Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135851 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Stephanie
"Usaha kecil dan menengah telah terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong pengembangan dan ekspansi usaha demi meningkatkan kemandirian ekonomi dan kreativitas bangsa. Pengembangan usaha dapat direalisasikan dengan berbagai metode dengan menjalankan sistem usaha yang berbeda. Waralaba, pemberian lisensi dan distributorship adalah tiga sistem usaha yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Waralaba, pemberian lisensi dan distributorship mempunyai persamaan dan perbedaan. Guna menentukan lembaga yang paling sesuai untuk pengembangan usaha, para pengusaha perlu memahami akibat hukum dari masing-masing sistem usaha agar mereka mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai. Skripsi ini akan membahas persamaan dan perbedaan masing-masing lembaga dan menerapkan pemahaman tersebut pada pengembangan usaha Rica Rico Bika Ambon. Akhir kata, diharapkan masyarakat luas dapat terus mengembangakan usahanya demi perekonomian yang lebih mandiri dan kreatif."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S21542
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Juristezar P.L.T.
"ABSTRAK
Waralaba maupun distributor sama-sama suatu usaha/bisnis dengan investasi ‘kecil’ resiko dengan peluang mendapatkan profit besar yang sangat baik. Waralaba merupakan perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa, sedangkan Distributor adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri berdasarkan perjanjian yang melakukan pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai. Dalam distributor pihak kedua yang menjual barang milik pihak pertama hanya mendapatkan fee atau pembayaran dari jumlah barang yang dibelinya, harga barang ditentukan oleh pihak pertama sebagai pemilik barang. Tugas pihak kedua hanya menjual saja, tidak terlibat manajemen, secara tidak langsung distibutor agreement hanya merupakan perpanjangan tangan pihak pertama saja. Jelas yang diterima pihak kedua sebagai penyalur hanya berupa fee yang telah ditetapkan oleh pihak pertama. Bila dilihat dari segi keuntungan maka jelas lebih menguntungkan franchise, karena baik franchisor maupun franchisee dapat ikut andil dalam manajemen, franchisee hanya perlu membayar lisensi yang telah dimiliki oleh pemilik atau pihak pertama. Namun begitu, dipercaya usaha distributor juga memiliki kelebihan-kelebihan sendiri yang berbeda dari waralaba.
"
2006
S21241
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raditya Ario Pratomo Andjasmoro
"Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Di Indonesia, waralaba diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Dalam peraturan tersebut, waralaba diharapkan untuk membantu dan meningkatkan pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai pemberi waralaba yang mempunyai daya saing. Akan tetapi, dengan tujuan yang dirasa cukup besar, peraturan ini serta undang-undang lain terkait dengan waralaba dan UMKM dirasa belum memberikan porsi yang pas dalam keterlibatan UMKM didalam dunia usaha waralaba.
Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis dilakukan dengan penelitian hukum kepustakaan dan melakukan perbandingan Peraturan Waralaba No. 16 Tahun 1997 dan Peraturan Waralaba No. 42 Tahun 2007 untuk melihat seberapa jauh perkembangan waralaba di Indonesia. Selain itu, penulis juga akan melakukan perbandingan terhadap hukum waralaba di Indonesia dan Prancis, untuk melihat perspektif lain terhadap dunia waralaba yang semakin besar di era globalisasi sekarang ini. Selanjutnya penulis juga akan melakukan wawancara dengan pelaku usaha waralaba, untuk melihat sejauh manakah peraturan waralaba yaitu PP No. 42 Tahun 2007 diimplementasikan oleh para pelaku usaha dan melihat keterlibatan UMKM di dalamnya.

Franchise is a special right owned by an individual or a business entity to a business system with a business characteristic in order to sell goods and or services that have proven successful and can be utilized and or used by other parties under a franchise agreement. In Indonesia, franchising is ruled by Government Regulation No. 42 of 2007 regarding Franchising. Under that regulation, franchises are expected to help and increase Micro, Small and Medium Entrepreneurs MSME to grow as competitive givers. However, with the considerable objective, this regulation and other laws related to franchising and MSMEs are deemed to have not provided the right portion of MSME involvement in the franchise business.
The research method used in writing this thesis is normative juridical research. Juridical research was conducted by literary research and conducted a comparison of the Franchise Regulation No. 16 of 1997 and Franchise Regulation No. 42 Year 2007 to see how far franchise development in Indonesia. In addition, the author will also make comparisons to the law of franchising in Indonesia and France, to see other perspectives on the world of franchises are growing in the current era of globalization. Furthermore, the author will also conduct interviews with franchisors, to see the implementation of the Government Regulation No. 42 of 2007 by business actors and see the involvement of MSME in it.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yustinus Sadmoko
"Waralaba X adalah sebuah upaya untuk melaksanakan pengembangan Sekolah X melalui waralaba. Usaha ini melibatkan beberapa pihak yang mempunyai tujuan yang berbeda-beda baik yang berorientasi mencari laba maupun berorientasi nirlaba. Pihak-pihak tersebut meliputi Yayasan X, yang bertujuan untuk melaksanakan kegiatan keagamaan, sosial dan kemanusiaan, Pendiri Yayasan X sekaligus pemegang saham PT X, yang menjadi master pewaralaba, dengan misi pendidikan dan mencari laba, serta para calon terwaralaba yang bertujuan mencari laba. Karya akhir ini bertujuan untuk mencari skema waralaba yang tepat yang dapat mengakomodasi tujuan masing-masing pihak yang terlibat di atas. Di samping itu, upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan/meningkatkan tingkat profitabilitas waralaba sehingga sustainability dari waralaba dapat diperoleh juga menjadi tujuan dari penyusunan karya akhir ini.
Struktur industri pendidikan tingkat pra sekolah dan sekolah dasar saat ini masih over demand tetapi tingkat persaingannya akan semakin ketat di masa depan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, skema waralaba yang akan di lakukan harus difokuskan untuk memperoleh daya saing yang lebih tinggi di masa depan. Di samping investasi berkesinanibungan untuk meningkatkan mutu jasa pendidikannya, percepatan penetrasi pasar melalui pendirian sekolah di lokasi-lokasi yang dekat dengan target pasar dapat mendukung upaya peningkatan daya saing tersebut. Skema waralaba ini dibuat untuk membantu percepatan tadi tanpa membebani tuntutan dana bagi Yayasan X maupun PT X. Oleh karena itu, skema harus dibuat supaya Waralaba X ini menarik bagi para calon terwaralaba.
Sebelum menentukan format waralaba yang mampu mengakomodasi semua tujuan di atas, harus dilakukan identifikasi atas proyeksi laba (atas basis kas) operasi waralaba yang akan dialokasikan untuk memenuhi tujuan masing-masing pihak. Setelah dilakukan perhitungan dengan asumsi tertentu kondisi penyelenggaraan sekolah, hasilnya adalah sebagai berikut:
- Program Taman Bermain dan Taman Kanak-Kanak diproyeksikan akan menghasilkan laba (atas basis kas) sebesar Rp 784 juta di tahun pertama dan naik secara bertahap sampai Rp 1.211 juta di tahun kesepuluh.
- Program Sekolah Dasar diproyeksikan akan menghasilkan laba (atas basis kas) operasi sebesar Rp 994 juta di tahun pertama dan naik secara gradual sampai Rp 5.456 juta di tahun kesepuluh.
Dengan proyeksi laba operasi di atas, supaya proyek waralaba ini menarik bagi terwaralaba sehingga tingkat penetrasi pasar yang tinggi bisa diperoleh, imbal hasil bagi terwaralaba harus memenuhi dua persyaratan yaitu return atas investasi awal yang tinggi serta payback period. Dengan melakukan benchmarking dengan waralaba jasa pendidikan "LP3I", ditentukan return tersebut adalah 25% serta payback period maksimal 5 tahun . Selain itu, untuk mengakomodasi preferensi dan ketersediaan modal calon terwaralaba, perlu diberikan beberapa opsi kombinasi initial fee - ongoing fee yang fleksibel. Kombinasi yang bisa memenuhi persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
- Untuk program TB dan TK, tersedia 3 opsi kombinasi initial fee - ongoing fee untuk pewaralaba adalah Rp 600 juta dan 20,43% (dari arus kas operasi operasi), Rp 400 juta dan 27,40% serta Rp 200 juta dan 34,27%.
- Untuk program Sekolah Dasar, kombinasi initial fee - ongoing fee untuk pewaralaba adalah Rp 700 juta dengan 48,32% (dari arus kas operasi operasi), Rp 500 juta dengan 51,10% serta Rp 300 juta dengan 53,88%.
Kombinasi initial .fee ongoing fee bisa diturunkan secara bertahap oleh pewaralaba untuk meningkatkan keuntungannya setelah tingkat penetrasi pasarnya cukup tinggi. Initial fee dan ongoing fee ini selanjutnya harus dibagi antara Yayasan X di satu pihak, dengan PT X serta Pendiri. Karena Yayasan X tidak mengeluarkan biaya apapun dalam rangka skema waralaba ini, berapapun hasil yang diperolehnya nilai net present value-nya pasti positif. Selain itu, Yayasan X juga bisa memperoleh manfaat tambahan dalam pencapaian tujuan keagamaannya melalui penerapan prinsip ekonomi Islam dalam skema waralaba. Penerapan prinsip ini bisa dilakukan untuk mengakomodasi pembayaran initial fee dengan akad jual beli, pembayaran ongoing fee dengan cara bagi basil. Prinsip ini juga bisa diterapkan dalam penghitungan bagian Yayasam X melalui penggunaan tarif zakat, yaitu sebesar 2,5% sampai 10% dan laba sebelum pajak dan fee waralaba yang diperoleh waralaba (sesuai kesepakatan). Namun, Yayasan X tidak mendapat bagian dari initial fee. PT X dan pendiri mendapatkan seluruh sisanya tetapi bertanggung jawab untuk melaksanakan seluruh program pemasaran, supervisi dan kegiatan lain dalam skema waralaba ini.
Umuk mencapai tujuan meningkatkan daya saing di masa depan sehingga profitabilitas Waralaba X dapat terjaga, perlu dibuat strategi untuk meningkatkan perceived quality atas jasa Sekolah X. Perceived quality jasa ini sangat ditentukan oleh kemampuan penyedia jasa memenuhi harapan konsumen pada atribut-atribut yang dianggap penting bagi mereka dalam mengambil keputusan mengkonsumsi jasa ini. Dari hasil analisis dengan model Analytic Hierarchy Process diperoleh ranking atribut-atribut tersebut berdasarkan tingkat kepentingannya bagi konsumen yang menjadi target pasar Sekolah X sebagai berikut:
1. Prioritas pada pendidikan agama 26%
2. Letak sekolah yang dekat dengan tempat tinggal 17%
3. Kelengkapan fasilitas belajar dan bermain 16%
4. Biaya yang mnirah 15%
5. Penggunaan kurikulum dan sistem pengajaran dari negara maju 8%
6. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar 7%
7. Merk dan reputasi sekolah yang sudah terkenal 6%
8. Tersedianya jenjang pendidikan berikutnya 6%.
Dari data tersebut dapat disirnpulkan bahwa untuk meningkatkan perceived quality jasanya, selain mempertahankan posisinya sebagai sekolah yang memprioritaskan pendidikan agama, PT X juga harus berinvestasi lebih banyak pada fasilitas belajar dan bermain. Di samping itu juga diperlukan upaya untuk lebih mendekatkan diri secara fisik dengan konsumen. Kedekatan fisik pada konsumennya ini juga akan menurunkan biaya bagi konsumen untuk mengkonsumsi jasa Sekolah X yang menawarkan peluang bagi Waralaba X untuk meningkatkan keuntungannya dengan menaikkan harga jasanya tanpa menurunkan perceived quality-nya. Maka dari itu, skema waralaba di atas tepat untuk dipilih PT X dalam rangka ekspansinya.

Franchise X is the former of School X's expansion through franchising. This form of expansion will be done by various parties that have different objectives, both profit and non profit oriented. The parties are Foundation X, a religion, social and humanity oriented foundation, PT X. a profit oriented entity, Founder (of Foundation X and PT X), the master franchiser with both profit and social (education) orientation, and the candidates of franchisees with their profit orientation. The main objective of this study is to find a suitable scheme of the franchise that accommodate the above various objectives. Besides, the efforts to sustain/grow the profitability of Franchise X so that the business will be sustainable are also important things that will also be discussed.
The structure of the pre-school and elementary school industry is currently over demand, but the internal rivalry is growing higher. The industry is predicted to be more competitive in the future. To anticipate this matter, the scheme of the franchise should focus on earning higher competitive advantage in the future. Beside continuously investing on building higher quality, of its education service, speeding up the market penetration through establishing more schools that close to target market can also be useful to build the competitive advantage. Because the scheme should be developed with little fund from the franchiser (Foundation X and PT X), the scheme should also be interesting to the target franchisees.
Before developing the scheme the projected income (on cash basis) of the franchise that will be used to satisfy each objective of the parties should be calculated first. With certain assumption, the results of the projection arc as follow:
- Play Group and Kindergarten Program is projected to earn (on cash basis) Rp 784 million in the first year and growing continuously to Rp 1.211 million in the 10th year
- Elementary School Program is projected to earn (on cash basis) Rp 994 million in the first year and growing continuously to Rp 5.456 million in the 10th year.
With the above projected income, in order to make the project interesting for the candidates of franchisees so that the expected level of penetration can be reach, the return offered to them should fulfill two requirements: high return on investment and short payback period. From benchmarking with "LP3I", a franchise of a non-formal education, the return offered is 25% and the payback period is 5 year. Besides, to accommodate the various preference and capital adequacy of the candidates of the franchisees, some option of flexible combination of initial fee -- ongoing fee is also necessary to be offered. The combinations that fulfill the above two requirements are:
- For Play Group and Kindergarten Program, there arc three option of combination of initial fee - ongoing fee: Rp 600 million and 20,43% (from income on cash basis), Rp 400 million and 27,30%, and Rp 200 million and 34,27%.
- For Elementary School Program, there are three option of combination of initial fee - ongoing fee: Rp 700 million and 48,32% (from income on cash basis), Rp 500 million and 51,10%, and Rp 300 million and 53,88%.
The offered return for the franchisees can be gradually reduced to increase the profit of the franchiser after PT X can reach the expected level of penetration. The Ices should then be split to Foundation X and PT X (and Founder as the owner of PT X). Because Foundation X does not bear any expenses for this project, the net present value for the foundation will always be positive. Besides, Foundation X will also gain an achievement of its objectives in religion mission through the application of Islamic Economic principles in the scheme. The principles can be applied to accommodate the payments of initial fee through sale-purchase akad, and payment of ongoing fee through profit sharing agreement. The principles will also be applied to calculate the share of Foundation X from the ongoing fee received by PT X through the application of zakat tariff (between 2,5% to 10% from net profit (on cash basis) before franchise fee and income tax. Nevertheless, Foundation X will not get any share from initial fee. As a consequence, PT X should bear all the expenses in relation with the franchising project, including marketing, supervision and other related expenses.
To build a higher future competitive advantage so that the level of profitability of Franchise X can be sustainable, some efforts should be done to build the perceived quality of the education service of School X. The perceived quality of the service is determined by the ability of the service provider to fulfil the customers (parents)' expectation on certain attributes that they perceive to be important for choosing school for their children. The result from analysis with Analytic Hierarchy Process (AHP) model, the ranking of importance of the attributes are as follow:
1. Priority on religion subjects 26%
2. Close to home 17%
3. Completeness of education and playing facilities 16%
4. School Fees 15%
5. Application of curriculum from advanced countries 8%
6. Using English as daily language 7%
7. Brand and reputation of the school 6%
8. Presence of next level of education 6%
The conclusion that can be drawn from the above information is that to build its perceived quality, beside strengthening its positioning as a school that prioritizing education on religion, PT X should also investing more on education and playing facilities. Besides, the effort to build closer schools to target market is also important. The closer school can also be used to reduce the cost for consuming the service (for customers) that will offer a chance for Franchise X to increase its profitability by increasing the price without reducing the perceived quality. Because of those, the above scheme is suitable to be chosen by PT X for implementation if its expansion program.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mami Milawati
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia;, ], 2010
S21506
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bastianon
"Di bidang pengadaan barang dan jasa untuk publik diperkirakan kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hampir mencapai Rp 100 triliun. Pembocoran itu dilakukan melalui menggeiembungkan harga barang dan dengan cara menambahkan volume barang yang akan dibelanjakan. Mekanisme pengadaan barang dan jasa hampir sebagian besar dilakukan dengan cara penunjukan langsung dan tidak terbuka kepada publik. Semua hal itu bisa terjadi karena mekanisme aturan dan sanksi hokum terhadap penyalahgunaan anggaran, terutama dalam pengadaan barang dan jasa, masih lemah. Kajian Indonesia Procurement Watch bersama Bank Dunia mengemukakan, kebocoran APBN dari sektor pengadaan barang dan jasa untuk publik sebesar 30 - 50 persen. Padahal, hampir setengah biaya APBN digunakan untuk pengadaan barang dan jasa.
Indikasi kebocoran dapat dilihat dari banyaknya proyek pemerintah yang tidak tepat waktu, tidak tepat sasaran, tidak tepat kualitas, dan tidak efisien. Selain itu, banyak proyek pemerintah yang masa pakainya hanya mencapai 30 - 40 persen dari seharusnya. Selama ini, pengadaan barang dan jasa hanya diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000, yang diperbarui dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Di dalam Keputusan Presiden itu antara lain dinyatakan bahwa pelaksanaan dan pengadaan barang dan jasa untuk publik oleh pemerintah yang nilainya di atas Rp 100 juta harus ditenderkan. Selain itu, pengadaan barang dan jasanya harus dari Indonesia.
Dalam konteks permasaiahan ini, Komaruddin Hidayat, Ketua Umum Indonesia Procurement Watch mengemukakan bahwa kenyataannya, hampir sebagian besar mekanisme pengadaan barang dan jasa dilakukan dengan penunjukan langsung yang sangat berbau kolusi, korupsi, dan nepotisme. Anggarannya pun di mark-up dan volume barangnya sering ditambah-tambahkan. Parahnya lagi, sanksi yang dijatuhkan kepada pejabat yang melakukan penyimpangan itu hanya berupa sanksi administratif, tanpa ada sanksi hukum pidananya. Hal ini merupakan kelemahan fundamental karena pengadaan barang dan jasa pemerintah yang menelan lebih dari 40 persen APBN setiap tahunnya hanya diatur oleh aturan setingkat Keppres."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
Amanda Novia Anggita
"Permendag RI No. 7 Tahun 2013 pada dasarnya mengatur mengenai pembatasan jumlah gerai waralaba untuk jenis usaha jasa makanan dan minuman. Tujuannya adalah untuk pemerataan ekonomi dengan mengembangkan usaha kecil dan menengah melalui pengembangan kemitraan dalam waralaba dengan pola penyertaan modal. Pada prakteknya, mayoritas pemberi waralaba merek asing terkenal hanya akan mempercayakan pemasaran merek dagangnya kepada satu penerima waralaba di Indonesia. Hal ini dinilai oleh pemerintah sebagai pemicu terjadinya kesenjangan sosial, ditakutkan pemilik waralaba ini akan semakin merajai dan menjajah perekonomian negara dengan memonopoli sistem perdagangan dalam negeri. Maka untuk mengantisipasi hal tersebut, dikeluarkanlah Permendag RI No. 7 Tahun 2013. Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimanakah implementasi dari regulasi ini dalam kegiatan bisnis waralaba secara nyata? Dapatkah regulasi ini menjadi suatu solusi yang komperhensif untuk mengembangkan usaha kecil dan mengengah sehingga terwujud pemerataan ekonomi? Bagaimana mengenai perlindungan hukum terhadap pemilik waralaba? Mengingat kegiatan perkembangan waralaba di Indonesia yang semakin pesat, dan semakin banyaknya waralaba merek asing yang masuk ke Indonesia, maka Pemerintah Indonesia selaku regulator perlu memberikan perhatian khusus terutama dari segi hukum yang mengatur waralaba di Indonesia. Penelitian ini akan memberikan tinjauan hukum atas usaha waralaba merek asing terkenal di Indonesia, terkait dengan keberlakuan Permendag RI No. 7 Tahun 2013. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat normatif yuridis. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis yang bersifat kualitatif.

This regulation, basically set on limiting the number of franchise outlets in foods and beverages franchise. The purpose is for economic equality by developing small and medium enterprises through the development of partnerships in franchise with the pattern of equity participation. In practice, most of famous foreign trademark franchisor will only entrust the marketing of its trademark to one franchisee in Indonesia. This is seen by the government as a trigger of social inequality, franchisor will increasingly dominate and colonize the country's economy to monopolize trade in the domestic system. In order to anticipate this situation, the government issued the Indonesian Trade Minister Regulation Number : 07/MDAG/ PER/2/2013. However, the problem is about the implementation of these regulation in the franchising activities in real. Can this regulation be a comperhensive solution to develop small and medium enterprisess in order to realizing economic equality? How about the legal protection of the franchisor? Since franchises in Indonesia are growing rapidly, and the increasing number of foreign trademark franchises in Indonesia, the Indonesian government as regulator needs to give special attention, especially in terms of the law governing franchise in Indonesia. This study will provide an overview of business law for famous foreign trademark franchise in Indonesia, associated with Indonesian Trade Minister Regulation Number : 07/M-DAG/PER/2/2013. This type of research is normative juridical literature. Data analysis methods used in this research is descriptive qualitative analysis. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47115
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>