Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 206430 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Najwa Shihab
Depok: Universitas Indonesia, 2000
S22083
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kasiati Sulistio
"Pada umumnya hakim menganggap bahwa tugas dan
tanggungjawabnya telah berakhir dengan diputusnya suatu
perkara pidana. Padahal pada tahap selanjutnya pengadilan
masih memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk
mengendalikan putusannya dengan melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan pidana yang harus dijalani oleh
terpidana. Pengawasan dan pengamatan putusan hakim yang
dlakukan oleh hakim ini merupakan lembaga baru dalam hukum
acara pidana di Indonesia yang terdapat dalam pasal 277-283
KUHAP. Semula hal ini dicantumkan dalam Undang–Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman Pasal 33 ayat (2). Dengan adanya
ketentuan tentang pengawasan hakim terhadap pelaksanaan
putusan maka kesenjangan (gap) yang ada antara apa yang
diputuskan hakim dan kenyataan dan pelaksanaan pidana di
lembaga pemasyarakatan dan di luar lembaga pemasyarakatan
jika terpidana dipekerjakan di situ dapat dijembatani.
KUHAP telah mengatur mengenai hakim pengawas dan pengamat,
namun tidak menjelaskan secara rinci mengenai prosedur,
tugas dan wewenang dari hakim pengawas dan pengamat. Pada
saat ini pun peran hakim pengawas dan pengamat belum
sepenuhnya berjalan. Pada tahun 2006 terdapat kasus yang
menimpa Agus Mulyadi Putera di Padang, Sumatera Barat. Agus
Mulyadi Putera adalah seorang anak berusia 14 tahun yang
mendapat hukuman pidana penjara selama 3 bulan, namun pada
kenyataannya ia menjalani hukuman selama satu tahun tiga
bulan. Para pihak yang terlibat dalam proses eksekusi yaitu
jaksa, petugas lembaga pemasyarakatan dan hakim pengawas
dan pengamat masing-masing melempar kesalahan pada pihak
yang lain. Penulisan ini merupakan analisis mengenai peran
hakim pengawas dan pengamat dalam memberi perlindungan
terhadap terpidana anak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22427
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Reny R. Masu
"Sistem peradilan pidana yang terdiri dari sub-sub sistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan merupakan satu jaringan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Jaringan ini terdiri atas unsur-unsur yang memiliki interaksi, interkoneksi dan interdependensi. Namun, setiap subsistem hanya dapat berfroses jika digerakkan oleh komponen-komponen dalam subsistem tersebut. Salah satu komponen subsistem yang memiliki kedudukan sentral adalah pengadilan yang bert.ugas mengadakan pemeriksaan perkara pidana dan juga mengadakan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan. Peran dan tanggung jawab sebagai hakim wasmat merupakan kelanjutan dari putusan yang telah dijatuhkannya dalam persidangan. Dalam hal ini, hakim wasmat mengikuti putusannya sampai mengetahui bahwa pidana yang telah dikenakan kepada napi dapat bermanfaat dan apakah pelaksanaan pembinaan terhadap napi didasarkan kepada hak-hak asasi napi, yang ditujukan demi tercapainya tujuan sistem peradilan pidana umumnya dan khususnya agar napi tidak melakukan kejahatan lagi. Hal lain yang tampak dalam pengaturan mengenai hakim wasmat adalah bahwa hakim wasmat merupakan penghubung antara subsistem pengadilan dan subsistem pemasyarakatan. Jika tidak ada hakim wasmat, LP tidak termasuk atau terlepas dari proses peradilan pidana berdasarkan hukum acara pidana di Indonesia. Dikatakan demikian karena satusatunya bab yang mengatur keberadaan LP di dalam proses peradilan pidana di Indonesia adalah Bab XX Pasal 277-283 KUHAP di bawah titel pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan. Selain pengawasan kepada petugas LP, juga pengawasan ditujukan kepada jaksa sebagai eksekutor untuk mengetahui apakah jaksa telah melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana mestinya. Dengan memperhatikan peran dan tanggung jawab serta tujuan yang ingin dicapai melalui hakim wasmat seperti di atas, maka tampak bahwa keberadaan hakim wasmat sangatlah penting dan mulia sehingga tidak dapat dikesampangkan begitu saja. Tujuan tersebut dapat dicapai jika hakim pengawas dan pengamat dapat berperan secara efektif. Berdasarkan metode wawancara dan observasi penulis memperoleh data bahwa pada kenyataannya, hakim wasmat belum melaksanakan perannya secara efektif dalam hal ini ia terbentur dengan pemahaman bahwa kehadirannya mengintervensi LP dan kenyataan bahwa LP secara langsung maupun melalui UU No. 12 tahun 1995, tidak menghendaki campur tangan hakim wasmat dalam masalah-masalah teknis pelaksanaan pembinaan napi termasuk dalam hal ini mengadakan kontrol maupun koreksi terhadap lembaga pemasyarakatan. Adapun masalah lain yang dihadapi oleh hakim wasmat adalah belum adanya peraturan pelaksanaan dalam melaksanakan peranannya, kurangnya fasilitas dan terbatasnya tenaga hakim wasmat serta tidak adanya dana operasional dalam melaksanakan tugasnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stacia Faustine
"Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bersifat independen sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Independensi hakim juga termasuk kebebasan untuk membuat hukum dalam putusannya (juga dikenal sebagai hukum yang dibuat hakim atau pembuatan hukum yudisial) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peran dari hakim dalam pembuatan hukum yudisial semakin penting ketika hukum tidak jelas atau tidak lengkap. Peraturan pertanggungjawaban pidana perusahaan memiliki hubungan yang erat ketika itu sampai pada pembuatan hukum yudisial karena belum diatur dalam Pidana Indonesia Kode (KUHP). Penerimaan perusahaan sebagai subjek kriminal dan karenanya dapat pertanggungjawaban pidana yang terjadi secara bertahap dan simultan dalam tiga tahap dalam berbagai hukum di luar KUHP. Sehubungan dengan tindak pidana korporasi, para hakim di Pengadilan Tinggi Kasus Suwir Laut (2012) dan Indar Atmanto (2014) menjatuhkan sanksi pidana terhadap pihak yang tidak dikenakan biaya, yaitu Asian Agri Group dan PT. IM2, masing-masing. Itu keputusan dua kasus kriminal perusahaan telah mencapai tingkat kasasi dan memiliki kekuatan hukum permanen. Pada tahun 2017 dan 2018, Mahkamah Agung Indonesia mengeluarkan a pernyataan bahwa dua putusan, di mana perusahaan tidak dituntut tetapi dihukum, sebagai a bentuk pembuatan hukum yudisial. Penelitian ini berfokus pada dua perusahaan sebelumnya kasus pidana ketika dikaitkan dengan wewenang hakim untuk pembuatan hukum peradilan, peraturan mengenai pertanggungjawaban pidana perusahaan di Indonesia jika dibandingkan dengan Belanda dan Indonesia Inggris Raya, dan menganalisis pembuatan hukum peradilan oleh hakim dalam setiap kasus. Ini Penelitian adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode yuridis normatif, disertai dengan a pendekatan komparatif. Hasil penelitian pada kedua kasus menunjukkan bahwa ketidakjelasan dan ketidaklengkapan undang-undang di Indonesia telah mendorong hakim untuk membuat hukum dalam keputusan mereka ketika dihadapkan dengan kasus-kasus kejahatan perusahaan. Namun, hakim yang dibuat hukum dalam kasus pidana memiliki batasan dalam bentuk prinsip legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan pembatasan mayor-minor. Pengenaan keputusan pidana terhadap perusahaan yang bahkan tidak didakwa adalah hasil tidak hanya dari ketidakjelasan dan kekosongan hukum terkait dengan tindakan kriminal perusahaan, tetapi juga dari hakim kurangnya pemahaman dalam tanggung jawab pidana perusahaan dan adanya batasan pada pembuatan hukum yudisial itu sendiri. Hal ini menyebabkan para hakim akhirnya melampaui batas peradilan pembuatan hukum. Pada akhirnya, vonis terhadap korporasi yang tidak dituntut bukan merupakan bagian pembuatan hukum yudisial.

Judges as executors of judicial power are independent as regulated in Article 24 paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Independence of judges also includes freedom to make laws in their decisions (also known as laws made by judges or judicial making) as referred to in Article 4 paragraph (1), Article 5 paragraph (1), and Article 10 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power. The role of judges in judicial lawmaking is increasingly important when the law is unclear or incomplete. The company's criminal liability regulations have a close relationship when it comes to making judicial law because it has not been regulated in the Indonesian Criminal Code (KUHP). The company acceptance as a criminal subject and therefore criminal liability that occur gradually and simultaneously in three stages in various laws outside the Criminal Code. In connection with corporate criminal acts, the judges in the High Court of the Suwir Laut Case (2012) and Indar Atmanto (2014) imposed criminal sanctions on parties who were not charged, namely the Asian Agri Group and PT. IM2, respectively. That decision of two criminal cases the company has reached the level of cassation and has permanent legal force. In 2017 and 2018, the Indonesian Supreme Court issued a statement that two decisions, in which the company was not prosecuted but were convicted, were a form of judicial law making. This research focuses on the two previous company criminal cases when linked to the judges authority to make judicial laws, regulations regarding criminal liability of companies in Indonesia when compared to the Netherlands and Indonesia Great Britain, and analyze judicial law making by judges in each case. This research is a qualitative research using normative juridical methods, accompanied by a comparative approach. The results of the research in both cases show that the unclear and incomplete laws in Indonesia have encouraged judges to make law in their decisions when faced with corporate crime cases. However, the judge made the law in a criminal case has limitations in the form of the principle of legality as regulated in Article 1 paragraph (1) of the Criminal Code and major-minor restrictions. The imposition of a criminal decision against a company which is not even charged is the result not only of obscurity and legal vacuum related to corporate criminal acts, but also from judges' lack of understanding of corporate criminal liability and limitations on the making of judicial law itself. This caused the judges to finally go beyond the judicial limits of lawmaking. In the end, a verdict against a corporation that is not prosecuted is not part of judicial law making."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Oeripah Sujanto
"ABSTRAK
Sejak lahirnya Orde Baru (tahun 1966) yang bertekad melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen perhatian maayarakat terhadap kehidupan hukum semakin meningkat. TAP MPR Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, dalam BAB IV tentang Pola Umum Pelita Keempat huruf D yaitu tentang hukum, direncanakan bahwa:
a. Pembangunan dan pembinaan hukum dalam negara hukum Indonesia didasarkan atas Pancasila dan UUD 1945.
b. Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat:
1. Memantapkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.
2. Menciptakan kondisi yang lebih mantap, sehingga setiap anggota dapat menikmati suasana serta ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan.
3. Lebih memberi dukungan dan pengamanan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran.
c. Dalam pembangunan.dan pembinaan hukum ini akan di lanjutkan usaha-usaha untuk
1. Meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum, dengan antara lain mengadakan kodifikasi serta unifikasit hukum di bidang-bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat.
2. Memantapkan kedudukan dan peranan badan-badan penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing.
3. Memantapkan sikap dan perilaku penegak hukum serta kemampuannya dalam rangka meningkatkan citra dan wibawa hukum serta aparat penegak hukum.
4. Meningkatkan penyelenggaraan bantuan hukum dan pemberian bantuan hukum bagi lapisan masyarakat yang kurang mampu.
5. Meningkatkan prasarana don sarana yang diperlukan untuk menunjang pembingunan bidang hukum.
Dalam rangka pembangunan hukum nasional TAP MPR Nomor II/MPR/1983 tereebut yang secara terperinci dituangkan dalam Repelita Keempat menjadi landasan dan tujuan setiap usaha pembaharuan hukum termasuk pembaharuan di bidang hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana dilakukan secara menyeluruh, yaitu harus meliputi pembaharuan hukum pidana materiil (substantif), hukum pidana formil (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana Straf vollstreckuengsgesetz.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadillah Sabri
"Dalam proses peradilan pidana ada satu lembaga Hakim Was-mat yang aktif sesudah putusan dijatuhkan, untuk mengendalikan pelaksanaan putusan Pengadilan yang dieksekusi Jaksa dan pelaksanaannya dalam Lembaga Pemasyarakatan, karena dalam pelaksanaan putusan itu dapat terjadi tertindasnya hak-hak terpidana atau narapidana, yaitu karena tindakan petugas dan yang timbul dalam Lembaga Pemasyarakatan yang bersifat menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Hakim Wasmat (diatur dalam Pasal 33 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970, Bab XX Pasal 277 s/d 283 KUHAP mengenai Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan, dan Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. No. 7 Tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat), tugasnya adalah mengontrol pelaksanaan putusan Pengadilan (pidana penjara dan kurungan) semenjak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap sampai selesai pelaksanaannya, dengan wewenangnya mengoreksi secara langsung aparat yang melalaikan atau menyimpang dari putusan yang telah dijatuhkan. Tujuan pengawasan dan pengamatan adalah untuk melindungi hak-hak terpidana atau narapidana. Penelitian yang dilakukan dengan metode wawancara dan observasi memperlihatkan bahwa Hakim Wasmat masih terbatas dalam melaksanakan kontrol, disebabkan terbatasnya hak-hak narapidana yang menjadi obyek kontrolnya, dalam pelaksanaannya tidak mau menyinggung aparat yang mengeksekusi dan petugas pemasyarakatan, dan adanya hambatan yang ditemuinya dalam praktek yaitu dari faktor hukum, petugas, fasilitas, dan aparat pelaksana putusan Pengadilan. Kontrol yang dilaksanakan tidak dibarengi dengan koreksi atau teguran secara langsung, tetapi hanya memberikan saran yang dimasukkan dalam Kartu Data Perilaku Narapidana dan laporannya kepada Ketua Pengadilan Negeri. Hakim Wasmat ini, dapat dikatakan tidak efektif dalam memberikan perlindungan atas hak-hak terpidana atau narapidana."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Farid
"ABSTRAK
Penduduk Sumatera Barat yang mayoritas masyarakat Minangkabau dikenal kuat berpegang kepada adat, tetapi dapat menerima perobahan norma yang disebabkan oleh pergantian penguasa yang lebih luas (negara). Aturan hukum yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau ada dua bentuk; aturan yang datang dari Tuhan (Islam) berupa Al-Quran dan Hadits, dan aturan adat yang juga terdiri dari dua unsur. Pertama yang bersifat esensial dan tidak dapat berobah, kedua yang dapat berobah dalam bentuk hasil mufakat rapat nagari. Dengan demikian aturan adat Minangkabau terdiri dari bentuk adat, adat istiadat, adat yang diadatkan, adat yang teradat. Adat adalah bentuk asli yang tidak dapat berobah seperti sistem garis keturunan nasab ibu, peran penghulu dan mamak, pembagian nagari menjadi suku, dan hukum alam sebagai dasar falsafah adat Minangkabau. Adat istiadat, adalah kebiasaan masyarakat untuk wilayah tertentu dalam wilayah Minangkabau, seperti aturan-aturan yang bersifat seremonial. Adat yang diadatkan, adalah sesuatu yang datang dari pemerintah (negara) atau pemerintah daerah, seperti peraturan luhak dan rantau yang kemudian dirobah oleh Pemerintah Kolonial Belanda menjadi peraturan kelarasan. Adat yang teradat, adalah aturan berupa hasil kesepakatan rapat nagari. Di sini jelas bahwa aturan yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau cukup bervariasi; hukum Islam, Aturan adat dengan segala bentuknya, hukum negara yang bekerja secara bersamaan dalam mengatur hubungan antar individu dan antar kelompok masyarakat.
Setiap norma tersebut lengkap dengan pranatanya, sehingga memungkinkan bagi masyarakat untuk memilih pranata hukum mana yang dapat memberikan peluang untuk mencapai keinginan mereka. Sebaliknya juga tidak tertutup kemungkinan bahwa pranata hukum yang ada juga ikut memilih kasus mana yang akan mereka tampung dan mana yang ditolak, berdasarkan kepentingan lembaga itu sendiri. Seperti apa yang pernah dikemukakan oleh Keebet V. Benda Beckmann tentang Forum Shopping dan Shopping Forum. Dalam menjelaskan pola pilihan hukum dan pranatanya itu tidak dapat dilepaskan dari sistem kebudayaan, sistem kepercayaan, dan sistem hukum yang berkembang dalam masyarakat.
Inti kebudayaan atau model pengetahuan masyarakat memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan, yang antara lain adalah sistem kepercayaan dan organisasi sosial. Kedua unsur ini tidak hanya berhubungan dengan unsur-unsur ekonomi, bahasa dan komunikasi, kesenian, teknologi, ilmu pengetahuan masyarakat saja, tetapi juga menghubungkan pengaruh alam terhadap keteraturan, konflik, dan penyelesaian konflik, Hal ini disebabkan karena sistem kepercayaan dapat menjadi sumber norma (hukum agama), dan organisasi sosial dapat membentuk norma pula (hukum adat dan hukum negara), Keduanya dapat mengatur masalah yang sama dalam masyarakat yang sama pula. Karena itu hukum agama, hukum adat, dan hukum negara dapat menciptakan keteraturan. Tetapi juga dapat menimbulkan konflik, yang juga dapat memberikan penyelesaian.
Pendekatan antropologi hukum yang digunakan dalam membuktikan kerangka teoritis di atas adalah metode kasus sengketa (Hoebel, 1983) untuk dapat memudahkan mencari hukum apa yang berlaku. Karena model ini membutuhkan waktu yang cukup lama, maka tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan mentode kasus non-sengketa (Holleman, 1986) untuk menemukan ide atau prinsip normatif yang terkandung dibelakang prilaku hukum yang aktual. Untuk menghubungkan individu sebagai pusat analisis dengan lingkungannya digunakan metode kasus yang diperluas (Van Velaen, 1967) dan konsep semi-autonomous social fiel ( Moore, 1983).
Wilayah Sumatera Barat sekarang hanya sebagian dari wilayah Minangkabau lama, tetapi daerah utamanya memang Sumatera Barat sekarang, sehingga sering dipahami bahwa Minangkabau itu adalah Sumatera Barat. Padahal wilayah Sumatera Barat ada yang bukan Minangkabau seperti Mentawai. Berdasarkan kondisi alamnya mata pencaharian dan perekonomian masyarakat mangandalkan pertanian yang bergerak menjadi semitradisional. Berdasarkan mata pencaharian dan perekonomian ini muncul kelas sosial petani pemilik tanah yang lebih tinggi derajatnya dan petani penggarap (orang manapek). Walaupun ada profesi lain yang dianggap terhormat oleh masyarakat seperti pedagang atau pengusaha, PNS dan ABRI (pejabat negara) tetapi jumlahnya sedikit, sehingga dalam ceremonial dan perlakuan adat tetap mengacu kepada dua kelas tersebut.
Walaupun agama masyarakat keseluruhan Islam, tetapi kepercayaan mereka dapat dikategorikan menjadi; yang berpendidikan SLTP ke bawah mencampurkan Islam dengan Mitos, SLTP dan SLTA peralihan antara bentuk pertama dengan Islam rasional, SLTA ke atas mempraktekkan Islam secara moderat dan rasional.
Dalam kasus-kasus perkawinan masyarakat Minangkabau memilih norma yang ada dengan mempertimbangkan status sosialnya dalam masyarakat, politik dan ekonomi, agama untuk dapat mencapai penyelesaian sesuai dengan yang diinginkan. Mereka tidak akan memilih lembaga adat kalau status sosial mereka secara adat lemah, seperti kelompok masyarakat manapek mereka lebih memilih hukum agama dan hukum negera. Atau bisa saja mereka menggabung ketiga sistem hukum tersebut, seperti dalam kasus perceraian. Untuk memutus perkara mereka pilih Pengadilan Agama dan hukum Islam, tetapi untuk pembagian harta bersama dan pengasuhan anak menggunakan aturan adat. Ketika terjadi pertentangan antara norma adat dengan lainnya, tetapi masyarakat nekad untuk melanggar norma adat dan memilih norma lain, maka mereka akan mendapat sangsi dari lembaga adat, Seperti melanggar aturan larangan menikah bagi orang satu suku. Semua ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang penulis ungkap dalam bab IV,
Dalam kasus sengketa kewarisan masyarakat Minangkabau menggunakan lembaga adat untuk harta pusaka tinggi. Sementara untuk harta bersama mereka sering menyelesaikannya dengan pendekatan kekeluargaan melalui pesan mamak, sehingga akhirnya pengaruh norma adat lebih kental dari hukum Islam dan hukum negara. Inilah penyebabnya masyarakat Minangkabau tidak pernah membawa perkara kewarisan mereka ke pengadilan agama atau pengadilan negeri. Pola penyelesaian kasus sengketa waris masih sama seperti sebelum berlakunya undang-undang tentang Pengadilan Agama.
Masalah perwakafan tidak dikenal dalam adat Minangkabau, sehingga mereka murni menggunakan aturan wakaf menurut agama Islam, Cuma saja mereka mensyaratkan kalau harta yang akan diwakafkan adalah harta pusaka tinggi harus melalui persetujuan anggota paruik yang berhak. Kalau itu harta pusaka rendah pemilik babas mewakafkannya sesuai hukum Islam. Cuma saja sering terjadi proses wakaf hanya dengan aturan hukum Islam saja, tanpa mematuhi hukum negara sehingga tanah wakaf sering tidak memiliki sertfikat.
Dari beberapa kasus yang penulis ungkap dapat dibuktikan bahwa norma-norma yang berlaku di masyarakat Minangkabau bersumber dari sistem kepercayaan (Islam), dan organisasi sosial yang menimbulkan hukum adat dan hukum negara. Semua norma ini saling berinteraksi dan dapat menjadi sumber keteraturan, konflik, dan juga sebagai sumber penyelesaian konflik. Dengan demikian kewenangan peradilan agama tidak hanya diatur oleh hukum negara, tetapi juga oleh norma-norma lain. Untuk itu pengadilan agama harus memperhatikan norma-norma lain tersebut dalam memutus perkara, atau pendekatan pluralisme hukum adalah pendekatan yang tepat untuk menyelesaikan kasus-kasus dalam kewenangan peradilan agama."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohd. Din
"ABSTRAK
Sistem Peradilan Pidana terdiri dari sub sistem Polisi, Jaksa Penuntut Umum, Hakim, dan Lembaga Pemasyarakatan. Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana ini harus terpadu dan saling mengisi antara sub sistem. Sub sistem Polisi sebagai sub sistem hulu atau sebagai gerbang berkenalannya seseorang dengan Sistem Peradilan Pidana sangat menentukan untuk proses selanjutnya, kernampuan teknik keresersean yang dimiliki oleh Polisi (penyidik) harus didukung dengan teknik yuridis dari Jaksa Penuntut Umum, sehingga diperlukan koordinasi. KUHAP sebagai induk dasar berpijaknya Sistem Peradilan Pidana telah mengatur koordinasi tersebut berupa:
pemberitahuan dimulainya penyidikan, petunjuk penuntut umum dalam pemeriksaan tambahan (Prapenuntutan), perpanjangan penahanan, dan pemberitahuan penghentian penyidikan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana koordinasi antara penyidik dan penuntut umum, apa hambatan dalam melakukan koordinasi, kebijakan apa yang telah ditempuh dalam menanggulangi hambatan itu dan bagaimana pengawasan penuntut umum terhadap berkas perkara yang dikembalikan kepada penyidik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa koordinasi antara penyidik dan penuntut umum belum berjalan sebagaimana yang di.tentukan oleh KUHAP. Hambatan yang paling mendasar adalah menyangkut sarana telekomunikasi, karena jarak antara Polsek dengan kejaksaan Negeri relative Jauh. Sedangkan upaya yang dilakukan adalah dengan terus meningkatkan koordinasi dan mengadakan gelar perkara."
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Lintong Oloan
Jakarta: Ghalia Indonesia, [date of publication not identified]
347.01 SIA j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>