Ditemukan 141792 dokumen yang sesuai dengan query
Teguh Eko Wirdhani
"Undang-undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia dianggap sebuah peraturan terobosan, yang dibuat oleh pemerintah Indonesia setelah pemerintahan Presiden Soeharto. Yang diikuti oleh keluarnya sebuah lembaga baru yang khusus untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM yaitu Pengadilan HAM dengan undang-undang No 26 tahun 2000 sebagai dasar pembentukannya.Ternyata pada kenyataanya usaha pemerintah untuk menyelesaikan masa lalunya tidak bisa hanya melalui sebuah lembaga pengadilan HAM. Susahnya menguak masa lalu, hanya dengan lembaga pengadilan HAM, terasa ketika para terdakwa kasus pelangaran berat HAM yang diproses melalui pengadilan HAM pada putusan akhirnya dinyatakan bebas. Kecewa adalah perasaan yang pasti keluar dari hati para korban melihat para terdakwa bebas dari semua tuntutan.Bebasnya para terdakwa kasus pelanggaran berat HAM TIMTIM ini mengindikasikan bahwa untuk mencari keadilan dimasa perubahan sangatlah susah. Oleh karena susahnya mencari keadilan dimasa transisi maka pemerintah, dengan melihat dari pengalaman-pengalaman negara lain dalam mengatasi masa lalunya, akhirnya mengeluarkan sebuah undang-undang No 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dengan hadirnya KKR maka diharapkan dapat memberikan rasa keadilan yang diinginkan oleh para korban, walaupun akan terasa naïf bila kita tidak mengatakan bahwa rasa keadilan dimasa transisi akan terasa jauh dengan rasa keadilan di masa yang normal. Disamping itu juga kehadiran KKR diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah maupun masyarakat Indonesia agar peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi dimasa lalu tidak terulang. Serta kehadiran KKR juga diharapkan dapat meluruskan sejarah masa lalu bangsa Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Universitas Indonesia, 2007
S22282
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, 2004
R 323 IND u
Buku Referensi Universitas Indonesia Library
Candra
Depok: Universitas Indonesia, 2003
S22103
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Adelwin Airel Anwar
"Aceh yang merupakan daerah khusus dan istimewa di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan daerah yang memiliki banyak kewenangan yang unik dan tidak dimiliki daerah lainnya. Salah satu yang melatarbelakangi kekhususan dan keistimewaan ini adalah konflik Aceh yang pernah terjadi atas ketidakpuasan Pemerintah Pusat memperlakukan Aceh. Konflik tersebut menyisakan banyak dampak yang masif khususnya kepada korban dan keluarga korban sehingga diduga terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia berat. Pada akhirnya, Aceh diberi kewenangan khusus melalui UndangUndang No. 13 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh sebagai lembaga independen di daerah demi mengungkapkan kebenaran dan menciptakan rekonsiliasi di Aceh. Namun, pembentukan lembaga tersebut menuai kontroversi di awal pembentukannya karena masih belum terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional karena Undang-Undang pembentukannya diputus tidak mengikat hukum secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi Nasional dan berpedoman pada Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dengan metode yuridis-normatif yang disusun secara deskriptif-analitis, penelitian ini menemukan bahwa melalui internalisasi nilai-nilai hak asasi manusia di pemerintahan Aceh menyebabkan penanganan pelanggaran hak asasi manusia berat di Aceh juga menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh salah satunya melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh yang tetap dapat berdiri dengan dibentuk melalui Qanun Aceh karena pada dasarnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh merupakan lembaga non-struktral dan independen di daerah yang telah diatribusikan pembentukannya oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang mengatur secara khusus kelembagaan yang berdiri di Aceh sehingga tidak tergantung dengan dinamika politik hukum pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh juga berdiri atas dasar perlunya penanganan korban secara cepat dan menyeluruh. Sayangnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh harus menghadapi banyak tantangan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pertama di Indonesia tetapi bekerja dalam lingkup daerah.
Aceh, which is an exclusive and special region under the Unitary State of the Republic of Indonesia, is a region that has many unique authorities that other regions do not have. One of the reasons behind this exclusivity and specialty is the Aceh conflict that once occurred over dissatisfaction with the treatment of the Central Government towards Aceh. This conflict left a lot of massive impacts, especially on the victims and their families so that serious human rights violations are suspected. In the end, Aceh has exclusive authority through Law no. 13 of 2006 on the Government of Aceh to establish the Aceh Truth and Reconciliation Commission as an independent regional institution to reveal the truth and create reconciliation in Aceh. However, the formation of this institution sparked controversy at the beginning of its formation because the National Truth and Reconciliation Commission has not yet been formed because the Constitutional Court ruled that the Law on Truth and Reconciliation Commission was not legally binding as a whole. Yet, the Aceh Truth and Reconciliation Commission is an integral part of the National Truth and Reconciliation Commission and is guided by the Law on Truth and Reconciliation Commission. Using a juridical-normative method compiled in a descriptive-analytical manner, This study found that through the internalization of human rights values in the Aceh government, the handling of serious human rights violations in Aceh also became the authority of the Aceh government, one of which was through the Aceh Truth and Reconciliation Commission that can still exist by being formed through the Aceh Qanun because The Aceh Truth and Reconciliation Commission is a nonstructural and independent institution in the region whose establishment has been attributed to the Aceh Government Law which specifically regulates institutions that exist in Aceh so that it is not dependent on the dynamics of legal politics for the formation of the National Truth and Reconciliation Commission. The Aceh Truth and Reconciliation Commission was also established on the basis of the need for quick and thorough handling of victims. Unfortunately, the Aceh Truth and Reconciliation Commission had to face many challenges in carrying out its duties and functions as the first Truth and Reconciliation Commission in Indonesia but working in a regional scope."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Wina Aesthetica
"Suatu prinsip yang dikenal oleh masyarakat internasional dalam penyelesaian sengketa adalah prinsip penyelesaian secara damai, yang dituangkan dalam Pasal 1 Konvensi Den Haag Tahun 1907. Prinsip penyelesaian sengketa secara damai kerap menemui masalah ketika akan diterapkan untuk menyelesaikan persengketaan, terutama mengenai masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang dewasa ini telah berkembang menjadi hal yang sangat penting dalam dunia internasional. Faktor tersulit dalam penegakan HAM berasal dari adanya kesulitan dalam mempersepsikan HAM itu sendiri dan terdapatnya hal-hal yang dapat menghambat penegakan HAM di dalam suatu negara, seperti adanya prinsip kedaulatan dan prinsip non-intervensi. Dewasa ini penegakan HAM sudah dianggap menjadi masalah internasional dan menjadi tanggung jawab internasional, oleh karena itu suatu negara tidak dapat lagi mengklaim bahwa masalah pelanggaran HAM di wilayahnya semata-mata merupakan yurisdiksi domestiknya. Salah satu kasus yang mencolok di Indonesia adalah rangkaian pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur pada masa sebelum dan setelah pelaksanaan Jajak Pendapat pada tahun 1999 untuk menentukan status wilayah Timor Timur. Kasus ini menjadi sorotan publik dan berbagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan ini dilakukan. Telah dicoba penyelesaian melalui Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, akan tetapi masalah ini tak kunjung selesai. Pada tahun 2004 Indonesia dan Portugal menyetujui untuk memulai usaha bilateral dalam bentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Secara garis besar, Komisi ini berfungsi mewujudkan rekonsiliasi melalui pengungkapan fakta kebenaran mengenai pelanggaran HAM yang dilaporkan, mengeluarkan laporan yang meluruskan persepsi mengenai catatan sejarah bersama dari pelanggaran HAM yang dilaporkan terjadi pada masa itu, serta merumuskan cara-cara dan rekomendasi langkah-langkah untuk dapat menyembuhkan luka lama terkait kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Apabila dibandingkan dengan Komisi-komisi sebelumnya, yaitu KPP-HAM yang lebih mengutamakan penuntutan melalui persidangan dan KKR yang tidak sukses menjalankan proses rekonsiliasi setelah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR dinyatakan tidak berkekuatan hukum melalui judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, KKP dapat dikatakan cukup berhasil menerapkan prinsip penyelesaian sengketa secara damai terkait pelanggaran HAM.
Among the common principles in settlement of international disputes known to the international public is the principle pacific settlement of disputes, which can be found in Article 1 of 1907 Hague Convention. The principle of pacific settlement of disputes often becomes troublesome in its application, particularly regarding cases of violations of human rights. The hardest factor in the enforcement of human rights comes from difficulties in recognizing the perception of human rights itself and other things that could hamper the enforcement of human rights in a country, like the principle of sovereignty and the principle of non-intervention. Lately, the enforcement of human rights has been regarded as an international importance and has become an international responsibility. Hence, countries can no longer claim that a matter of human rights violation lies solely within its domestic jurisdiction. One of the key cases in Indonesia is the series of human rights violations that happened in East Timor during and after the public consultation held in 1999 to determine the status of the region. The case came under the public spotlight and there had been many attempts to settle the dispute as soon as possible. There have been attempts of dispute settlement through an ad hoc human rights trial body and through Commission of Truth and Reconciliation, but both attempts did not succeed. In 2004, Indonesia and Timor Leste agreed upon starting a bilateral attempt in the form of the Commission Of Truth And Friendship. In a glance, the Commission strived to promote reconciliation through the establishment of a report to clear up the misperceptions concerning the history of the violations of the human rights that had happened in the past, also to formulate ways and recommend steps to be taken in order to heal the wounds of the past, regarding the said violations of human rights. In comparison to previous Commissions, namely KPP-HAM which strived for prosecution through trial and KKR which failed to carry out its mandates, after Law Number 27 of 2004 regarding KKR was deemed no longer valid after a verdict by the Constitutional Court. CTF has been thought to be quite successful in applying the principle of pacific settlement of disputes in regard of violations of human rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S26247
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Dina Muthia
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S22377
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"The Human Rights Court established in Indonesia is the first in its kind. Various opinion emerge regarding the exixtence of court. In one hand, Indonesia is considered against the international desire to bring the perpetrator to eliminate the assumption that Indonesia is unable and unwilling to bring the perpetrator who convicted breach gross violation on human rights. This article based on the writer personal explain the legal and non-legal difficult in the Indonesia HUman Rights Court."
HAM 2:2 (2004)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Husendro
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22442
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
"This article discuss the concepts of gross human rights violation, individual resposibility in international crime, element of crime of human rights violation, the concept of command responsibility and the settlement mechanism of human rights violation. The writer ask us to take lesson learn form the experiences of Timor Timur and Tanjung Priok trial and "the stuck" in the investigataion process in Trisakti, semanggi I dan II and Mei cases in the hand of Attorney General. The realities show that so many weaknesses are needed to be handled immediately. For that reason, it is important to make amendement of UU No. 26/200 of Human Rights Court. The writer also discuses the hybrid tribunal in Cambodia, Timor Leste and Sierra Leone as an effort to give peference to the state to conduct its obligation and in other side also to guarantee that the court is conducted in mutual accord with international standard"
HAM 2:2 (2004)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library