Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145032 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amir Hamzah
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S24547
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Dari perspektif perkara dugaan malpraktik medik yamg karakteristik peristiwanya berbeda dengan peristiwa perdata lain (membutuhkan pengetahuan dan kompetensi teknis yang khusus) dan justifikasi medis (medical judgement) yang syarat dengan dimensi hukumn dan medis (medikolegal), kekuatan pembuktian ahli yang memberikan kesaksian (alat bukti saksi) seharusnya mengikat. Jika hakim tidak terikat dengan keterangan ahli ini, maka sulit sekali diterima akal jika keputusam hakim atas benar tidaknya perbuatan seorang dokter yang diduga melakukan malpraktik medik didasarkan atas keterangan saksi yang bukan ahli(bukan dokter)."
JHK 3:5 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sidabutar, Marluga
"Pendapat Muladi dalam media massa yang menyatakan adanya kalangan akademisi yang telah melacurkan pengetahuan akademisnya sebagai seorang ahli dalam persidangan, khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi, patut dicermati. Hal ini didasari adanya perkara tindak pidana korupsi yang dalam pertimbangan putusan akhir majelis hakim, sangat didominasi oleh pendapat para ahli. Dalam hal ini, apa keterangan ahli telah mengenyampingkan alat bukti lain dalam hal pembuktian perkara pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi. Dalam penelitian hukum ini, yang kemudian menjadi pokok permasalahan pertama, adalah bagaimana pengaruh/peranan keterangan ahli dalam pertimbangan putusan akhir majelis hakim untuk perkara tindak pidana korupsi. Terhadap pokok permasalahan tersebut, dapat dilihat bahwa keterangan ahli dalam studi kasus penelitian hukum ini memegang peranan penting dalam pertimbangan putusan akhir majelis hakim. Hal ini dapat dilihat dengan dibutuhkannya pendapat ahli dalam menentukan perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa dan dalam hal ada tidaknya unsur kerugian negara dalam tindak pidana korupsi tersebut. Adapun yang menjadi pokok permasalahan kedua adalah mengenai kriteria atau batasan seorang ahli dalam tindak pidana korupsi. Apa batasan ini perlu secara limitatif diadakan pengaturannya dalam peraturan perundangundangan tindak pidana korupsi. Terhadap pokok permasalahan ini, tidak perlu diatur secara khusus kriteria seorang ahli. Hal ini cukup mengacu pada Pasal 1 butir 28 KUHAP, di mana ahli tersebut harus memiliki keahlian khusus, baik yang diperoleh dari pendidikan formal, maupun dari pelatihan atau pengelaman khusus. Pokok permasalahan yang terakhir adalah dalam hal keterangan yang telah diberikan oleh ahli tidak relevan dengan perkara korupsi yang disidangkan, apa keterangan ahli tersebut masih dapat dianggap sebagai keterangan ahli. Terhadap hal ini, keterangan ahli tersebut tetap bernilai sebagai keterangan ahli. Hal ini dikarenakan bebasnya nilai kekuatan pembuktian dari keterangan ahli itu sendiri. Dengan demikian, hakim bebas dalam menentukan apa keterangan ahli tersebut relevan atau tidak dalam persidangan, yang akan berimbas pada digunakan atau tidak keterangan ahli tersebut dalam pertimbangan putusan akhir dari majelis hakim."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21979
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fernandes Raja Soar
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22624
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sahala David Domein
"Keterangan ahli sebagai alat bukti dalam peradilan pidana semakin mendesak dalam proses pembuktian karena sifat pembuktian yang semakin ilmiah. Namun, di Indonesia pengaturan terkait keterangan ahli sangat minim dan tidak menyeluruh. Keadaan ini berdampak pada permasalahan terkait posisi ahli terhadap pihak dalam perkara. Beberapa kasus gugatan terhadap ahli terjadi belakangan ini di Indonesia karena ketidakpastian ini. Pada praktik peradilan pidana di berbagai negara, terdapat perbedaan kebijakan mengenai perlindungan ahli dalam bentuk hak imunitas. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas mengenai pertanggungjawaban ahli terhadap para pihak dalam peradilan pidana dan hak imunitas yang secara khusus diberikan kepadanya, kemudian dikaitkan dengan posisi serta kualifikasi ahli. Penelitian ini bersifat deskriptif dan bertujuan untuk mencari permasalahan dari suatu fenomena. Penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan dari berbagai bahan hukum untuk dapat menganalisis penerapannya di Indonesia pada pertimbangan hakim dalam putusan No. 47/Pdt.G/2018/PN.CBI, selain itu ditambah data hasil wawancara dari penegak hukum dan ahli sendiri. Penelitian ini menyimpulkan bahwa diperlukan kebijakan yang tegas mengenai posisi ahli terhadap para pihak supaya ada kepastian mengenai pertanggungjawaban ahli. Maka dari itu, disarankan agar dibentuk suatu pengaturan yang tegas dan komprehensif mengenai ahli dengan mempelajari perkembangan di negara dengan berbagai sistem peradilan pidana, misalnya Amerika Serikat dan Belanda.

Expert testimony as means of evidence in criminal justice system is increasingly urgent in the also increasingly scientific nature of proof. Meanwhile, in Indonesia, regulations relating to expert and expert testimony are minimal if any and are not comprehensive. This problem affects, foremost, the position of expert toward parties in the case. Several cases of claims against expert have recently arisen in Indonesia because of this problem. In criminal justice practices across countries, there are different policies regarding expert legal protection in the form of immunity rights. Therefore, this thesis will discuss the expert liability towards parties in criminal justice system and immunity that specifically given to experts, then connected with the position and qualification of experts. This research is descriptive by nature and aims to find the problem of this phenomenon. This research was conducted with a literature study of various legal materials then to analyze the application in Indonesia, particularly in decision No. 47/Pdt.G/2018/PN.CBI. with addition to the data interviews with law enforcer and expert themselves. This research concludes that a firm policy is needed regarding the position of expert toward parties in the case so that there is certainty on expert’s liability. Therefore, this research recommends that a firm and comprehensive regulation need to be established regarding expert by considering developments in countries with various criminal justice systems, for example the United States of America and Netherlands."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ingrid Gratsya Zega
"Dalam pengaturan kartel di Indonesia, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Rule of Reason, dengan kata lain harus ada proses pembuktian yang menunjukkan bahwa memang telah terjadi praktek kartel diantara para pelaku usaha. Diseluruh negara di dunia yang memberlakukan Hukum Persaingan Usaha, praktek kartel merupakan pelanggaran yang sangat sulit untuk dibuktikan. Hal ini dikarenakan kasus kartel jarang atau tidak memiliki bukti langsung (direct evidence/hard evidence), mengingat pada umumya perjanjian kartel tidak dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Dikarenakan kesulitan tersebut, munculnya praktek penggunaan indirect evidence sebagai alat bukti pun banyak dilakukan di berbagai negara, didasari pertimbangan bahwa memang sulit memperoleh bukti langsung dari praktek kartel. Pada praktiknya, yang kerap digunakan KPPU sebagai indirect evidence adalah hasil analisis terhadap hasil pengolahan data yang mencerminkan terjadinya supernormal profit yang terjadi bukan karena peningkatan efisiensi dan produktivitas perusahaan. Jika melihat putusan KPPU atas kasus dugaan kartel fuel surcharge (komponen tarif baru yang ditujukan untuk menutup biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur sebagai imbas dari kenaikan harga minyak dunia) oleh sembilan maskapai penerbangan di Indonesia, maka kasus ini diputus didasarkan pada bukti tidak langsung (indirect evidence). Dalam putusannya Majelis KPPU menggunakan uji korelasi dan homogeneity variance test, yang sampai pada kesimpulan bahwa pergerakan fuel surcharge menunjukkan adanya trend yang sama diantara para terlapor (maskapai penerbangan). KPPU menilai sejak diberlakukan komponen tarif baru ini, fuel surcharge penerbangan mengalami kenaikan yang signifikan, dan tetap diberlakukan meskipun harga minyak dunia (avtur) mengalami penurunan yang signifikan. Dari apa yang terdapat dalam Peraturan KPPU, maka indirect evidence termasuk dalam kategori bukti petunjuk. Namun dalam Peraturan KPPU tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut apa saja yang termasuk dalam alat bukti petunjuk, hanya saja disebutkan bahwa petunjuk merupakan pengetahuan Majelis Komisi yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.

In analyzing the cartel, there are two kinds of business competition law approach is used, i.e. Per Se Illegal and Rule of Reason. In the cartel arrangements in Indonesia, the approach used is Rule of Reason, in other words there should be a process of evidence showing that indeed there has been a cartel practices among business actors. Around country in the world imposing a Business Competition Law, the cartel practice is a violation that is very difficult to prove. It because of cartel cases rarely or do not have direct evidence which is not generally made under a written agreement. Due to these difficulties, the emergence of using practice of indirect evidence as a proof was mostly done in many countries, based on the consideration it was difficult to obtain direct evidence. In practice, that is often used by the Business Competition Supervisory Commission as indirect evidence is the result of an analysis of data processing reflecting the occurrence of supernormal profits which is not due to the increased efficiency and productivity of the company. In its decision in case of alleged cartel fuel surcharge (new tariff component intended to cover expenses as the impact of the increased aviation fuel price affected by the rising world oil prices) by nine airlines in Indonesia, commission decided it based on indirect evidence (indirect evidence). In its decision the Commission used correlation and variance homogeneity test, which brought to the conclusion that the movement of fuel surcharge showed the same trend among the reported (airlines). The Commission considered since enacted the new tariff components, the fuel surcharge flights experienced a significant increase, and remain in place despite world oil prices (aviation fuel) has decreased significantly. From what is contained in the Commission's Regulations, indirect evidence is categorized as clue proof. In the Regulation itself is not explained further what is included in the clue proof, it's just mentioned that the clue is the knowledge by which the Commission is known and believed the truth."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29451
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Uni Ilian Marcianty
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>