Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2650 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Ay Koes Sabandiyah
"Penerapan asas praduga tidak bersalah dalam kegiatan jurnalistik agar dapat memberikan perlindungan kepada terdakwa, dan apakah liputan yang dilakukan oleh media massa dalam proses persidangan telah melanggar asas praduga tidak bersalah, merupakan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Dalam mekanisme pemuatan suatu berita yang penting adalah, apakah sebelum berita diturunkan sudah dilakukan cek dan ricek serta klarifikasi ke berbagai sumber berita. Sehingga dalam pemuatan pemberitaannya akan memenuhi asas berimbang atau cover both sides. Mekanisme baku tersebut sudah dilakukan Majalah Tempo sebelum menerbitkan berita yang berjudul, "Ada Tomy Di Tenabang?" yang diterbitkan pada Majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003. Berita ini menggambarkan seolah-olah ada keterlibatan Tomy Winata di balik terbakarnya Pasar Tanah Abang. Secara khusus korban juga sudah diwawancarai dan bantahannya dengan jelas juga sudah dimuat. Dengan telah memuat bantahan dari korban dan klarifikasi dari narasumber lain, maka Majalah Tempo harus dianggap telah menghormati asas praduga tidak bersalah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undangg Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Studi kasus dari Keputusan Mahakah Agung Republik Indonesia Nomor 1608 K/PID/ 2005 ini secara filosofi, berdasarkan Pasal 3,4 dan 6 Undang-undang No. 40 Tahun 1999, posisi pers nasional telah ditempatkan sebagai pilar ke empat dalam negara demokrasi. Meskipun Undang-undang Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kebebasan pers (terutama ketika terjadi delik pers karena tidak adanya ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut), dan tidak mengatur tentang penghinaan sehingga diberlakukan ketentuan KUHP. Untuk itu agar perlindungan hukum terhadap insan pers bukan sekadar impian, maka diperlukan improvisasi dalam penegakan hukum dalam delik pers dengan menciptakan yurisprudensi yang mampu menempatkan Undang-undang Pers sebagai lex specialist. Pada tahap tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, terdakwa dinyatakan bersalah atas tuduhan membuat berita bohong, fitnah, dan pencemaran nama baik. Di tingkat banding, putusan tingkat pertama dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi. Namun di tingkat Kasasi akhirnya terdakwa dinyatakan bebas.

The implementation of presumption of innocence in the activities of journalistic in order to give protection to the defendants, and whether or not the coverage done by the mass media in the process of court has crossed the presumption of innocence, is the focus of this research. In the mechanism of publishing a story, the most important thing to be considered is whether or not there has been a clarification and a double check to various sources of information. That way, the publication of a story must cover both sides. This procedural mechanism has been done by Tempo before it published the article titled ‘Is there Tomy in Tenabang?' that was issued in their 3-9 March 2003 edition. This article describes as if Tomy Winata was involved in the incendiary tragedy in Pasar Tanah Abang. Specifically the victim has also been interviewed and his denial has clearly published. By publishing the denial of the victim, and the clarification from other sources, then Tempo must be acknowledged of having respected the presumption of innocence as written in Provision 5 article 1, Act Number 40, year 1999 about Press.
The case study of the Decision of Supreme Court of Rpublic of Indonesia number 1608/K/PID/ 2005 philosophically based on Provision 3,4, and 6, Act no. 40, year 1999, the position of national press has been placed as the fourth column of democrative country. Eventhough the Law of Press hasn't been able to give portection to the freedom of press - mostly when there is an offense of press because there is no criminal regulation in that law) and it doesn't regulate contempt which is the reason of the application of KUHP. That way, in order that protection of law for press activists to become more than just a mere imagination, it needs the restriction of law in offense of press by creating the jurisprudence that can place Law of Press as lex specialist.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S22574
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Eva Achjani Zulfa
Bandung: Lubuk Agung , 2011
345.05 EVA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sumarwani
"ABSTRAK
Masalah pembaharuan hukum pidana merupakan salah satu masalah penting yang perlu ditinjau segala aspeknya sehubungan dengan usaha pembaharuan hukum pidana di negara kita. Dikatakan penting bahkan yang terpenting sebab hukum pidana acapkali dikiaskan para ahli sebagai pedang bermata dua. Pada satu pihak merupakan hukum untuk melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan, namun pada pihak lain ada kalanya merenggut kemerdekaan seseorang untuk sementara, atau untuk selama-lamanya. Salah satu bagian terpenting dari hukum pidana yang perlu untuk diperbaharui tersebut, yang masih kurang mendapat perhatian ialah bagian mengenai Pemidanaan (Sentencing). Padahal segala pengaturan mengenai hukum pidana ini pada akhirnya akan berpuncak pada pemidanaan yang dapat merenggut kemerdekaan, harta benda, dan bahkan jiwa seseorang. Dalam sistem peradilan pidana adanya disparitas pidana yakni penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau tindak-tindak pidana yang berbeda-beda, tetapi beratnya pemidanaan bisa disebandingkan. Berat ringannya pidana yang dijatuhkan akan tergantung pada subyektivitas hakim. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam masalah pemidanaan khususnya perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana dewasa ini yaitu tujuan sistem peradilan pidana adalah selalu bersifat sejahtera baik tujuan jangka pendek berupa pengendalian kejahatan maupun tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial.
Berbicara tentang pemidanaan dengan studi pada kasus korupsi mengandung maksud mengapa khususnya dalam pidana korupsi berkenaan dengan pidana perampasan kemerdekaan yang dijatuhkan pada pelaku, tidak jauh berbeda dengan pidana pada saat sebelum UU No. 3 tahun 1971 diundangkan, sehingga pemidanaan pada tindak pidana korupsi seperti tidak sesuai dengan maksud pembentukan undang-undang dengan memperberat sanksi pidana. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi gagal. Sebab dalam praktek kenyataannya pidana yang dijatuhkan, disamping pidana badan juga dikenakan pidana denda dan pidana tambahan lain berupa pembayaran uang pengganti. Bahwa maksud dan tujuan UU No. 3 tahun 1971 adalah menyelamatkan keuangan dan perekonomian negara yang pada hakekatnya adalah mengembalikan kekayaan negara yang dirugikan oleh perbuatan korupsi tersebut. Untuk mencapai maksud itu, pembentuk undang-undang telah memberikan ketentuan- khusus yang memungkinkan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dengan cara yang cepat dengan prosedur khusus. Sejak berlakunya UU No. 3 tahun 1971 ternyata tujuan perundang-undangan ini di dalam praktek belum tercapai sepenuhnya.
Pemidanaan badan masih terdapat disparitas yang cukup tinggi dari putusan hakim yang satu dengan yang lain, demikian pula dalam hal penerapan pidana uang pengganti, pidana denda serta pidana tambahan yang lain. Di samping masih banyak persoalan yang menyangkut perbedaan pandangan dalam praktek peradilan, juga ternyata tidak semua perkara tindak pidana korupsi dijatuhi dengan pidana tambahan tersebut. Jadi pokok-pokok permasalahan menyangkut:
1. Di dalam praktek pidana yang dijatuhkan pada tindak pidana korupsi di samping pidana perampasan kemerdekaan juga dikenakan pidana denda, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, dan juga hukuman tambahan yang lain. Bagaimanakah untuk mencapai tujuan perundang-undangan ditetapkan pedoman yang jelas yang merupakan tindak lanjut usaha-usaha sinkronisasi pemidanaan korupsi, sudahkah pertimbangan-pertimbangan tersebut memenuhi syarat pedoman penjatuhan pidana yang bersifat obyektif teoritis.
2. Dalam penentuan pidana khususnya besarnya pidana denda dan pidana uang pengganti belum terdapat pedoman yang jelas mengingat tindak pidana korupsi ini merupakan tindak pidana yang bersifat khusus, apakah pidana denda dan atau pidana uang pengganti tersebut diperhitungkan dengan nilai besarnya kerugian negara akibat korupsi tersebut?.
3. Bahwa maksud diadakannya UU No. 3 tahun 1971 adalah dalam rangka penyelamatan keuangan dan perekonomian negara. Sesuai dengan maksud ini permasalahannya adalah apakah pidana uang pengganti dan atau perampasan barang yang sebagian atau seluruhnya sebagai hasil dari korupsi tersebut dapat diganti dengan kurungan pengganti.
Dengan adanya berbagai permasalahan di atas walaupun dalam pelaksanaannya juga telah dikeluarkan petunjuk misalnya dengan Fatwa MA, Surat Edaran MA, Seminar oleh Kejaksaan Agung, dan sebagainya. Namun dalam penulisan tesis ini penulis ingin meneliti dengan cara mempelajari putusan-putusan kasus korupsi dan mengidentifikasi pendapat para hakim yang pernah memutus kasus korupsi sebagai penelitian lapangan, meskipun dalam penulisan tesis ini yang diutamakan adalah data kepustakaan yang berkaitan dengan hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Dengan metode penelitian yang dipergunakan yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dapat diharapkan kegunaan penelitian ini bisa terwujud, yaitu:
1. Kegunaan teoritis bagi pengembangan ilmu khususnya mengenai stelsel pidana dan pemidanaan dengan segala aspeknya dalam tindak pidana korupsi yang menyangkut stelsel maupun pelaksanaan dan penerapan pidana itu sendiri sehingga diperoleh informasi yang faktual.
2. Kegunaan praktis untuk dapat menyajikan bahan-bahan keterangan untuk menunjang pembaharuan hukum pidana nasional.
Selanjutnya dari hasil penelitian kepustakaan dan lapangan kami tarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana untuk tiap kasus hakim harus memperhatikan keadaan obyektif dan subyektif tindak pidana yang dilakukan, hakim harus memperhatikan sifat perbuatan dan keadaan diri pelaku, efek yang ditimbulkan, serta faktor pencegahan pengulangan perbuatan oleh pelaku dan menjerakan kepada orang lain, untuk tidak melakukan perbuatan serupa.
2. Penjatuhan sanksi terhadap tindak pidana korupsi tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan di atas. Walaupun demikian ternyata bahwa tinggi rendahnya pidana yang dijatuhkan masih dirasakan adanya disparitas pidana yang sangat tinggi. Oleh karena itu diperlukan pedoman pemidanaan korupsi sehingga tindakan pemidanaan dalam korupsi dapat diterima oleh masyarakat sebagai pidana yang adil.
3. Tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus, dalam penjatuhan pidana terhadapnya di samping dapat dijatuhkan pidana pokok yaitu pidana penjara dan pidana denda, juga dapat dijatuhkan pidana tambahan yang bersifat khusus (yaitu pidana pembayaran uang pengganti). dengan tujuan mengembalikan kerugian uang negara sebagai akibat perbuatan korupsi yang dilakukan oleh terdakwa. Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti baru banyak diterapkan dalam praktek putusan pengadilan pada tahun-tahun terakhir ini dengan gencarnya tekad pemerintah dalam rangka pemberantasan korupsi dan membentuk aparatur negara yang bersih dan berwibawa dalam rangka menyejahterakan rakyat.
Diperbedakan antara pidana denda dengan pidana uang pengganti. Pidana denda merupakan pidana pokok dan besarnya pidana telah ditentukan oleh undang-undang sendiri yaitu maksimum Rp 30 juta. Sedangkan pidana uang pengganti merupakan pidana tambahan yang bersifat khusus dan besar kecilnya ditentukan sesuai dengan besar kecilnya kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan tersebut. Sedangkan persamaannya pidana denda maupun pidana uang pengganti selalu dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok yang lainnya yaitu pidana penjara.
5. Di dalam praktek pengadilan tentang penjatuhan pidana denda dan pidana uang pengganti dalam putusan kasus korupsi untuk tindak pidana denda selalu disubsiderkan dengan pidana kurungan pengganti apabila denda tidak bisa dibayar. Sedang untuk pidana pembayaran uang pengganti belum ada kesepakatan dapat tidaknya diganti dengan pidana kurungan pengganti walaupun telah ada petunjuk Mahkamah Agung berupa Fatwa dan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang eksekusi pelaksanaan pembayaran uang pengganti yang isinya bahwa pidana uang pengganti tidak boleh disubsiderkan dengan kurungan pengganti.
6. Berdasar hasil penelitian di wilayah eks karesidenan Semarang:
a. Tentang pendapat hakim perihal pengembalian kerugian uang negara yang diakibatkan perbuatan korupsi dapat tidaknya seluruh harta terpidana baik yang diperoleh dari korupsi atau bukan untuk disita dan dibayarkan sebagai penggantian kerugian tersebut, hal ini masih terdapat perbedaan pendapat :
Pendapat I yang mendasarkan pada sifat hukum pidana sendiri yaitu harta / benda yang disita adalah harta I benda yang dipergunakan atau diperoleh dari perbuatan pidana.
Pendapat II oleh karena Undang-undang Tindak Pidana Korupsi mempunyai sifat dan ciri-ciri khusus yaitu melindungi kekayaan dan kepentingan negara sehingga untuk mengembalikan kerugian negara tersebut tidak dapat dibebankan seluruhnya pada harta kekayaan terpidana.
b. Perihal pendapat Jaksa Agung RI bahwa kerugian uang negara tersebut dapat ditanggungkan pada anak cucu terpidana terdapat perbedaan pendapat :
Pendapat I setuju oleh karena sifat khusus UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu sendiri yaitu melindungi kekeyaan dan keuangan negara.
Pendapat II menolak oleh karena dalam asas hukum pidana seseorang tidak dapat dituntut pidana kalau seseorang itu tidak melakukan perbuatan pidana. Sehingga perbuatan pidana yang dilakukan seseorang tidak dapat dibebankan pidananya pada orang lain. Juga dalam hukum perdata dikenal asas bahwa seseorang hanya bertanggung jawab pada perbuatan yang dibuatnya.
c. Besarnya pidana denda dan pidana pembayaran uang pengganti apakah diperhitungkan dengan besarnya kerugian yang diderita oleh negara. Terdapat beberapa pendapat :
Pendapat I, karena pidana denda merupakan pidana pokok maka pidana tersebut tidak diperhitungkan dengan penggantian kekayaan negara yang dirugikan akibat korupsi; tapi melulu sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang.
Pendapat II, baik pidana denda maupun pidana uang pengganti pada kenyataannya disetor ke Kas Negara, maka pada pokoknya kerugian uang negara tersebut telah kembali.
d. Pada hakikatnya penyitaan dalam hukum pidana dilakukan terhadap harta/benda yang dipergunakan atau hasil dari kejahatan. Penyitaan atas harta benda milik pelaku korupsi pada hakikatnya justru dalam rangka mengembalikan kekayaan negara sehingga terdapat persesuaian pendapat perihal harta yang disita diperhitungkan nilainya dengan besarnya pidana uang pengganti untuk mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan oleh perbuatan korupsi tersebut
7. Tujuan pokok UU No.3 tahun 1971 adalah melindungi kekayaan uang negara sehingga apabila tujuan pokok tersebut telah terpenuhi dalam arti kerugian uang negara tersebut dapat dikembalikan oleh pelaku, maka perbuatan pidana sebagaimana ditentukan dalam UU No.3 1971 tersebut dapat dikesampingkan, sehingga pidana yang akan dijatuhkan kemudian hanya sebagai tindak pidana biasa pada umumnya sehingga tidak menutup kemungkinan penjatuhan pidana bersyarat pada kasus korupsi. Dari putusan pengadilan di wilayah eks Karesidenan Semarang hal itu tercermin pula.
8. Pedoman pelaksanaan pemidanaan di dalam praktek peradilan untuk jenis-jenis kejahatan tertentu yang sering terjadi pernah dilaksanakan dalam hal ini mengenai maksimum dan minimum pemidanaan serta alasan-alasan memberatkan/meringankan pemidanaan serta melengkapi yang telah ditentukan KUHP sendiri. Di pengadilan wilayah eks Karesidenan Semarang hal ini belum diterapkan sepenuhnya dalam perkara pidana biasa maupun kasus korupsipun seharusnya pedoman pemidanaan juga diterapkan dalam rangka mengurangi disparitas pidana dalam praktek peradilan.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldilla Ananta
"ABSTRAK
Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang disparitas pidana (disparity of
sentencing) dalam putusan pengadilan terhadap tindak pidana narkotika di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab
masalah-masalah sebagai berikut: (1) Apakah telah terjadi disparitas pidana
(disparity of sentencing) dalam putusan pengadilan terhadap tindak pidana
narkotika di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (2) Faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan timbulnya disparitas pidana (disparity of sentencing) dalam perkara
narkotika di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (3) Apakah tidak didampinginya
seorang terdakwa tindak pidana narkotika dengan seorang penasehat hukum dapat
berdampak pada penjatuhan hukuman yang tinggi yang dapat menyebabkan
timbulnya disparitas pidana (disparity of sentencing) dalam perkara narkotika oleh
hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (4) Bagaimana dampak terjadinya
disparitas pidana (disparity of sentencing) terhadap kasus narkotika dalam
penegakan hukum dan asas kepastian hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
serta (5) Langkah-langkah apakah yang dapat ditempuh untuk mengurangi
terjadinya disparitas pidana (disparity of sentencing) dalam perkara narkotika di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa disparitas
pidana (disparity of sentencing) terhadap pelaku tindak pidana narkotika di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memang benar terjadi.
Faktor-faktor yang menyebabkan disparitas pidana (disparity of sentencing) antara
lain yaitu bersumber pada hukum dan bersumber pada hakim. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa benar didampingi atau tidak para terdakwa dengan penasehat
hukum tidak mempengaruhi berat ringannya hukuman yang dijatuhkan oleh
hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jika kita kaitkan dengan aspek
penegakan hukum dan asas kepastian hukum berkaitan dengan adanya disparitas
pidana (disparity of sentencing) ini, terdapat dua pendapat yaitu: (1) Dengan
adanya disparitas pidana (disparity of sentencing) ini maka dapat menimbulkan
terjadinya ketidakpastian hukum, (2) Bahwa dalam hal ini hakim sudah
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan para hakim
dalam memutus perkara sudah sesuai dengan undang-undang.
Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mengurangi terjadinya
disparitas pidana (disparity of sentencing) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah sebagai berikut: (1) Menciptakan suatu pedoman pemberian pidana
(statutory guidelines for sentencing), (2) Pembentukan lembaga semacam yang
terdapat di Amerika Serikat, yakni di Eastern District of Michigan, yang disebut
“Sentencing Council”, (3) Melalui seleksi dan latihan para hakim.

ABSTRACT
This thesis is the research concerns disparity of sentencing in court verdict toward
narcotics offense in central Jakarta civil court. This study intends to answer
problems are: (1) Has disparity of sentencing occurred in court decision towards
narcotics offense in central Jakarta civil court. (2) What are the factors that caused
disparity of sentencing in narcotics case in central Jakarta civil court. (3) Does
defendant of narcotics offense who does not accompanied by law advisor will
impact on high sentencing that caused disparity of sentencing in narcotics case by
judge in central Jakarta civil court. (4) How the impact disparity of sentencing
towards narcotics case in law maintenance and principles of law assurance in
central Jakarta civil court (5) What are the steps to decrease disparity of
sentencing in narcotics case in central Jakarta civil court.
The study indicates that disparity of sentencing towards narcotics offense
certainly occurred in central Jakarta civil court. The factors that caused disparity
of sentencing are: sourced in law and sourced to judge. The study represents that it
is accompanied or not the defendant with law advisor does not affect the severity
of the sentence imposed by the judge in central Jakarta civil court.
There are two opinions regard disparity of sentencing associated with law
maintenance and principles of law assurance are: (1) Disparity of sentencing can
create law uncertainly. (2) from the case the judge has given law certainly to
society. It is because the judges decide to the matter based on the law. The steps
can reduce disparity of sentencing in central Jakarta civil court, are: (1) Creates a
statutory guidelines for sentencing, (2) Establishments of such an institution
located in the United States, it is the Eastern District of Michigan, and it is called
“Sentencing Council”, (3) Through the selection and training of judges."
2013
T35593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Inggrid Angraeni Salam
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S21631
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Adelia
Depok: Universitas Indonesia, 1990
S21707
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Wilkins, Leslie T.
London : Barnes & Noble, 1984
346.6 WIL c (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muladi, 1943-
Bandung: Alumni, 1992
345 MUL l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>