Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92273 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Slamet Riajadi
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S22375
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Lisa Diana
"Pencegahan menurut Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.30 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan (Cekal) adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk keluar dari wilayah Republik Indonesia. Jaksa Agung berwenang untuk mencegah atau melarang orang-orang tertentu untuk masuk ke dalam atau meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana berdasarkan Pasal 32 huruf g Undang-undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pencegahan tersebut dilakukan dalam rangka mendukung operasi yustisi dalam tahap penyidikan yang tertuang dalam Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. Kep-042/D/Dsp.3/03/2001. Tindak Pidana yang dilakukan oleh anggota militer bersama-sama dengan orang sipil di dalam hukum acara dikenal dengan koneksitas. Pada prinsipnya, perkara koneksitas akan diperiksa oleh tim koneksitas dalam proses penyidikannya. Secara umum, yang dapat bertindak sebagai penyidik adalah Polisi dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Namun, Pasal 284 ayat (2) KUHAP Jo. Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk melakukan penyidikan. Penyidikan tersebut terbatas pada tindak yang memiliki ketentuan khusus hukum acara pidana, misalnya Undang-undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Korupsi. Pasal 26 Undang-undang tersebut menentukan bahwa Jaksa Agung sebagai pemimpin dan koordinator dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota militer bersama-sama dengan orang sipil. Ditambah lagi, Pasal 7 ayat (1) Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman No. Kep. 10/M/XII/1983 dan No.M.57.PR.09.03 Tahun 1983 Tentang Pembentukan Tim Tetap untuk Penyidikan Perkara Pidana Koneksitas sebagai implementasi dari Pasal 89 ayat (3) KUHAP mengenai pembentukan Tim Tetap Koneksitas yang bertindak sebagai penyidk dalam perkara koneksitas menyatakan bahwa kejaksaan menjadi bagian dalam Tim Tetap koneksitas di dalam tindak pidana khusus."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sinrang
"Pada awal reformasi isu utama yang perlu dibenahi terkait dua hal yaitu maraknya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan pemerintahan yang totaliter. Kejaksaan merupakan salah satu lembaga penegak hukum yang saran dengan KKN, oleh karena itu perlu adanya pembanasan internal kelembagaan sesuai dengan agenda reformasi di bidang hukum tersebut. Naskah kesepakatan bersama pimpinan lembaga penegak hukum yang isinya perlu dikembangkan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel yang salah pointnya adalah pengakajian atas kemungkinan pengembangan lembaga pengawasan eksternal kejaksaan. Pengawasan di dalam lembaga (internal control) itu sendiri dari dulu sudah dikenal seperti Pengawasan melekat (WASKAT), di kejaksaan sendiri ada JAMWAS dan Inspektur-Inspektur, tetapi sampai sekarang masih ada KKN sehingga muncul ide pembentukan semacam lembaga di luar untuk mengawasi lembaga kejaksaan. Isu tentang perlu dibentuknya pengawasan eksternal kejaksaan berkembang dengan masuknya dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kejaksaan RI.
Dalam pembahasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun tentang Kejaksaan Republik Indonesia disepakati Pasal 38 bahwa "untuk meningkatkan kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden. Dengan kata "meningkatkan kenirja kejaksaan", maka salah faktor untuk meningkatkan kinerja adalah masalah pengawasan. Pelaksanaan dari amanat Pasal 38 tersebut maka dibentuklah Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan RI. Dengan terbentuknya Komisi Kejaksaan yang mempunyai tugas utama sebagai lembaga pengawasan eksternal kejaksaan mernungkinkan adanya tumpang-tindih dengan kewenangan dengan pengawasan internal kejaksaan yang dilakukan oleh JAMWAS beserta jajarannya.
Dengan tugas dan wewenang yang obyeknya sama sebagai lembaga pengawasan maka diperlukan adalah prinsip koordinasi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing sehingga sehingga tercipta suatu mekanisme pengawasan terhadap lembaga kejaksan yang baku, transparan, akuntabel dan partisipatif. Dengan prinsip koordinasi maka keberadaan Komisi Kejaksaan tidak tumpang tindih dengan tugas dan kewenangan pengasan internal kejaksaan dan justru dapat mendorong peningkatan kinerja lembaga pengawasan internal kejaksaan dan kejaksaan secara umum. Dengan demikian kehadiran Komisi Kejaksaan patut disambut secara positif untuk melaksanakan salah satu agenda reformasi, khususnya reformasi di bidang hukum. (Sinrang, Komisi Kejaksaan Sebagai Perwujudan Partisipasi Publik Dalam Pengasawasan Lembaga Kejaksaan)."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14498
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Nurhedi
"Salah satu masalah penegakan hukum yang mendapat sorotan begitu tajam dari masyarakat adalah masalah buruknya kinerja, kualitas, dan integritas aparat penegak hukum. Fungsi pengawasan sebagai faktor penting dalam menjaga dan meningkatkan kinerja penegak hukum dianggap lemah dan belum berjalan secara optimal. Hal tersebut mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Lembaga kejaksaan sebagai salah satu pilar penegak hukum pun tidak luput dari permasalahan ini. Pada dasarnya, pengawasan terhadap jaksa dan kejaksaan sudah dilaksanakan baik secara internal maupun secara eksternal. Namun, masyarakat menilai bahwa pelaksanaan pengawasan yang dilaksanakan selama ini tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Pengawasan secara internal yang dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan menghadapi berbagai permasalahan yang rumit dan kompleks. Pengawasan secara eksternal pun tidak dapat berpengaruh banyak. Perubahan sistem yang menyeluruh serta perubahan sikap budaya kerja Kejaksaan menjadi suatu keharusan. Pembaharuan pengawasan harus bertujuan agar pelaksaanaan tugas dan wewenang kejaksaan berjalan efektif, efisien sehingga mampu meningkatkan citra kejakssaan di mata publik. Dengan berdasar pada Pasal 38 Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Presiden menetapkan Peraturan Presiden No. 18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan. Tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan tidak saja melakukan pengawasan terhadap jaksa dan pegawai kejaksaan, tetapi juga melakukan pemantauan terhadap organisasi, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia kejaksaan. Begitu besar dan beratnya tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan harus diimbangi dengan kualitas dan integritas anggotanya serta adanya kejelasan dalam tata cara mekanisme pengawasan. Sebagai lembaga baru, Komisi Kejaksaan memberikan harapan adanya perbaikan dan perubahan pada kejaksaan. Oleh karenanya, Komisi Kejaksaan harus segera melakukan langkah nyata dalam melakukan pembaharuan pengawasan terhadap kejaksaan serta kehadirannya dapat meningkatkan optimisme publik terhadap pembaharuan Kejaksaan secara keseluruhan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Machtiar Siwa
Depok: Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanafi Kausar
"ABSTRAK
Salah satu wewenang kejaksaan dalam bidang pidana menurut undang-undang pokok kejaksaan adalah melengkapi berkas perkara tertentu dengan melakukan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan tambahan dilakukan untuk memperoleh kepastian penyelesaian perkara dalam rangka pelaksanaan asas peradilan cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan serta menjamin kepastian hukum, hak-hak asasi pencari keadilan, baik tersangka, terdakwa, saksi korban, maupun kepentingan umum. Metode Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan kewenangan pemeriksaan tambahan terdapat permasalahan yuridis antara lain mengenai tidak jelasnya pengaturan mengenai tindakan penuntut umum dalam melakukan pemeriksaan tambahan, ketentuan pemeriksaan tambahan tidak singkron dengan hukum acara yang berlaku, serta adanya pembatasan-pembatasan dalam ketentuan pemeriksaan tambahan. Permasalahan yuridis tersebut menyebabkan disatu sisi pelaksanaan pemeriksaan tambahan oleh penuntut umum pada prakteknya mengalami kendala-kendala sehingga pemeriksaan tambahan boleh dikatakan jarang dilakukan oleh penuntut umum dan sisi lain ada hak tersangka yang dilanggar dalam kaitannya dengan due process of law.

ABSTRACT
A part prosecutor’s power in criminal process is a power to complete certain types of case files, and for such purposes, to conduct additional investigations prior to the forwarding of such files to the court, which investigations in practice are to be carried out in condition with the investigators. Additional investigations established for certainty of criminal case completion in order to fulfill swift, simple dan low cost trial’s principle, guaranteeing legal certainty, Human right of justice seekers such as suspect, defendant, witness, victim or public interest. This research used an analytical descriptive normative juridical methods. The research concluded there are some legal issues on additional investigation’s practise such as uncertainty regulation of prosecutor’s conduct, unsynchronized to criminal procedural law and the existence some limitations. The legal issues become an obstruction to the prosecutors to conduct additional investigations that caused it’s seem rarely practised and in correlation with due process of law, suspect’s rights are violated."
Universitas Indonesia, 2013
T35262
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Situmorang, Meiber Oloan
"Tindak Pidana Kepabeanan adalah merupakan tindak pidana khusus yang memerlukan keahlian yang khusus pula untuk dapat membuat terang suatu tindak pidana kepabeanan yang terjadi. Batasan dari suatu tindak pidana yang merupakan tindak pidana kepabeanan diatur dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Terdapat penyimpangan dalam mekanisme penyidikan tindak pidana kepabeanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995 dengan mekanisme penyidikan yang diatur dalam KUHAP. Dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995, kewajiban pemberitahuan dimulainya penyidikan atau dihentikannya penyidikan disampaikan langsung kepada Penuntut Umum, sedangkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kewajiban pemberitahuan tersebut harus melalui Penyidik Polri. Dalam Prakteknya, terdapat perbedaan penafsiran atas pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana kepabeanan, yaitu antara Pegawai Bea dan Cukai sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur pada Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995 dengan kewenangan Penyidik Polri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Sesuai dengan azas Lex Specialis derogat legi generalis, maka mekanisme penyidikan tindak pidana kepabeanan dan kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana kepabeanan dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1995. Dengan adanya suatu kepastian hukum terhadap pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana kepabeanan, maka diharapkan pengungkapan terhadap suatu tindak pidana kepabeanan yang terjadi dapat dilaksanakan dengan cepat, murah, efisien dan sederhana, yang pada gilirannya akan menciptakan suatu tertib hukum di masyarakat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>