Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182926 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aryanto Jati H.
"Tanah merupakan salah satu kebutuhan dalam kegiatan pembangunan. Untuk memperoleh tanah dalam kegiatan tersebut, maka pihak instansi yang memerlukan tanah melakukan suatu upaya agar proyek yang telah direncanakan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Instansi yang memerlukan tanah dalam rangka pengadaan tanahnya untuk proyek tersebut dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan melakukan perjanjian dengan pemilik tanah. Sebagai salah satu contoh kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum telah direalisasikan pembangunan jalan Outer Ring Road dengan jalan Lenteng Agung. Permasalahan yang timbul dari pengadaan tanah khususnya untuk kepentingan umum tersebut adalah masalah pemberian ganti kerugian kepada pemilik tanah yang tanahnya terkena proyek tersebut. Hal ini disebabkan oleh mekanisme musyawarah dalam penentuan ganti kerugian yang dilakukan masih jauh dari yang diharapkan. Perjanjian antara instansi yang memerlukan tanah dengan pemilik tanah dalam menentukan besarnya ganti rugi merupakan salah satu aspek dari hukum perjanjian, dimana dalam pasal 1338 KHUPerdata menyatakan kesepakatan itu mengikat bagi mereka yang melaksanakan perjanjian sebagai undang-undang dan juga dalam pasal 1320 KHUPerdata yang menyatakan syarat sahnya suatu perjanjian salah satunya adalah adanya kata sepakat diantara mereka yang melakukan perjanjian. Pada tahun 1993 pemerintah telah mengeluarkan Keppres No. 55 tahun 1993 yang mengatur pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Namun dengan keluarnya peraturan baru ini masih juga terdapat permasalahan di lapangan dalam rangka pengadaan tanah terutama menyangkut hal-hal yang berkenaan dengan ganti kerugian yang disebabkan oleh karena masih terdapat kelemahan dari materi yang diatur dalam Keppres No 55 Tahun 1993."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S20845
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yayan Yuhanah
"Masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan hal yang sangat panting di DKI Jakarta. Pesatnya pembangunan khususnya pembangunan infrastruktur yang cukup tinggi menuntut kebutuhan akan tanah yang cukup tinggi pula. Dilain pihak ketersediaan tanah yang ada di wilayah DKI Jakarta sangatlah terbatas. Untuk itu diperlukan berbagai cara agar kebutuhan tanah dapat terpenuhi dan pembangunan dapat berjalan dengan lancar. Masalah utama dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Provinsi DKI Jakarta adalah ganti rugi, karena ganti rugi merupakan bukti terhadap pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam praktek pembebasan atau pelepasan hak atas tanah sering terjadi masalah berkaitan dengan penetapan besamya nilai ganti rugi.
Pemberian ganti rugi seharusnya dilakukan dengan memperhatikan rasa keadilan bagi pemegang hak atas tanah, dan tidak membuat pemegang hak atas menjadi iebih miskin dari keadaan semula. Namun demikian harus tetap berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai tatacara pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang didalamnya diatur pula mengenai dasar dalam menetapkan besarnya nilai ganti rugi. Masalah penetapan besamya nilai ganti ganti rugi merupakan isu sentral yang paling rumit penanganannya dalam upaya pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Dalam ketentuan yang mengatur mengenai Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, yaitu Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993, yang kemudian diganti dengan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 dan telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 , penetapan besarnya nilai ganti rugi khususnya ganti rugi tanah berdasarkan nilai alas Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP. PadahaI dalam kenyataanya nilai tanah yang ditetapakan dalam NJOP jauh lebih murah daripada harga pasar di Iokasi tanah yang sama. Permasaiahan dalam penetapan nilai ganti rugi akan muncul ketika pemegang hak atas tanah meminta ganti rugi tanah sesuai harga pasar, padahal sampai saat ini tidak ada standar yang jelas untuk dapat menentukan harga pasar tanah di suatu lokasi.
Dalam menghadapi permasalahan ini diperlukan upaya untuk menata kembali ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai dasar perhitungan ganti rugi, pemahaman aparat pelaksana terhadap ketentuan yang mengatur mengenai penetapan besarnya nilai ganti rugi, dan masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah yang akan menerima ganti rugi. Adanya keterlibatan lembaga independen dalam menilai harga tanah sangat membantu dalam proses penetapan besarnya ganti rugi, agar dalam penetapan besarnya nilai ganti rugi lebih obyektif. Selain itu adanya pedoman untuk menetapkan harga tanah yang ditctapkan oleh lembaga yang berwenang dapat pula membantu untuk lebih memberikan kepastian dan menjembatani besarnya perbedaan harga tanah antara NJOP dengan harga pasar."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T19844
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tehupeiory, Aarce
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T36219
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budihardjo
"Kebutuhan tanah dalam kehidupan manusia tidak akan pernah berhenti, sedangkan luas tanah relatif tetap sehingga sering terjadi benturan-benturan antara sesama warga masyarakat, dan antara masyarakat dengan pemerintah. Pembangunan jalan tol Surabaya-Malang telah selesai puluhan tahun yang lalu namun masih menyisakan masalah kepada pemilik tanah yang dibebaskan untuk keperluan proyek jalan tol tersebut, mengenai prosedur pembebasannya dan besarnya ganti rugi sesuai asas musyawarah dan mufakat. Sebagai individu yang terkena pembebasan tanah wajar apabila pemilik tanah mempertahankan hak atas tanah miliknya dengan menuntut ganti rugi yang layak. Metodologi penelitian yang dipakai dalam penyusunan tesis ini menggunakan metode kepustakaan guna memperoleh data sekunder. Tipe penelitian ini diarahkan pada analisis kasus dengan menyampaikan kasus tuntutan ganti rugi tanah atas tanah milik yang terkena jalan tol Surabaya-Malang. Analisa data dengan pendekatan kualitatif, yang hasil penelitiannya sifatnya deskriptif analitis. Dalam proses pembebasan tanah telah dipenuhi persyaratan oleh pemilik tanah, hanya kesepakatan ganti rugi yang belum ada titik temunya, sehingga berproses dalam waktu yang lama dengan berbagai perubahan peraturan perundangan yang akhirnya berujung pada pengakuan kebenaran daripada pemilik tanah. Dengan diberikannya ganti rugi yang wajar. Pelaksanaan pengadaan tanah/pembebasan tanah akan berhasil dengan baik apabila mengedepankan nasib dan perhatian kepada pihak yang terkena pembebasan tanah/penggusuran yang sebagian besar adalah masyarakat di lapisan bawah dengan mengatur mekanisme pengadaan tanah didalam bentuk undang-undang."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16336
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Savitri Nur Setyorini
"Skripsi ini memberikan gambaran mengenai implementasi pemberian ganti rugi dan kedudukan konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan guna kepentingan umum. Ganti rugi harus diberikan pada pemegang hak yang hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lainnya diambilalih dalam pengadaan tanah, dan merupakan bentuk suatu penghormatan pada masyarakat yang telah melaksanakan kewajibannya untuk melepaskan tanahnya untuk digunakan bagi kepentingan umum. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam praktiknya terdapat ganti rugi yang berhasil diberikan secara langsung, namun terdapat pula yang dititipkan di pengadilan negeri.

This thesis provides an overview of the implementation of compensation granting and consignment in land procurement for public purpose development. Compensation must be given to the rights holders of land, buildings, plants and other items which rights are taken in the land procurement, and is a form of respect for the people who had been carrying out their obligation to release the land to be used for the public purpose. This research is a qualitative descriptive analytic design.
The result showed that practically, there are some successful compensations granting which are succeed to be given directly to the right holders, while some of them are deposited in the district court.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45883
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"konstitusi memberikan amanat dan pedoman terkait dengan peran dan kedudukan negara terhadap tanah sebagaimana tertuang dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi "bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat"."
300 JIH 1:1 2010
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"The State control of the land does not mean that the State owns the land, but rather the State regulate land use through the development of which is directed to achieve prosperity for all citizens. Land acquisition for development is one way to increase prosperity for the people, but the available land is extremely limited. Government policies as legal foundation to acquire the land has not been effective and no longer appropriate to solve the problem for the implementation of land acquisition for development. These problems include the concept of public interest and the basic for calculating compensation in land acquisition process for development. The concept of public interest must clearly type that devoted to the interests of the people and the market value of land should be the basic for calculating damages in the process of land acquisition for development. It is time our country has a higher legal foundation for regulating the provision of land for development to improve people's welfare. The author recommends that these issues be taken into consideration in the process of the Draft Law on Land Acquisition for Development Interest."
NGRHKM 1:1 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Manurung, Tanti Adriani
"Penguasaan tanah untuk kepentingan pembangunan sarana-sarana kepentingan umum, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, dalam prakteknya seringkali menimbulkan berbagai permasalahan. Masalah dalam sengketa tanah yang menonjol dan perlu mendapat perhatian adalah masalah penafsiran definisi kepentingan umum, ganti kerugian yang tidak layak dan proses pengadaan tanah yang tidak demokratik.
Penyebab timbulnya berbagai permasalahan tersebut bersumber pada dua hal pokok, yaitu (1) bersumber pada aparatur pelaksananya sebagai akibat tidak dimilikinya pemahaman yang mendalam tentang konsep keseimbangan dan keserasian antara kepentingan umum dengan kepentingan individu dan (2) bersumber pada kelemahan peraturan pengadaan tanah itu sendiri, misalnya tidak didapati adanya suatu kriteria yang tegas mengenai definisi kepentingan umum sehingga membuka peluang untuk disalahtafsirkan, lemahnya posisi rakyat pemegang hak atas tanah dalam proses musyawarah, pengertian harga umum setempat yang digunakan sebagai dasar dalam mengadakan penaksiran/penetapan besarnya ganti rugi, susunan keanggotaan Panitia Pembebasan Tanah dan prosedur penanganan apabila pemegang hak atas tanah menolak keputusan Panitia Pembebasan Tanah atas keputusannya mengenai besarnya ganti rugi.
Dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 55 Tahun 1993 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah dalam menghadapi kesulitan pengadaan tanah untuk berbagai proyek pembangunan dan untuk memberikan jaminan perlindungan hukum kepada rakyat yang selama ini kurang diperhatikan oleh peraturan pengadaan tanah sebelumnya. Walaupun secara umum materi Keppres ini telah cukup memuat berbagai pembaharuan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam praktek pengadaan tanah, namun dalam pelaksanaannya belum dapat dijadikan basis jaminan hukum bagi rakyat untuk diperlakukan secara adil dan demokratis Beberapa titik rawan dalam Keppres ini yang memberi peluang terjadinya berbagai pelanggaran atas nilai-nilai demokrasi dan prinsip-prinsip keadilan adalah pengertian kepentingan umum yang masih terasa sangat luas dan kabur, pengertian musyawarah yang tidak didukung oleh beberapa muatan materi yang terkandung dalam Keppres itu sendiri, perhitungan ganti rugi dengan menggunakan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) sebagai pedoman yang biasanya nilainya jauh lebih rendah dari harga jual atau harga pasaran yang berlaku pada saat itu dan susunan panitia pengadaan tanah yang unsurunsurnya hanya terdiri dari aparat pemerintah.
Diperlukan adanya perubahan pola pikir dan perilaku dalam kebijakan dan pelaksanaan pengambilalihan tanah sesuai dengan paradigma baru, yakni bahwa pengambilalihan tanah dapat dilakukan dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia yang bertumpu pada prinsip demokrasi dan keadilan. Kriteria kepentingan umum harus dirumuskan secara tegas, terinci dan transparan dalam bentuk perundang-undangan. Pemberian ganti rugi minimal sama dan senilai dengan hak-hak dan pancaran nilai atas tanah. Aparat yang terlibat dalam proses pengadaan tanah menempatkan diri secara proporsional di antara para pihak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
T36486
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Ismiati
"Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sangat rawan dalam pelaksanaannya karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Sedangkan proses pengadaan tanah dalam hal pembebasan tanah tidak akan terlepas dari masalah ganti rugi, oleh karena itu dalam menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi harus dilakukan musyawarah untuk mencapai kesepakatan dan tidak dibenarkan adanya paksaan.
Dalam pembebasan tanah untuk pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan, Panitia Pengadaan Tanah dalam musyawarah telah menetapkan ganti rugi dalam bentuk uang, sedangkan musyawarah dilakukan hanya untuk menetapkan besarnya saja. Sehingga dalam pelaksanaannya terdapat pemilik yang keberatan dengan ganti rugi dalam bentuk uang dan menuntut ganti rugi dalam bentuk tanah pengganti.
Dari latar belakang tersebut, dipandang perlu untuk dilakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan bagaimana implementasi penentuan pemberian ganti rugi kepada masyarakat dalam rangka pengadaan tanah untuk digunakan sebagai TPA Cipeucang Tangerang Selatan, apabila dikaitkan dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa musyawarah penentuan pemberian ganti rugi tidak dilakukan secara konsekuen karena masyarakat tidak diberikan pilihan bentuk ganti rugi sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 sehingga terdapat pemilik yang keberatan menerima ganti rugi dalam bentuk uang.
Disarankan agar untuk pengadaan tanah selanjutnya, Panitia Pengadaan Tanah dapat melakukan musyawarah untuk menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi secara konsekuen, tanpa ada paksaan serta memberi ganti rugi dengan memperhatikan faktor-faktor sosial dan ekonomi masyarakat yang tanahnya dibebaskan.

Land acquisition for the development for public interest is highly vulnerable on its implementation as it is strongly related to public livelihood concern. The land acquisition process itself in terms of land relinquishment, however, will never be apart of compensation matter. Consequently, it shall be discussed in setting form and value of the compensation to reach out agreement and any coercion is prohibited.
In the land acquittalaimed for landfill project of Cipeucang by the Local Government of South Tangerang, the Land Acquisition Committee, in the discussion, had stipulated the compensation in the form of cash, whereas the discussion was carried out to set the value only. In consequence, as it is implemented there was objection from the land lords on the form of cash and they demanded the compensation in the form of substituted land.
Build upon this background, it is deemed necessary to conduct some research to answer the question of how the setting of compensation to the public was implemented in terms of land acquisition aimed for landfill of Cipeucang, South Tangerang, associated with the Regulation of the President of the Republic of Indonesia Number 65 of 2006.
The research result reveals that the discussion of setting the compensation was not consequently conducted because the community was not given options regarding to the compensation forms as stipulated in the Regulation of the President of the Republic of Indonesia Number 65 of 2006 and it resulted objection from the land owners on compensation in the form of cash.
It is suggested for the future, the Land Acquisition Committee could consequently discuss to set the form and value of compensation, without any coercion and give compensation by considering social and economic factors of the community whose land is acquitted.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T34854
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>