Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149025 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
"A judge is very susceptible to various temptations of the parties whose diverse interests in the case. The judge's independence to hear and decide cases is the key why the temptation is so strong. One case happened to a judge, with initials MA, who asked for sum of money to the party litigants whose case he handled. MA was eventually brought to trial on charges of corruption. He was guilty and sentenced two years in prison and fined Rp. 50 millions. This decision hurt the public sense of justice as the punishment was relatively mild, away from proper provisions as contained in the Corruption Act. Such court sentence will not generate deterrent effects to any law enforcer who is supposed to support government efforts to eradicate corruption."
JY 4:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Shalma Aisyah Anandhia Prasetya
"Skripsi ini mengkaji permasalahan hukum dalam pengisian jabatan hakim agung dan hakim konstitusi di Indonesia, dengan tujuan mengusulkan mekanisme pengisian yang bebas dari intervensi politik. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal dengan pendekatan analitis serta pendekatan perbandingan hukum. Pengisian jabatan hakim di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan hal krusial dalam menentukan independensi kehakiman. Berdasarkan temuan, terdapat intervensi politik yang dilakukan oleh DPR dalam pemilihan hakim agung yang ditunjukkan dalam pengambilan keputusan subjektif dan ketidakpatuhan DPR terhadap aturan dalam pengisian hakim agung. Sedangkan dalam pengisian hakim konstitusi, intervensi politik terjadi karena ketiadaan peraturan baku yang memungkinkan penyelundupan hukum oleh Pemerintah dan DPR. Solusi yang diajukan melibatkan penambahan syarat masa tenggang bagi anggota partai politik yang mendaftar sebagai calon hakim agung, penguatan sistem nonrenewable term dan penambahan syarat masa tenggang bagi calon hakim konstitusi. Pemerintah juga disarankan untuk mengatur penambahan ketentuan dalam UU tentang MK yang memaksa lembaga pengusul membentuk mekanisme baku yang transparan, profesional, dan memprioritaskan independensi kekuasaan kehakiman.

This thesis examines legal issues in the appointment of Supreme Court and Constitutional Court judges in Indonesia, aiming to propose a mechanism free from political intervention. The research employs a doctrinal approach with analytical and comparative legal methods. The appointment of judges in the Supreme Court and Constitutional Court is crucial in determining judicial independence. Findings indicate political intervention by the DPR (People's Consultative Assembly) in the selection of Supreme Court judges, evidenced by subjective decision-making and non-compliance with appointment regulations. In the case of Constitutional Court judges, political intervention arises due to the absence of standardized regulations, allowing legal smuggling by the Government and DPR. Proposed solutions involve adding a cooling-off period for political party members applying for the position of Supreme Court judge, strengthening the nonrenewable term system, and introducing a cooling-off period requirement for Constitutional Court candidates. Additionally, it is recommended to amend the Constitutional Court Law to compel proposing institutions to establish standardized mechanisms that are transparent, professional, and prioritize judicial independence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainal Asikin
[place of publication not identified]: LPHN, 1968
340.06 ZAI m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dep. Kehakiman.Dirjen Hukum dan Perundang-undangan, 1970
347.01 IND u I
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Soebiyatno
Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harman Benediktus
"Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyatakan pemberlakuan kembali UUD 1945. Sejauh menyangkut kekuasaan kehakiman, UUD 1945 mengaturnya dalam Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945. Baik dalam kedua Pasal tersebut maupun dalam penjelasannya dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman bukan bagian dari kekuasaan pemerintahan negara, ia merupakan kekuasaan negara yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan negara lainnya. Untuk menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka, UUD mensyaratkan pula agar UU menjamin kedudukan hakim-hakim. Tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim, UUD juga meminta kedua masalah itu diatur dalam UU disertai larangan kepada pembuat UU untuk mereduksi atau mengurangi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat agar ia leluasa dalam menjalankan fungsi utamanya yaitu menerapkan Cita Hukum (Rechtsidee) dalam perkara-perkara kongkret. Artinya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya harus menjadikan .Cita Hukum sebagai patokan dasar mengenai adil dan tidak adil dan karenanya dapat mengesampingkan segala peraturan produk kekuasaan negara lainnya jika diyakininya bertentangan dengan Cita Hukum.
Pada tingkat pelaksanaan, karakter kekuasaan kehakiman sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang diterapkan. Jika konfigurasi politiknya demokratis maka kekuasaan kehakiman akan tampil otonom, terpisah dari kekuasaan pemerintahan negara dan dalam menjalankan fungsinya tidak dipengaruhi dan dikendalikan kehendak-kepentingan kekuasaan negara lainnya. Sebaliknya jika konfigurasi politik yang diterapkan tidak demokratis atau otoriter maka kekuasaan kehakiman tampil tidak otonom, menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan negara, dan karena itu hanya menjalankan fungsi sebagai instrumen untuk melaksanakan dan mengamankan kebijakan yang ditetapkan kekuasaan pemerintahan negara.
Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh signifikan dari konfigurasi politik terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak Dekrit 5 Juli 1959 itu, terdapat dua model sistem politik yang berlaku di Indonesia yaitu sistem politik Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan sistem politik Demokrasi Pancasila (1965-1996/1997). Pada era sistem politik Demokrasi Terpimpin kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No 19 tahun 1964 dan UU No 13 tahun 1965. Sedangkan pada periode sistem politik Demokrasi Pancasila, kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No 14 tahun 1970 sebagai UU pokok dan beberapa peraturan perundangan lainnya. Dari penelitian ini terlihat bahwa konfigurasi politik yang executive heavy sangat mewarnai proses pembentukan UU yang mengatur kekuasaan kehakiman. Kedudukan kekuasaan kehakiman menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan negara dan fungsi utamanya ialah menjalankan kebijakan yang ditetapkan kekuasaan pemerintahan negara."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T991
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Yusmic P. Foekh
"Secara politis, UUD 1945 menganut ajaran don politico, yaitu pertama, kekuasaan negara sebagai pernyataan kedaulatan hukum yang dalam hal ini adalah kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman; kedua, kekuasaan negara sebagai pernyataan kekuasaan rakyat yang dilakukan oleh MPR selanjutnya dimandatkan kepada Presiden. Dalam Penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka tidak dimaksudkan terlepas sama sekali dari kekuasaan lainnya. Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman perlu dijamin, sedangkan pada sisi lain, UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden. Yang dalam menjalankan kekuasaannya, ia mempunyai lima kedudukan, yakni sebagai Kepala Pemerintahan; Kepala Negara; memegang kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif); memberikan grasi, amnesti dan abolisi (yudikatif) dan sebagai "Mandataris" MPR.
Dalam praktik ditemukan bahwa Presiden sebagai faktor penentuan arahnya kekuasaan kehakiman sehingga perlu dilakukan upaya untuk menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka yang merupakan syarat negara hukum. Sebab selama kekuasaan kehakiman yang merdeka belum terwujud, negara hukum (rechtsstaal) Indonesia tidak akan terwujud. Bagaimana mengatasinya? Pertama, perlu penataan kekuasaan Presiden, kedua perlu ditinjau kembali semua produk perundang-undangan yang tidak menjamin kekuasaan kehakiman, ketiga-sebaiknya hakim-Hakim yang direkrut diberi kedudukan sebagai pejabat negara, dan bukan lagi sebagai pegawai negeri."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhy Martuaraja
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S25484
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>