Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 208823 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
M. Nurachman Adikusumo
"Menahan ataupun menangkap seseorang merupakan tindakan dari penguasa yang "menghilangkan kebebasan bergerak" seseorang. Di dalam suatu negara hukum kebebasan bergerak merupakan hak asasi yang pokok bagi setiap warga negara. Walaupun harus diakui bahwa menurut Hukum Acara Pidana menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak merupakan asas ataupun suatu keharusan, namun ada kalanya, demi kepentingan dan di dalam usaha dan ikhtiar guna menemukan kebenaran yang hakiki dari suatu peristiwa kebebasan bergerak dari seseorang individu perlu dibatasi.
Secara universal telah diakui bahwa perlindungan terhadap masyarakat tidak dapat dikorbankan untuk keinginan yang berlebihan terhadap pembelaan hak kebebasan individu. Tidak juga dapat disangkal bahwa untuk tujuan preventif penahanan sangat diperlukan jika tersangka/terdakwa dalam segala kemungkinannya mempengaruhi saksi, menghilangkan barang bukti atau menggangu proses pemeriksaan atau mengulangi kejahatan.
Walaupun demikian perlu juga diakui bahwa kejahatan seharusnya dicegah dengan ancaman pemidanaan sebagai vonis akhir daripada penahanan sementara, bagaimanapun penahanan bukanlah vonis akhir. Hal ini adalah menghindari segala kemungkinan dari pencegahan terhadap penangkapan atau penahanan yang sewenang-wenang atas dasar tujuan yang preventif tersebut.
Suatu ketika seseorang tersangka/terdakwa yang telah ditangkap dan ditahan berdasarkan surat perintah atau persangkaan yang dituduhkan terhadapnya, maka menjadi pertanyaan adalah kapankah tersangka/terdakwa tersebut dapat dibebaskan sementara menunggu proses persidangannya. Dalam sistem hukum commmon law dikenal Pretrial release yang pada mulanya dikenal sebagai pembebasan atas "bail" atau jaminan, memudahkan untuk mempersiapkan pembelaan dan mencegah kemungkinan dari penahanan terhadap orang yang tidak bersalah. Sebagaimana dalam hukum acara pidana Indonesia dikenal pula dengan penangguhan penahanan yang diatur dalam Pasal 31 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Hasil penelitian menunjukan bahwa subyektifitas kewenangan yang dimiliki penegak hukum dalam pemberian penangguhan penahanan bagi tersangka atau terdakwa adalah menjadi dasar hukum untuk menjalankan sesuai dengan apa yang diatur dalam undang-undang maupun untuk melakukan penafsiran (pertimbangan) tersendiri, namun akibat ketidakjelasan dan ketiadaan hukum yang mengatur secara lebih lanjut pada akhirnya dapat menimbulkan tujuan yang tidak jelas karena tidak adanya standar prosedur pertimbangan yang jelas.
Berdasarkan latar belakang keperluan penahanan maka penulis mengkaji sejauhmana kemungkinan penangguhan penahanan dalam perspektif penegak hukum kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebagai subsistem dalam proses peradilan pidana, sehingga dengan kejelasan dari dua variabel yang berlawanan ini diharapkan akan dipahami secara jelas batasan-batasan keperluan penahanan dan penangguhan penahanan dalam kerangka due process of law serta memberikan pemecahan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk merasionalisasikan keperluan penggunaan penangguhan penahanan dalam proses peradilan pidana di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15554
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yennie Krishnawati Milono
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
T36457
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Selamat Sibagariang
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kadri Husin
"Hak-hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP sejalan dengan pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM). Berdasarkan demikian seorang tersangka/terdakwa tidak dapat dianggap bersalah sebelum dinyatakan oleh keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan pasti. Perlindungan tersangka/terdakwa dari kesewenangan penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus dapat dilaksanakan dalam peradilan pidana. Namun kesenjangan hak tersangka/terdakwa dapat terjadi baik secara normatif maupun secara empiris, hal ini dapat disebabkan rumusan undang-undang yang tidak jelas, atau persepsi penegak hukum dan pencari keadilan yang berbeda terhadap hak tersebut. Oleh karena itu masalah penelitian adalah :
1. Apkah terdapat kesenjangan hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP?.
2. Bagaimana kesenjangan hukum secara empiris hak-hak tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana di Propinsi Lampung?.
3. Pada tingkat proses peradilan manakah kesenjangan hak tersangka/terdakwa paling banyak terjadi.
Penelitian normatif dan empiris dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hakhak tersangka/terdakwa dan para penegak hukum serta pencari keadilan dalam proses peradilan pidana di wilayah Pengadilan Tinggi Propinsi Lampung, menghasilkan data bahwa secara normatif dan empiris terdapat kesenjangan mengenai hak tersangka/terdakwa baik dalam KUHAP maupun dalam pelaksanaan penerapan hak tersebut.
Kesimpulan kesenjangan hak tersangka/terdakwa secara normatif, karena tidak konsisten perumusan hak yang ada dalam KUHAP. Hal lain adalah disebabkan penggunaan bahasa yang tidak jelas dalam rumusan hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP menyebabkan perbedaan persepsi di kalangan penegak hukum maupun dari pencari keadilan terhadap hak tersangka/terdakwa. Kesenjangan hak-hak tersangka terdakwa secara empiris terjadi dalam seluruh tahap pemeriksaan peradilan pidana baik pemeriksaan penyidikan, pemeriksaan penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan. Kesenjangan yang paling banyak terjadi dalam pelaksanaan penerapan hak-hak tersangka/terdakwa terjadi pada proses praadyudikasi.
Saran yang diajukan adalah :
1. Mengurangi atau menghilangkan kesenjangan secara normatif mengenai hak tersangka/terdakwa dengan mengadakan peninjauan kembali KUHAP.
2. Meningkatkan kemampuan profesional para penegak hukum, maupun kesadaran hukum masyarakat pencari keadilan secara memadai.
3. Mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu dalam proses peradilan pidana dengan menumbuhkembangkan sikap batin antara penegak hukum untuk menghargai dan melaksanakan secara benar hak-hak tersangka/terdakwa sebagai komitmen terhadap negara hukum dan negara demokrasi.

It is understood that the rights of the suspect/ accused in the KUHAP are parallel with the declaration/acknowledgement of human right. Based on that a suspect/accused should not be considered guilty before it is officially decided as a final verdict. Protection of the suspect/accused from law enforcement officials cruelty in conduction their duties and authorities should be established in criminal justice. However, discrepancy between rights of the suspect/accused could occur bath normatively as well as empirially due to unclear formulation of law or perception differences on that right between law enforcement officials and justice seekers.
Therefore, the problems of this research are :
1. Is there any discrepancy within the rights of the suspect/accused in the KUHAP?.
2. How is law discrepancy of the rights of the suspect/ accused within the process of criminal law in Lampung empirically?.
3. In what level of law process is the discrepancy of right of the suspect/accused mostly occured?.
Research is carried out normativelly toward regulation of laws concerning rights of the suspect/accused, law enforcement officials, as well as justice seekers within the process of criminal law in Lampung Provincial. High Court shows that both normatively and empirically there are discrepancies concerning the rights both in the KUHAP and in the implementation of the establishment of rights. It can be concluded that normatively the discrepancy of the rights in the KUHAP. The unclarity of the language used in the formulation of the rights in the KUHAP also causes various perceptions among law enforcement officials and justice seekers concerning the rights.
Discrepancies of rights of the suspect/accused emprically occures within all the stages of crimial justice investigations, in spot/close investigations, prosecutions, and hearings. The greatest number of discrepancies concerning the implementation of the establishment of rights of the suspect/accused occur during the prejudiciary process.
To overcome the situation some suggestions are recommended, namely :
1. Decreasing or eliminating the discrepancies concerning rights of the suspect/accused normatively by reevaluating the KUHAP.
2. Increasing the professional skills of the law enforcement officials, and the law awareness of the justice seekers' society appropriately.
3. Establishing integrated criminal justice system within the criminal justice process by developing a certain inner attitude among the law enforcement officials which respects and is willing to establish correctly rights of the suspect/accused as a commitment toward a lawful and democratic country.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
D96
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Joyo Supeno
"Secara universal pada dekade ini penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia semakin tinggi, namun pada ruang lingkup yang kecil (sistem peradilan pidana) masih terdapat pihak yang belum diperhatikan kedudukan dan peranannya, yaitu korban tindak pidana kejahatan. Korban tindak pidana kejahatan konvensional
pada hakekatnya mempunyai hak dan kewajiban dalam sistem peradilan pidana, sebagaimana yang dirumuskan secara
konstitusional dalam Pasal 27 Undang Undang Dasar 1945,
secara idiologis tercermin dalam nilai-nilai dari sila-sila Pancasila dan secara moral terumuskan dalam Declaration of Human Rights, Declaration o f Basic Principles o f J u s t i c e for Yictims o f Crime and Abuse o f Power dan I n t e r n a t i o n a l Covenant on Civil and Political Rights. Namun secara yuridis-formal kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan masih belum diperhatikan secara optimal, bahkan para ilmuwan Hukum Pidana dan Kriminologi secara
sinis mengatakan, bahwa korban tindak pidana kejahatan merupakan pihak yang terlupakan. Perundang-undangan pidana Indonesia (KUHP dan KUHAP) lebih banyak mengatur kepentingan hukum tersangka/terdakwa dan fungsionalisasi tanggungjawab aparat peradilan pidana. Kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan dalam sistem peradilan pidana hanya sebagai pelapor/pengadu dan saksi. Kepentingan hukumnya sebagai pihak yang dirugikan (pencari keadilan) hanya terumuskan dalam Pasal 14 c KUHP dan Pasal 98 ayat (1) KUHAP, itu pun tidak pernah terealisasi. Ada suatu kondisioning yang berpengaruh terhadap kondisi korban tindak pidana kejahatan, yaitu pertama, perundang-undangan yang belum jelas dan tegas, meskipun ada indikasi diperhatikannya korban tindak pidana kejahatan dalam Konsep Rancangan KUHP 1987/1988, namun masih perlu dilakukan reorientasi, reevaluasi dan reformasi
terhadap hukum formil (KUHAP). Kedua, belum optimalnya realisasi tanggung jawab hukum dan moral aparat peradilan pidana terhadap upaya pemulihan penderitaan korban tindak pidana kejahatan. Ketiga, masih rendahnya partisipasi masyarakat, baik secara individu maupun secara kolektif. Akibatnya dengan kondisi tersebut diperlukan pembaharuan hukum melalui kebijakan hukum pidana yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak meninggalkan
nilai-nilai hukum dan keadilan."
Jakarta: Universitas Indonesia, 1993
T36430
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Bismar, 1928-2012
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1980
345.08 SIR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Maidin
"Protection of children's rights in Indonesian laws related to criminal cases."
Bandung: Refika Aditama, 2013
346.013 GUL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Sutisna
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1984
S21693
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>