Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175854 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Kadir Sangadji
"Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, diberikan kewenangan khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai untuk melakukan serangkaian tindakan penyidikan atas tindak pidana dibidang Cukai. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bea dan Cukai dapat melakukan penahanan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Cukai, namun kewenangan yang dimiliki PPNS Bea dan Cukai hanya terdapat dalam tindak pidana yang diatur secara limitatif dalam pasal 63 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan kewenangan kepada penyidik Polri untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana berdasarkan rumusan Pasal 7 ayat (1) dan (2) KUHAP. Hubungan kerja antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bea dan Cukai dengan Penyidik Polri adalah sebagai hubungan koordinasi dan pengawasan, pemberian petunjuk dan bantuan, laporan dimulainya penyelidikan dan penghentian penyidikan. Dalam melakukan serangkaian penyidikan penyidik Polri lebih banyak berperan memberikan petunjuk dan melakukan pengawasan terhadap penyidikan tindak pidana Cukai.
Pada kenyataan di lapangan masih saja terjadi penerapan hubungan dan kedudukan yang tidak tepat antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana Cukai. Demikianlah yang terjadi pada penahanan dalam kasus tindak pidana pemalsuan pita Cukai terhadap tersangka Ny. Erni Rusdiana, pada tahap penyidikan di Polri tersangka sudah ditahan sampai batas waktu maksimal penahanan, kemudian Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan penahanan kembali terhadap tersangka dalam tindak pidana yang sama, seharusnya tersangka tidak boleh dilakukan penahanan kembali lagi karena tersangka pada tahap penyidikan di Polri sudah dilakukan penahanan selama 120 (seratus dua puluh) hari. Akibat hukum dari penahanan kembali oleh PPNS Bea dan Cukai menimbulkan penahanan yang tidak sah. Terhadap penahanan yang tidak sah tersebut, tersangka Erni Rusdiana melakukan upaya hukum Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22285
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Tindak Pidana Kepabeanan merupakan suatu tindak pidana
khusus yang diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), yaitu dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan juga telah mengatur kewenangan
penyidikan suatu tindak pidana kepabeanan yang secara
khusus diberikan kepada penyidik pegawai negeri sipil
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Undang-Undang Kepabeanan
pun mengatur kewenangan penyidikan suatu tindak pidana
kepabeanan dimungkinkan untuk beralih kepada penyidik POLRI
apabila terpenuhi syarat keadaan tertentu yang disebutkan
dalam peraturan kepabeanan terkait. Pada dasarnya sebagai
penyidik pegawai negeri sipil, keberadaan penyidik pegawai
negeri sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak
terlepas dari pengawasan dan koordinasi dengan penyidik
POLRI. Namun mengingat penyidik pegawai negeri sipil
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah dilengkapi
kewenangan untuk dapat melakukan upaya paksa penangkapan,
penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, maka penyidik
POLRI tidak banyak terlibat langsung dalam proses
penyidikan di lapangan, terkecuali apabila kewenangan
penyidikan telah beralih kepada penyidik POLRI. Penyidik
POLRI akan lebih banyak berperan memberikan petunjuk dan
melakukan pengawasan terhadap penyidikan tindak pidana
kepabeanan. Pada kenyataannya, di lapangan masih saja
terjadi penerapan hubungan dan kedudukan yang tidak tepat
antara penyidik pegawai negeri sipil Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai serta penyidik POLRI, dalam penyidikan tindak
pidana kepabeanan. Demikianlah yang terjadi pada penyidikan kasus tindak pidana kepabeanan atas tersangka Abdul Waris Halid."
Universitas Indonesia, 2006
S22291
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Krisna Dwi Astuti
"Tindak Pidana Kepabeanan merupakan tindak pidana yang mempunyai karakter tersendiri yang mempunyai akibat sama bahayanya dengan tindak pidana korupsi, karena mempunyai dampak yang sangat besar baik dapat merugikan keuangan negara maupun perekonomian negara yaitu dapat mematikan industri dalam negeri. Oleh karena itu tindak pidana penyelundupan memerlukan penanganan yang khusus untuk menindak para pelakunya. Kewenangan untuk menyidik terhadap tindak pidana kepabeanan tersebut sebelumnya berada di tangan Kejaksaan RI. Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan kewenangan tersebut beralih ke tangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bea dan Cukai diberikan kewenangan khusus untuk menyidik baik tindak pidana maupun pelanggaran kepabeanan termasuk tindak pidana penyelundupan. Pemberian kewenangan dalam UU No. 10 Tahun 1995 tersebut merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pasal 6 ayat (1). Kemudian kewenangan tersebut dipertegas dengan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai. Sehingga dengan ini kedudukan PPNS Bea dan Cukai berada pada lini terdepan untuk menangkap Serta menindak setiap tindak pidana kepabeanan yang terjadi. Dalam perjalanannya pelaksanaan kewenangan penyidikan tersebut mendapat permasalahan baik dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran pasal-pasal dalam IH] Kepabeanan maupun dalam hal melakukan koordinasi dengan penyidik dari instansi lainnya. Hal ini terjadi karena terjadi tumpang tindih pada pasal-pasal dalam UU Kepabeanan maupun tumpang tindih pada peraturan yang mengatur mengenai kewenangan menyidik tersebut, juga dalam hal koordinasi antar lembaga baik dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maupun dengan instansi lain di luar DJBC. Sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penerapannya dan berdampak pada penegakan hukumnya. Rancangan Undang-Undang Kepabeanan pada saat ini telah disusun untuk mengatasi Salah satu masalah tersebut, diantaranya dengan memperluas pengertian/cakupan penyelundupan dengan tujuan untuk lebih dapat menjerat setiap tindak pidana kepabeanan yang terjadi. Hal ini akan berakibat pada makin besarnya tugas Serta tanggungjawab dari PPNS Bea dan Cukai. Oleh karena itu diperlukan juga pembaharuan pejabat yang berwenang untuk. menyidik tindak pidana kepabeanan tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16418
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nikmah Rosidah
"Penelitian bermaksud melakukan pengkajian mengenai manfaat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam penegakan peraturan daerah (perda) dalam kaitannya dengan keberadaan PPNS sebagai suatu subsistem dari sistem peradilan pidana (criminal justice system), kemudian mengadakan perbandingan manfaat PPNS tersebut pada beberapa pemerintah daerah. Permasalahan penelitian ini adalah mengenai manfaat PPNS dalam penegakan hukum terhadap perda dan perbandingannya antara Propinsi Dati I Lampung dengan DI Yogyakarta dan Dati I Jawa Tengah, serta faktor yang mendukung dan menghambat manfaat PPNS dalam penegakan perda. Penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan sosio-legal. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian lapangan dan kepustakaan dengan instrumen daftar pertanyaan (kuesioner), wawancara (intervieu), dan dokumen. Analisis data dilakukan digunakan analisis kualitatif.
Kesimpulan dari penelitian adalah (1) Keberadaan PPNS sangat diperlukan dalam penegakan hukum pidana, khususnya dalam lingkup bidang tugasnya yang bersifat spesifik dan teknis. (2) Manfaat PPNS dalam penegakan perda terlihat dari adanya peningkatan kepatuhan masyarakat terhadap perda serta efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan peradilan pidana. (3) Untuk mencapai manfaat yang optimal dari PPNS, diperlukan adanya dua macam pola pelaksanaan kegiatan PPNS yang meliputi Pola Pelaksanaan Pembinaan dan Operasi Penegakan Perda oleh PPNS di lingkungan pemerintah daerah. Pada Pemerintah Dati I Lampung dan Pemerintah Dati I Jawa Tengah pola pelaksanaan pembinaan dan operasi tersebut kurang diatur sehingga manfaat PPNS kurang berjalan sebagaimana mestinya. Adapun pada Pemerintah DI Yogyakarta diatur kedua pola tersebut, sehingga menghasilkan penegakan perda yang efektif dan efisien. (4) Faktor penghambat penegakan perda oleh PPNS adalah: Adanya keterbatasan wewenang PPNS, kurangnya dukungan atasan terhadap PPNS, kurangnya perencanaan, koordinasi dan petunjuk-petunjuk teknis operasional, kurangnya penguasaan mengenai penyidikan, kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang operasional PPNS, terbatasnya jumlah PPNS, dan PPNS tidak/belum mendapat tunjangan khusus, (5) Faktor pendukungnya adalah adanya legitimasi hukum terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang PPNS dan adanya koordinasi dan pengawasan dari Penyidik Polri terhadap PPNS di lingkungan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penyidikan dalam rangka penegakan hukum pelanggaran perda."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Meiber Oloan
"Tindak Pidana Kepabeanan adalah merupakan tindak pidana khusus yang memerlukan keahlian yang khusus pula untuk dapat membuat terang suatu tindak pidana kepabeanan yang terjadi. Batasan dari suatu tindak pidana yang merupakan tindak pidana kepabeanan diatur dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Terdapat penyimpangan dalam mekanisme penyidikan tindak pidana kepabeanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995 dengan mekanisme penyidikan yang diatur dalam KUHAP. Dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995, kewajiban pemberitahuan dimulainya penyidikan atau dihentikannya penyidikan disampaikan langsung kepada Penuntut Umum, sedangkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kewajiban pemberitahuan tersebut harus melalui Penyidik Polri. Dalam Prakteknya, terdapat perbedaan penafsiran atas pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana kepabeanan, yaitu antara Pegawai Bea dan Cukai sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur pada Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995 dengan kewenangan Penyidik Polri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Sesuai dengan azas Lex Specialis derogat legi generalis, maka mekanisme penyidikan tindak pidana kepabeanan dan kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana kepabeanan dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995. Dengan adanya suatu kepastian hukum terhadap pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana kepabeanan, maka diharapkan pengungkapan terhadap suatu tindak pidana kepabeanan yang terjadi dapat dilaksanakan dengan cepat, murah, efisien dan sederhana, yang pada gilirannya akan menciptakan suatu tertib hukum di masyarakat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudi Kurniawan
"Mekanisme hubungan kerja antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik Poiri dalam proses penyidikan tindak pidana telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Hubungan kerja tersebut meliputi pemberitahuan dimulainya penyidikan, pemberian petunjuk, bantuan penyidikan (berupa bantuan teknis, bantuan taktis atau bantuan upaya paksa), penyerahan berkas perkara, penyerahan tersangka dan barang bukti, penghentian penyidikan, serta pelimpahan proses penyidikan tindak pidana. Dalam praktek di lapangan, hubungan kerja tersebut seringkali tidak berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga menjadi penghambat dalam proses penyidikan tindak pidana.
Tesis ini bertujuan untuk menunjukkan aplikasi hubungan kerja penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik Polri dalam proses penyidikan tindak pidana yang terjadi selama ini. Fokus tesis ini adalah hubungan kerja dalam bentuk koordinasi dan pengawasan terhadap penyidik pegawai negeri sipil yang dilakukan oleh penyidik Polri pada Seksi Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan menerapkan beberapa teknik pengumpulan data berupa pengamatan, wawancara dengan pedoman, dan kajian dokumen. Metode tersebut dipilih karena sifat dari masalah penelitian ini memerlukan pendalaman di mana peneliti harus memusatkan perhatiannya pada konteks yang dapat membentuk pemahaman mengenai fenomena yang diteliti.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan kerja dalam bentuk koordinasi dan pengawasan terhadap penyidik pegawai negeri sipil yang dilakukan oleh penyidik Polri dalam proses penyidikan tindak pidana belum seluruhnya berjalan dan bahkan ada yang tidak berjalan sama sekali, sebagaimana yang telah diatur dalam perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa aplikasi hubungan kerja tersebut telah menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang ada. Hal ini disebabkan adanya perbedaan batas-batas kewenangan yurisdiksi dari masing-masing aparat penegak hukum, tidak efisiennya koordinasi dan pengawasan yang dilakukan penyidik Poiri terhadap penyidik pegawai negeri sipil, adanya perbedaan persepsi-dari instansi lain terhadap penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik Polri, dan tidak adanya ketentuan mengenai penjatuhan sanksi terhadap penyimpangan hubungan kerja yang telah diatur dalam perundang-undangan tersebut.
Implikasi dari tesis ini adalah perlunya perubahan terhadap ketentuanketentuan yang mengatur tentang mekanisme hubungan kerja antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik Polri agar tidak menghambat proses penyidikan tindak pidana dan tidak menyimpang dari ketentuan perundangundangan.
Daftar Kepustakaan : 22 buku + 18 perundang-undangan + 3 bacaan dari internet + lampiran-lampiran."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rachmawati
"Masalah illegal logging adalah masalah yang yang harus dicermati dan diberi perhatian khusus. Selain dampaknya yang luar biasa terhadap lingkungan dan kehidupan manusia dalam jangka panjang, juga keterlibatan pelaku yang sangat banyak. Dampak kerusakan hutan yang terjadi akan menimbulkan kurang tertahannya resapan air tanah oleh pohon-pohon di kawasan hutan sehingga dapat menyebabkan tanah longsor. Dampak lain juga terhadap habitat hutan yang apabila tidak sesuai dengan penggunaannya dapat penghilangkan spesies yang dilindungi. Jika ditinjau dari keterlibatan pelaku, maka yang berkontribusi dalam tindak pidana illegal logging sangatlah banyak, dari penduduk lokal yang menyediakan jasa pemotongan dan pembukaan lahan, penyedia jasa angkutan berupa truk dan kapal sampai indikasi keterlibatan aparat dalam mengeluarkan ijin. Hal itu membuat sulitnya memberantas tindak pidana illegal logging sampai keakar-akarnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dan sejauh mana hubungan antara penyidik Polri dan penyidik pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam tindak pidana illegal logging menurut peraturan perundang-undangan. Hal ini berkaitan dengan fungsi penyidik yang sangat penting dalam penanggulangan tindak pidana illegal logging. Adanya 2 (dua) aparat yang memiliki kewenangan yang sama dalam melakukan penyidikan membuat adanya kerancuan dalam hal tugas dan kewajiban siapakah untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana illegal logging. Kewenangan khusus yang telah diberikan undang-undang Kehutanan kepada penyidik PPNS ternyata tidak menjadikan penyidik PPNS berperan lebih daripada penyidik Polri. Dalam penanganan proses penyidikan illegal logging, penyidik Polri tetap mendapat porsi besar untuk melakukan penyidikan."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2007
S22419
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah hak yang timbul bagi
hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau
proses yang berguna untuk manusia. HKI merupakan hak yang
perlu dilindungi karena adanya hak alami bagi pemegang HKI
yang sah untuk mendapatkan perlindungan atas hasil
pemikiran serta daya ciptanya. Selain itu, perlindungan
terhadap HKI diperlukan karena dalam bidang ekonomi, HKI
merupakan bagian dari investasi di masa depan. Akan tetapi,
penegakan hukum atas HKI di Indonesia masih lemah yang
menyebabkan tingginya tingkat pelanggaran HKI. Permasalahan
yang sering menjadi sorotan karena dianggap penyebab
lemahnya penegakan hukum adalah tidak adanya kesamaan
persepsi antar instansi serta aparat yang terkait dengan
penanganan pelanggaran HKI. Padahal, persamaan persepsi
tersebut diperlukan dalam hal melakukan koordinasi antar
lembaga yang terkait dengan penegakan hukum HKI. Apalagi,
tindak pidana HKI yang terjadi saat ini tidak murni
merupakan tindak pidana HKI sehingga diperlukan adanya
koordinasi antar lembaga. Koordinasi tersebut tentu saja
memiliki mekanisme dan kendala-kendala khusus. Adanya
koordinasi antar lembaga dalam hal penegakan hukum HKI juga
menyebabkan penanganan kasus tindak pidana HKI berbeda
dengan tindak pidana lainnya. Hal ini terlihat dalam
penanganan kasus penyelundupan CD keping Playstation
bajakan dan penyelundupan merek Marlboro palsu."
Universitas Indonesia, 2008
S22027
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heidi Melissa
"Kenaikan harga obat-obatan akibat melemahnya Rupiah terhadap dolar mengundang para sindikat pemalsu obat bergerilya untuk membuat produk palsu. Masalah obat palsu di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-undang Kesehatan, Peraturan Pemerintah tentang Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dan beberapa peraturan lain. Untuk menangani peredaran obat palsu di Indonesia, diperlukan keterlibatan pihak pemerintah seperti Departemen Kesehatan, Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan, Kepolisian, dan pihak-pihak lain yang bersangkutan. Dalam Undang-undang Kesehatan, guna melindungi masyarakat dan menegakkan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan obat, maka ditunjuk penyidik selain penyidik pada tindak pidana umumnya. Penyidik yang dimaksud adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil Departemen Kesehatan. Akan tetapi dengan timbulnya Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 yang diganti dengan Keputusan Presiden No. 105 Tahun 2001, maka Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan berubah menjadi Badan Pengawas Obat Dan Makanan, yaitu sebuah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan langsung di bawah Presiden dan tidak lagi menjadi bagian dari Departemen Kesehatan. Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pemalsuan obat masih banyak mengalami kesulitan, antara lain kedudukannya yang dianggap tidak memiliki dasar hukum. Masih banyaknya para pelaku pemalsuan obat yang tidak dihukum atau dipidana dengan hukuman yang sangat ringan, juga menjadi penyebab maraknya tindak pidana pemalsuan obat di Indonesia. Oleh karenanya, dalam skripsi ini mencoba membahas bagaimana tugas dan kewenangan pejabat Badan Pengawas Obat Dan Makanan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan penyidikan tindak pidana pemalsuan obat, dengan contoh kasus tindak pidana pemalsuan obat yang dilakukan oleh terdakwa Doris Leman."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>