Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137730 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
cover
cover
cover
Nurjannah
"Penyadapan dalam aspek penegakan hukum menjadi hal krusial karena berkaitan pembatasan hak asasi manusia terutama kebebasan pribadi (privacy right). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif besifat preskriptif, mengenai pengaturan kewenangan penyadapan KPK yang disesuaikan dengan menggunakan the international principles of the application of human rights in communication surveillance. Fokus peneltian ini adalah mengkaji bagaimana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVII/2019 mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia serta perbandingannya dengan lembaga anti kprupsi di berbagai negara seperi Malaysia, Hongkong dan Australia. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yangdibahas dalam penelitian ini adalah: (1) apakah pengaturan kewenangan penyadapan oleh KPK dalam Perubahan Kedua UU KPK sudah sesuai dengan konsep hak asasi manusia dalam hal perlindungan hak atas privasi terhadap subjek sadap KPK; dan (2) bagaimana dengan konsep konsep ideal regulasi kewenangan penyadapan KPK berdasarkan perspektif hak asasi manusia. Pengumupulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan studi pustaka dan pengumpulan data primer dilakukan dengan permintaan wawancara dengan pihak terkait sedangkan data sekunder dari laporan, jurnal, buku dan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini berkesimpulan bahwa dalam Perubahan Kedua UU KPK udah lebih maju dibandingkan dengan regulasi sebelumnya, dengan indikasi dari aspek legalitas karena sudah diatur dalam undang-undang dengan menambahkan ketentuan-ketetntuan baru mengenai penyadapan. Akan tetapi, hak privasi dalam penegakan hukum dapat dilakukan pembatasannya melalui peraturan setingkat undang-undang, sedangkan muatan materi dalam UU Nomor 19 tahun 2019 masih belum memadai sehingga tetap berpotensi terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Pengaturan penyadapan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 juga belum memenuhi prinsip-prinsip internasional mengenai perlindungan hak asasi manusia. Hal ini berarti Indonesia perlu memperbaiki undang-undangnya dengan menambahkan beberapa pasal atau membuat undang-undang khusus mengenai penyadapan agar dapat sepenuhnya mematuhi prinsip-prinsip internasional tentang hak asasi manusia dalam tindakan pengawasan elektronik.

Interception in the aspect of law enforcement is crucial because it is related to the limitation of human rights, especially personal freedom (privacy right). This research is a prescriptive normative juridical research, regarding the regulation of the KPK's wiretapping authority in regard to the international principles of the application of human rights in communication surveillance. The focus of this research is to examine how Law Number 19 of 2019 after the Constitutional Court Decision (MK) No. 70/PUU-XVII/2019 accommodates the principles of protection of human rights and its comparison with anti-corruption institutions in various countries such as Malaysia, Hong Kong and Australia. Due to this, the problems discussed in this research are: (1) whether the regulation of the KPK's wiretapping authority in the Second Amendment to the KPK Law is in accordance with the concept of human rights in terms of protecting the right to privacy of the KPK's tapping subjects; and (2) what is the ideal concept of the KPK's regulation of wiretapping authority based on a human rights perspective?. Data collection used in this research is secondary data obtained by literature study and primary data collection is carried out by requesting interviews with relevant parties while secondary data from reports, journals, books and laws and regulations. This research concludes that the Second Amendment to the KPK Law is already more advanced than the previous regulation in term of interception, with an indication of the legality aspect because it has been regulated in law by adding new provisions. However, the right to privacy in law enforcement can be limited through regulations, at the level of law, while the material content in Law Number 19 of 2019 is still inadequate so that there is still the potential for human rights violations. The authority of interception regulated in Law No. 19/2019 also does not meet the international principles regarding the protection of human rights. It means that Indonesia needs to improve its law by adding several articles or creating a special law on wiretapping in order to fully comply with international principles on human rights in electronic surveillance."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedet Hardiansyah
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S26023
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardamean, Robinson
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S22153
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penanganan kasus tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi di Indonesia terdapat dualisme yurisdiksi, artinya adalah bahwa dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi ada dua lembaga pengadilan yang berwenang untuk menanganinya, yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tipikor. PUTUSAN MK No 012-016- 019/PUU-IV/2006 telah membuahkan kontroversi. Masyarakat ahli hukum mempertanyakan isi putusan tersebut, khususnya tentang rentang waktu tiga tahun untuk pembentukan suatu undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) karena dinilai melanggar asas kepastian hukum. Di sisi lain, dipersoalkan keperluan pembentukan Pengadilan Tipikor dalam lingkungan Peradilan Umum, di samping Pengadilan Negeri yang sudah ada yang juga berwenang memeriksa dan memutus perkara korupsi. Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya menyatakan bahwa pembentukan Pengadilan Tipikor yang didasarkan atas Pasal 53 Undang-Undang KPK itu tidak sesuai dengan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945. Menurut Mahkamah Konstitusi, seharusnya pembentukan Pengadilan Tipikor itu berdasarkan pada Undang-Undang Pengadilan Khusus Tipikor. Pemberlakuan Pasal 53 Undang-Undang KPK itu melahirkan dualisme sistem peradilan yang berbeda dalam lingkungan peradilan yang sama, tapi dengan hukum acara yang berbeda. Ini menunjukkan standar ganda dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Mahkamah Konstitusi menyadari bahwa apabila Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, maka akan mengakibatkan pemeriksaan korupsi oleh KPK dan Pengadilan Tipikor yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Oleh karena itu Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya menyediakan waktu bagi proses peralihan yang mulus untuk terbentuknya aturan yang baru. Mahkamah Konstitusi memberikan waktu tiga tahun kepada pembuat undang-undang (lembaga legislatif) untuk segera menyelaraskan Undang-Undang KPK dengan UUD 1945 dan membentuk Undang-Undang tentang Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi sehingga dualisme sistem peradilan tindak pidana korupsi dapat dihilangkan."
Universitas Indonesia, 2007
S22456
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>