Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 64114 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agung Setiawan
"Dekonstruksi mempertahankan ruh instabilitas yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang asing diantara pertandaan kebenaran dengan logos yang mengarahkannya. Dekonstruksi menghindari konsep stabilitas yang menjadi konstruksi kehadiran realitas, karena pertandaan akan sebuah realitas tidaklah selalu stabil. Hal tersebut terbukti dengan adanya ambiguitas makna pada metafora. Dalam posisi ini, dekonstruksi mendekonstruksi pemahaman subjek akan kehadiran logos yang berusaha untuk distabilkan (logosentrisme) melalui sebuah dominasi pertandaan terhadap sebuah struktur bahasa (strukturalisme linguistik). Dekonstruksi melihat sebuah kemungkinan yang diberikan oleh metafora untuk tidak terjebak pada sebuah proses dominasi dan diskriminasi konsep. Metafora membantu dekonstruksi untuk memahami lebih dalam mengenai instabilitas, tapi bukan berarti dekonstruksi menggunakan metafora sebagai alat untuk mencapai keutuhan konsep instabil itu sendiri.. Dekonstruksi menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mendekonstruksi dirinya sendiri ketika dihadapkan pada proses pengukuhan instabilitas sebagai sebuah bentuk otonom dari sebuah sistem pertandaan. Dekonstruksi berada pada posisi yang instabil diantara filsafat dan metafora untuk menegaskan bahwa instabilitas itu sendiri merupakan sebuah originalitas yang selalu ada, baik itu di dalam filsafat, metafora bahkan dekonstruksi itu sendiri. Dalam hal ini, untuk membuktikan bahwa dekonstruksi tidak mengingkari metodenya sendiri, maka dekonstruksi harus bisa berada pada posisi inkonsisten terhadap inkonsistensi itu sendiri. dan hal tersebut bisa dilihat ketika Dekonstrruksi mendekonstruksi dirinya sendiri melalui teks-teks instabil seperti metafora.

Deconstruction maintains the spirit of instability that had been considered as something strange among signification of truth with the logos that direct it.Deconstruction avoids the concept of stability which is the presence of construction of reality, because signification of a reality is not always stable. This is proven by the ambiguity of meaning of a metaphor. In this position, deconstruction deconstructs understanding of the subject about the presence of logos that are tried to be stabilized through the domination of signification of a language structure. Deconstruction sees a possibility given by the metaphor to not get stuck on a concept discrimination process. Metaphor helps deconstruction to understand more about the instability, but that does not mean deconstruction uses metaphor as a tool to achieve the wholeness concept of instability itself. Deconstruction use himself as a tool to deconstruct itself when faced with the solidity process of instability as an autonomous form of a signification system. Deconstruction is in an unstable position between philosophy and metaphor to emphasize that the instability is itself an originality that is always there, whether of philosophy, metaphor even deconstruction itself. In this case, to prove that deconstruction is not denying his own method, deconstruction should be in the inconsistent position of the inconsistency itself. And it can be seen when deconstruction deconstructs itself through the unstable texts as a metaphor."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43828
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yuwita Margareth
"Oposisi biner adalah metafisika kehadiran. Oposisi biner ini terdapat dalam struktur sehingga memunculkan hierarki. Hierarki ini merupakan sejarah filsafat barat. Oposisi biner memunculkan makna yang stabil dan pasti. Hal inilah yang didekonstruksi oleh Derrida. Dekonstruksi Derrida ini memunculkan konsekuensi tentang makna teks. Metode dekonstruksi digunakan untuk menemukan dan menunjukkan konsekuensi dekonstruksi Derrida itu. Dekonstruksi Derrida terhadap oposisi biner tidak untuk mencari makna, melainkan menciptakan makna yang terkait dengan teks, konteks, intertekstualitas, penafsir, dan permainan bahasa. Derrida menolak oposisi biner dan muncul pluralitas makna.

The binary opposition is a metaphysics of presence. This binary opposition can be found in structure that emerge hierarchy. This hierarchy is history of Western philosophy. The binary opposition emerge stable and certain meaning. This case is deconstructed by Derrida. This deconstruction of Derrida emerge the consequence about meaning of text. The method of deconstruction is used to find out and to point out that consequence of Derrida's deconstruction. The deconstruction of Derrida on the binary opposition is not looking for meaning, but it creates meanings that related to text, context, intertextuality, interpreter, and language games. Derrida rejected binary opposition and emerge plurality of meanings."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42262
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ronardo Safendo
"Sejarah filsafat dipenuhi dengan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi bagaimana filsafat itu berkembang dan menjadi sebuah bidang yang terdiri dari bentukan segala aspek kehidupan seperti kebudayaan dan lingkup sosial yang sedang beriangsung. Filsafat dengan metodenya yang kritis dan reflektif dapat menjadi panduan dalam menemukan sebuah jalan keluar permasalahan. Namun sebuah jawaban yang diberikan filsafat tidak lagi menjadi sesuatu yang selalu mutlak, atau bukan sebuah warisan pemikiran atas permasalahan yang digunakan secara universal dan selamanya, bukan sebuah ketaatan buts terhadap kebenaran (semu).
Sebagaimana manusia, kebudayaan dan kehidupan sosial yang selalu mengalami perubahan yang terus menerus serta senantiasa dinamis, maka filsafat pun sebagai bagian dari kehidupan manusia harus senantiasa mengikuti tuntutan sosial sebagai wujud konkret dari akal budi manusia dalam menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik. Filsafat tidak lagi berada dalam menara gading yang hanya berfungsi sebagai panoptikon untuk mengawasi manusia, melainkan bagaimana filsafat harus turun dan lebih menyentuh kehidupan konkret dalam lingkup sosial yang nyata dan majemuk. Kita tidak dapat membuat sebuah garis besar haluan bagi manusia untuk menemukan kebenaran yang satu, yang baik dan yang benar untuk berlaku bagi seluruh manusia tanpa adanya unsur kritis dan reflektif dari filsafat yang sangat penting namun sering dilupakan demi mengejar sebuah ambisi pencapaian kebenaran yang justru bersifat sementara.
Sebagaimana kita ketahui sebuah kebenaran akan selalu memiliki kaitan dengan unsur kuasa dan kepentingan, sehingga tidak bisa kita terapkan secara membabi buta tanpa daya kritis. Dengan melihat situasi yang majemuk dan plural, maka diperlukan semangat emansipasi dan penghargaan terhadap suara-suara yang selama ini tidak didengar. Oleh karena itu dekonstruksi Derrida melanjuti semangat filsafat yang kritis dan reflektif dari kemapanan filsafat yang dianggap sudah berhenti dan mencapai kepenuhan dalam menjawab permasalahan. Derrida mendekonstruksi tradisi filsafat barat seperti fonologisme dan strukturalisme. Wujud konkret dekonstruksi sendiri lebih menonjolkan sisi etis dan politis di dalam kehidupan sosial, dengan selalu memurnikan dan mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Di dalam dekonstruksi tidak ada sebuah pencapaian kebenaran yang mutlak dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik, melainkan akan selalu mengawali proses pemurnian dan terbuka bagi segala peluang dan yang lain."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S16086
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Asmarandani
"Disertasi ini mengulas pemaknaan estetika keburukan topeng bondres Bali sebagai tokoh dalam dramatari topeng Bali. Pembahasan ini diawali dengan epistemologi tentang topeng (bondres) sebagai sebuah realitas dari representasi dari “ada" atau sebagai karakter manusia yang terwakili oleh topeng. Maskharah dalam bahasa Arab berarti "badut", yang berasal dari kata kerja "Sakhira" yang artinya "mengejek", sedangkan dalam bahasa Romawi Kuno topeng dapat diartikan sebagai "Persona" atau "Prosophone" yang artinya manusia. Dalam dramatari topeng Bali, topeng bondres (tokoh rakyat) ditampilkan dengan ekspresi wajah buruk sebagai makna transformasi personal dan transformasi sosial. Dengan memanfaatkan dasar kosmologi topeng (bondres) yang pembacaannya disandingkan dengan pemikiran inti Jacques Derrida, melalui dekonstruksi Derida menolak gagasan ordinat dan subordinat atau mengunggulkan yang satu dengan meminggirkan yang lain, konsep utamanya adalah menolak kebenaran tunggul. Melalui dekonstruksi Derrida dapat diperoleh teks dan makna baru melalui pembacaan ulang. Dengan differance , pembacaan perbedaan yang langsung dapat menampung 2 hal yang berbeda, pembacaan perbedaan terhadap totalitas makna dalam teks. Dengan grammatology secara garis besar merupakan ilmu "tanda dari tanda", dalam hal ini keburukan topeng Bondres merupakan tanda yang merujuk pada tanda yang lain, dan bagi Derrida, tanda adalah trace atau jejak yang berkaitan dengan "kehadiran" dan sekaligus sebagai "ketidakhadiran".
Studi ini menghasilkan, bahwa dalam sistem kosmologi Bali, nilai keburukan topeng bondres merupakan sesuatu yang berdiri sendiri , otonom dan mandiri, eksistensi nilai keburukan yang menempati ruang kesadaran masyarakat Bali sebagai sistem nilai yang tak terpisahkan dari sistem nilai kehidupan. Pembacaan makna kosmologi topeng Bondres disandingkan dengan beberapa pemikiran-pemikiran Derrida, Topeng Bondres dapat dipahami sebagai dimensi keburukan estetis yang otonom dan sama nilainya dengan kecantikan karena mampu menghasilkan sensasi estetis yang sama. Topeng bondres mempunyai penilaian bentuk (form) dan penilaian isi (content) , penilaian terbuka dan penilaian yang tersembunyi yang hadir karena peran dan fungsi bondres dalam pertunjukan topeng; penilaian ini berkenaan dengan emosi,afeksi dan apresiasi manusia yang terangkum dalam bingkai-bingkai (frame) yang terbentuk. Sehingga topeng Bondres dapat mengkonstruksi kategori-kategori baru bahwa dalam keburukan wajah terkandung dimensi kebebasan manusia yang sublim.

This dissertation analyze the meaning of ugliness aesthetic of Balinese topeng Bondres as a figure on Balinese topeng dance drama. This study is started by epistemological study on topeng bondres as a reality of being representation or a human character that represented by topeng. Maskharah in Arabic means "a clown" from verb "shakira" means "parodying". In ancient Roman, topeng means "persona" or "prosophone" means human being. In Balinese topeng dance drama, topeng bondres (as folk character) is shown through ugly face expression which has a meaning of personal and social transformation. With using the cosmological basic of topeng bondres and Jacques Derrida's point of views prove that Derrida's deconstruction ignores the idea between ordinate and subordinate or to prevail one over the other. His main thought is ignore the sole truth. By mean of Derrida's deconstruction may earn a new text and its meaning through a new model of reading. By differance, direct reading of differences can accommodate two difference things as a reading model of totally text meanings. By grammatology that generally as a science of sign proves the ugliness of topeng bondres as a sign that refers to the other sign. For Derrida, a sign is a trace or imprint that related to presence and absence.
This study proves that in the Balinese cosmological system, the ugliness of topeng bondres is autonomous. The existence of ugliness occupies the domain of Balinese's consciousness as unseparated value system from their collective life system. The reading of cosmological meaning of topeng bondres may compare with Derrida's mode of thoughts that topeng bondres can be understood as an autonomous dimension of the aesthetics of ugliness and has a same value with beauty because able to create the same aesthetics sensation. Topeng bondres has both form and contain assessments as well as open and hidden assessments because of its role and function in topeng performances. These assessments relate to framing of human emotion, affection, and appreciation. It means topeng bondres can construct new categories that in ugly face contains the sublime of human freedom.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
D1938
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wigley, Mark
Cambridge, UK: MIT Press, 1997
720.1 WIG a (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Pati Hadikara
"Keberagaman merupakan suatu ciri khas identitas yang selalu melekat pada nilai-nilai sosial
budaya masyarakat Indonesia. Keberagaman juga menjadi motto bangsa Indonesia yang mempersatukan perbedaan yang ada, dalam nilai-nilai multikulturalisme. Namun pemahaman atas makna keberagaman ini tampak belum bisa membawa masyarakat Indonesia mengerti hingga ke akar pengertian atas keberagaman itu sendiri. Hingga sering sekali, kita melihat banyaknya perpecahan dan salah pengertian tentang bentuk keragaman yang ada didalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Dengan demikian penulis mencoba untuk memberikan sedikit pandangannya terhadap persoalan atas ragam yang ada dengan menulis sebuah artikel ilmiah. Dengan menggunakan metode Dekonstruksi Jacques Derrida, teori Dekonstruksi Jacques Derrida digunakan dalam penelitian ini untuk membongkar dan merekonstruksi ulang makna keberagaman. Hal tersebut akan memperkaya pemahaman dan pengertian atas bentuk keberagaman yang ada di dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Dengan begitu masyarakat Indonesia dengan sendirinya bisa paham dan mengerti lebih baik tentang makna keberagaman. Dengan hasil penelitian bahwa perlunya rekonstruksi pemaknaan ulang makna keberagaman dengan sikap kritis, revitalisasi budaya hingga Pendidikan multikultural.
Diversity is a characteristic of identity that is always attached to social values Indonesian culture. Diversity is also the motto of the Indonesian nation which unites existing differences, in the values ​​of multiculturalism. However, this understanding of the meaning of diversity does not seem to be able to bring Indonesian people to understand the roots of the understanding of diversity itself. Until very often, we see many divisions and misunderstandings about the forms of diversity that exist within Indonesian society itself. Thus the author tries to provide a bit of his views on the problem of the existing variety by writing a scientific article. By using Jacques Derrida's Deconstruction method, Jacques Derrida's Deconstruction theory is used in this study to dismantle and reconstruct the meaning of diversity. This will enrich the understanding and understanding of the forms of diversity that exist within Indonesian society itself. That way the Indonesian people themselves can better understand and understand the meaning of diversity. With the results of the research that it is necessary to reconstruct the meaning of diversity with a critical attitude, cultural revitalization to multicultural education."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
New York : Routledge , 1989
194 DER
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Norris, Christopher
Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006
100 NOR m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Suhendra
"Riset ini merupakan penelitian atas paradoks dalam relasi keadilan dengan hukum dalam karya Jacques Derrida, Force of Law dan menggunakan pendekatan dialetheia dari Graham Priest untuk menjawab permasalahan yang muncul dari diterapkannya dekonstruksi atas hukum. Paradoks ini muncul karena hukum memiliki dimensi kekerasan dari sisi pendirian hingga sisi pemeliharaannya. Pendekatan ini mungkin karena pendekatan dialetheik menyediakan jalan untuk mengatasi paradoks dengan berpegang pada prinsip “sebagian kontradiksi itu benar. Dalam Force of Law, Derrida menyatakan bahwa keadilan itu sendiri mempersyaratkan realisasinya dalam hubungannya dengan yang lain. Oleh karena relasi serupa ini, bagi Derrida, keadilan adalah sesuatu yang akan datang (“justice to come”) karena ia tidak mungkin hadir atau mustahil dicapai dalam hukum ketika tidak dapat mengakomodasi yang lain. Penelitian ini menemukan bahwa, ketegangan konseptual dalam relasi keadilan adalah dialetheik (“sebagian kontradiksi itu benar”). Penemuan ini telah membuka pandangan yang segar tentang nosi keadilan, bahwa keadilan bukan lagi semata-mata kesesuaian antara gagasan atau ide dengan kenyataan yang direpresentasikan, yakni keadilan sebagai hukum ataupun keadilan juga bukan semata-mata permainan différance karena tegangan yang terus menerus terjadi dalam hukum untuk menggapai keadilan. Alhasil, dialetheik mampu menjadi jembatan untuk mengambilalih kebenaran yang ada dalam paradoks penyelesaian hukum dari kasus tragedi 1965 sesudah menerapkan dekonstruksi.

This research inquiries into the paradox of justice and law in Derrida’s Force of Law and integrates dialetheia by Graham Priest into the central issue of the paradoxes of deconstruction of law since law inherits a violent feature in its very nature, operation, and maintenance. Such a pathway is possible because the dialetheic approach can open up a pathway to resolve the paradox of the principle that ‘some contradictions are true’. In Force of Law, Derrida says ‘justice-to-come’ because it can't be now and here or achieved by law when the law is never to be able to accommodate the others. Justice needs to require its relations to others as an irreplaceable singularity. This study unveils that the conceptual tension (between justice and law) is indeed dialetheic. The finding opens the door for a novel insight in conceiving justice, that justice is no longer merely adequacy of and between ideas or concepts and reality or justice of law nor is it simply like the game of différance played in law to achieve justice. As a result, dialetheic approach opens a pathway to take over the truths that existed in the paradoxical settlement of 1965 after the deconstruction of the case."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, John Fredy Bobby
"ABSTRAK
Kala pendekatan fisik tidak mampu memahami karya arsitektur secara tuntas, maka pendekatan metafisik (non material culture) yang merupakan hasil ide atau reka pikir yang kadang tidak terkait langsung dengan obyek fisik yang diamati dapat digunakan (Hardjoko, 2011). Dan perkembangan pengetahuan arsitektur pun akan terjadi bila paradigma merancang tidak hanya dibatasi pada makna desain sebagai representasi yang terkonstruksi tetapi ide dan gagasan yang melatarbelakangi kehadiran objek atau representasi tersebut (Yatmo, 2014). Bagi anak, ide bermain sesungguhnya adalah sesuatu yang penuh gembira, peristiwa yang penuh kegirangan, ide bermain adalahngenggar-enggar ati atau nyenengke ati(menyenangkan hati).Gembira dan menyenangkan hati adalah sesuatu yang terkait dengan perasaan dan bersifat psikis dan oleh sebab itu ide bermain adalah sesuatu yang termanifestasi dalam kerja pikir/ laboring mind.Fenomena bermain anak di lingkungan RW 02 Perumahan Medang Lestari ini akhirnya membuktikan arti bermain yang sebenarnya yaitu upaya untuk memperoleh kegembiraan yang salah satunya teridentifikasi dengan tertawa pada saat bermain dan bermain pun itu sebagai strategiuntuk mengatasi kejenuhan yang dialami anak. Dengan memposisikan ide bermain sebagai kerja pikir maka kehadiran anak padasalah satu spasial untuk bermain dipastikan memiliki argumentasi. Ketertarikan anak untuk menggunakan jalan, selokan, sawah, dekker sebagai spasial bermain lebih disebabkan karena faktor metafisik spasial yang bebas, exciting dan surprise. Ide serta gagasan tersebutlah yang menyebabkan spasial tersebut berhasil menarik perhatian anak untuk menggunakannya. Dengan mengambil lokus penelitian di RW 02 Perumahan Medang Lestari Tangerang dan menjadikan anak usia 6 ? 12 tahun sebagai informan penelitian serta dengan menggunakan metode kualitatif yang berbasis grounded theory sebagai analisis, penelitian ini menemukan hal yang berbeda dengan paradigma dominan spasial bermain. Jalan, selokan, sawah, dekker atau tempat-tempat lainnya adalah spasial yang berpotensi menimbulkan sensasi yang dapat dicerap oleh indera anak dan kehadiran anak pada spasial tersebut membuktikan bahwa bagi anak ruang adalah sebuah kesepakatan. Dan akhirnya dari sensasi yang dihadirkan oleh spasial menghantarkannya sebagai sensatopia, sebuah spasial yang hadir bukan karena materialistic atau spiritualistic tetapi karena faktor sensasionalistic yang dapat dirasakan oleh aktor yang hadir dan menggunakan spasial tersebut.

ABSTRACT
When the physical approach is not able to understand architectural design thoroughly, the metaphysical (non-material culture) approach, that is the result of an idea or thought that sometimes they are not directly related to the observed physical object can be used (Hardjoko, 2011). And the development of architectural knowledge will happen when the paradigm of designing not only restricted to the significance of design as a representation constructed but the idea and concept behind the object or the presence of such representations (Yatmo, 2014). For children, the actually idea of play is something that is full of joy and frolic, the idea of play is ngenggar -enggar ati or nyenengke (in Javanesse). Joy and frolic is something associated with psychic and therefore the idea of play is something that is manifested as laboring mind. The phenomenon of children playing in the district 02 of Medang Lestari Housing ? Tangerang, is finally live up to their actual play as an attempt to obtain the excitement, that one of them identified with a laugh while playing, and even play as a strategy to copying stress by children. When the idea of play as a laboring mind the presence of children in one spatial to play certainly has arguments. When children more interest to use roads, ditches, fields, dekker as spatial for play driven more by metaphysical factors which are free, exciting and surprise. That ideas would be the reasons which made the spatial attract the children to use it. By taking the locus of research in district 02 Medang Lestari Housing - Tangerang and made children aged 6-12 years as an informant research and using qualitative methods based on grounded theory as the analysis method, this research found the idea that in contrast to the dominant paradigm of spatial play. Roads, ditches, fields, dekker or other places were spatial which had potential to produce a sensation which can be perceived by the senses of the child. So, the child's presence in those spatial proved that in children?s viewspatial is anagreement. Finally, the research found that the spatial chosen not because of the materialistic or spiritualistic but because sensasionalistic factors that can be felt by the actors who are present and use spatial. Based on the presented sensation that is delivering a spatial as sensatopia.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
D2115
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>