Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12957 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hardiat Dani Satria
Yogyakarta: Digna Pustaka, 2012
320 HAR i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Soemiatno
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1974
338.09 SOE r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
R Kristiawan
"ABSTRAK
Penelitian ini mencoba untuk melihat situasi democratisasi media di Indonesia
dalam hubungannya dengan aspek industri dan ekonomi. Latar belakang politik
adalah situasi politik sebelum kejatuhan Orde Baru ketika masyarakat sipil, aktivis
media, dan jurnalis, mulai mengonsolidasikan kekuatan mereka untuk meraih
kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi. Pemicunya adalah peristiwa
pembredelan tiga media cetak: Tempo, Editor, dan Detik pada tahun 1994 akibat
pemberitaan tentang pembelian kapal perang eks Jerman Timur. Pembredelan ini
memicu perlawanan politik pada satu sisi, dan konsolidasi demokrasi di kalangan
jurnalis dan aktivis pada sisi yang lain. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
kemudian dideklarasikan oleh Goenawan Mohammad dan para wartawan lain di
tahun 1994 untuk mewadahi organisasi jurnalis alternatif di luar Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI).
Mereka kemudian mengonsolidasikan kekuatan mereka melalui gerakan bawah
tanah termasuk menerbitkan Independen, majalah bawah tanah, yang berbuntut
pada pemenjaraan tiga jurnalis. Sejak itu, didukung oleh donor asing, Goenawan
Mohammad menerbitkan Suara Independen untuk melanjutkan perjuangan
melawan Soeharto. Perjuangan itu berhasil. Sesudah krisis ekonomi, Soeharto
akhirnya jatuh, yang menjadi momentum dari proses legislasi yang banyak
didukung Presiden Habibie. UU Pers No. 40/1999 disahkan dan mengubah
kebijakan lama yang otoriter menjadi liberal. UU PErs menjamin ekspresi
demokratis dengan membatalkan mekanisme SIUPP. Dalam konteks kapitalisme
global, perubahan hukum ini merupakan perubahan struktural penting bagi
Indonesia untuk berintegrasi ke kapitalisme global.
Meski demikian, situasi demokratis itu merupakan kesempatan bagi kekuatan
pasar untuk memperluas pasar. Ketiadaan SIUPP memunculkan bonanza industry
pers yang tidak memliki preseden dalam sejarah pers Indonesia sebelumnya.
Industri media menjadi lebih kuat dan terkonsentrasi. Di ranah penyiaran, sejarah
kapitalisme semu menciptakan hubungan yang unik antara industry penyiaran dan
birokrasi. Dalam arah demokratis dan kapitalistik dinamika media di Indonesia
menjadi sangat menarik dalam hal bagaimana kekuatan demokratis dan
kapitalistik itu mengontestasi kepentingan mereka dan bagaimana kepentingan
publik dilanggar dalam arena itu. Sejarah menunjukkan bahwa kekuatan pasar
adalah pemanang, sementara yang lain berpendapat bahwa proses ini merupakan
demokratisasi. Data-data menunjukkan bahwa yang tumbuh hanyalah belanja
iklan, sementara data lain seperti indeks kebebasan pers, kesejahteraan jurnalis,
serikat pekerja pers, memburuk. Data lain menunjukkan konvergensi kepemilikan media yang mungkin membawa Indonesia ke konglomerasi media. Penelitian ini
akan menunjukkan data-data tersebut.
Riset ini mencoba melihat dinamika ekonomi politik dalam situasi media
Indonesia kontemporer. Riset ini menggunakan pendekatan ekonomi politik
dengan paradigma kritis sebagai basis teoritik. Concern riset ini adalah kualitas
ruang publik di Indonesia sesudah kekuatan pasar terbukti mendominasi dinamika
media di Indonesia.

Abstract
This research tries to assess the situation of media democratization in Indonesia in
relation to industrial and economic aspects. The political background is the years
prior to the fall of New Order when civil society, media activists, and journalists
started consolidating their power for freedom of the press and freedom of
expression. The political trigger is the banning of three printed media, Tempo,
Editor, and Detik in 1994 due to their publications of the buying of ex East
Germany battle wagons by Indonesia. This triggered political obedience on one
hand, but also democratic consolidation among journalists and activists on the
other hand. Alinasi Jurnalis Independen (AJI) was then declared by Goenawan
Mohammad and other journalists in 1994 to provide alternative political
organization for journalist out of Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
They then continued consolidating their power by underground movements
including publishing Independen, an underground magazine, followed by the
imprisonment of three journalists. Since then, supported by foreign donor,
Goenawan Mohammad published Suara Independen to continue the struggle
against Soeharto. The struggle was successful. Following economic crisis,
Soeharto fell down, which was the momentum of many strategic legislations
under which Habibie supported much. Press Law No. 40/1999 was passed and
changed old authoritarian policies to become more liberal. Press Law guarantees
democratic expression by allowing citizens to publish information without
government permit (SIUPP). In global capitalism, such legal change is a crucial
structural adjustment of a state to integrate in global capitalism.
However, such democratic situation was the chance for market force to expand
their business. The absence of SIUPP made the bonanza of press industry without
precedent in Indonesian press history before. Media industry became more
powerful and concentrated. In broadcasting area, the history of erzats capitalism
created a unique relationship between broadcasting industry and bureaucrats.
Under democratic and capitalistic trajectories at the same time, the media
dynamics in Indonesia has been very interesting in terms of how democratic and
capitalistic power contested their interest and how public interest is violated in
such arena. The history shows that market force is the champion after the process,
while others may say that it is the democratization. Data shows that the only thing
increasing is advertorial expenditure, while other performance, including media
freedom index, journalist welfare, violence to journalists, press trade union,
worsen. Other data shows the convergence of media ownership which may lead
Indonesia media industry to media conglomeration. The paper will expose those
paradoxical data.
This paper tries to assess the political economy dynamics in contemporary media
situation in Indonesia. The research uses political economy approach with critical
paradigm as the bases of argument. The concern of the paper will be the public
sphere quality of contemporary Indonesia, after market-force is proven to
dominate media dynamics in Indonesia."
2012
T30859
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hilmy Mochtar
"Summary:
Political conditions related to politics of mobilizing in the development of cement industry in Tuban, Jawa Timur Province, Indonesia."
Malang: UB Press, 2011
320.8 HIL p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsul Hadi
Jakarta: Pelangi Cendekia, 2005
338.917 24 SYA s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Reshanty Tahar
"ABSTRAK
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Korea Selatan roemperoleh kemerdekaannya setelah kurang lebih 35 tahun dijajah Jepang. Pada saat itu, keadaan Korea Selatan tidak jauh ber.beda dari keadaan negara berkembang lain yang roiskin dan terbelakang. Namun 2 dekade kemudian, Korea Selatan berhasil roeroacu pertumbuhan ekonaminya, sehingga ia dapat diteropatkan ke dalam jajaran negara industri baru "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Riko Runizar
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T6214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gogot Setyo Budi
Yogyakarta: Andi, 2011
624.15 GOG p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tung, Jiway Francis
"Tesis ini adalah sebuah studi kasus advokasi lingkungan, yang menyoroti ketertibatan LSM lokal maupun nasional dalam usahanya untuk membela, petani sawah dan tambak di Dukuh Tapak, Semarang Barat, Jawa Tengah, dari dampak negatif dari proses industrialisasi. Limbah industri yang mentah, dibuang ke kali Tapak, dari sebuah pabrik baru dibangun dengan modal Jepang dan merembet ke sawah melalui saluran irigasi, ke tambak tambak, serta sumur warga Tapak. Korupsi birokrasi pemerintah yang kerapkali ditemukan, sikap acuh tak acuh dari para industriawan, serta intimidasi dan tekanan yang dilakukan oleh polisi maupun aparat militer, bukan merupakan suatu temuan yang mengejutkan, melainkan dapat diduga sebagai gejala dan proses pembangunan yang sudah berjalan di Indonesia sejak awal 1970an. Temuan yang mengejutkan adalah cara LSM nasional menjalankan agenda mereka, terkadang di atas kebewatan warga Tapak, yang pada akhirnya justru merugikan warga Tapak.
Kasus Tapak metibatkan suatu koalisi longgar dari LSM nasional maupun lokal. Pada awalnya, LSM lokal dan warga Tapak menempuh pelbagai cara, termasuk meminta bantuan dari birokrasi pemerintah yang sama sekali tidak mengindahkan nasib mereka, dan berusaha membuat perusahaan pabrik mengendalikan dan mengolah limbahnya. Setelah usaha-usaha tersebut tidak berhasil, mereka berusaha mengendalikan limbahnya sendiri dengan penanaman encek gondok serta pohon bakau untuk meringankan efek pencemaran serta erosi, dan juga membelokkan saluran kali Tapak supaya tidak melewati sawah dan tambak tambak mereka. Usaha-usaha tersebut tidak berhasil dan pemerintah mengizinkan pabrik baru dibangun serta memasukkan Tapak dalam kawasan industri di mana industri diperbotehkan mencemari lingkungan. Seiring dengan situasi warga Tapak yang semakin hari semakin buruk, taktik yang mereka tempuh mencerminkan keputusasaan mereka. Bekerjasama dengan Walhi, LSM lingkungan di Indonesia yang ternama, mereka mencegat Menteri Perindustrian ketika dia memberi ceramah di Universitas Kristen Satyawancana di Salatiga, Jawa Tengah, untuk menuntut pertanggungjawaban serta tindakan korektif urrtuk mengatasi masalah pencemaran.
Setetah aksi tersebut, para demonstran Tapak melarikan diri untuk menghindari kejaran aparat Pada waktu yang sama, warga Tapak memutuskan untuk minta bantuan dari YLBHI, serta LBH Semarang untuk menggugat perusahaan yang bertanggungjawab atas pencemaran di Tapak. Pada waktu itu, aparat berusaha mengakhiri kasus Tapak dengan tindakan represif dan intimidasi. Pertemuan warga dirazia, tokoh warga diancam, dan mata-mata digunakan untuk menciptakan suasana mencekam serta tidak menentu.
Keterlibatan dua LSM ternama yang berorientasi advokasi membawa akibat-akibat yang tidak sengaja. Sampai titik ini, LSM lokal di Semarang bekerjasama secara akrab dengan warga Tapak untuk memutuskan jalan baiknya. LSM lokal menganggap perannya sebagai pendamping warga serta untuk membantu melaksanakan keputusan yang diambil warga Tapak, Walhi serta YLBHI, dengan jaringan nasional dan internasional yang luas, mempunyai sumber daya serta opsi yang beranekaragam. Mereka cenderung membuat agenda sendiri, yang meninggalkan LSM serta warga Tapak untuk melaksanakan keputusan yang sudah diambil dalam rapat LSM atau sebagai penonton dalam sebuah drama yang lebih besar antara pemerintah dan LSM nasional tersebut.
LSM-LSM nasional menyelenggarakan boikot konsumer yang pertama di Indonesia yang ditujukan pads perusahaan yang mencemari kali Tapak. Boikot tersebut bersama dengan keterlibatan Mental KLH Emil Salim, memaksa perusahaan pencemar untuk menyetujui mediasi. Persetujuan yang dihasilkan mewajibkan pengusaha membayar ganti rugi dan merehabilitasi lingkungan kali Tapak. Persetujuan tersebut dianggap sebagai kasus pertama di mana mediasi lingkungan diselenggarakan dengan berhasil. LSM-LSM nasional menerbit buku dan memberi ceramah di mancanegara mengenai keberhasilan kasus tersebut. LSM baru bernama, ICEL, the Indonesian Center for Environmental Law, didirikan oleh salah satu staf dari YLBHI yang paling menjagokan mediasi sebagai solusi tepat bagi kasus Tapak. ICEL didirikan dengan bantuan dari USAID untuk mengembangkan mediasai serta solusi lain berdasarkan jalur hukum untuk menyelesaikan sengketa lingkungan.
Persetujuan yang dihasilkan proses mediasi, tidak pemah dilaksanakan dan usaha untuk pengawasan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Warga Tapak menerttma ganti rugi akan tetapi jumlahnya tidak memadai untuk menggantikan 14 tahun pencemaran yang dideritakan mereka. Pemulihan kali Tapak tidak pernah terjadi dan pencemaran mulai lagi, dengan matinya ikan, udang serta rusaknya sawah-sawah. Warga Tapak ingin melanjutkan guggatannya terhadap perusahaan pencemar lagi, akan tetapi YLBHI melarang LBHS untuk melanjutkan kasusnya lagi. Larangan tersebut terjadi ketika YLBHI tengah bernegosiasi dengan pemerintah di daerah lain mengenai kasus lain dengan menggunakan metode mediasi lingkungan juga. Menurut YLBHI, warga Tapak terikat oleh persetujuan mediasi untuk tidak menggugat lagi.
Tanpa kemungkinan untuk melanjutkan kasusnya, terlupakan oleh LSM nasional dan masih diintimidasi oleh aparat, warga Tapak tidak ada pilihan lain kecuali menjual sawahnya dan tambaknya pada pemda setempat dengan harga murah, yang dijual kembali pada industriawan untuk membangun pabnk pabrik baru.
Di suatu negara di mana selama Orde Baru, penegakan hukum tidak ada dan keputusan pengadilan dibuat berdasarkan jumlah suap atau kedekatan koneksi pada istana, tidak masuk akal bahwa LSM nasional bisa bersikap baik dan percaya bahwa mediasi lingkungan tanpa sanksi yang jelas dapat menyelesaikan kasus Tapak dengan baik kecuali dengan mempertimbangkan faktor kepentingan sendiri. Mengapa warga Tapak dikorbankan demi kepentingan kasus mediasi lingkungan yang lain, jika kasus Tapak menunjukkan kelemahan serius bahkan fatal dan model mediasi? Mengapa akiivis LSM berusaha mempromosikan model penyelesaian sengketa yang tidak praktis dan tidak pintas pada donor intemasional? Jawabannya secara pasti melebihi jangkauan penelitian ini, akan tetapi, saya berpendapat bahwa jawabannya terletak pada hubungan antara organisasi internasional Berta donor dengan LSM di dunia ketiga. Hubungan tersebut melibatkan lebih dari penyaluran dana dan ide melainkan penyaluran ideologi yang terjadi dalam konteks strukturalisasi ketergantungan dana di mana legitimasi diukur oleh donor daripada masyarakat akar rumput yang merupakan basis dukungan LSM yang sebenamya.

This thesis a case study of environmental advocacy, examining the involvement of local and national NGOs in defending rice and shrimp farmers in Tapak village, West Semarang, Central Java, from the effects of industrialization. Raw industrial waste, dumped into the Tapak river by a newly built Japanese owned factory, quickly found its way into rice-fields-through irrigation ditches, as well as into ponds for raising shrimp and village wells. The pervasive corruption of government bureaucrats, callous indifference of industrialists, and intimidation and coercion by police and military, that I have found in this case study were neither unusual nor unexpected, but rather symptomatic of the process of development which has been occurring in Indonesia since the early 1970s. What was unexpected was the way national NGOs involved in the case pursued their own agenda, even over the objection of the villagers involved and ultimately totheir detriment.
The Tapak case involved a loose coalition of local and national NGOs. In the beginning, local NGOs and villagers pursued a variety of tactics including working their way up a totally unresponsive bureaucracy and trying to make factory management control and treat their waste. When these efforts proved fruitless, they switched to physical efforts to control the waste themselves including the planting of encek gondok plants and mangrove trees to try and alleviate the effects of the pollution and erosion, and also diverted the main channel of the river to bypass rice fields and fishponds. These efforts also were not successful as the government continued to allow new factories to be built and also zoned Tapak village into an area designated as an "industrial area" where factories would be allowed to pollute the environment.
As the Tapak villagers' situation grew more desperate, so did the tactics they employed. Working together with Waihi, Indonesia's most prominent environmental NGO, they interrupted the Minister of Industry during a lecture he was giving at a university in Salatiga, Central Java, to demand government accountability and corrective action, afterwards fleeing the inevitable pursuit by police and military. At the same time, the Tapak villagers decided to enlist YLBH1, Indonesia's national legal aid institute and its local office, LBHS to sue the polluting companies. At this point, the military raised the level of intimidation and coercion to try to end the case. Village meetings were raided, local leaders were threatened and village spies and informants were used to create an atmosphere of fear and mistrust.
The involvement of two of Indonesia's most prominent advocacy oriented NGOs, YLBHI and WALHI, brought unintended consequences. Up to this point, local Semarang based NGOs worked very closely with the Tapak villagers to decide what course of action totake. The local NGOs saw their role as one of support and to help facilitate any decision the villagers made. Waihi and YLBHI, with a wide network of national and international contacts, had a much wider range of resources and possible solutions. They tended to formulate the agenda themselves, leaving local NGOs and villagers to implement what had been decided in NGO meetings or as mere bystanders in a larger drama between the government and the national NGOs.
The national NGOs organized Indonesia's first domestic consumer boycott aimed at products produced by factories polluting the Tapak river, which by this time numbered fourteen. This boycott combined with the subsequent involvement of the Minister of the Environment, Emil Salim, forced polluting companies into mediation. The resulting agreement specified monetary compensation and restoration of the Tapak river. It was hailed as a landmark agreement, the first case of environmental mediation_ The national NGOs published books and gave lectures abroad about this case as an example of successful environmental mediation. A new NGO, ICEL, the Indonesian Center for Environmental Law, was founded by a key staff member with YLBHI who had been the foremost proponent of mediation in the Tapak case. 1CEL was founded with substantial aid from USAID to promote mediation and other legal based solutions to environmental problems.
The agreement which came out of the mediation process was never implemented and attempts at enforcement were superficial at best. Villagers did get monetary remuneration but it was inadequate to compensate for the 14 years of pollution they had suffered. Restoration of the Tapak river never happened, and pollution soon started again, killing fish and shrimp and poisoning rice fields. Villagers wanted to resume the lawsuit againstthe polluting companies, but YLBHI, the national legal aid office, ordered their local office not to assist the villagers_ This order occurred in the context of YLBHI negotiating with the government on another case involving environmental mediation. YLBHI maintained that legally, the villagers were constrained by the mediation agreement not to try to sue the companies involved again.
Not having legal recourse, abandoned by national NGOs, and still subject to harassment and intimidation by the mifrtary, the Tapak villagers had no choice but to one by one, sell their rice fields and fishponds to the local government at low prices which in turn sold the land to industrialists to build more factories.
In a country where during the New Order, the rule of law was nonexistent and court cases were decided by the size of the bn'bes or strength of connections to the presidential palace, it is inexplicable that national NGOs could be so naive to believe that environmental mediation without specified sanctions could possibly bring a successful resolution to the Tapak case unless sett-interest is factored in. Why would the Tapak villagers be sacrificed in the interest of another ongoing case of environmental mediation if their experience had shown serious if not fatal flaws in the mediation model? Why would NGO activists try and promote an impractical and inappropriate model of conflict resolution to international donors?
The definitive answer to these questions is beyond the scope of my research but t suspect it lies in the relationship between international organizations and donors with NGOs in Third World countries. This relationship involves more than just the transfer of money and ideas but rather a transfer of ideology which occurs in the structuralizing context of monetary dependency where legitimization is measured by donors rather than the grassroots which comprise NGOs true constituency.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T9260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>