Ditemukan 46326 dokumen yang sesuai dengan query
Lidwina Dian Pratiwi
"Khonghucu sejak lama telah menjadi bagian dari kehidupan keimanan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia memeluknya. Dalam perkembangannya, Khonghucu mengalami berbagai hambatan. Di masa Orde Baru, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang membatasi perkembangan kebudayaan, kepercayaan dan agama yang dianut golonqan etnis Tionghoa serta berusaha mensosialisas ikan bahwa hanya ada lima agama (Islam, Katolik, Kristen, Budha dan Hindu) yang dianut dan diakui sehingga Khonghucu hanya dianggap sebagai kepercayaan, bukan agama. Pengakuan suatu agama erat kaitannya dengan hukum perkawinan yang berlaku. Dalam hal ini timbul masalah mengenai dasar keabsahan perkawinan agama Khonghucu dan bagaimana prakteknya di Kantor Catatan Sipil. Untuk menjawab masalah tersebut, skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dan lapangan, dimana data yang diperoleh berasal dari bahan-bahan pustaka dan hasil wawancara. Status Khonghucu sebagai agama yang diakui sebenarnya telah jelas tercantum dalam UU No.1/PNPS/1965 yang menyatakan Khonghucu adalah salah satu agama yang dianut oleh penduduk Indonesia. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974 menyebutkan bahwa perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan pada ayat (2) tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, bila perkawinan oleh pasangan beragama Khonghucu telah di lakukan sesuai ketentuan dan tata cara yang ditetapkan dalam agama Khonghucu serta telah dianggap sah, maka perkawinan tersebut harus pula diakui keabsahannya oleh negara dan dapat dicatat sesuai peraturan yang berlaku. Tetapi dalam prakteknya di Kantor Catatan Sipil, perkawinan agama Khonghucu di tolak untuk dicatat dengan alasan agama Khonghucu tidak diakui dan dibina oleh Departemen Agama. Hal ini tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan jaminan kemerdekaan beragama dari negara bagi tiap-tiap penduduk."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21134
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Lyna
"Perkawinan merupakan suatu fase penting bagi setiap insan manusia di dunia selain kelahiran, pendewasaan dan kematian. Perkawinan sebagai suatu peristiwa hukum dan merupakan bagian dari hak asasi serta mempunyai arti yang penting bagi mereka yang menjalaninya. Pencatatan perkawinan merupakan bukti otentik dari peristiwa hukum tersebut, sehingga setiap perkawinan harus dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya serta tiap perkawinan dicatat. Saat ini agama dan kepercayaan yang dimaksud oleh pemerintah adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Dasar agama KHONGHUCU di Indonesia adalah UU No.l/PNPS/1965 dan SE Mendagri No.477/74054 sudah dicabut. Putusan Kasasi Perkawinan KHONGHUCU hanya berlaku untuk Budi dan Lanny saja. Bagi pasangan umat KHONGHUCU lainnya, perkawinannya tidak dapat dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. UU No. 1 Tahun 1974 tidak menyebutkan agama apa saja, seharusnya perkawinan KHONGHUCU adalah sah. Penolakan pencatatan perkawinan merugikan pasangan KHONGHUCU, yang merasakan kerugian lebih besar adalah isteri dan anak. Mereka tidak mempunyai bukti atas perkawinannya, anak yang dilahirkan menjadi anak luar kawin, tidak ada harta bersama dan tidak ada hak dan kewajiban suami isteri."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T37735
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Mukmin Amarullah
"Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan dapat tercapai bila perkawinannya sah yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Sebagai bukti bahwa sudah dilakukan perkawinan, maka setiap perkawinan harus dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan dan dicatat pada kantor pencatatan perkawinan. Rumusan dan pengertian perkawinan tersebut di atas diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yang walaupun sudah dibuat sesempurna mungkin tetapi masih dapat disalah gunakan karena adanya pasalpasal yang sumir sehingga terjadi penyelundupan hukum seperti misalnya terjadinya perkawinan beda agama baik yang dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri yang seharusnya hal tersebut tidak boleh terjadi karena pada hekekatnya sesungguhnya tidak ada satu pun agama yang membolehkan umatnya menikah dengan pasangan kawinnya yang berbeda agama, karena setidaknya akan mendapat masalah pada keabsahan perkawinan dan keabsahan anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama. Maka melalui penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif dengan tipologi penelitian bersifat eksplanatoris dengan bentuk evaluatif, telah secara khusus meneliti mengenai keabsahan anak yang lahir dari perkawinan beda agama berdasarkan Undang-Undang Perkawinan. Beberapa pokok permasalahan yang ditemukan adalah apakah anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama dapat digolongkan sebagai anak yang sah, dan apakah anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama dapat digolongkan sebagai ahli waris yang sah dari kedua orang tua biologisnya. Sebagai kajian lebih mendalam kami bahas mengenai kasus perkawinan beda agama yang telah terjadi antara pasangan artis Indonesia. Dan kami berkesimpulan bahwa perkawinan beda agama adalah tidak sah sehingga anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama dapat disamakan sebagai anak luar kawin karenanya hanya mempunyai hubungan perdata terhadap ibu dan keluarga ibunya akibatnya anak tersebut tidak dapat mewaris dari ayah biologisnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T37742
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Asmin
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Siti Utami
"Pada dasarnya negara meletakkan konsep pernikahan sebagai hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang sah menurut hukum agama dan kepercayaannya dan diakui oleh negara merupakan konsep yang sudah baku. Konsepsi tersebut menegaskan pernikahan sebagai bagian dari aspek psikologis, biologis, religius, dan yuridis. Perlunya pengakuan hukum negara dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sehingga ketiadaan pengakuan salah satu di antaranya di anggap sebagai ketiadaan pernikahan. Namun dalam perkembangan sekarang, ada kecenderungan terjadinya pernikahan yang dilakukan tanpa adanya pengakuan hukum negara. Ketiadaan pengakuan ini sering kali disebut sebagai perkawinan di bawah tangan yang terjadi karena alasan ketidakmampuan ekonomis dan ketiadaan izin dari atasan atau isteri sebelumnya. Oleh sebab itu, skripsi ini akan mengkaji tiga masalah dalam perkawinan di bawah tangan, yaitu pertama, bagaimana pandangan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap status hukum perkawinan di bawah tangan? Ke dua bagaimana kedudukan dan hak isteri di dalam perkawinan di bawah tangan ? Ke tiga, bagaimana permasalahan hukum yamg kemungkinan terjadi dalam perkawinan di bawah tangan? Pembahasan akan permasalahan tersebut akan diteliti dengan pendekatan yuridis-normatif sehingga menghasilkan kesimpulan pertama undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memandang status hukum perkawinan di bawah tangan sebagai perkawinan yang batal demi hukum dan tidak dapat di kategorikan sebagai perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974. Kedua 1 Kedudukan dan hak isteri di dalam perkawinan di bawah tangan adalah sangat lemah karena tidak dapat melakukan hubungan keperdataan. Ketiga, permasalahan hukum yang terjadi dalam perkawinan di bawah tangan adalah mengenai status hukum perkawinan yang menyulitkan posisi pasangan suami isteri tersebut dalam melakukan hubungan keperdataan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21208
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sulpi
2005
T37770
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Lidia Karlani
"
ABSTRAKPerkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kenyataan di masyarakat terjadi penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan melakukan perkawinan di bawah tangan. Apakah alasan suami istri memilih melakukan perkawinan di bawah tangan di kota Bengkulu? Apa akibat hukum dari perkawinan tersebut terhadap istri, anak dan harta bersama? Bagaimana prosedur hukum yang harus dilalui oleh suami istri bila ingin meningkatkan status perkawinan di bawah tangan menjadi perkawinan sah?. Penelitian kepustakaan yang didukung dengan data dari lapangan berupa wawancara dengan nara sumber yang kompeten. Alasan seseorang melakukan perkawinan dibawah tangan karena biaya mahal, suami yang melakukan poligami, Pegawai Negeri Sipil yang tunduk pada PP Nomor 10 Tahun 1983 direvisi PP Nomor 45 Tahun 1990, alasan agama untuk menghindari perbuatan zina dan belum diakui oleh negara suatu penganut Kepercayaan sebagai agama. Akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan terhadap status istri, yaitu tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas warisan dan pensiunan suami, apabila terjadinya perceraian istri tidak berhak atas harta bersama. Terhadap status anak dianggap sebagai anak luar kawin, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Terhadap harta bersama, tidak ada harta bersama. Prosedur hukum yang dilalui suami istri bila ingin meningkatkan status perkawinan di bawah tangan menjadi perkawinan sah di mata hukum bagi beragama Islam mengajukan permohonan Itsbat Nikah pada Pengadilan Agama sesuai KHI Pasal 7. Mengulangi perkawinan diantara mereka disertai pencatatan perkawinan di KUA maupun di Kantor Catatan Sipil. Untuk menghindari terjadinya perkawinan dibawah tangan yang berdampak pada status istri dan anak, diharapkan pemerintah memberikan penyuluhan pada masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan.
ABSTRAKA marriage is considered as legally valid, if it is conducted in accordance to the respective applicable religious law and belief of the parties involved (the bride and the groom). However, in reality it is found out that unofficial marriage still often happen, or in other word, not it accordance with the applicable law. What are the reasons that cause a couple prefers to conduct their marriage in such a way? What are the legal consequences particularly for the wife, the kids as well as the properties? What are the procedures should be conducted if the couple would like to enhance their marital status to a legal one? This research is conducted by applying a literature study supported by indepth interview with competent sources. Some of the reasons that make someone decide to conduct his/her marriage in such a way are due to the high cost in conducting a legal marriage, a husband applying polygamy marriage, while he is a government functionary who is bound with the Government Law No. 10 Year 1983, revised with the Government Law No. 45 Year 1990, religious reason, that is, to avoid considered as commit adultery, or regarding his/her status which is not yet recognized by the government due to his/her belief (which is not yet considered as a religion). The consequences of being a wife in a un-legal marriage would be particularly related to her status, that are, she is not considered as a legal wife, she has no right to inherit the husband's assets and pensions, and in case they had a divorce, she would have no right to get any of the assets earned during their living as a couple. Meanwhile, the consequences also happen to the child/children, in term that they will not be considered as legal children, and they only have legal civil relationship with their mother and her family. In term of family's assets, they have no right to them. The procedures that should be undergone by the couple that would like to enhance their status to a legal marriage, then to them who are Moslems, is that they should apply a request of the so-called Its bat Nikah in a religious court, which is in accordance with the Islamic Law Book Article 7. Then they should re-proceed their marriage ceremony while being noted and registered both in Office of Religious Affaires (Kantor Urusan Agama) as well as Civil Registration Office (Kantor Catatan Sipil). In order to avoid the occurrence of any unofficial marriage that brings inconvenient effect to the status of the wife and the child/children, the government is expected to give more socialization and education about the importance of the marriage registration to the society."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T18982
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
S. Heru Sagita Wijaya
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T36413
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nur Hamidah
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S24933
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Diarani Octaria Tamrin
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S21350
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library