Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77162 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwika Yos Pratama
"Skripsi ini membahas mengenai bagaimana seorang anak yang melakukan suatu tindak pidana mendapatkan suatu haknya atas bantuan hukum. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memuat ketentuan bahwa seorang anak yang melakukan suatu tindak pidana berhak untuk di dampingi oleh penasehat hukum sejak ia ditangkap sampai proses pemeriksaan di Pengadilan. Pemberian hak untuk mendapatkan bantuan hukum terhadap anak yang menjadi pelaku suatu tindak pidana adalah agar proses pemeriksaan baik di tingkat penyidikan maupun sampai di tingkat pengadilan berjalan sesuai dengan proses hukum tanpa adanya intimidasi terhadap anak maupun tindakan kesewenangan dalam pemeriksaan terhadap anak.

This thesis is concerning the protection of children’s right as criminal subject (actors) to gain legal aid. Law No. 23/2003 concerning Children’s Protection regulate that every child are guaranteed to be accompany by lawyer in every process of criminal justice system. Distribution of children’s legal aid is to avoid intimidation of child or misbehave Treatment from investigation until trial process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S24932
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Kusuma Amanda
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S21794
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ove Syaifudin Abdullah
"Secara konsep perlu adanya pembedaan antara subjek hukum anak dengan subjek hukum orang dewasa. Anak harus dianggap berbeda dengan orang dewasa karena anak tidak mengerti tolak ukur moral yang ada dimasyarakat. Anak-anak belum mengerti secara utuh atas kesalahan yang ia perbuatan, sehingga anak dipandang sebagai orang dewasa yang belum cakap, secara moral dan tidak memiliki kesalahan yang sama dengan orang dewasa. Penerapan dasar penghapus pidana pembelaan terpaksa di Indonesia tidak memiliki standar tertentu dalam menentukan apakah seorang subjek hukum yang melakukan perbuatan pembelaan diri tersebut telah dapat dikatakan wajar atau tidak. Untuk menentukan standar perbuatan pembelaan yang wajar perlu terpenuhinya asas subsidiaritas dan proporsionalitas. Penentuan standar tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pengetahuan dan kemampuan hakim dalam menilai perkara yang terjadi. Hakim dalam menilai pembelaan paksa yang dilakukan oleh anak haruslah menggunakan standar yang berbeda dengan orang dewasa yang melakukan pembelaan terpaksa. Melalui metode penelitian yuridis normatif, dengan pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan putusan pengadilan di Indonesia, penelitian ini berupaya menganalisis penerapan dasar pengahapus pidana pembelaan terpaksa terhadap subjek hukum anak di Indonesia dan diperbandinkan dengan konsep pembelaan paksa di Amerika Serikat. Hasil dari penilitian ini menunujukan bahwa terhadap perkara yang pembelaan terpaksa yang dilakukan oleh seorang anak dalam kasus di Indonesia. Apabila adanya rentang waktu antara serangan atau ancaman serangan terhadap diri anak tersebut, Majelis Hakim cenderung berpandangan bahwa anak dalam situasi tersebut, seharusnya dapat berfikir untuk melakukan upaya lain seperti menghindar ataupun melarikan diri. Sedangkan pada konsep pembelaan paksa di Amerika Serikat adanya rentang waktu antara serangan atau ancaman serangan terhadap diri anak itu, haruslah dipandang sebagai suatu tekanan psikologi, yang membuat Anak-anak ini terus-menerus mengkhawatirkan diri mereka. Oleh karena standar yang digunakan Amerika Serikat dalam mengukur perbuatan pada anak cukup didasarkan dengan adanya ketakutan dan/atau keyakinan atas serangan atau sncaman serangan yang akan segera terjadi terhadap dirinya.

Conceptually, there needs to be a distinction between children and adult legal subjects. Children must be considered different from adults cause they do not fully understand the mistakes they make, so children are seen as adults who are not yet capable, morally and do not have the same mistakes as adults. The application of Exclusion Criminal Punishment self defense in Indonesia does not have a certain standard. To determine the standard of reasonable defense, it is necessary to fulfill the principles of subsidiarity and proportionality. The determination of the standard is left entirely to the knowledge and ability of the judge in assessing the case. Judges in assessing forced defense committed by children must use different standards from adults who commit forced defense. Through the normative juridical research method, with data collection using literature study and court decisions in Indonesia, this research seeks to analyze the application of exclusion criminal punishment self defense against child legal subjects in Indonesia and compared with the concept of forced defense in the United States. The results of this research indicate that in cases of forced defense committed by a child in Indonesia. If there is a time span between attacks or threats of attacks against the child, the judges tend to think that the child in that situation should be able to think of making other efforts such as avoidance or escape. Whereas in the concept of forced defense in the United States, the time between attacks or threats of attacks on the child should be viewed as a psychological pressure, which makes these children constantly worry about themselves. Therefore, the standard used by the United States in measuring the actions of children is based on the fear and/or belief of an imminent attack or threat of attack against them."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Indria Rininta
"Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara, dalam konstitusi Indonesia secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tujuan dan kepentingan terbaik bagi anak harus didahulukan, sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi Hak Anak, Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-Hak Anak tahun 1959 dan dalam The Beijing Rules yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Anak yang melakukan tindak pidana tidak dipandang sebagai seorang penjahat, tetapi harus dilihat sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang, serta pengenaan sanksi hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana hendaknya lebih mengutamakan pendekatan persuasif-edukatif dan pendekatan kejiwaan.
Sistem pemidanaan yang bersifat edukatif sebagai sistem pemidanaan yang bersifat mendidik telah jelas tersirat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Salah satu alternatif dalam menangani kasus anak dengan menggunakan konsep diversi dan restorative justice. Restorative justice adalah merupakan suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah dengan melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana, anak korban, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
The Beijing Rules telah memberikan pedoman sebagai upaya untuk menghindari dampak negatif dari proses peradilan pidana terhadap anak tersebut, dengan memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum mengambil tindakan-tindakan kebijakan dalam menangani dan menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal, antara lain dengan menghentikan proses pengadilan dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya, tindakan-tindakan ini disebut diversi. Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani adalah Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Departemen Sosial yang memberikan layanan rehabilitasi sosial terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satu program Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani adalah menyelenggarakan pendidikan formal dan pelatihan kecakapan hidup yang bersifat non-formal yang mengarah pada kemandirian anak yang berhadapan dengan hukum.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat normatif dengan spesifikasi deskriptif analitis. Jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh secara langsung di lapangan dan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Lokasi penelitian adalah Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang, Lembaga Pemasyarakatan Anak Wanita Tangerang dan Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani yang terletak di Jakarta Timur. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemidanaan edukatif terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dapat dilaksanakan secara efektif di PSMP Handayani Jakarta Timur.

Child is a part of which do not be locked out of man viability and continuity of one nation and state, in Indonesian constitution explicit being declared that country secures each child be entitled to viability, grow up and amends and be entitled to protection of violence and discrimination. The best interest of the child have precedence over, as affirmed in Convention on the Rights of the Child, Declaration of United Nation concerning on the Rights of the Child year 1959 and in The Beijing Rules ratified through Decision of President Number 36 Year 1990 About Authentication of Convention on the Rights of the Child. Thereby, hence child conducting an injustice do not be viewed as a criminal, but have to be seen as one who need aid, affection and congeniality and also imposition of criminal law sanction to child as perpetrator of doing an injustice shall be more major approach of psychological and persuasive-educative approach.
Penalization system having the character of edukative as educative penalization system have implicit clear in Code Number 3 Year 1997 about Justice Of Child, with aim to be able to materializes jurisdiction of protection of the best interest of the juvenile delinquence as router of nation, meant to protect the juvenile delinquence to be able to breast its future which still length and giving chance to child to be passing construction will be gotten their character to become self-supporting human being, holding responsible and good for ownself, family, society, nation and state. One of the alternative in handling child case by using diversion concept and restorative justice. Restorative justice is an approaching that emphasizes on recover loss that evoked by crime where all party in concerned in a certain doing an injustice together solve problem, creating an obligation to make everything become better by entangling child as perpetrator of doing an injustice, victim child, and society in searching solution to improve, reconciliation and liver which is do not pursuant to retaliation.
The Beijing Rules have given guidance as effort to avoid negative impact of criminal justice process to child, by giving authorities to government officer enforcer of law take policy actions in handling and finishing the problem of trespasser of child without taking formal form, for example discontinuing or discharge from litigation or return or deliver to forms and society activity of service of other social, this actions is referred as diversion. Social House of Marsudi Putra (PSMP) Handayani is Technical Unit Executor in Social Departmental. This House give service rehabilitate social to juvenile delinquence. One of the program of Social House of Marsudi Putra (PSMP) Handayani is to carry out formal education and training of efficiency of life having the character of non-formal which is flange at child independence which deal with law.
This research use research method of normatif with analytical descriptive specification. Data type the used is obtained primary data directly in data and field of sekunder obtained through bibliography study. Research location is Institute of Pemasyarakatan Child Man of Tangerang, Institute Pemasyarakatan Child Woman of Tangerang and Social House of Marsudi Putra (PSMP) Handayani which located in East Jakarta. Pursuant to result of research can be concluded that educative punishment to juvenile delinquence can be executed effectively in PSMP Handayani East Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30260
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mahmutarom HR.
"Negara Indonesia sampai saat ini masih tergolong sebagai negara berkembang, suatu istilah untuk menyebut negara yang belum maju. Oleh sebab itu, pembangunan di segala bidang masih terus dilakukan sampai sekarang. Masa pembangunan itu sendiri identik dengan masa perubahan ke tingkat yang lebih tinggi, yang meliputi bidang sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Sedangkan dalam mewujudkan pembangunan itu sendiri tidak dapat lepas dari sumber dana untuk pembiayaannya. Pada masa yang lalu, sumber keuangan negara tersebut dapat tercukupi dengan mengandalkan sumber dana dari sektor minyak dan gas bumi. Hal ini dapat dilihat bahwa pada tahun 1985-1986, sumber devisa negara dari sektor minyak dan gas bumi masih berkisar pada angka kurang lebih 70%. Akan tetapi, keadaan dunia internasional pada waktu itu tidak begitu menguntungkan perekonomian Indonesia yang masih sangat tergantung dari sektor minyak dan gas bumi tersebut. Hal ini disebabkan beberapa penghasil minyak dan gas bumi di Timur Tengah terlibat dalam peperangan, sehingga banyak membutuhkan biaya untuk keperluan angkatan perangnya. Cara termudah adalah dengan memompa minyak sebanyak-banyaknya, sehingga persediaan minyak di pasaran dunia menjadi melimpah. Persediaan minyak yang membawa dampak merosotnya harga minyak secara tajam, bahkan mencapai tingkat yang serendah-rendahnya , yaitu US $8 per barel dari harga patokan US$18 per barel."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Iwan Arto Koesoemo
"Dalam undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) tersebut diatur bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Kelanjutan pokok ini ialah beban pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dipertanggungjawabkan kepada pihak pencemar dan perusak, sehingga sanksi hukum dipertanggungjawabkan kepada pihak yang mencemari dan rnerusak lingkungan hidup.
Perkembangan korporasi di Indonesia dalam waktu singkat menjadi sangat cepat dan pesat karena sifatnya yang sangat ekspansif menjangkau seluruh wilayah bisnis yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan subur dan mendatangkan keuntungan. Hal lain ditandai juga dengan peranan oleh pemerintah melalui peraturan-peraturan yang memberikan kemudahan berusaha dan fasilitas lainnya. Korporasi sebagai pelaku kejahatan dan tindak pidana lingkungan hidup sebagai sebuah delik harus dilihat dalam kerangka pembangunan berkesinambungan.
Fungsi dari UUPLH adalah merupakan "payung" (umbrella provision) yang dalam ketentuannya hanya mengatur hal-hal yang pokok saja, maka sebelum ada peraturan pelaksananya sudah barang tentu dalam penerapannya akan menghadapi hambatan. Dalam kasus perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup terdapat kesulitan bagi aparat penyidik untuk menyediakan alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP. Di samping itu, pembuktian unsur hubungan kausal merupakan kendala tersendiri. pencemaran lingkungan hidup sering terjadi secara kumulatif, sehingga sulit untuk membuktikan sumber pencemaran, terutama yang bersifat kimiawi. Selain menyediakan alat bukti, penyidik juga harus cermat dalam menentukan tersangkanya yang ternyata sulit untuk menempatkan korporasi sebagai tersangka. Kesulitan ini dirasakan oleh penyidik pada saat menghubungkan antara tindak pidana dengan bukti-bukti yang mengarah pada suatu pelaku tindak pidana yang notabene adalah fiksi hukum.
Pada tingkat penuntutan kesulitan yang dihadapi oleh Penuntut Umum sebagai pihak yang membawa perkara tersebut di muka pengadilan adalah memenuhi persyaratan formil dan materiil KUHAP khususnya Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Apabila ketentuan pada Pasal 143 ayat (2) KUHAP tersebut tidak dipenuhi maka pada Pasal 143 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa surat dakwaan tersebut batal demi hukum. Dihubungkan dengan korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup, jaksa harus mempertahankan hasil penyidikan yang disertai dengan bukti-bukti kuat yang nantinya bisa membawa pada putusan final hakim yang menyatakan korporasi bersalah.
Dalam penelitian ini penulis berusaha untuk mengungkapkan kendala-kendala yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi serta untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi oleh Kepolisian dan Kejaksaan dalam penerapan aturan pidana dalam rangka penuntutan terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup di Indonesia. Pada akhir penelitian, penulis mampu untuk menemukan permasalahan-permasalahan pokok yang menjadi penghambat dalam penuntutan korporasi untuk tindak pidana lingkungan hidup."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14555
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liwi Biantoro
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25019
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Dian Sari
"ABSTRAK Pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, salah satu diantaranya adalah perlawanan dari berbagai pihak dalam bentuk obstruction of justice yang dilakukan oleh advokat. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya mempunyai hak imunitas, yakni hak untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Namun dalam praktiknya hak imunitas tersebut seperti tidak ada gunanya selama perbuatan advokat memenuhi unsur-unsur pasal dalam suatu ketentuan pidana seperti obstruction of justice, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi advokat dalam menjalankan tugas profesinya. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pengaturan dan penerapan hak imunitas advokat sebagai pelaku obstruction of justice, serta praktik penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Dalam penelitian ini, jenis Penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah segala perbuatan yang dimaksudkan dengan mencegah, mengganggu, menghalangi, atau menggagalkan proses peradilan. Hak imunitas advokat diatur dalam Pasal 14 hingga Pasal 16 Undang-Undang Advokat, akan tetapi dalam praktiknya advokat sebagai pelaku obstruction of justice tetap dapat dimintai pertanggungjawabannya terlepas dari hak imunitas yang dimilikinya. Serta penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi telah dilakukan di Indonesia, dapat dilihat dari kasus Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof dan Fredrich Yunadi. 

ABSTRACT
Eradication of corruption in Indonesia still faces many obstacles, one of them is resistance from various parties in the form of obstruction of justice carried out by advocates. Advocates in carrying out their professional duties have the right to immunity, namely the right not to be prosecuted both in civil or criminal terms. However, in practice the right of immunity is useless as long as an advocate's actions fulfill the elements of the article in a criminal provision such as obstruction of justice, so that it creates legal uncertainty for advocates in carrying out their professional duties. This research is aimed at knowing and understanding forms of obstruction of justice in Indonesian laws and regulations, especially in eradicating criminal acts of corruption, regulation and the application of the rights of immunity of advocates as subject of obstruction of justice, as well as law enforcement practices against lawyers as subject of criminal acts of obstruction of justice in cases of corruption. In this study, the type of research used was normative juridical using a historical, legal and conceptual approach. The results of the study concluded that the form of obstruction of justice in the laws and regulations in Indonesia is all actions intended to prevent, interfere, obstruct, or frustrate the judicial process. The rights of the advocate's immunity are regulated in Article 14 to Article 16 of the Law on Advocates, but in practice advocates as subject of obstruction of justice can still be held accountable regardless of the right of immunity they have. And law enforcement for lawyers as obstruction of justice subject in cases of corruption has been committed in Indonesia, can be seen from the case of Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof and Fredrich Yunadi.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Bantuan hukum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia selama ini identik dengan para pelaku tindak pidana. Hal tersebut disebabkan karena setiap peraturan yang berkaitan dengan masalah bantuan hukum selalu ditujukan untuk kepentingan mereka yang tersangkut tindak pidana, dalam arti para pelaku tindak pidana itu sendiri. Oleh sebab itu telah terbentuk pikiran di benak semua orang, khususnya masyarakat awam, kalau bantuan hukum itu hanya merupakan hak dari para pelaku tindak pidana saja. Pemikiran yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun itu tidak dapat disalahkan, karena selama ini setiap peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia mayoritas ditujukan untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan tindak pidana, termasuk pelaku tindak pidana dengan segala konsekuensi akibat tindak pidana yang mereka lakukan dan hak-hak yang mereka dapatkan selama mereka berhadapan dengan hukum. Kenyataan ini mengakibatkan para korban tindak pidana menjadi terabaikan kedudukannya di depan hukum. Padahal seharusnya mereka mempunyai hak-hak yang sama, atau bahkan lebih, dari para pelaku tindak pidana. Karena bagaimanapun juga merekalah pihak yang dirugikan atas terjadinya suatu tindak pidana. Namun kini, dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA), para korban tindak pidana, khususnya ditujukan pada anak-anak korban tindak pidana, mempunyai dasar hukum untuk memperoleh bantuan hukum sebagaimana yang didapat pelaku tindak pidana. Dengan keberlakuan UUPA ini, diharapkan hak-hak anak yang menjadi korban tindak pidana menjadi terlindungi, apalagi bila melihat kenyataan yang belakangan ini terjadi di dalam masyarakat dimana anak-anak seringkali menjadi korban tindak pidana kekerasan tanpa mengenal usia, tempat maupun pelaku tindak pidana yang kadangkala merupakan orang-orang yang seharusnya melindungi mereka. Bantuan hukum yang di tujukan terhadap anak-anak korban kekerasan ini dapat menjadi landasan untuk mewujudkan perlindungan khusus terhadap mereka agar di kemudian hari tindak pidana tersebut tidak lagi terjadi atau setidaknya diminimalisir."
[Universitas Indonesia, ], 2008
S22132
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>