Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 216563 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ita Patriani
"Kepatuhan (compliance), aderensi (adherency), dan konkordansi (concordance) adalah faktor yang sangat penting dalarn upaya penanganan penyakit kronik TB Paru, hipertensi, asrna. Mengingat pengobatan penyakit kronik rnernbutuhkan tidak hanya ketersediaan obat dan petugas kesehatan yaitu dokter, tetapi juga ketiga faktor tersebut. Untuk rnewujudkan sikap konkordansi dibutuhkan komunikasi efektif antara dokter dan pasien. Komunikasi yang terj alin baik akan rneningkatkan pernaharnan dan rnotivasi dalarn diri pasien untuk rnengikuti nasehat dari dokter. Penelitian ini dilaliukan karena tingginya angka penderita dan angka kegagalan berobat (drop out) pasien tuberkulosis paru, hipertensi, asma di RSUD Kota Mataram. Melalui penelitian ini dapat dilihat adanya hubungan konnunikasi dokter, dan karakteristik pasien dengan sikap konkordansi. Penelitian dengan desain cross Sectional ini dilakukan terhadap 174 responden. Pendidikan, pengeluaran, dan kornunikasi rnerupakan variabel yang berhubungan dengan sikap konkordansi pada pasien TB, hipertensi dan asma. Sebagai saran untuk tindak lanjut adalah peningkatan fasilitas ruangan sehingga pasien dan dokter merasa nyarnan untuk berkornunikasi, penyelenggaraan program pengernbangan kemarnpuan komunikasi dokter, dan survei secara berkala tentang proses komunikasi dokter-pasien.

Compliance, adherence, and concordance are crucial factors in the handling of chronic diseases like lung tuberculosis, hypertension, and asthma. Regarding as the therapy of chronic diseases is not only needed drugs supply and health staff that is doctor, but also the three of factors as mentioned above. To accomplish a concordance attitude is needed an effective communication between doctor and patient. Well established communication may increase the understanding and motivation of patients to comply the doctor?s advice. This study was conducted because high prevalence rate and drop-out rate ofthe patients of lung tuberculosis, hypertension, and asthma at Mataram City General Hospital. This study showed that doctor communication and characteristics of patients related to the concordance attitude. Cross sectional design was employed in this study with 174 respondents. Education, expenses, and communication were variables that related to the concordance attitude on the patients of lung tuberculosis, hypertension, and asthma. It is recommended to maintain room facilities so that patient and doctor feel comfortable to communicate and to conduct a doctor communication skill development program as well as a regular survey of patient-doctor communication process."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31580
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ita Patriani
"The therapy of chronic diseases is not only needed drugs supply and health staff, that is physician, but also three factors such as compliance, adherence, and concordance. The three of factors are crucial in the handling of chronic diseases like lung tuberculosis, hypertension, and asthma. To accomplish a concordance attitude is needed an effective communication between physician and patient. The effective communication may increase the understanding and motivation of patients to comply the physician?s advice. The research is based on the high prevalence rate and drop out rate of the patients of lung tuberculosis, hypertension, and asthma at Mataram City General Hospital. This research is proposed to show the association of the effectiveness of physician communication and characteristics of patients to the concordance attitude of patients. Cross sectional design was employed in this study with 174 patients of lung tuberculosis, hypertension, and asthma as respondents. The results of this study indicate that education, expenditures, and communication are variables related to concordance in TB, hypertension and asthma patients. It is recommended to maintain room facilities so that patient and doctor feel comfortable to communicate and to conduct a doctor communication skill development program as well as a regular survey of patient-doctor communication process.

Pengobatan penyakit kronik tidak hanya membutuhkan ketersediaan obat dan petugas kesehatan yaitu dokter, tetapi juga tiga faktor yakni kepatuhan (compliance), aderensi (adherency), dan konkordansi (concordance). Ketiga faktor tersebut sangat penting dalam upaya penanganan penyakit kronik, termasuk tuberkulosis (TB) paru, hipertensi, dan asma. Untuk mewujudkan sikap konkordansi, dibutuhkan komunikasi efektif antara dokter dan pasien. Komunikasi yang terjalin efektif akan meningkatkan pemahaman dan motivasi dalam diri pasien untuk mengikuti nasihat dari dokter. Adapun penelitian ini dilatarbelakangi oleh tingginya angka penderita dan angka kegagalan berobat (drop out) pasien tuberkulosis paru, hipertensi, asma di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan komunikasi dokter dan karakteristik pasien dengan sikap konkordansi pasien. Penelitian dengan desain studi potong lintang ini dilakukan terhadap 174 pasien TB paru, hipertensi, dan asma sebagai responden. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan, pengeluaran, dan komunikasi merupakan variabel yang berhubungan dengan sikap konkordansi pada pasien TB paru, hipertensi, dan asma. Rekomedasi tindak lanjut dari penelitian ini adalah peningkatan fasilitas ruangan untuk meningkatkan kenyamanan komunikasi pasien dan dokter, penyelenggaraan program pengembangan kemampuan komunikasi dokter, dan survei berkala untuk menilai proses komunikasi dokter-pasien."
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 2013
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Prastiti Utami
"Latar Belakang: Pajanan terhadap jamur telah diketahui berperan dalam perburukan gejala asma, fungsi paru yang buruk, rawat inap dan kematian. Kolonisasi atau pajanan jamur dapat mencetuskan respons alergi dan inflamasi paru. Sensititasi jamur oleh Aspergillus dapat menyebabkan Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA) maupun Severe Asthma with Fungal Sensitization (SAFS). Pemeriksaan Immunodiffusion test (IDT) merupakan uji serologi untuk mengetahui terdapatnya antibodi anti-Aspergillus, namun pemeriksaan ini belum banyak digunakan di Indonesia dan perannya terhadap pasien asma belum diketahui.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian prospektif dengan metode consecutive sampling dan desain potong lintang. Subjek penelitian ini adalah pasien asma yang berobat di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Subjek penelitian menjalani pemeriksaan spirometri, Asthma Control Test (ACT) dan serologi antibodi anti-Aspergillus dengan metode IDT Aspergillus menggunakan crude antigen Aspergillus.
Hasil: Subjek penelitian ini sebanyak 59 pasien. Sejumlah 49 subjek (83,1%) berjenis kelamin perempuan, 37 subjek (62,7%) berusia ≥50 tahun, 45 subjek (76,3%) berpendidikan SLTA atau lebih, 25 subjek (42,4%) obesitas I, 5 subjek (8,5%) obesitas II dan 11 subjek (18,6%) bekas perokok. Sebagian besar subjek (62,71%) merupakan pasien asma persisten sedang. Asma terkontrol penuh ditemukan pada 7 subjek (11,86%), sedangkan asma tidak terkontrol pada 32 subjek (54,24%). Derajat obstruksi yang terbanyak ditemukan adalah obstruksi sedang pada 31 subjek (52,5%). Nilai %VEP1 ≥80% prediksi setelah uji bronkodilator ditemukan pada 24 subjek (40,7%). Dari 59 sampel darah yang diperiksa, tidak ada yang menunjukkan hasil IDT positif (0%), termasuk subjek yang datang dalam keadaan eksaserbasi dan subjek dengan asma persisten berat.
Kesimpulan: Hasil positif pemeriksaan IDT Aspergillus pada pasien asma sebesar 0%. Pemeriksaan IDT Aspergillus tidak dapat digunakan secara tunggal tanpa pemeriksaan lain untuk mendeteksi sensititasi terhadap Aspergillus pada pasien asma dan tanpa validasi terhadap crude antigen Aspergillus yang digunakan.

Background: Exposure to fungi has been known to play a role in worsening symptoms of asthma, poor lung function, hospitalization and death. Fungal colonization or exposure can trigger an allergic response and lung inflammation. Fungal sensitization by Aspergillus spp. can cause allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) or severe asthma with fungal sensitization (SAFS). Immunodiffusion test (IDT) is a serological test to determine the presence of anti-Aspergillus antibodies, but this examination has not been widely used in Indonesia and its role in asthma patients is unknown.
Method: This study was a prospective study with consecutive sampling method and cross-sectional design. The subjects were asthma patients treated at Asthma Outpatient Clinic at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia. Subjects underwent spirometry, Asthma Control Test (ACT) and serology of anti-Aspergillus antibodies examination with the IDT Aspergillus method using crude antigen Aspergillus.
Results: The subjects of this study were 59 patients. A total of 49 subjects (83.1%) were females, 37 subjects (62.7%) were ≥50 years old, 45 subjects (76.3%) had high school education level or higher, 25 subjects (42.4%) were obese I, 5 subjects (8.5%) were obese II and 11 subjects (18.6%) were former smokers. Most subjects (62.71%) were moderate persistent asthma patients. Fully-controlled asthma was found in 7 subjects (11.86%), while uncontrolled asthma was found in 32 subjects (54.24%). The highest degree of obstruction found was moderate obstruction in 31 subjects (52.5%). The %VEP1 ≥80% predicted after the bronchodilator test was found in 24 subjects (40.7%). Of the 59 blood samples examined, none showed positive IDT results (0%), including subjects who came in exacerbations and subjects with severe persistent asthma.
Conclusion: Positive results of IDT Aspergillus examination in asthma patients were 0%. The Aspergillus IDT examination cannot be used singly without other examinations to detect Aspergillus sensitization in asthmatic patients and without validation of the crude antigen Aspergillus used."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Faik Falaivi
"ABSTRAK
Latar Belakang : Salah satu faktor resiko timbulnya kolonisasi jamur di saluran napas bawah adalah asma. Kolonisasi jamur merupakan faktor predisposisi timbulnya proses sensitisasi atau mikosis paru dan dapat memperberat derajat berat asma, status kontrol asma dan fungsi paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil kolonisasi jamur di saluran napas pada pasien asma persisten di Indonesia khususnya di RSUP Persahabatan dan hubungannya dengan asma, status komtrol asma dan fungsi paruMetode : Penelitian ini berdesain potong lintang dengan subjek penelitian adalah pasien asma persisten yang berobat di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Pasienakanmenjalanipemeriksaan asthma control test, foto toraks dan uji spirometri serta induksi dahak untuk diperiksakan biakan jamur di bagian Parasitologi Rumah Sakit Cipto Mangukusumo RSCM . Hasil biakan jamur dianalisa untuk mengetahui hubungannya dengan asma, satus kontrol asma dan fungsi paru.Hasil : Total pasien yang menjalani seluruh prosedur penelitiaan adalah 45pasien. Biakan jamur positif pada 39 pasien 86,7 dan biakan jamur negatif pada 6 pasien 13,3 . Jumlah isolat jamur yang tumbuh ge; 2 spesies sebanyak 20 pasien 44,5 dan jamur berbentuk filamen tumbuh pada 21 pasien 46,8 .Isolat jamur yang paling banyak tumbuh adalah Candida albicans,Miceliasterilla dan Aspergillus fumigatus.Terdapat hubungan bermakna antara jamur berbentuk filamen dengan lama penggunaan kortikosteroid inhalasi.Kesimpulan: Sebagian besar pasien asma persisten mempunyai kolonisasi jamur di saluran napas. Isolat yang paling banyak tumbuh pada pada pasien asma adalah Candida albicans, Micelia sterile dan Aspergillus fumigatus. Lama penggunaan kortikosteroid inhalasi berhubungan dengan kolonisasi jamur di saluran napas. Kata kunci: kolonisasi jamur, asma, induksi dahak
ABSTRACT Background One of the risk factor for fungal colonization is asthma. Fungal colonization is predisposision factor for sensitization or lung mycosis and can aggravate the degree of asthma, asthma control status and lung function. The purpose of this study to get data about fungal colonization in the airways on persistent asthma patients in Indonesia especially Persahabatan Hospital and its related to asthma, asthma control status and lung function.Method This was a cross sectional study conducted on persistent asthma patients treated at the Persahabatan Hospital. Subjects underwent examination of asthma control test, chest X ray, spirometry test and sputum induction for examination of fungal cultures at Parasitology Department, Cipto Mangukusumo Hospital. The results fungal cultures was analyzed to find the correlation between fungal colonization with asthma, control asthma status dan lung function.Results Forty five subjects complete all procedure in this study. Positive fungal cultures was found in 39 subjects 86.7 and negative fungal culture was found in 6 subjects 13.3 . More than one species was found to be grown in the culture of 20 subjects 44.5 and filamentous fungal grown in the culture of 21 subjects 46,8 . The most widely found fungi were Candida albicans, Micelia sterilla and Aspergillus fumigatus. There was a significant association between filamentous fungi with prolonged use of inhaled corticosteroids.Conclusion Most of the persistent asthma subjects have fungal colonization in the airways. The most widely found fungi were Candida albicans, Micelia sterilla and Aspergillus fumigatus. Duration use of inhalation corticosteroid related to fungal infection. Keywords fungal colonization, asthma, sputum induction "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Audrew Johnson Budianto
"Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Berdasarkan Global TB Report 2018, Indonesia mencatat 842.000 kasus TB baru pada tahun 2017, dengan kematian akibat TB mencapai 116.400. Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah suatu kegiatan berkesinambungan yang bertujuan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional. PTO meliputi evaluasi pemilihan obat, dosis, cara pemberian, respons terapi, Resolusi Outcome Terapi Obat (ROTD), serta merekomendasikan perubahan terapi bila diperlukan. Di RSUD Tarakan Jakarta, PTO dilaksanakan pada pasien dengan tuberkulosis paru, diabetes melitus, dan dispepsia. Proses PTO dimulai dengan seleksi pasien berdasarkan diagnosis, obat yang diresepkan, serta lama perawatan, diikuti dengan pengumpulan data rekam medis. Analisis dilakukan menggunakan metode Hepler dan Strand. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengobatan pasien sebagian besar sudah tepat indikasi dan tidak menimbulkan interaksi obat yang merugikan. Namun, terdapat beberapa indikasi yang tidak diterapi seperti hipoalbuminemia dan anemia mikrositik, serta pemilihan antibiotik yang kurang tepat berdasarkan hasil kultur laboratorium.

Pulmonary tuberculosis is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis. According to the Global TB Report 2018, Indonesia reported 842,000 new TB cases in 2017, with TB-related deaths reaching 116,400. Drug Therapy Monitoring (DTM) is a continuous activity aimed at ensuring safe, effective, and rational drug therapy. DTM includes the evaluation of drug selection, dosage, administration method, therapeutic response, Drug Therapy Outcome (DTO), and recommending therapy modifications if necessary. At RSUD Tarakan Jakarta, DTM is conducted for patients with pulmonary tuberculosis, diabetes mellitus, and dyspepsia. The DTM process begins with patient selection based on diagnosis, prescribed medications, and length of treatment, followed by collecting medical record data. Analysis is carried out using the Hepler and Strand method. The results of the analysis indicate that most patient treatments were appropriate for their indications and did not result in harmful drug interactions. However, there were some untreated indications such as hypoalbuminemia and microcytic anemia, as well as suboptimal antibiotic selection based on laboratory culture results.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christi Giovani Anggasta Hanafi
"Salah satu karakteristik klinis yang sering diamati pada TB paru adalah adanya kavitas paru pada pemeriksaan radiologis dada. Kavitas paru akan menyebabkan prognosis lebih buruk akibat keterlambatan konversi kultur sputum, hasil klinis yang buruk, dan penularan infeksi yang lebih tinggi. Beberapa faktor yang telah ditemukan berkaitan dengan kavitas paru adalah usia tua, jenis kelamin laki-laki, penyakit penyerta diabetes mellitus, dan malnutrisi. Prevalensi malnutrisi pada pasien dengan TB diperkirakan berkisar antara 50% sampai 57%, dan malnutrisi dikaitkan dengan dua kali lipat risiko kematian. Telah lama diketahui bahwa terdapat hubungan antara TB dan malnutrisi, tetapi dampak malnutrisi terhadap derajat keparahan TB, yang dilihat dari adanya kaviats paru, masih kurang diketahui dan data yang telah ada masih saling bertentangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi dan kavitas paru pada pasien tuberkulosis paru di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Sebanyak 134 pasien yang memenuhi kriteria menjadi subjek penelitian di Instalasi Rawat Jalan dan Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Pasien pada penelitian ini umumnya berjenis kelamin laki-laki (61,9%) dan berusia 18-59 tahun (92,5%). Mayoritas subjek penelitian termasuk dalam kategori status gizi SGA B (malnutrisi ringan-sedang) sebanyak 77 orang (57,5%), SGA A (status gizi baik) sebanyak 35 orang (26,1%), dan SGA C (malnutrisi berat) sebesar 22 orang (16,4%). Proporsi kavitas paru pada pasien TB paru dalam penelitian ini sebanyak 42 orang (31,3%). Penelitian ini mendapatkan hubungan bermakna secara statistik antara status gizi berdasarkan SGA dan kavitas paru (OR=6,933; 95%CI=1,986-24,205; p=0,002; aOR=7,303 (95%CI=2,060-25,890; p=0,002). Variabel lain yang mempengaruhi terbentuknya kavitas paru adalah pemeriksaan bakteriologis (p=0,016), TB resisten obat (p<0,001), dan perubahan BB (p=0,033). Analisis multivariat mendapatkan bahwa pemodelan dapat memenuhi 29,3% faktor prediktor kejadian kolonisasi dan setelah dimasukkan ke dalam perhitungan, maka probabilitas seorang pasien yang mengalami TB resisten obat dan malnutrisi untuk pembentukan kavitas paru adalah sebesar 95,16%. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara status gizi dan kavitas paru pada pasien tuberkulosis paru di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan.

One of the clinical characteristics that is often found in pulmonary TB is the presence of lung cavities on chest radiological examination. Lung cavities will lead to a worse prognosis due to delayed sputum culture conversion, poor clinical outcome, and higher transmission of infection. Several factors that have been found to be related to the lung cavity are elder age, male gender, comorbid diabetes mellitus, and malnutrition. The prevalence of malnutrition itself in patients with TB is estimated to range from 50% to 57%, and malnutrition is associated with a twofold risk of death. It has long been known that there is a relationship between TB and malnutrition, but the impact of malnutrition on the severity of TB, which is observed from lung cavity presence, is still poorly understood and the available data are conflicting. This study aims to determine the relationship between nutritional status and lung cavity in pulmonary tuberculosis patients at Persahabatan General Hospital. This research is a cross-sectional study. A total of 134 patients who met the criteria became research subjects at the Outpatient and Inpatient Department at the Persahabatan General Hospital. Patients in this study were generally male (61.9%) and aged 18-59 years (92.5%). The majority of research subjects were included in the SGA B (mild-moderate malnutrition) category of 77 people (57.5%), SGA A (good nutritional status) of 35 people (26.1%), and SGA C (severe malnutrition). by 22 people (16.4%). The proportion of lung cavities in pulmonary TB patients in this study were 42 people (31.3%). This study found a statistically significant relationship between nutritional status based on SGA and lung cavities (OR=6.933; 95%CI=1.986-24.205; p=0.002; aOR=7.303 (95%CI=2.060-25.890; p=0.002). Variables Other factors that influenced the formation of lung cavities were bacteriological examination (p=0.016), drug-resistant TB (p<0.001), and changes in weight (p=0.033). Multivariate analysis found that modeling could fulfill 29.3% of the predictors of colonization and after taken into account, the probability of a patient with drug-resistant TB and malnutrition for lung cavity formation is 95.16%. Conclusion: There is a relationship between nutritional status and lung cavity in pulmonary tuberculosis patients at Persahabatan General Hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lily Amirullah A.S
"

Pendahuluan: Tujuan jangka panjang penatalaksanaan asma adalah mencapai status kontrol yang baik, mempertahankan aktivitas secara normal, mengurangi risiko eksaserbasi, mempertahankan fungsi paru mencapai normal atau mendekati normal dan menghindari efek samping obat. Penatalaksanaan secara farmakoterapi dan non farmakoterapi saling berkaitan. Salah satu penatalaksanaan non farmakologi yaitu menilai kepatuhan penggunaan obat pengontrol serta pendekatan kepada pasien terhadap penilaian pengetahuan dan sikap pasien mengenai penyakit asma

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap mengenai asma dengan kepatuhan penggunaan obat pengontrol pada asma tidak terkontrol di poli asma Rumah Sakit Pusat Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan Jakarta

Metode: Desain penelitian menggunakan metode desain potong lintang pada 96 subjek dengan status asma tidak terkontrol dan terkontrol sebagian yang berobat di poli asma RSUP Persahabatan Jakarta mulai Juli hingga Agustus 2019. Analisis deskriptif pada data menggunakan SPSS versi 20 dan uji Chi square untuk menilai kemaknaan (dikatakan bermakna bila p<0,05).

Hasil: Subjek perempuan, usia dewasa, tingkat pendidikan sedang, tidak bekerja dan IMT lebih merupakan karakteristik subjek yang terbanyak pada penelitian ini. Sebanyak 80 subjek memiliki tingkat kepatuhan yang baik terhadap penggunaan obat pengontrol. 80 subjek memiliki tingkat pengetahuan yang baik, 11 subjek memiliki tingkat pengetahuan yang sangat baik, 5 subjek memiliki tingkat pengetahuan sedang. Sebanyak 84 subjek memiliki sikap yang baik mengenai asma. Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan obat pengontrol (p=0,765) dan juga tidak terdapat hubungan antara sikap dengan kepatuhan penggunaan obat pengontrol (p=0,408).

Kesimpulan: Hubungan tingkat pengetahuan subjek dan sikap subjek mengenai asma tidak bermakna secara statistik terhadap kepatuhan penggunaan obat pengontrol. Walaupun demikian, tingkat pengetahuan asma yang sangat baik dan sikap yang baik mengenai asma menunjukkan proporsi kepatuhan penggunaan obat pengontrol yang lebih baik dibandingkan kategori lainnya.

 

Kata Kunci: Pengetahuan, sikap, kepatuhan, obat pengontrol, status 


Introduction:The long-term goals asthma management are achieve symptom control, maintain normal activity, risk reduction, maintain normal lung function and avoid medication side effect. Pharmacology and non-pharmacology management are related each other. Non-pharmacology management are asses the adherence controller medication and approach to the patient in evaluating the knowledge and attitude about asthma.

Aim:Asses the association of knowledge and attitude about asthma with controller medication adherence of uncontrolled asthma patients in asthma clinic Persahabatan Hospital Jakarta.

Method:Cross sectional study of 96 adults with uncontrolled and partial controlled asthma attending asthma clinic at Persahabatan hospital Jakarta in July until August 2019. Descriptive analysis method with SPSS version 20 and Chi square test to asses significancy (p<0,05).

Result:Woman, adult, moderate educational level, non job and higher body mass index are the most characteristic subject in this study. 80 subjects have good adherence with controller medication. 80 subjects have good knowledge, 11 subjects have very good knowledge, 5 subjects have moderate knowledge. Asthma can be cured/controlled and adjust dose of the medications according to patients symptoms/cost are the most attitude found in this study. There is no association between knowledge and controller medication adherence (p=0,765) and no association between attitude and controller medication adherence (p=0,408).

Conclusion: The association between knowledge and attitude about asthma with controller medication adherence have no significancy in statistical analysis. Eventhough, excellent knowledge and good adherence show better proportion in controller medication adherence than other category

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amatul Firdaus Ramadhan
"Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis dan masih menjadi ancaman kesehatan masyarakat serta bagi tenaga kesehatan Indonesia. Data TBC yang berkaitan dengan dokter gigi di Indonesia belum tersedia, bahkan di Jakarta sebagai ibu kota negara. Hingga saat ini belum ada data tingkat pengetahuan, sikap, praktik TBC serta kesediaan dokter gigi dalam merawat pasien dengan riwayat TBC. Penelitian ini akan mendeskripsikan tingkat pengetahuan, sikap, praktik serta kesediaan dokter gigi dalam merawat pasien dengan riwayat TBC. Kuesioner yang digunakan sebagai instrumen penelitian ini diterjemahkan dan dilakukan adaptasi lintas budaya kuesioner. Kuesioner disebarkan secara daring kepada dokter gigi dan dokter gigi spesialis yang berpraktik di Jakarta. Sebanyak 209 responden yang terdiri dari 119 dokter gigi umum dan 90 dokter gigi spesialis. Responden memiliki tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik yang rendah terkait TBC, tetapi mayoritas responden bersedia merawat pasien dengan riwayat TBC. Dokter gigi di Jakarta perlu mendapatkan pelatihan terkait TBC sehingga nantinya akan memiliki kemampuan yang baik dalam memberikan pelayanan pasien dengan riwayat TBC.

Tuberculosis (TB) is a disease caused by Mycobacterium tuberculosis and a threat to the public, especially to Indonesian health workers. TB data related to dentists in Indonesia is not yet available, even in Jakarta, the nation's capital. There is also no data related to knowledge, attitudes, TB practices, and the willingness of dentists to treat patients with a history of TB. This study will describe the level of knowledge, attitude, practice, and willingness of dentists to treat patients with a history of TB. The questionnaire used as the research instrument was translated and cross-cultural adaptation of the questionnaire was carried out. Cross-sectional questionnaires were distributed online to dentists and dental specialists working in Jakarta. A total of 209 participated in this study, 119 general dentists and 90 specialist dentists. Respondents had low levels of knowledge, attitudes, and practice regarding TB, but the majority of respondents were willing to treat patients with a history of TB. Dentists in Jakarta need to receive training related to TB so that later they will have good skills in providing services to patients with a history of TB."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Hadisono
"ABSTRAK
Latar Belakang : Kasus tuberkulosis di Indonesia menempati urutan kedua dunia setelah India dalam WHO Global Report 2015, meningkat dari laporan sebelumnya yaitu peringkat kedua. Terdapat peningkatan temuan kasus di propinsi Riau dari tahun ke tahun.Tujuan: Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku providers/dokter umum praktik swasta di kota Pekanbaru dalam diagnosis dan tatalaksana TB berdasarkan International Standards for Tuberculosis Care ISTC .Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan instrumens kuisioner. Dari total 209 data respondens yang kami peroleh dari dinas kesehatan, sebanyak 180 bersedia mengikuti wawancara terpimpin.Hasil: Sebesar 91,67 tidak pernah mengikuti pelatihan ISTC. Pengetahuan respondens yang baik hanya sebesar 43,89 . Perilaku providers yang baik di kota Pekanbaru sebesar 50 . Jenis kelamin, tempat praktik, lama praktik dan pelatihan tidak berhubungan dengan tingkat pengetahuan dan perilaku. Usia yang lebih muda memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik, namun tidak bermakna secara statistikKesimpulan: Pengetahuan providers/dokter umum praktik swasta di kota Pekanbaru belum memadai untuk tatalaksana TBKata kunci: Tuberkulosis, International Standards for Tuberculosis Care ISTC
ABSTRACT Introduction Tuberculosis in Indonesia rank second in worldwide after India based on WHO Global Report 2015, increasing from the previous report than ranked the fourth. There is an increased case finding in Riau province by years.Objectives To assess knowledge, attitude and practice of private general practitioners about diagnosis and management of TB patient base on International Standards for Tuberculosis Care ISTC .Methods This study using cross sectional method with questionnaire as instrument. Of the 209 respondents of data we obtained from government health department, as many as 180 respondent were willing to follow the guided interviews.Results About 91,67 private general practitioners in Pekanbaru city never attended ISTC training. Only 43,89 providers have satisfactory of knowledge and half most of them 50 has good practice. There is no relationship between sex, duration and location of practice, the number of ISTC training with the level of knowledge and practice. The younger subjek has a good knowledge, attitude and practice but not statistically significant.Conclusion Knowledge of private general practitioners in Pekanbaru city is inadequate."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Sebastian
"ABSTRAK
Nama : Andre SebastianProgram Studi / : Kajian Administrasi Rumah SakitJudul : Faktor-Faktor Penentu Waktu Tunggu Penyerahan Obat PasienRawat Jalan Di RSUD Kota Mataramxiv ndash; 130 halaman, 29 tabel, 46 gambar, 7 lampiranSalah satu Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit adalah waktu tunggu. Waktutunggu pelayanan yang baik berhubungan dengan kepuasan pelanggan, sehingga rumahsakit harus dapat mengontrol waktu pelayanan untuk mencapai kepuasan pasien. semakincepat waktu tunggu pasien, semakin baik juga penilaian terhadap pelayanan kefarmasiansuatu rumah sakit. Lean adalah suatu upaya terus menerus untuk menghilangkanpemborosan waste dan meningkatkan nilai tambah value added produk baik barangmaupun jasa agar memberikan nilai kepada pelanggan. Penelitian ini dilaksanakan diInstalasi Farmasi RSUD Kota Mataram pada bulan Maret 2018, dengan hasil masihditemukan kegiatan yang tergolong non value added tidak memiliki nilai tambah ,sehingga waktu tunggu rata-rata yang diperlukan dalam proses pelayanan resep obatmenjadi lebih lama obat kronis non racikan 32,69 menit dan racikan 64,30 menit obatnon kronis non racikan 32,72 menit dan racikan 81,8 menit . Rata-rata waktu tunggumelebihi peraturan 129/Menkes/SK/II/2008. Usulan perbaikan berdasarkan analisa akarmasalah pada alur proses kegiatan pengerjaan resep, disusun menjadi langkah-langkahefektif untuk mengurangi waktu tunggu pelayanan sehingga mencapai target standarpelayanan yang ditetapkan, yang sesusi dengan keadaan situasi dan kemampuan rumahsakit serta faktor yang mempengaruhi.Kata Kunci : Lean, Waktu Tunggu, Kefarmasian

ABSTRACT
Name Andre SebastianStudy program Hospital administrationTitle The Determinants of Waiting Time for Outpatient MedicationDelivery at Mataram General Hospitalxiv ndash 130 pages, 29 tables, 46 pictures, 7 attachment.One of the standard pharmaceutical services in the hospital is the waiting time. The goodservice waiting time related with customer satisfaction, so that the hospital must be ableto control the service time to achieve patient satisfaction. The faster the patient 39 s waitingtime, the better assessment of the pharmaceutical services of a hospital. Lean is anongoing effort to eliminate waste and increase the value added of both products andservices to deliver value to customers. This research conducted in pharmacy installationof Mataram general hospital on March 2018, with the results is still found activities thatare categorized as non value added, so that the average waiting time required in theprocess of medicine recipe becomes longer crhonic with no blend take 3.69 minutes andchronic with blend take 64.30 minutes, non chronic no blend take 32,72 minutes and nonchronic with blend take 81.8 minutes . The average of waiting time exceeds regulation ofMinistry of Health number 129 Menkes SK II 2008. The proposed improvement basedon the root problem analysis of process the recipe work, is structured into effectivemeasures to reduce waiting time so could achieve the targeted service standard, which isappropriate with the situation and the ability of the hospital as well as the influencingfactors.Key words Lean, waiting time, pharmaceuticalReference list 57 Reference"
2018
T50669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>