dimension, which is the forgiveness dimension of religiosity and self-perception of aging among elderly. The result of this study shows that the more willing for an individual to ask for forgiveness from God and to forgive other people and oneself, the more positive participants? perception towards aging; vice versa. On the other hand, the other eight dimensions has no significant relation with self-perception of aging. The dimensions are public religious practice, private religious practices, congregation support, religious coping, beliefs and values, religious commitment, daily spiritual experiences, and religious intensity.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59165
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masdalipah N
"Masa merupakan remaja merupakan masa kritis seseorang untuk memasuki dunia dewasa. Berbagai perubahan fisik dan psikis pada diri remaja seringkali menimbulkan berbagai persoalan yang harus dihadapi dan diatasi. Agar remaja dapat lebih berhasil mengatasi masalahnya, ia membutuhkan bantuan berupa bimbingan dari orang lain dalam menentukan pilihan, penyesuaian dan pemecahan terhadap masalah-masalah yang dihadapinya. Artinya, ada siswa-siswa yang membutuhkan bimbingan pribadi atau bimbingan dalam mengatasi masalah-masalah pribadinya.
Orang lain yang diharapkan bisa memberikan bimbingan pada remaja di sekolah adalah guru. Peran sebagai pembimbing bagi guru sebenarnya merupakan bagian dari tugasnya sebagai pendidik. Mengingat banyaknya jumlah siswa dalam satu sekolah, memang tidak selayaknya bila penanganan seluruh siswa bermasalah diserahkan pada guru-guru Bimbingan dan Penyuluhan semata. Turut sertanya guru-guru bidang studi dalam membantu siswa-siswanya yang bermasalah akan lebih menunjang keberhasilan program bimbingan maupun siswa bersangkutan di sekolah.
Kepribadian seorang guru ternyata berhubungan dengan perilakunya dalam mendidik. Posisi sentral dari kepribadian adalah persepsi diri. Persepsi diri sendiri memiliki 2 dimensi, yaitu konsep diri (deskripsi diri) serta harga diri (penilaian terhadap deskripsi dirinya). Karena persepsi diri tidak terlepas dari nilai-nilai individu, maka selain konsep diri dan harga diri, penulis juga berupaya melihat bagaimana nilai guru tentang perannyanya tersebut. Nilai ini digali dari konsep penilaian peran (role evaluation) dari Biddle dan Thomas (1966).
Subyek penelitian ini adalah guru-guru bidang studi tingkat Sekolah Lanjutan Atas (SLTA) di Jakarta yang seluruhnya berjumlah 70 orang dan terbagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok guru sekolah tidak rawan masalah dan kelompok guru sekolah rawan masalah (tiap kelompok 35 orang). Pembagian kelompok didasarkan atas berapa kali siswa-siswa sekolah yang bersangkutan terlibat perkelahian pelajar. Perkelahian pelajar disini hanya merupakan indikator mengenai banyaknya siswa yang bermasalah atau kurangnya pelaksanaan bimbingan di sekolah tersebut.
Alat pengumpulan data penelitian ini terdiri dari 4 skala, yaitu: skala konsep diri, skala harga diri, skala kekerapan pelaksanaan bimbingan dan skala kepuasan terhadap kekerapan pelaksanaan bimbingan. Skor-skor yang diperoleh kemudian diolah dengan t-test, melalui bantuan komputer program SPSSPC+.
Hasil penelitian ini ménunjukkan tidak adanya perbedaan konsep diri dan harga diri antara antara kedua kelompok guru tersebut. Keduanya mendeskripsikan dirinya sebagai pembimbing yang baik serta sama-sama menyukai dirinya. Perbedaan antara kedua kelompok itu terletak pada nilai mereka tentang peran sebagai pembimbing. Guru sekolah tidak rawan masalah memiliki nilai yang menunjukkan bahwa sebagai guru mereka perlu melaksanakan bimbingan. Sedangkan guru sekolah rawan masalah memiliki nilai yang menunjukkan bahwa bimbingan bukan hal penting untuk mereka perhatikan dan lakukan.
Bagi guru-guru sekolah rawan masalah, dengan pelaksanaan bimbingan yang cenderung kurang, ternyata mereka mendeskripsikan dirinya sebagai pembimbing yang baik. Namun karena nilai mereka menunjukkan bahwa bimbingan bukan hal penting yang perlu mereka lakukan, maka ada kemungkinan dengan apa yang mereka lakukan tersebut, mereka sudah merasa menjadi pembimbing yang baik dan merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukannya itu.
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis lebih menyarankan pada perlunya guru melakukan introspeksi diri, yang bertujuan agar guru lebih menyadari akan pentingnya pelaksanaan bimbingan serta lebih menyadari apa yang mereka lakukan masih belum mencukupi. Dari sini diharapkan berkembang nilai-nilai yang mendukung perlunya pelaksanaan bimbingan, khususnya pada guru-guru bidang studi.
Untuk memperoleh hasil yang lebih baik pada penelitian serupa, penulis menyarankan dipergunakannya jumlah subyek yang lebih besar serta mempergunakan tehnik wawancara dalam pengumpulan datanya. Dan untuk memperkaya informasi tentang masalah bimbingan oleh guru ini, ada baiknya dipergunakan patokan selain perkelahian pelajar sebagai indikator banyaknya siswa bermasalah yang membutuhkan bimbingan dalam satu sekolah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1994
S2922
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Juliati
"ABSTRAK
Produk barang dan jasa yang beredar di pasaran begitu banyak, dengan merek (brand) yang bervariasi. Keadaan ini menimbulkan persaingan ketat antar produsen untuk memasarkan produknya, diperlukan stxategi yang jitu agar dapat mencapai target pemasaran. Untuk dapat memenuhi hal ini, maka pemasar memerlukan data yang lebih akurat mengenai perilaku konsumen.
Diantara sekian banyak perilaku konsumen, perilaku membeli merupakan perilaku yang menarik imtuk diteliti, karena dengan mengetahui dan memahami perilaku membeli ini, maka pemasar dapat mengarahkan produk beserta mereknj^ sesuai dengan permintaan pasar atau menciptakan adanya kebutuhan teiiiadap produk yang dihasilkan (Solomon, 1994). Bila berbicara mengenai perilaku membeli, maka brand loyalty (loyalitas atau kesetiaan terhadap suatu merek), merupakan suatu pola membeli yang penting (London & Delia Bitta, 1993).
Loyalitas merek sendiri merupakan suatu jenis khusus perilaku membeli j'ang berulang, melibatkan komitmen dan preferensi yang menyebabkan pola pembelian berulang terhadap suatu merek (Zaltman & Wallendorf, 1979). Karena pola pembelian berulang inilah, maka Ada beberapa teori yang mencoba menerangkan loyalitas merek, diantaranya adalab "economics of information" , "perceived risk", dan "image congruence". Dari ketiga teori, maka teori yang dapat lebih luas m^jelaskan loyalitas merek adalah image congruence atau kesesuaian citra, dunana hal utama yang maidasari teori ini adalah bahwa pembeli memiliki citra terhadap din mereka sendiri dan terhadap merek yang mereka beh, dan kecenderungan untuk membeli merek, atau memilih toko yang memiliki citra yang sesuai dengan citra-diri mereka (Horton, 1984).
Peneliti berasumsi bahwa apabUa terdapat kongruensi (kesesuaian) yang tinggi atau diskrepansi (kesenjangan) yang rendah antara konsep-diri dan citra merek, maka akan semakin tinggi pula loyalitas merek. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep-diri dengan pendekatan "multiple component". Konsep-diri ini terdiri dari konsep-diri aktual, konsep-diri ideal, konsep-diri sosial dan konsep-diri sosial ideal.
Dari segi perkembangan, konsep-diri merupakan suatu aspek penting dari remaja. Oleh karena itu, remaja dipilih sebagai sampel penelitian. Selain itu, rem^a merupakan pasar yang potensial. Loyalitas merek sendiri, menurut Aaker (1991) mempunyai 5 (lima) derajat atau level, yaitu : price/switcher buyer, habitual buyer, switching-cost loyal, friends of the brand dan comitted buyer. Jadi, selain akan melihat loyalitas secara keseluruhan, akan dilihat pula loyalitas merek berdasarkan derajatnya.
Dari hasil elisitasi yang diperoleh dari 117 orang responden, temyata pasta gigi merupakan produk yang sering dibeli responden dengan memperhatikan merek. Merek yang digiinakan sebagai wakil adalah Pepsodent dan Close Up. Penelitian ini sendiri merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan terhadap 120 orang remaja yang tinggal di Jakarta dan sekitamya (Jabotabek), masing-masing 60 orang yang menggunakan Pepsodent dan 60 orang lainnya yang menggunakan Close Up. Kepada mereka diberikan kuesioner yang terdiri dari data kontrcl, alat pengukuran konsep-diri, citra merek dan alat yang mengukur derajat loyalitas merek.
Dari hasil penelitian, temyata terdapat korelasi negatif yang signifikan antara skor diskrepansi konsep-diri ideal dan citra merek dengan skor total loyalitas merek. Selain itu, juga terdapat korelasi negatif yang signifikan antara skor diskrepansi konsep-diri sosial ideal dan citra merek dengan skor total loyalitas merek. Hasil ini teijadi baik pada subyek penggima Pepsodent maupun Close Up. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan bertambah kecilnya diskrepansi antara konsep-diri ideal dan konsep-diri sosial ideal dengan citra merek akan diikuti meningkatnya loyalitas merek. Hal ini berarti ada kecenderungan dari subyek untuk mengkonsumsi suatu merek untuk mencapai suatu keadaan yang dianggapnya ideal, baik secara pribadi maupun sosial.
Hasil lain yang cukup menarik adalah, bahwa apabila ditelaah berdasarkan derajat loji^litas, maka pada subyek Pepsodent, maka terdapat korelasi yang negatif signifikan antara skor diskrepansi konsep-diri (baik aktual, ideal, sosial dan sosial ideal) Han citra merek Hftnoan loyalitas merek pada derajat switching-cost loyal. Juga, terdapat korelasi yang negatif sigmfikan antara skor diskrepansi konsep-diri (ideal dan sosial ideal) dan citra merek dengan loyalitas merek pada derajat comitted buyer. Dilain pihak, pada subyek Close Up, bila ditelaah berdasarkan derajat loyalitas, maka terdapat korelasi yang negatif signifikan antara skor diskrepansi konsep-diri ideal dan citra merek dengan loyalitas merek pada derajat kedua sampai kelima (habitual buyer, switching-cost loyal, friends of the brand dan comitted buyer). Pada konsep-diri sosial ideal, hanya berkorelasi negatif signifikan pada derajat switching cost loyal. Sedangkan, konsep-diri aktual dan sosial tidak berkorelasi, baik dengan total loyalitas, maupun berdasarkan derajat loyalitas.
Beberapa hal yang menjadi bahan diskusi dan bisa dikembangkan untuk penelitian lebih lanjut adalah penggunaan sampel dari kelonpok usia yang berbeda, pembuatan profil psikografis, pembuatan item-item yang standar untuk mengukur diskr^ansi antara konsqp-diri dan citra merek, serta menggunakan produk dan merek yang lebih beragam."
1997
S2651
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Wulandari
"Penelitian ini membahas mengenai persepsi pustakawan terhadap kegiatan layanan sirkulasi dan layanan rujukan dengan fenomena di Perpustakaan Universitas Indonesia. Penelitian ini merupakan perefleksian diri pustakawan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengidentifikasi bagaimana kegiatan layanan sirkulasi dan layanan rujukan sebagaimana yang di persepsikan oleh pustakawan itu sendiri. Lalu, menganalisis kendala yang dihadapi pustakawan dan usaha yang telah dilakukan dan yang harus dilakukan dari sudut pandang pustakawan itu sendiri. Hasil penelitian ini adalah pustakawan dapat memahami masalah, apa yang harus dilakukannya, pentingnya kegiatan layanan sirkulasi dan layanan rujukan di perpustakaan. Terdapat perbedaan di setiap persepsi pustakawan, yaitu antara pimpinan dengan pelaksana. Pustakawan sudah memaksimalkan pekerjaan mereka namun banyak kendala yang dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka sendiri.

This research describes perception of librarians on activities of circulation services and reference services with the phenomenon in the Library of the University of Indonesia. This research talks about self-reflection of librarians. This research is qualitative research with study case method. The objectives of this research are to identify how the activities of circulation services and reference services as perceived by librarians in themselves. Then, analyzing the constraints faced by librarians and efforts that has been done and what should be done from the perspective of librarians. The results of this research are librarians can understand the problem, what to do, the importance of activities of circulation services and reference services in the library. There are differences in every perception of librarians, between leaders and implementers. Librarians are maximizing their jobs, but a lot of obstacles are influenced by some factors outside themselves."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S45565
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Arief Setyawan
"Seorang manajer dituntut untuk seialu menunjukkan citranya sebagai eksekutif. Upaya ini untuk mengolah dengan cara memanipulasi kesan fisik dikenal sebagai upaya impression management. Konsep ini diperkcnalkan oieh Erving Goffman (1959), seorang sosiolog Amerika yang menjelaskan kecenderungan seseorang untuk menyesuaikan antara harapan masyarakat dengan peran yang disandang oleh seorang. Sebagai salah satu cara untuk menirigkatkan citranya, yakni dengan memakai benda-benda yang melekat dan berkaitan dengan identitasnya. Kemampuan untuk mengolah kesan yang positif sesuai dengan peran yang disandang akan membantu manajer untuk menjalankan tugas dan fungsi kemanajerialan. Peran sebagai eksekutif seiring berhubungan dengan orang lain, membuat manajer dituntut untuk seialu raenjaga wibawanya. Fungsi-fungsi manajeriai seperti conlrolling. stajfing, organizing. leading, dan planning, dapat beijalan lancar jika kewibawaan manajer seialu dijaga. Konsep yang dapat menjelaskan bagaimana seorang manajer dapat menampilkan kesan atau citra yang positif sesuai dengan perannya, yakni self motiitoring.
Menurut Snyder (1974), konsep self monitoring ini merujuk pada lima komponen yakni, pertama. menyangkut keputusan sosial dari presentasi diri seseorang di hadapan publlik ; kedua, perhatian terhadap informasi tentang berbagai perbandingan sosial sebagai isyarat-isyarat dari penampilan diri yang bagaimana yang pantas jika berada dalam situasi terlentu , ketiua. kemampuan seseorang untuk mengontrol dan memodifikasi ekspresi tingkalh laku , keemoat, pemanfaatan dan penggunaan kemampuan tersebut dalam situasi-sitiasu khusus, dan terakhir kelima, sampai seberapa jauh ekspresi tingkah laku dan presentasi diri seseorang bentuk untuk menyesuaikan dengan situasi-situsi khusus.
Dalam pengukurannya Seli Monitoring, dibagi menjadi tiga aspek yakni Ekstraversion-Intraversion, Self Directedness, Acting Out. Aspek pertama, Ekstraversion-Introversion mengukur kemampuan self explanatory, yakni kesediaan individu dalam mengorienlasikan diri berhubungan dengan orang lain. Aspek kedua, Otherdirectedness, mengukur kemauan atau kesediaan untuk mengubah tingkah laku di hadapan orang lain. Sedangkan aspek ketiga yakni Acting Out, mengukur kemampuan seseorang untuk mengontrol dan memodifikasi presentasi diri dan tingkah laku ekspresif yang sponlas dalam situasi publik. Singkat kata pengukuran self monitoring ini secara keseluruhan unutk melihat dua kemampuan yakni kemampuan mengatur dan kemampuan menjaga kesan positif penilain orang lain terhadap penampilan diri.
Salah satu cara mengkomunikasikan citra dan wibawa, yakni dengan cara memakai barang-barang bermerek yang mahal. Gaya hidup manajer selama ini dianggap high profile, mengingat pola konsumsinya terhadap barang-barang yang mahal. Salah satu barang yang melekat dan berkaitan erat dengan identitas manajer, yakni busana eksekutif. Busana eksekutif dibatasi sebagai busana keija yang dipakai manajer dalam lingkungan formalnya (setting keija). Busana ini terdiri; kemeja dan celana panjang untuk pria, blues dan blazer untuk wanita.
Merek-merek terkenal yang telah mendunia (international) menjadi pilihan utama setelah bentuk morfologisnya. Merek-merek tersebut berharga mahal dan tidak semua orang dapat mengkonsumsinya. Alasan mereka yang mengkonsumsi busana mahal tersebut beraneka ragam. Namun jika dicermati terdapat dua alasan yakni sebagai ekspresi hedonis dan utilitaraian Loudoun & Delabitta (199j). Sebagai ekspresi hedonis merujuk pada pengakuan terhadap social power, seperti kekayaan, kemakmuran, dan kekuasaan. Sedangkan utilitarian motif mementingkan asas kegunaan, dan biasanya menjadi perilaku instrumental untuk mencapai tujuan utama. Motif-motif pembelian ini berkaitan dengan keyakinan atau belief seseorang.
Untuk mengetahui secara pasti, maka diperlukan penelitian yang dapat melihat belief-belief tersebut. Konsep yang dapat melihat secara luas, namun tepat melihat keinginan manajer untuk membeli busana eksekutif terkenal, yakni intensi. Konsep intensi ini diperkenalkan oleh Fishbein & Ajzen (1975) yang mendefinisikannya sebagai kecenderungan seseorang menempatkan diri dalam dimensi probabUitas yang melibatkan dirinya dan tingkah laku. Dalam upaya melengkapi konsep ini Ajzeo (1988) mengoreksi dengan menambahkan satu komponen penting dari intensi, sehingga menjadi tiga komponen, yakm sikap, norma subyektif, dan yang baru perceived behavior control (PBC). Sikap dipengaruhi oleh dua variabel yakni belief behavior, yakni keyakinan seseorang tentang tingkah laku tersebut, dan out comes evaluation, yakni evaluasi terhadap konsekuensi yang diterima jika memunculkan tingkah laku tersebut.
Norma subyektif terdiri dari dua bagian yakni normatif belief, yakni keyakinan bahwa terdapat orang-orang yang penting {signiftkan others) menginginkan seseorang untuk menampilkan tingkah laku. Aspek kedua dari norma subyektif yakni motivation to comply yakni kesediaan untuk memenuhi harapan signifikan others. Sedangkan PBC terdiri dari aspek control belief yakni keyakinan bahwa terdapat sumberdaya dan kesempatan yang dibutuhkan untuk menampilkan tingkah laku, aspek kedua perceived pmver yak " terdapat kontrol langsung yang dimiliki subyek untuk menampilakn tingkah laku tertentu. Pengukuran terhadap konstruk intensl ini semakin relevan jika dikaitkan dengan adanya krisis ekonomi, dimana terdapat asumsi bahwa upaya penghematan seseorang sebagai respon dari adanya inflasi yang tinggi akan mempengaruhi keinginan sseorang manajer untuk membeli busana-busana yang mahal.
Penelitian ini mempunyai empat tujuan yakni, pertama, ingin melihat bagaimana gambaran self monitoring manajer, kedua bagaimana intensi manajer untuk membelibusana eksekutif bermerek terkenal. ketiga, ingin melihat seberapa besar pengaruh sunmbangan komponen sikap, nomna subyektif, dan perceived behavior control, dan keempat ingin melihat apakah ada hubungan antara self monitoring dengan intensi untuk membeli busana eksekutif bermerek terkenal pada manajer. Penelitian ini menggunakan sampel manajer lini pertama, manajer madya, dan manajer puncak mengingat bahwa indikasi kuat bahwa ketiga kelompok ini mempunyai daya beli yang cukup tinggi untuk membeli busana-busana mahal. Penentuan sampel menggunakan tekmk accidental sampling, dimana sampel yang tersedia dapat diambil asal memenuhi syarat karakteristik sampel. Teknik sampling ini termasuk non probability sampling, dimana setiap subyek penelitian tidak mempunyai peluang yang sama menjadi sampel penelitian. Jumlah sampel yang dapat diambil sebanyak 127 orang.
Dari basil penelitian menemukan bahwa self monitoing para manajer ratarata tinggi. Terdapat perbedaan yang signifikan antara manajer puncak, madya, dan lini pertama dalam self monitoringnya, dimana semakin tinggi jabatan seseorang SMnya semakin tinggi. Penelitian ini juga menemukan bahwa intensi manajer untuk membeli busana eksekutif bermerek terkenal cendemng tinggi. Terdapat perbedaan intensi yang signifikan antara manajer puncak, madya dan Kni pertama. Perbedaan ini rupanya masih berhubungan erat dengan daya beli mereka. Manajer puncak dan manajer madya masih menganggap dirinya masih mampu membeli busana-busana tersebut meskipun makin mahal. Dari penelitian tentang belief-belief mereka nampaknya para manajer terdorong untuk membeli busana busana tersebut lebih dikarenakan pertimbangan utilitarian yang melihat sebagai tingkah laku memakai busana eksekutif bermerek terkenal sebagai salah cara untuk meraih kewibawaan dan mendapatkan legitimasi yang wajar.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komponen PBCD merupakan prediktor terbaik dari dua komponen sikap dan norma subyektif. Hasil ini sesuai dengan teori Ajzen (1988) bahwa persepsi terhadap sumberdaya mempengaruhi kontrol seseorang dalam memunculkan tingkah laku. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa selama daya beli masih tinggi, tingkah laku akan dimunculkan seseorang. Namun dari hasil ini daya beli tersebut masih dimiliki kelompok manajer puncak dan madya yang memang mempunyai penghasilan yang cukup, meski berada dalam situasi ekonomi yang sulit.
Hasil utama lain dari penelitian ini, yakni bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara self monitoring dengan intensi manajer untuk membeli busana eksekutif bermerek terkenal yang mahal. Hal ini berarti semakin tinggi SM manajer semakin tinggi pula intensinya untuk membeli busana-busana mahal tersebut."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2456
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marina
"Dimana alat ukur yang digunakan adalah Kuesioner Temang Diri dan Kuesioner Kepuasan Citra Tubuh. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode non probability sampling, dengan jenis sampel incidental. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara senjang-harapan dengan kepuasan citra tubuh pada wanita. Dari hasil analisa hubungan antara senjang-harapan dengan ke lima aspek kepuasan citra tubuh, ditemukan hubungan yang terbalik pada aspek evaluasi penampilan dan kepuasan area tubuh serta ditemukan hubungan dengan aspek kecemasan menjadi gemuk, namun tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan aspek orientasi penampilan dan aspek pengkategorian diri ke dalam kelompok berat badan tertentu.
Pada analisa lebih lanjut terhadap hubungan antara senjang-harapan dan kepuasan citra tubuh, dengan mengontrol valiabel yang diduga berpengaruh, yaitu senjang-tuntutan (self discrepancy actual ought/others), tetap ditemukan hubungan yang signifikan antara senjang-harapan dengan kepuasan citra tubuh. Hail analisa terhadap ke lima aspek menemukan hubungan yang terbalik antara senjang-harapan dengan aspek evaluasi penampilan serta hubungan dengan aspek kepuasan area tubuh. Namun tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara senjang-harapan dengan aspek orientasi penampilan, kecemasan menjadi gemuk dan pengkategorian diri ke dalam kelompok berat badan tertentu. Di duga hasil ini disebabkan oleh peranan restriction of range, evaluation apprehension, homogenitas sampel, disamping keterkaitan senjang-tuntutan secara teoritis dengan tingkah laku dan sikap seperti penderita anoreksia (anorexic-related behavior and attitude), yang tercermin dalam subskala kecemasan menjadi gemuk.
Saran peneliti, di masa yang akan datang dapat dilakukan penelitian dengan menggunakan sampel dari berbagai latar belakang, jenis pekerjaan, umur dan lain-lain, untuk menghindari restriction of range. Juga dapat dilakukan penelitian dengan mengaitkan berbagai faktor terhadap kepuasan citra tubuh, sehingga dapat diketahui faktor mana yang paling berhubungan. Untuk memperoleh atribut-atribut yang lebih terjangkau (accessible) dan tersedia (available) Kuesioner Tentang Diri hendaknya dibuat dengan metode respons bebas (free response), dimana individu dapat menuliskan atribut-atribut yang diyakini sebagai diri yang sebenamya (actual self, selanjutnya disebut diri-anggapan), ia harapkan (ideal self selanjutnya disebut diri- harapan), ia haruskan (ought self selanjutnya disebut diri-keharusan) dan atribut-atribut yang ia yakini sebagai diri sebenarnya menurut sudut pandang orangtuanya (actual self/others, selanjutnya disebut diri-penilaian), yang diharapkan orangtuanya (ideal self/others, selanjutnya disebut diri-himbauan), dan did yang dituntut oleh orangtuanya (ought self/others, selanjutnya disebut diri-tuntutan). Untuk penelitian lebih lanjut, ada baiknya menelit hubungan antara senjang harapan-tuntutan (salah satu bentuk dari self guide discrepancies atau senjang panduan diri)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2638
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>