Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164798 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Panjaitan, Petrus Irwan, 1958-
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995
365 PAN l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriyani
"ABSTRAK
Proses pada sistem peradilan pidana anak didasarkan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Ketentuan ini dapat dikatakan merupakan ketentuan khusus yang mengatur tentang hukum acara peradilan pidana anak dimana terdapat beberapa perbedaan dengan proses peradilan pidana dengan orang dewasa. Salah satu perbedaan tersebut adalah adanya peran Balai Pemasyarakatan untuk melakukan Penelitian Kemasyarakatan. Melalui Penelitian kemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan diharapkan mampu melindungi hak asasi anak yang melakukan tindak pidana.
Fokus utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan fungsi balai pemasyarakatan dalam perlindungan hak asasi manusia pada sistem peradilan pidana anak, dan faktor-faktor penghambat dalam proses tersebut. Pendekatan penelitian yang -dipakai adalah kualitatif dan peneliti menganalisa data yang diperoleh secara induktif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan fungsi balai pemasyarakatan pada sistem peradilan pidana anak belum mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana ditetapkan dalam beberapa instrumen hak asasi manusia, yang pada dasamya menyebutkan bahwa proses hukum yang dilalui oleh seorang anak yang melakukan tindak pidana harus didasarkan pada ketentuan hukum dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir. Hal ini disebabkan karena adanya faktorfaktor penghambat pada balai pemasyarakatan dalam melaksanakan fungsinya dalam peradilan pidana anak. Hasil penelitian menyarankan bahwa ketentuan yang mengatur tentang fungsi Balai Pemasyarakatan perlu direvisi; meningkatkan sumber daya manusia; dan menjalin komunikasi yang lebih baik diantara aparat penegak hukum.

ABSTRACT
The process of juvenile justice system based on Law Number 3 of the year 1997 on Juvenile Justice. This rule is special regulation about juvenile justice procedures which has differences with adults. One of the differences is the existence of Balai Pemasyarakatan to make social inquiry reports. Trough this report, the functional officer at Balai Pemasyarakatan suppose to make efforts to protect the juveniles.
The focus of the research is to find out the functions of Balai Pemasyarakatan in human rights protection at juvenile justice system, and the obstacles of that process. The method used in this research is qualitative and the data analyze is inductive.
The results of the research show that the functions of Balai Pemasyarakatan in human rights protection at juvenile justice system have not implemented the principles of human rights which state that all the process at juvenile justice should based on the regulations and only applied as the last resort. This condition caused that Balai Pemasyarakatan meets the obstacles in the implementation of its functions. The research makes suggestions to improve the functions of Balai Pemasyarakatan in human rights protection at juvenile justice system. That are making revision of the regulations on function of Balai Pemasyarakatan; developing the human resources; and having better communication between the law enforcement officials.
"
2007
T20831
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2003
S22036
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kadri Husin
"Hak-hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP sejalan dengan pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM). Berdasarkan demikian seorang tersangka/terdakwa tidak dapat dianggap bersalah sebelum dinyatakan oleh keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan pasti. Perlindungan tersangka/terdakwa dari kesewenangan penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus dapat dilaksanakan dalam peradilan pidana. Namun kesenjangan hak tersangka/terdakwa dapat terjadi baik secara normatif maupun secara empiris, hal ini dapat disebabkan rumusan undang-undang yang tidak jelas, atau persepsi penegak hukum dan pencari keadilan yang berbeda terhadap hak tersebut. Oleh karena itu masalah penelitian adalah :
1. Apkah terdapat kesenjangan hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP?.
2. Bagaimana kesenjangan hukum secara empiris hak-hak tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana di Propinsi Lampung?.
3. Pada tingkat proses peradilan manakah kesenjangan hak tersangka/terdakwa paling banyak terjadi.
Penelitian normatif dan empiris dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hakhak tersangka/terdakwa dan para penegak hukum serta pencari keadilan dalam proses peradilan pidana di wilayah Pengadilan Tinggi Propinsi Lampung, menghasilkan data bahwa secara normatif dan empiris terdapat kesenjangan mengenai hak tersangka/terdakwa baik dalam KUHAP maupun dalam pelaksanaan penerapan hak tersebut.
Kesimpulan kesenjangan hak tersangka/terdakwa secara normatif, karena tidak konsisten perumusan hak yang ada dalam KUHAP. Hal lain adalah disebabkan penggunaan bahasa yang tidak jelas dalam rumusan hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP menyebabkan perbedaan persepsi di kalangan penegak hukum maupun dari pencari keadilan terhadap hak tersangka/terdakwa. Kesenjangan hak-hak tersangka terdakwa secara empiris terjadi dalam seluruh tahap pemeriksaan peradilan pidana baik pemeriksaan penyidikan, pemeriksaan penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan. Kesenjangan yang paling banyak terjadi dalam pelaksanaan penerapan hak-hak tersangka/terdakwa terjadi pada proses praadyudikasi.
Saran yang diajukan adalah :
1. Mengurangi atau menghilangkan kesenjangan secara normatif mengenai hak tersangka/terdakwa dengan mengadakan peninjauan kembali KUHAP.
2. Meningkatkan kemampuan profesional para penegak hukum, maupun kesadaran hukum masyarakat pencari keadilan secara memadai.
3. Mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu dalam proses peradilan pidana dengan menumbuhkembangkan sikap batin antara penegak hukum untuk menghargai dan melaksanakan secara benar hak-hak tersangka/terdakwa sebagai komitmen terhadap negara hukum dan negara demokrasi.

It is understood that the rights of the suspect/ accused in the KUHAP are parallel with the declaration/acknowledgement of human right. Based on that a suspect/accused should not be considered guilty before it is officially decided as a final verdict. Protection of the suspect/accused from law enforcement officials cruelty in conduction their duties and authorities should be established in criminal justice. However, discrepancy between rights of the suspect/accused could occur bath normatively as well as empirially due to unclear formulation of law or perception differences on that right between law enforcement officials and justice seekers.
Therefore, the problems of this research are :
1. Is there any discrepancy within the rights of the suspect/accused in the KUHAP?.
2. How is law discrepancy of the rights of the suspect/ accused within the process of criminal law in Lampung empirically?.
3. In what level of law process is the discrepancy of right of the suspect/accused mostly occured?.
Research is carried out normativelly toward regulation of laws concerning rights of the suspect/accused, law enforcement officials, as well as justice seekers within the process of criminal law in Lampung Provincial. High Court shows that both normatively and empirically there are discrepancies concerning the rights both in the KUHAP and in the implementation of the establishment of rights. It can be concluded that normatively the discrepancy of the rights in the KUHAP. The unclarity of the language used in the formulation of the rights in the KUHAP also causes various perceptions among law enforcement officials and justice seekers concerning the rights.
Discrepancies of rights of the suspect/accused emprically occures within all the stages of crimial justice investigations, in spot/close investigations, prosecutions, and hearings. The greatest number of discrepancies concerning the implementation of the establishment of rights of the suspect/accused occur during the prejudiciary process.
To overcome the situation some suggestions are recommended, namely :
1. Decreasing or eliminating the discrepancies concerning rights of the suspect/accused normatively by reevaluating the KUHAP.
2. Increasing the professional skills of the law enforcement officials, and the law awareness of the justice seekers' society appropriately.
3. Establishing integrated criminal justice system within the criminal justice process by developing a certain inner attitude among the law enforcement officials which respects and is willing to establish correctly rights of the suspect/accused as a commitment toward a lawful and democratic country.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
D96
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Nasrul
"Pemasyarakatan sebagai lembaga dan tempat pelaksanaan putusan pengadilan telah mengalami kelebihan penghuni. Jika ditambah lagi pemidanaan yang makin marak maka menjadi pertanyaan dimanakah para pelanggar hukum ini akan ditempatkan. Sementara pemerintah untuk saat ini sndah tidak bisa menunjang seutuhnya kebutuhan Pemasyarakatan sebagai muara sistem peradilan pidana. Berangkat dari latar belakang tersebut ingin diketahui, pertama, upaya-upaya apa yang telah dilakukan oleh Sistem Peradilan Pidana dalam mengatasi over kapasitas. Kadua, Melalui punelitian ini ingin diketahui kendala-kendala apa saja yang ditemui dalam upuya mengatasi over kapasitas di Lapas oleh sub-sub sistem dalam sistem peradilan pidana. Dengan menggunakan data sekunder dan data-data empiris berupa wawancara dengan beberapa narasumber yang berkaitan langsung dengan sistem puradilan pidana. Upaya dalam hal ini untuk mengatasi over kapasitas telah dilakukan oleh masing masing sub-sub sistem dalam system peradilan pidana namun upnya yang dilakukan dengan menggunakan kewenangannya melalui dlskresi ternyata tidak bisa mengatasi over kapasitas. Dengan dlbentuknya Mahkamah Agung, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan, dan Kepolisian (Mahkumjakpol) dapat mengatasi lemahnya koordinasi yang selama ini masih menjadi kendala dan melakukan penekanan kembali kepada para penegak hukum untuk mulai menjalankan apa yang telah dibuat dan dituangkan dalam surat keputasan bersama pada forum Mahkumjakpol sehingga permasalah ego sektoral yang menjadi kendala selama ini dapat terkikis melalui forum tersebut.

as an institution and place of execution of court decisions has been experiencing excess occupants. If in addition a more intense punishment then becomes a queation of where these offenders will be placed. While the government currently can not fully support the needs of Corrections as an estuary of the criminal justice system. Departure from this background we want to know, first, what efforts have been made by the Criminal Justice Syatem in addressing over-capacity. Secondly, through this research we want to know what the -obstacles encountered in efforts to overcome the over-capacity in prisons by the sub-sub-systems within the criminal justice system. By using secondary data and empirical data in the form of interviews with several speakers who are directly related to the criminal justice system. Efforts in this regard to overeome the over-capacity has been carried out by each sub-sub-systems within the criminal justice system but the attempt was made to use its authority through the discretion was not able to cope with over-capacity. With the establishment of !he Supreme Court, Ministry of Justice and Human Rights, the Attorney General, and Police (Mahkumjakpol) can overcome the weakness of coordination that still be a constraint and return to their emphasis on law enforcement to begin running what has been made and poured in a joint decree Mahkumjakpol on the forum so thar sectoral ego problems that become obstacles for this can be eroded through the forum."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33667
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Hendroyono
"Tujuan pembangunan nasional sebagairnana dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Ketetapan MPH-RI No.11/MPR/1988 adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.
Selanjutnya, diuraikan dalam landasan pembangunan nasional, bahwa hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, maka landasan pelaksanaan pembangunan nasional adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Dari kedua rumusan tersebut di atas memperlihatkan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia tidak hanya berorientasi kepada pembangunan fisik (materiil) semata, melainkan diarahkan pula pada pembangunan yang bersifat non fisik (spiritual) dengan hakikat pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Konsep GBHN mengenai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya itu merupakan cerminan dari kenyataan empiris yang terjadi pada negara-negara lain, bahwa pelaksanaan pembangunan yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan materiil belum tentu dapat mensejahterakan masyarakatnya dan dalam pelaksanaannya pembangunan materiil tidak akan dapat berjalan lancar tanpa adanya dukungan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Bahkan dapat terjadi, hasil-hasil dari pembangunan materiil tersebut tidak dapat dinikmati oleh masyarakatnya, karena kebudayaan masyarakat bersangkutan belum sesuai dengan hasil-hasil pembangunan tersebut.
Pelaksanaan pembangunan bidang-bidang lainnya, mencakup ruang lingkup yang sangat luas, seperti sosial, budaya, hukum, pendidikan, ideologi, politik, pertahanan keamanan dan sebagainya. Pembangunan hukum sebagai salah satu bidang pembangunan, dirumuskan dalam GBHN sebagai berikut :
Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat
1. Memantapkan hasil-hasil pembangunan yang teiah dicapai.
2. Menciptakan kondisi yang lebih rnantap, sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati suasana serta iklirn ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan.
3. Lebih memberi dukungan dan pengamanan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Purnomo Hadi
"Pembebasan bersyarat, pada hakekatnya merupakan satu tahapan dari proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan. Tahapan itu merupakan rangkaian dalam penegakan hukum pidana, yang berarti menanggulangi kejahatan dengan sarana hukum pidana, yang dioperasionalkan melalui suatu sistem yang di sebut sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sebagai suatu sistem, maka akan didukung dengan unsur perundang-undangan (unsur substansial) dan unsur kelembagaan (unsur struktural) meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, yang harus bekerja secara terpadu. Namun, secara praktis, kenyataan menunjukkan, yang terjadi justru masih terdapat ketidakterpaduan baik unsur substansial maupun struktural, khususnya yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat. Dalam unsur substansial terdapat kontradiksi antara hukum pidana material dengan hukum pidana formal; antara hukum pidana material dengan hukum pelaksanaan pidana; antara hukum pidana formal dengan hukum pelaksanaan pidana.
Aspek yang sangat penting yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat, bahwa secara faktual sebagian besar narapidana ternyata hanya menjalani dan dibina di dalam lembaga pemasyarakatan kurang dari setengah masa pidana dari putusan hakim. Keadaan ini disebabkan karena cara penghitungan persyaratan masa menjalani pidana duapertiga yang tidak sesuai dengan ide KUHP yang menjadi dasar pembebasan bersyarat. Unsur struktural, juga masih terdapat ketidakserasian yang berkaitan dengan proses pemberian pembebasan bersyarat, yaitu tidak dilibatkannya Hakim Wasmat dalam proses pemberian pembebasan bersyarat. Ketidakserasian itu berarti mengarah pada ketidakterpaduan sistem peradilan pidana, yang jika tidak diadakan perbaikan, justru dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kejahatan, atau faktor kriminogen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Setia Wibawa
"Dinamika perkembangan hukum pidana di Indonesia mulai mengarah kepada restorative justice. Hal ini didukung dengan kehadiran Undang-Undang Pemasyarakatan tahun 2022 dan Undang-Undang Hukum Pidana Baru tahun 2023 yang memiliki semangat restorative justice dalam pelaksanaannya. Implikasi kedua undang-undang tersebut terhadap Pemasyarakatan juga turut memperluas tugas dan fungsi di setiap proses peradilan pidana khususnya untuk pelaku dewasa. Meskipun demikian, untuk sistem peradilan pidana umum, Pemasyarakatan belum memiliki model mengenai pelaksanaan restorative justice. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut dari kedua Undang-Undang tersebut maka diperlukan suatu model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan oleh Pemasyarakatan. Penelitian ini dilakukan untuk mencari model restorative justice Pemasyarakatan dalam dua konteks berbeda yaitu dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain dan dalam fungsi Pemasyaratan seperti pembinaan dan pembimbingan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen peraturan-peraturan terkait pelaksanaan restorative justice di Indonesia serta wawancara studi lapangan. Kemudian peneliti menggunakan teknik delphi untuk memvalidasi rencana model yang telah diusulkan berdasarkan kerangka teoritik Evidence-Based Practice. Hasil penelitian memperoleh konsensus terhadap lima model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan Pemasyarakatan dalam dua konteks tersebut. Model dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain ditujukan untuk memberikan rekomendasi kepada penegak hukum melalui penelitian kemasyarakatan (litmas) yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Sedangkan model dalam fungsi pembinaan dan pembimbingan dilakukan untuk memperbaiki hubungan antara pelaku, masyarakat dan korban melalui program pembinaan dan pembimbingan. Untuk mendukung pelaksanaan model yang telah disusun, diperlukan dasar hukum yang mengikat seluruh aparat penegak hukum, reformulasi terhadap litmas dan penguatan struktur lembaga-lembaga terkait.

The dynamics of the development of criminal law in Indonesia are starting to lead to restorative justice. This is supported by the presence of the Corrections Law of 2022 and the New Criminal Law Law of 2023 which have a spirit of restorative justice in their implementation. The implications of these two laws for Pemasyarakatan also expand the duties and functions in every criminal justice process, especially for adult offenders. However, for the criminal justice system, Pemasyarakatan do not yet have a model for implementing restorative justice. Therefore, as a follow-up to these two laws, a restorative justice implementation model is needed that can be carried out by Pemasyarakatan. This research was conducted to look for a restorative correctional justice model in two different contexts, namely in relation to other criminal justice sub-systems and in Pemasyarakatan functions such as rehabilitation and guidance. The research method used was a study of regulatory documents related to the implementation of restorative justice in Indonesia and field interviews. Then Delphi technique was used to validate the proposed model based on the Evidence-Based Practice theoretical framework. The research results obtained a consensus on five models of implementing restorative justice that can be carried out by Pemasyarakatan in these two contexts. The model in relation to other criminal justice sub-systems is aimed at providing recommendations to law enforcers through social inquiry reports (litmas) carried out by Probation Officers. Meanwhile, the model in the coaching and mentoring function is carried out to improve the relationship between the perpetrator, the community and the victim through a rehabilitation and guidance program. To support the model that has been prepared, a legal basis is needed that binds all law enforcement officials, reformulation of social inquiry reports and strengthening the structure of related institutions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bimo Wiroprayogo
"Skripsi ini membahas mengenai diversi yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) berdasarkan pendekatan keadilan restoratif sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2012. Pembahasan dilakukan dengan menganalisis teori mengenai perilaku delikuensi anak yang kemudian dapat menghasilkan anak yang berhadapan dengan hukum, diversi, dan pendekatan keadilan restoratif, serta peran serta Balai Pemasyarakatn sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2012.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk meneliti kepastian hukum berdasarkan studi kepustakaan (dokumen atau penelitian kepustakaan) dan hukum positif yang ada, serta dengan wawancara dengan narasumber yang mengatakan bahwa Balai Pemasyarakatan tidak mempunyai fungsi diversi secara penuh, dan diversi yang dilakukan tidak menyeluruh memenuhi aspek-aspek dalam pendekatan keadilan restoratif.

This thesis deals with the diversion is done by Balai Pemasyarakatan (Bapas) based on restorative justice approaches in accordance with The Juvenille Justice System Act Number 11 of 2012. The matters are done by analyzing the theories about the behavior of delinquent children who can then produce children who are dealing with the law, diversion, and restorative justice approaches, as well as the role of Balai Pemasyarakatan (Bapas) based on The Juvenille Justice System Act Number 11 of 2012.
This research is juridical normative research that aims to examine the legal certainty based on the study of librarianship (the document or research libraries) and the existing positive law, as well as with interviews with the speakers, conclude that Balai Pemasyarakatan (Bapas) has no function fully versioned, and not done thorough fulfilling aspects of restorative justice approaches.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56722
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>