Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159204 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahono Suprianto
"Putusan-putusan pengadilan terdahulu yang menyatakan gugatan yang melibatkan sejumlah besar pihak tidak dapat diterima, seperti dalam perkara antara YLKI melawan PLN pada tahun 1996, perkara antara peserta Jamsostek melawan direksi Jamsostek tahun 1994, dan perkara sejenis yang lain yang dimaksudkan sebagai pengajuan perkara dengan menggunakan prosedur class action, menjadi putusan in kracht yang menarik untuk dilihat kembali baik dari segi formil maupun materiil saat beberapa Undang-undang yang membuka pintu bagi diperbolehkannya gugatan class action disyahkan keberlakuannya seperti UU No. 23 Tahun 1997, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Terlebih lagi dengan dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 2002 yang mengatur tentang tata cara dan syarat-syarat pengajuan gugatan class action. Di Indonesia sendiri yang menganut sistem hukum civil law kemunculan lembaga class action yang berasal dari common law tidaklah dikenal, sehingga dijadikan salah satu alasan bagi hakim-hakim yang memeriksa perkara untuk tidak dapat menerima gugatan itu. Padahal kalau dihadapkan dengan asas-asas yang ada dalam penyelenggaraan peradilan bahwa hakim seharusnya bisa menggali dan menemukan hukum dengan menyerap dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Banyaknya berbagai istilah atau model gugatan yang mengatasnamakan kepentingan umum seperti: class action, actio popularis, citizen lawsuit, groepacties, dan legal standing ditambah lagi dengan belum banyaknya buku/literatur yang mengupas mengenai hal itu menjadikan gugatan yang diajukan dalam perkara “12-15 Mei Berdarah” ini menjadi obscuur libels, tidak jelas dimaksudkan sebagai pengajuan gugatan seperti apa. Dan majelis hakim dalam pertimbangannya menguraikan terlebih dahulu pengertian dari class action dan legal standing meliputi juga syaratsyaratnya. Karena oleh para pihak dan majelis hakim terdapat penafsiran tentang class action dalam perkara itu, ditambah lagi dengan pernyataan dari Komisi Hukum Nasional bahwa gugatan class action telah lebih dulu dikenal dalam sistem hukum Indonesia, maka peneliti lebih menekankan skripsi ini pada studi kasus gugatan class action saja."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S22020
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita
Depok: Universitas Indonesia, 2004
S23773
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Kurniawan
"Perkeretaapian di Indonesia yang merupakan sebagai salah satu moda transportasi nasional diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, serta keseimbangan dan kepentingan umum untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal, untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas serta sebagai pendorong dan penggerak pembangunan Nasional. Pelayanan yang kurang memuaskan, khususnya terhadap penumpang kelas ekonomi dan sering terjadinya kecelakaan kereta api di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, maka perkeretaapian di Indonesia tidak lagi memenuhi asas dan tujuan yang tercantum di dalam Undang-Undang Perkeretaapian. Dengan terjadinya kecelakaan kereta api, siapakah pihak yang harus bertanggung jawab atas. kerugian yang diderita oLeh korban dan bagaimanakah bentuk ganti rugi yang diberikan oleh PT. KAI kepada para korban/ahli waris korban. Selain itu, karena jumlah korban yang bersifat massal, apakah dapat juga diajukan gugatan class action. Jawaban atas ketiga permasalahan tersebut adalah dalam terjadinya kecelakaan kereta api, pihak yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh korban ada lah PT. KAI, Menhub RI, Menneg Pendayagunaan BUMN, dan Menteri Keuangan RI. Sedangkan bentuk ganti rugi yang diberikan oleh PT. KAI berupa santunan asuransi jasa raharja. Dan gugatan secara class action dapat diajukan oleh korban atau ahli waris korban kecelakaan kereta api kepada para pihak yang dapat dipertanggung jawabkan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21114
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simalango, Miliatewr
"Dalam hukum positif Indonesia, gugatan class action baru diakui sejak tahun 1997 melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Setelah undang-undang ini, tercatat ada 3 (tiga) Undang- Undang yang secara eksplisit mengakui mengenai gugatan class action yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Saat ini penerapan penggunaan mekanisme gugatan class action baru diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002 diatur bahwa wakil kelas tidak memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok dalam mengajukan gugatan di pengadilan. Ketentuan ini pada umumnya menjadi salah satu peluang bagi tergugat untuk mengajukan keberatan terhadap penggunaan mekanisme gugatan class action, dengan alasan dalam hukum acara perdata yaitu HIR yang kedudukannya setingkat undang-undang ditentukan bahwa untuk bertindak di pengadilan mewakili orang/pihak lain, maka harus ada surat kuasa khusus dari pihak yang diwakilinya. Dalam gugatan class action yang diajukan oleh korban tabrakan kereta api di Brebes tanggal 25 Desember 2001, pengadilan dengan tegas telah mengakui kedudukan para penggugat selaku wakil kelas dan telah mengadili perkara dengan menggunakan mekanisme gugatan class action.

In Indonesia's positive law, class action lawsuits have only been recognized since 1997 through Law Number 23 of 1997 concerning Environmental Management. After this law, there are 3 (three) laws that explicitly recognize class action lawsuits, namely Law No. 8/1999 on Consumer Protection, Law No. 18/1999 on Construction Services, and Law No. Number 41 of 1999 concerning Forestry. Currently, the application of the use of a class action lawsuit mechanism is only regulated in Supreme Court Regulation Number 1 of 2002. In PERMA Number 1 of 2002 it is regulated that class representatives do not require a power of attorney from group members to file a lawsuit in court. This provision is generally an opportunity for the defendant to file an objection to the use of the class action lawsuit mechanism, on the grounds that in civil procedural law, namely HIR whose position is at the level of the law, it is determined that to act in court on behalf of another person/party, a letter must be issued. special power of attorney from the party he represents. In the class action lawsuit filed by the victims of the train crash in Brebes on December 25, 2001, the court has firmly acknowledged the position of the plaintiffs as class representatives and has tried the case using a class action lawsuit mechanism."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25700
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Hutapea, Anthony L.P.
Depok: Universitas Indonesia, 2001
TA3764
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Myra Rosana B. Setiawan
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
TA3541
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwiana Anugrahwati
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T36642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>